• Tidak ada hasil yang ditemukan

Insentif Pengurus Lembaga

Dalam dokumen BELAJAR DARI BUNGO - Multisite ITB (Halaman 178-185)

Agar lembaga dapat bekerja secara efektif, perlu ada insentif atau honor yang diberikan kepada setiap pengurusnya, termasuk untuk uang sidang. Besarnya insentif dan uang sidang tentu disesuaikan dengan kemampuan keuangan dusun dan jika perlu diatur dalam Perda atau Peraturan Dusun (Perdus) agar punya kekuatan hukum.

Untuk jabatan Rio harus berasal dari penduduk asli dusun yang bersangkutan agar hubungan yang erat dengan masyarakat tempat dimana dia lahir mendorong munculnya tanggung jawab dan moral yang baik. Daerah transmigrasi merupakan pengecualian. Jabatan Rio untuk daerah transmigrasi tidak harus berasal dari penduduk asli, tetapi boleh juga dari pendatang. Anggota Pengurus BPD, MAD/

KAD/LAD dan LKD tidak harus penduduk asli, tetapi terbuka bagi setiap warga yang tinggal di daerah tersebut sepanjang mengetahui permasalahan lembaga yang didudukinya.

peRSepSI pARA pIhAK TeRhADAp peRUbAhAn

Hasil wawancara dengan berbagai unsur masyarakat menunjukkan bahwa mereka umumnya mempunyai aspirasi yang sama dan setuju terhadap usulan untuk kembali ke pemerintahan Rio. Alasan mereka adalah untuk menghidupkan kembali nilai-nilai adat setempat, yang saat ini sudah mulai terkikis. Nilai-nilai dimaksud menyangkut semua aspek kehidupan dalam masyarakat, termasuk sejauh mana norma, sikap saling percaya dan hubungan antar anggota masyarakat mendorong aksi kolektif pemanfaatan sumberdaya alam.

Dalam sebuah Seminar Sehari tentang Pemerintahan Rio19, berbagai pihak menyampaikan dukungannya terhadap perubahan dari pemerintahan desa ke pemerintahan Rio. Namun, ada beberapa isu yang muncul misalnya terkait batas- batas administrasi, penerapan sistem Rio di wilayah transmigrasi dan pembentukan dasar hukum bagi proses perubahan pemerintahan yang diusulkan.

Ada kekhawatiran penerapan sistem pemerintahan Rio di daerah transmigran akan menimbulkan konflik dan ketidakjelasan mengingat sebagian besar masyarakatnya berasal dari luar wilayah bersangkutan atau bahkan dari luar Jambi.

Berdasarkan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat di daerah transmigrasi

19 Diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2005 di Kantor Bappeda Kabupaten Bungo. Seminar dihadiri oleh para pihak seperti anggota DPRD, kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, LSM, lembaga penelitian, perguruan tinggi dan unsur pemerintah

151 BAGIAN 2-5 Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin

seperti di Kuamang Kuning, Kecamatan Pelepat Ilir, dan di Bukit Sari dan Sari Mulya di Kecamatan Jujuhan, ada indikasi bahwa mereka tampaknya memang belum menanggapi usulan ini secara jelas. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang adat istiadat setempat dan dasar filosofi sistem pemerintahan Rio serta adanya keraguan terhadap dampak yang akan mereka terima ketika sistem adat diberlakukan tampaknya menjadi alasannya.

Tampaknya masih diperlukan waktu dan proses sampai masyarakat transmigran memahami dan dapat menerima sistem pemerintahan Rio. Sejalan dengan pepatah adat Bungo “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” yang berarti “di mana kita berdomisili, maka kita harus mengikuti ketentuan adat istiadat setempat”, diharapkan secara bertahap masyarakat transmigran akan menerima aturan yang berlaku dan menerima sistem pemerintahan Rio. Nilai-nilai adat yang mereka bawa dari kampung halamannya tetap harus dihormati (Statuta Personalia) sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan mereka secara bertahun-tahun, di satu sisi masyarakat Bungo dapat beradaptasi dengan kehidupan sosial masyarakat Jawa dan Bali, demikian juga masyarakat Jawa dan Bali dapat beradaptasi dengan masyarakat setempat.

Terkait dengan batas-batas administratif yang sudah ada, sistem pemerintahan Rio sebaiknya mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku sesuai peraturan-perundangan nasional. Menurut Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa, jumlah minimal penduduk untuk terbentuknya suatu desa adalah 1.500 jiwa atau 300 KK untuk di wilayah Jawa dan Bali, 1.000 jiwa atau 200 KK untuk Sumatera dan Sulawesi dan 750 jiwa atau 75 KK untuk wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku dan Papua. Jika jumlah penduduk sudah mencukupi untuk terbentuknya suatu desa atau dusun, maka pemerintahan Rio dapat dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakat.

