• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit dihubungkan dengan undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit dihubungkan dengan undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain. Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum, maka pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, guna memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan, dan mempermudah pihak ketiga mengontrol apabila terjadi pengalihan benda jaminan.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), telah menyediakan lembaga hak jaminan atas tanah yang diberi nama Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51, yakni “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang disebut dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39 diatur dengan Undang-Undang”.

Ketentuan pasal tersebut di atas mengandung 3 dasar pokok berkenaan dengan pengaturan hak-hak jaminan atas tanah, yaitu:

(2)

a. hak jaminan di negara kita diberi nama “Hak Tanggungan” yaitu suatu bentuk lembaga jaminan baru untuk menggantikan berbagai lembaga jaminan yang ada dan diakui menurut ketentuan yang berlaku di negara sekarang seperti hipotik, creditverband, gadai, fidusia, dan lain-lain.

b. lembaga jaminan yang diberi nama “Hak Tanggungan” ini hanya dapat dibebankan kepada Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39).

c. mengenai apa yang dinamakan “Hak Tanggungan” itu akan diatur dengan suatu undang-undang tersendiri dalam artian akan ada suatu Undang-Undang tentang Hak Tanggungan.

AP. Parlindungan mengemukakan: “salah satu tujuan diundangkan Undang-Undang Hak Tanggungan adalah melaksanakan perintah yang tegas dari Pasal 51 UUPA sehingga meniadakan penafsiran yang macam-macam tentang pranata jaminan, dan sekaligus melaksanakan unifikasi yang dikembangkan UUPA, yaitu pranata Hak Tanggungan sebagai pranata jaminan hutang dengan tanah sebagai jaminan”.1

Menurut Maria Samdjono: “terbitnya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan ini amat berarti di dalam menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional, khususnya dibidang hak jaminan atas tanah”.2 Dalam Pasal 57 UUPA ditentukan, bahwa “Selama undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51 UUPA belum terbentuk, maka yang berlaku adalah

ketentuan-1 A.P. Parlindungan, Komentar UUHT dan Sejarah Berlakunya, Mandar Maju, Bandung,

1996, hal.31.

2 Maria Samdjono, Hak Jaminan dan Kepailitan I: Hak Tanggungan dan Asas Pemisahan

(3)

ketentuan mengenai hipotik yang tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Creditverband yang tersebut dalam S 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S 1937-190”.

Menurut Soedikno Mertokusumo bahwa: “undang-undang tidak mungkin lengkap, undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum dan hakim”.3 Kenyataan menunjukkan, bahwa dalam praktek pelaksanaan penjaminan hak atas tanah sebelum terbitnya UUHT telah terjadi hal-hal yang tidak mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dengan segala dampaknya. Oleh karena itu, dirasakan sangat perlu adanya lembaga jaminan dan hukum jaminan yang modern, perlu sekali adanya hukum jaminan yang mampu mengatur konstruksi yuridis, yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang akan diberinya sebagai jaminan. Adanya pengaturan hukum jaminan dan lembaga jaminan, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit yang ampuh, yang mampu menyediakan fasilitas kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah.

UUHT bertujuan, memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak Tanggungan yang kuat, yang di dalamnya antara lain menegaskan atau meluruskan persepsi yang kurang tepat di waktu yang lalu. Adanya penegasan/pelurusan berkenaan dengan beberapa masalah tersebut memerlukan perubahan persepsi dan sikap semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan

3 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya

(4)

Hak Tanggungan ini. UUHT merupakan upaya unifikasi lembaga hukum jaminan. Undangundang ini memberikan hak kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitor cidera janji (wanprestasi) untuk dieksekusi melalui proses yang singkat dan sederhana, yang pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara lelang dan tidak melalui fiat eksekusi dari pengadilan mengingat penjualan berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan ini merupakan tindakan pelaksanaan perjanjian.4

Berdasarkan Pasal 20 UUHT, alternatif penyelesaian kredit macet yang dijamin dengan Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan 3 alternatif:

a. Penjualan Lelang Objek Hak Tanggungan Atas Kekuatan Sendiri Oleh Pemegang Hak Tanggungan Pertama.

Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 UUHT ini sebenarnya sejalan dengan yang telah diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata tentang Beding Van Eiggenmachtige Verkoop pada lembaga hypoteek, berdasarkan Pasal 6 UUHT tersebut ditegaskan kembali bahwa dalam hal pada Akta Pemberian Hak Tanggungan telah diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan Pertama dapat langsung menjual objek Hak Tanggungan atas

4 Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, Departemen Keuangan Republik Indonesia,

Surat Edaran Nomor: SE/23/PN/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan,

(5)

kekuasaan sendiri dengan cara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Janji tersebut diatur dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT ini harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) agar kreditor pemegang Hak Tanggungan Pertama dapat atau berhak melakukan penjualan lelang atas kekuasaan sendiri.

b. Lelang Objek Hak Tanggungan Melalui Pengadilan.

Pengertian dari alternatif ini adalah apabila debitor cidera janji dan menolak atau bahkan melawan pelaksanaan lelang berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 11 Ayat (2) huruf e UUHT tersebut, maka Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT ditentukan bahwa berdasarkan title eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan objek Hak Tanggungan dapat dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Selama belum ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya menurut Pasal 26 UUHT dan penjelasannya. Pelaksanaan eksukusi ini didasarkan pada Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBg.

Dengan demikian prosedur yang ditempuh adalah melalui lelang Hak Tanggungan dengan bantuan Pengadilan Negeri. Adapun prosedurnya diawali dengan permohonan dari kreditor kepada Pengadilan Negari untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan. Apabila Pengadilan Negeri menerima permohonan tersebut, maka Pengadilan Negeri akan menindaklanjuti dengan menerbitkan aanmaning/teguran, penetapan sita yang diikuti dengan penyitaan agunan dan mengeluarkan penetapan lelang. Selanjutnya Pengadilan Negeri akan mengajukan

(6)

permohonan lelang Hak Tanggungan tersebut ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

c. Penjualan Di bawah Tangan

Sarana hukum dengan melakukan penjualan dibawah tangan ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan pada Pasal 20 ayat (2) UUHT. Alternatif ini kiranya cukup berat untuk dilaksanakan karena untu dapat menggunakan alternatif ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Harus ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan; 2) Penjualan tersebut dapat menghasilkan harga tertinggi yang

menguntungkan semua pihak; Lebih dahulu diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan;

3) Penjualan tersebut diumumkan lebih dahulu sekurang-kurangnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media massa setempat;

4) Tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

Berdasarkan tiga alternatif tersebut dua diantaranya menggunakan institusi lelang, yang merupakan salah satu institusi publik. Namun dari tiga alternatif tersebut, ternyata secara yuridis, eksekusi Hak Tanggungan menurut penulis praktis hanya dapat dilakukan menurut pertolongan/bantuan hakim. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 26 UUHT dan penjelasannya, Pasal 26 yang menyatakan bahwa, “Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi

(7)

hypotheek yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan”, sedangkan penjelasan Pasal 26 menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam pasal ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941-44) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura Staatblad 1927-227)”.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam Pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut, ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertipikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut, maka dalam penelitian hukum ini penulis menyusun penulisan hukum dengan judul :

“IMPLEMENTASI EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut:

(8)

1. Bagaimana Implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit dihubungkan dengan pasal 6 undang-undang nomor 4 tahun 1996?

2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit dihubungkan dengan pasal 6 undang-undang nomor 4 tahun 1996

2. Untuk mengetahui apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit

D. Kegunaan Penelitian

Adapun dalam penulisan skripsi ini nantinya dapat memberikan beberapa manfaat yaitu :

1. Kegunaan Teoritis

Penyusun berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum terutama dalam ilmu hukum perdata sehingga keberadaaannya dapat berguna bagi masyarakat

(9)

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini dapat memberi pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenali proses lelang eksekusi hak tanggungan melalui kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang Bandung, juga peneliti berharap penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran dan referensi bagi pihak yang membutuhkan khususnya tentang upaya penyelesaian eksekusi hak tanggungan