Wilayah pemerintahan Rio adalah wilayah desa yang bersangkutan. Hal ini mungkin sedikit berbeda dengan yang terjadi di Sumatera Barat. Sebuah wilayah Nagari meliputi beberapa dusun atau desa yang disebut dengan jorong. Wilayah Pemerintahan Rio terdiri dari kampung-kampung yang di dalamnya terdapat RT dan RW. Pada zaman dahulu, wilayah Pemerintahan Rio atau Bathin itu luas sekali, karena jumlah masyarakatnya sedikit.

Penerapan sistem pemerintahan Rio seharusnya bersifat adaptif terhadap perubahan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan dengan nilai-nilai adat. Dalam hal demokrasi, fakta sejarah membuktikan bahwa pemilihan Rio sangat demokratis, yaitu dipilih melalui demokrasi langsung oleh

152 Belajar dari Bungo

Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

semua unsur masyarakat. Soal keterbukaan, sistem pemerintahan Rio tetap terbuka terhadap berbagai perubahan sepanjang tidak bertentangan dengan nilai yang berlaku. Sistem ini terbuka terhadap kemajuan ilmu dan pengetahuan seperti televisi, parabola dan lainnya. Untuk soal partisipasi masyarakat, semangat gotong- royong yang dimiliki dalam sistem pemerintahan Rio mendorong terjadinya aksi kolektif dan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan tanpa pamrih, seperti gotong-royong membuat jalan umum, tempat ibadah dan tempat pendidikan.

Kotak 1. Pemerintahan Nagari Bayua: pelajaran dari sebuah studi banding Nagari merupakan unit pemerintahan lokal terkecil di Sumatera Barat. Pemerintah Nagari terdiri dari seorang wali terpilih, sebuah badan legislatif terpilih dan sebuah badan yang terdiri dari wakil-wakil empat kelompok atau lebih yakni pemimpin adat, ulama, cerdik pandai dan wanita. Dalam Nagari Bayua, yang merupakan salah satu Nagari dari delapan Nagari di Kecamatan Tanjung Raya, terdapat beberapa lembaga sebagai mitra kerja dari wali Nagari:

1. Kerapatan Adat Nagari (KAN) dengan tugas utama mengurus masalah adat Nagari yang bersendikan syarak, syarak yang bersendikan kitabullah, memperkuat nilai-nilai tradisional, menjaga kesatuan penduduk nagari, mengelola kekayaan nagari dan menyelesaikan perselisihan masalah-masalah adat.

2. Majelis Ulama Nagari (MUNA) yang bertugas mengurus agama dan adat;

3. Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) yang merupakan lembaga kontrol terhadap pekerjaan Wali Nagari. Lembaga ini disebut sebagai legislatif Nagari.

4. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagri (LPMN) yang bertugas menyusun Perencanaan Pembangunan Nagari.

Dengan adanya sistem pemerintahan Nagari ini, tugas Camat menjadi semakin ringan karena banyak bidang pekerjaan yang diambil alih Wali Nagari. Camat lebih berperan di dalam mengkoordinir pekerjaan Wali Nagari, baik yang berasal dari kearifan lokal maupun petunjuk dari pemerintah kabupaten dan propinsi. Urusan administrasi Kartu Tanda Penduduk (KTP), misalnya, menjadi wewenang Wali Nagari sekalipun yang menandatangani adalah Camat. Tentu saja tidak hanya itu, sekalipun berbeda dari Nagari dulu yang sangat otonom dan tidak masuk dalam struktur negara, saat ini terlihat tatanan sosial budaya masyarakat dan efektivitas pemerintahan teritorial mendorong terwujudnya kepentingan pelestarian nilai- nilai luhur adat disertai dengan penghormatan terhadap keragaman. Suasana demokratis dan egaliter selalu mewarnai hubungan pemimpin dengan masyarakat, baik di dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam urusan hukum adat, seperti yang digambarkan Eko (2003b).

153 BAGIAN 2-5 Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin

pemeRInTAhAn RIO , hAK pRopeRTI DAn AKSeS TeRhADAp SUmbeRDAyA AlAm

Pada zaman dulu, dalam sistem pemerintahan Rio ditetapkan aturan-aturan adat yang tidak tertulis. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya, masyarakat diberi kebebasan membuka hutan untuk perkebunan dan pertanian. Hutan yang dibuka untuk perkebunan disebut Halkah, sedangkan hutan yang dibuka untuk pertanian disebut Fatlah (Machmud, 2005).

Setiap hutan yang telah dibuka oleh masyarakat, baik dalam bentuk Halkah maupun Fatlah dicatat dalam buku kecil dan diumumkan. Pencatatan yang bersifat permanen tersebut berfungsi sebagai bentuk pengakuan hak milik terhadap pihak yang membuka lahan dalam wilayah pemerintahan Rio. Sisa hutan yang belum dibuka menjadi tanah komunal dan menjadi milik Bathin. Di lahan yang menjadi public domain tersebut, masyarakat diperkenankan memanfaatkan hasil hutan, berburu dan menangkap ikan, tetapi kepemilikan berada di tangan Bathin.

Pada masa pemerintahan Rio diterapkan, aturan-aturan adat tentang pengelolaan sumberdaya alam umumnya tidak tertulis tetapi berdasarkan kebiasaan masyarakat saja. Walaupun tidak tertulis aturan-aturan tersebut sangat ditaati oleh masyarakat. Contohnya, masyarakat hanya boleh mengambil kayu di hutan dalam wilayah pemerintahan Rio jika kayu tersebut berdiameter minimal 50 cm.

Selain karena kayunya lebih berkualitas, aturan tersebut dimaksudkan untuk melestarikan lingkungan melalui sistem tebang pilih. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, sanksi akan diberikan sesuai dengan bentuk kesalahannya dan biasanya berupa denda yang disidangkan dalam peradilan adat. Menangkap ikan di sungai juga hanya boleh dilakukan dengan cara memancing atau membuat perangkap dan tidak boleh dengan cara meracun atau cara lainnya yang dapat menyebabkan punahnya anak ikan. Aturan yang sama juga berlaku untuk binatang buruan.

Saat ini, aturan-aturan adat sudah mulai melemah dan tidak lagi ditaati sepenuhnya oleh masyarakat. Di sebagian tempat bahkan aturan-aturan tersebut sudah hampir punah, seperti di Kecamatan Tanah Tumbuh, Tanah Sepenggal dan Bathin II Babeko. Melemahnya nilai-nilai adat tersebut selain disebabkan oleh arus globalisasi, modernisasi dan pola keseragaman yang diterapkan oleh sistem pemerintahan desa saat itu, juga disebabkan oleh masyarakat yang jumlah, ragam dan tuntutannya semakin besar. Sedangkan sumberdaya alam semakin terbatas.

Di beberapa wilayah lain di Kabupaten Bungo, aturan-aturan adat yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari masih berlaku. Misalnya, adanya

154 Belajar dari Bungo

Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lubuk larangan di Desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat dan Kecamatan Rantau Pandan, hutan lindung di Kecamatan Rantau Pandan, hutan adat terdapat di Desa Batu Kerbau dan Desa Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat. Aturan-aturan hutan adat di kedua desa terakhir bahkan sudah diupayakan untuk diperkuat dengan Peraturan Daerah.

KeSImpUlAn DAn ReKomenDASI

Keinginan untuk kembali menerapkan sistem pemerintahan Rio sejalan dengan tuntutan berbagai pihak dalam upaya mengembalikan nilai-nilai adat yang sudah mulai terkikis. Perubahan sistem pemerintahan ini berada dalam koridor hukum dan terakomodasikan di dalam peraturan perundangan yang berlaku. UU No.

32/2004 memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur masyarakat sesuai dengan aspirasinya.

Diberlakukannya kembali sistem pemerintahan Rio diyakini mampu memperkuat kembali modal sosial, memperkuat institusi lokal, merekatkan kembali sistem sosial yang selama bertahun-tahun telah terkikis dan yang cenderung tidak mendorong terbentuknya kemandirian desa dan terjaganya keluhuran nilai-nilai adat. Secara bertahap, dalam jangka panjang perubahan sistem pemerintahan diharapkan akan lebih mampu mengatasi berbagai persoalan masyarakat secara mandiri dan memberikan kontribusi pada pencapaian pembangunan daerah yang dicita-citakan. Munculnya pemimpin karismatik pemerintahan Rio yang dihormati dan disegani masyarakatnya, perpaduan antara sifat karismatik dengan kemampuan teknis sekretaris Rio dan adanya mekanisme check and balance dalam menjalankan urusan pemerintahan menjadi kekuatan-kekuatan penerapan sistem pemerintahan Rio.