E. Kerangka Pemikiran

Teori Kepastia Hukum dipandang sebagai sesuatu yang otonom, karena hukum tak lain hanyalah kumpulan aturan-aturan hukum, norma-norma hukum, dan asas-asas hukum. Bagi penganut aliran-aliran ini, tujuan hukum sematamata untuk mewujudkan kepastian hukum. Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman mengajakan adanya tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.5 Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum, memang sama sekali tidak dapat dilepaskan dari prilaku manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol” (subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak berkaitan dengan faktor di luar hukum itu sendiri.

5Achmad Ali, Menguak Teori Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, Volume I, 2007, hlm. 288

(10)

Teori Efektivitas Hukum merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum. Ada tiga fokus kajian teori efektivitas hukum, yang meliputi :6

1. Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum; 2. Kegagalan di dalam pelaksanaannya; dan 3. Faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Implementasi pada dasarnya berkaitan dengan proses, hasil, aktivitas, dan tindakan untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan agar dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap kondisi dan situasi yang lebih baik. Berjalan tidaknya suatu implementasi tergantung dari prosesnya, hasil merupakan suatu yang didapatkan setelah suatu program dilaksanakan. Aktivitas berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh aparatur dalam melaksanakan program-program. Tindakan merupakan perilaku dari aktor yang melaksanakan implementasi dalam hal ini adalah aparatur pemerintahan untuk mencapai tujuan dan sasaran.

Menurut Patton dan Sawicki yang dikutip oleh Hessel Nogi S. Tangkilisan dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan Publik, bahwa:

“Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit, dan

6 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, A, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian

(11)

teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.” Selain itu ada pengertian implementasi dari Van Mater Horn yang dikutip oleh Wahab dalam buku dalam Analisis Kebijaksanaan, adalah: Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Pengertian implementasi dari Van Mater Van Horn menjabarkan tentang suatu tingkah laku atau pola yang dilakukan oleh aparatur atau suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu menurut Van Mater Van Horn, pengertian implementasi juga disampaikan oleh Mazmanian dan Sebastiar sebagai berikut: Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

Hak Tanggungan seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Angka 1 UUHT adalah;

“hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

(12)

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”

Hak tanggungan sebagai pelunasan hutang bersifat tidak dapat di bagibagi, yaitu bahwa jaminan meliputi benda secara utuh, artinya dengan membayar sebagian hutang tidak berarti dapat membebaskan hutang, sehingga apabila jaminan tersebut berupa tanah, maka jika sebagian hutang dilunasi tidak mewajibkan pemegang hak tanggungan untuk menyerahkan sebagian dari tanah yang dijadikan jaminan,7 hal ini tercantum dalam pasal 2;

(1)“hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 2”,

(2)“apabila hak taggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek hak tanggungan, yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut, sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya membebani sisa obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.”

Hak tanggungan pada dasarnya hanya dibebankan pada hak atas tanah saja, tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada tanah-tanah hak primer, yaitu: hak

7 M. Khoidin, 2017, Hukum Jaminan; Hak-Hak Jaminan, Hak Tanggungan, Dan

(13)

milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai yang punya nilai ekonomis, hak pakai atas satuan rumah susun.10 Pembebanan hak tanggungan atas hutang tersebut dapat dilakukan lebih dari satu hutang dengan berdasarkan pada Pasal 5 Undang-Undang Hak Tanggungan, ayat (1) “Suatu Objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang.”

Biasanya dengan jaminan berupa tanah yang kemudian dibebani dengan hak Tanggungan sebagai jaminan kreditnya kepada Bank untuk perlindungan bagi Kreditur apabila terjadi wanprestasi. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur-Kreditur lainya. Persyaratan bagi obyek hak jaminan atas tanah adalah, dapat dinilai dengan uang karena utang yang dijamin berupa uang, mempunyai sifat dapat dipindahtangankan karena apabila debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan akan dijual, termasuk hak yang didaftar menurut peraturan tentang pendaftaran tanah yang berlaku karena harus dipenuhi syarat publisitas, dan memerlukan penunjukkan khusus oleh suatu undang-undang.

Apabila terjadi wanprestasi, Kreditur tentunya tidak mau dirugikan dan akan mengambil pelunasan hutang Debitur dengan cara mengeksekusi jaminan tersebut. Wanprestasi yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian/kontrak. Wanprestasi dapat berarti tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi secara tidak baik.

(14)

Pengertian lelang (penjualan dimuka umum) dapat ditemukan dalam Pasal 1 Vendu Reglement S.1908 No. 189, bahwa lelang adalah penjualan barangbarang yang dilakukan di depan umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahukan mengenai lelang atau penjualan itu, atau diijinkan untuk ikut serta, dan diberikan kesempatan untuk menawar harga dalam sampul tertutup.

Richard L. Hirshberg menyatakan, bahwa Lelang merupakan penjualan umum dari properti bagi penawar yang tertinggi, dimana pejabat lelang bertindak terutama sebagai perantara dari penjual. Sedangkan Polderman mengemukakan Lelang (penjualan umum) adalah alat untuk mengadakan perjanjian atau persetujuan yang paling menguntungkan untuk sipenjual dengan cara menghimpun para peminat. Yang penting adalah menghimpun para peminat dengan maksud untuk mengadakan persetujuan yang paling menguntungkan bagi si penjual. Sebetulnya ada tiga (3) syarat yaitu :

a. Penjualan harus selengkap mungkin. b. Ada kehendak untuk mengikatkan diri.

c. Bahwa pihak lainnya (pembeli) yang akan mengadakan atau melakukan perjanjian tidak dapat ditunjuk sebelumnya. Tawar-menawar di Indonesia merupakan suatu yang khas dalam suatu jual beli.8

Petunjuk Pelaksanaan Lelang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 27/PMK.06/2016, tanggal 22 Februari 2016, berkaitan dengan Peraturan

(15)

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang tanggal 26 Juli 2013. Dalam Pasal 1 angka 1 PMK nomor 27/PMK.06/2016 menyatakan bahwa, Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Pasal 1 angka 4, 5, 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 27/PMK.06/2016 mengklasifikasikan lelang menjadi :

1. Lelang Eksekusi yaitu lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/ atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. 2. Lelang Noneksekusi Wajib yaitu Lelang untuk melaksanakan penjualan

barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan dijual secara lelang.

3. Lelang Noneksekusi Sukarela yaitu Lelang atas Barang milik swasta, perorangan atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela. Pejabat Lelang (Vendumeester) yaitu orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang,9 Pejabat Lelang dibagi 2 (dua), yaitu:

1. Pejabat Lelang Kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib dan Lelang Noneksekusi Sukarela.

(16)

2. Pejabat Lelang Kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang berwenang melaksanakan Lelang Non Eksekusi sukarela. Tempat pelaksanaan lelang harus dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang berada berdasarkan Pasal 22 Peraturan Menteri Keuangan No. 27/PMK.06/2016.

Eksekusi Hak Tanggungan dilakukan dengan penjualan dengan cara lelang kemudian hasil perolehanya dibayarkan kepada Kreditur Pemegang Hak Tanggungan dan bila ada sisanya dikembalikan kepada Debitur. Eksekusi Hak Tanggungan mendasarkan pada alas hak yang berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai titel eksekutorial, yang merupakan cara cepat dan mudah untuk menyelesaikan masalah hutang yang macet.

Dengan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan maka perlindungan hukum bagi kepentingan Kreditur dapat terwujud. Dalam praktek sering dijumpai debitur keberatan dan tidak bersedia secara sukarela mengosongkan obyek Hak Tanggungan itu bahkan berusaha mempertahankan dengan mencari perpanjangan kredit atau melalui gugatan perlawanan eksekusi Hak Tanggungan kepada Pengadilan Negeri yang tujuannya untuk menunda eksekusi Hak Tanggungan tersebut, sikap seperti ini mengganggu tatanan kepastian penegakkan hukum.