Selanjutnya direkomendasikan:

• Pemerintah Daerah menyusun sebuah Peraturan Daerah terkait dengan pengaturan sistem pemerintahan Rio, dan memfasilitasi proses penyusunannya melalui mekanisme partisipatif dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat. Perda tersebut kemudian dikonsultasikan dengan pihak legislatif, Pemerintah Propinsi Jambi dan Departemen Dalam Negeri c.q. Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa.

• Pemerintah Daerah terus mendorong proses dialog, diskusi dan konsultasi publik tentang perubahan sistem pemerintahan desa ini, dan mengakomodasikan masukan-masukan dari berbagai pihak, sehingga menjadi

155 BAGIAN 2-5 Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin

masukan yang berharga dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan terkait. Perlu dilakukan studi banding yang lebih komprehensif tentang sistem pemerintahan Nagari ke Provinsi Sumatera Barat untuk mempelajari kelebihan dan kelemahan pelaksanaan sistem tersebut.

• Pemerintah dan berbagai pihak terkait terus mendorong penguatan modal sosial. Proses perubahan dari sistem pemerintahan desa ke pemerintahan Rio bukan hanya proses perubahan struktur tetapi juga proses interaksi dan belajar di antara masyarakat. Kepercayaan antar masyarakat cukup mudah luluh, tetapi juga bisa dipulihkan melalui proses akumulasi modal sosial.

Peran pemerintah dan para pihak lain sangat penting dalam menjaga proses tersebut agar berjalan ke arah positif.

• Secara paralel, berbagai pihak termasuk Pemerintah Daerah terus mendorong dilakukannya penelitian lebih mendalam tentang aspek-aspek yang belum tercakup dalam hasil penelitian ini dan membahasnya dengan pihak- pihak terkait. Topik menarik yang perlu dikaji lebih lanjut adalah: dengan modal sosial masyarakat yang ada saat ini, sejauh mana penerapan sistem pemerintahan ini mendorong aksi kolektif dan kerjasama antar kelompok- kelompok masyarakat dalam mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun politik.

• Semua lapisan masyarakat, terutama anggota DPRD, para alim ulama, cerdik pandai, tuo tengganai, LSM dan organisasi sosial lainnya di Kabupaten Bungo terus terlibat di dalam mendorong terwujudnya pemerintahan Rio yang bersendi syarak’, syarak’ bersendi kitabullah di “Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun“ Kabupaten Bungo.

UcApAn TeRImA KASIh

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian “Collective Action to Secure Property Rights for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and Governance Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemda Kabupaten Bungo.

Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on Collective Action and Properti Rights (CAPRi). Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak donor dan semua pihak yang telah memberikan kontribusinya pada penelitian ini.

156 Belajar dari Bungo

Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

bAhAn bAcAAn

Anonim. 2001. Social Capital: A Review of the Literature. Social Analysis and Reporting Division Office for National Statistics, Inggris. http://www.

statistics.gov.uk/socialcapital/downloads/soccaplitreview.pdf.

Eko, S. 2003a. Desentralisasi dan Demokrasi Desa. Makalah disampaikan dalam Konsultasi Publik Revisi UU No. 22/1999, 19 November. Deli Serdang, Sumatera Utara. Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jakarta, Bitra Indonesia Medan dan Pusaka Indonesia. http://www.

ireyogya.org/sutoro/makalah_desentralisasi_dan_demokrasi_desa.pdf.

Eko, S. 2003b. Kembali ke Nagari dalam Konteks Desentralisasi dan Demokrasi Lokal di Sumatera Barat. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Wawasan Pembangunan Nasional, 17-19 September. Yayasan Bina Masyarakat Mandiri (YBM2), Bogor. http://www.ireyogya.org/adat/

flamma_adat_vol1_sorot1.htm.

Machmud, A.S. 2005. Pedoman Adat Kabupaten Bungo. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo, Muara Bungo. Indonesia.

Narayan, 1997. Voices of the Poor: Poverty and Social Capital in Tanzania. World Bank, Washington D.C., USA.

Saad, Z.M.B. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Pedesaan Sumatera Barat Melalui Revitalisasi Nagari. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Demokrasi Masyarakat Desa, 19-23 Juni. FPPM, Tenggarong, Indonesia.

Uphoff, N. 1999. Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experiences of Participation. Dalam: Dasgupta, P. dan Seregeldin, I. (ed.) Social Capital: A Multifaceted Perspective, World Bank, Washington DC, USA.

World Bank. 2000. What is Social Capital? http://www.worldbank.org/poverty.

baGIaN 3

Dalam dokumen BELAJAR DARI BUNGO - Multisite ITB (Halaman 178-185)

Dokumen terkait