Berdasarkan dari kerangka pemikiran tersebut di atas, maka penulis jadikan sebagai pedoman untuk menjawab permasalahan yang sudah ditetapkan

(17)

dengan melakukan riset dan penelitian di kantor Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah berkaitan dengan pelaksanaan tingkatan-tingkatan hak tanggungan dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak atas tanah, serta melakukan penelitian di kantor pelayanan lelang negara agar mengetahui kendala apa saja yang terjadi dalam pelaksanaaan eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak atas tanah.

F. Langkah-langkah Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian. Sehingga akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebagai objek penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian hukum dengan memadukan bahan-bahan hukum, kemudian menghubungkannnya dengan kenyataan dan masalah yang timbul di lapangan.

1. Metode dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analis yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang perlindungan hukum bagi kreditur dalam eksekusi jaminan kredit dengan hak tanggungan di indonesia. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan

(18)

hukum sebagai norma, kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari berbagai literature.

2. Jenis Data

Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

Data yang diperoleh langsung dari sumber penelitian atau pihak-pihak yang terkait di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung yang dilakukan dengan wawancara/interview, teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi terstruktur maksudnya pertanyaan telah disusun dan disiapkan sebelumnya, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk menanyakan suatu hal yang ada kaitannya dengan pertanyaan yang sedang ditanyakan dengan pertanyaan selanjutnya, wawancara ini dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum ini terdiri dari peraturan perundang-undangan diantaranya adalah, catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari kaidah dasar. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,

2. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

(19)

Kitab Undang- Undang Hukum Perdata c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundangundangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan seterusnya.

3. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik dalam pengumpulan data skripsi ini adalah:

a. Observasi, yaitu pengamatan terhadap fenomena yang terjadi pada objek penelitian. Dalam hal ini penyusun akan mengamati objek dari penelitian ini yaitu KPKNL Bandung

b. Wawancara, dengan cara ini penyusun akan mendapatkan data dari narasumber guna memperoleh informasi tentang permasalahan yang akan di teliti. Dalam hal ini penyusun akan melakukan wawancara kepada staf pelayanan lelang kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang Bandung 4. Analisa Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam

(20)

kategori-kategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif.

Analisis data adalah tahap yang sangat penting dan menentukan dalam setiap penelitian. Dalam tahap ini harus melakukan pemilahan data-data yang telah diperoleh. Penganalisisan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi Analisis data yang dipergunakan adalah analisa data dengancara melakukan analisa terhadap pasal-pasal yang isinya merupakan kaedah hukum, dalam hal ini adalah analisis terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Setelah dilakukan analisa, maka dilakukan konstruksi data yang dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal tertentu ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari system hukum tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu terdapat pusat aktivitas pendidikan baru, Institut Teknologi Sumatera (ITERA), dan aktivitas pemerintahan baru yaitu Kota Baru. Sebagai daerah yang

Oleh itu, kajian ini dijalankan bertujuan untuk melihat elemen-elemen pengajaran guru berdasarkan Modul Pentaksiran Berasaskan Sekolah(MPBS) dalam sesi amali di

Meningkatkan Keterampilan Membuat Box File Melalui Metode Demonstrasi pada Anak Tunagrahita Ringan di Kelas VI SLB Binar Tarusan.. Anur Yetti 1 , Damri 2 , Markis

Sinar matahari yang masuk ke dalam rumah sangat penting bagi kesehatan penghuni rumah karena sinar matahari karena mengandung ultraviolet sehingga dapat berfungsi

Peneliti menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division STAD untuk meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa kelas III SDN Kledokan pada

Penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi (2018) menggambarkan beban psikologis caregiver selama merawat anggota keluarga dengan skizofrenia.. Berbagai beban

Secara keseluruhan dengan dilakukannya Rencana Transaksi, rasio marjin profitabilitas perusahaan meliputi Marjin EBITDA, Marjin Laba usaha serta Marjin Laba bersih

Dari sekian banyak bagian cantik di bangunan tersebut, fasadlah yang sejak awal