KURIKULUM PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
C. INTEGRASI NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM DOKUMEN KURIKULUM
Mengacu kepada perspektif pedagogis kurikulum adalah sebuah
“konstitusi” dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini terdapat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut ini: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan tertentu”. Mengingat kurikulum adalah hal penting sebagai tolak ukur kegiatan pembelajaran, maka urgensi yang perlu mendapatkan perhatian adalah pada misi, tujuan dan isi atau konten dari tiap mata pelajaran yang diintegrasikan kedalam sebuah dokumen yang dinamakan kurikulum. Oleh karenanya misi kurikulum sangat berkaitan (congruence) terhadap target sistem Pendidikan yang ingin dicapai. Dengan demikian secara agregat dapat disimpulkan bahwa isi dari kurikulum merupakan strategi yang digunakan untuk mencapai misi kurikulum.
Pada tataran misi dan tujuan, kurikulum memuat suatu arah makro tentang tujuan Pendidikan. Oleh karenanya perumusan dalam misi dan isi kurikulum tidak secara teknis berkaitan dengan mata pelajaran, tetapi memiliki kontekstualisasi terhadap lingkungan kebijakan. Sebagaimana pendapat Louisa May Alcot (1832-88) ia menyatakan bahwa kurikulum tidak secara spesifik merujuk pada mata pelajaran. Bahkan menurut Palmer dalam buku panduan penyelenggaraan pendidikan antikorupsi di Pendidikan tinggi ia mengatakan bahwa kurikulumnya tidak bersifat akademis; itu terdiri dari seni yang kompleks dalam belajar untuk mencintai dan bertahan hidup, terlepas dari masalah apapun yang menghadangnya dan juga dari ketiadaannya (Kemendikbud dan KPK, 2012). Kurikulum tidak dapat steril atau melepaskan diri dari berbagai kejadian di luar ranah pendidikan. Berbagai kondisi sosial, politik, dan perkembangan pergaulan internasional menjadi pertimbangan dalam penentuan misi dan misi kurikulum. Di satu pihak, hal ini menjadi hal yang sangat kompleks dalam menetapkan misi dan isi kurikulum. Di satu sisi ini merupakan keharusan karena pendidikan mengantarkan manusia untuk tidak berpola piker sempit (narrow minded).
Melalui pendidikan seharusnya seorang manusia memiliki kemampuan berfikir analitik, dan memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
Dengan kemampuan berfikir analitik, seseorang akan berusaha memahami
setiap kejadian, bagaimana hal itu bisa terjadi, dalam konteks apa, dalam rangka membangun konstruk wawasan individunya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Dengan kemampuan analitik menjadikan seseorang manusia dalam menentukan setiap keputusannya bersifat menyeluruh (comprehensive judgment) tentang kehidupan baik dalam dimensi harmonis maupun orientasi kedepan. Pendidikan bukanlah sebuah dogma, namun suatu bentuk ajaran yang dapat diterima dan diadopsi berdasarkan nalar melalui suatu komunikasi argumentative antara pemberi dan penerima. Hasilnya penerima dapat menata ulang sistem keyakinan.
Bagi si pemberi informasi yakni pendidik meski menguasai dengan baik apa yang disampaikannya. Dan bentuk komunikasi penyampaian ini menjadi umpan balik bagi pengayaan substansi ajaran dan perbaikan strategi penyampaian.
Misi, tujuan, sampai dengan isi kurikulum didasarkan pada argumentasi philosophy of experiental education memberikan pengalaman kognitif sampai dengan pengalaman bertindak dalam realitas kehidupan sosial yang pasti akan dialami oleh setiap peserta didik Ketika mereka masih dalam bangku sekolah sampai dengan mereka dewasa nanti. Aliran ini didasarkan pada argumentasi John Dewey yang mengemukakan pendapat bahwa pendidikan merupakan suatu proses untuk menjadi seseorang peserta didik yang memiliki nalar sebagai dasar untuk bertindak.
Maka dapat di simpulkan dalam proses pendidikan mengetahui saja tidaklah cukup tanpa melakukannya, dan mustahil untuk dapat memahami sepenuhnya tanpa melakukannya.
Misi, tujuan dan isi kurikulum diharapkan memberikan indikasi dan pedoman baik bagi pendidik sebagai sumber ajaran dan peserta didik sebagai penerima ajaran dalam rangka mentransformasikan kedalam setiap bentuk pengalaman hidup. Proses transformasi merupakan sebuah proses metaphora materi pelajaran dimana tiap mata pelajaran memberikan bentuk pengalaman yang menjadi sebuah prasyarat dalam penentuan topik pembelajaran dari setiap mata pelajaran yang dimuat dalam sebuah kurikulum yang berlaku. Sebagai sebuah refleksi sekaligus sebuah harapan mengenai arah hasil pendidikan dan perkembangannya di akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hasil pendidikan tidak semata-mata pada prestasi akademik. Ketiak Howard Gardner memperkenalkan sebuah konsep dinamakan emotional quotient yang dikenal dengan singkatan EQ pada era tahun 1980an, yang kemudian berbagai konsep seperti spiritual quotient yang dikemukakan oleh para pemuka agama, dan financial quotient yang
dikemukakan oleh kalangan perbankan menjadi pusat perhatian dunia pendidikan. Dimana kemampuan baik spiritual maupun finansial berusaha mengaitkan bagaimana kemampuan intelektual direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam desentralisasi pendidikan yang diberlakukan melalui konsep
“Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)” memiliki implikasi dalam pendelegasian otonomi pedagogis kepada pendidik. Dalam konteks ini pemerintah tidak menentukan kurikulum yang berlaku di setiap sekolah.
Mekanisme pemberlakuan kurikulum adalah dengan menggunakan pendekatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan pendekatan ini, sekolah yang menentukan kurikulum yang akan digunakan oleh sekolahnya. Pendidikan merupakan pihak yang paling berwenang untuk menentukan kurikulum apa yang akan dipakai pada tingkat sekolah.
Pendidik merupakan pihak yang berwenang menentukan kurikulum apa yang akan digunakan tingkat satuan sekolahnya. Peran kepala sekolah dalam hal ini sebagai manajer dapat memfasilitasi dan mengartikulasikan kurikulum ke dalam strategi mengajar di satuan pendidikan. Kemudian peran pemerintah (pusat) meliputi penetapan pedoman dalam standar kompetensi lulusan dan standar isi; serta pemberian jaminan kualitas (quality assurance) bahwa setiap kurikulum sekolah dapat menjamin mutu pelayanan pendidikan pada jenjang tiap sekolah. Dengan demikian, kurikulum merupakan bagian terpadu dari sistem manajemen sekolah dengan perencanaan semua kegiatan di sekolah, baik yang diselenggarakan melalui proses pembelajaran maupun melalui pembiasaan dan budaya sekolah.
Terkait dengan implementasi pendidikan antikorupsi (PAK) melalui pengembangan kurikulum hal ini menjadi bagian atau salah satu bentuk dari pendidikan karakter. Sangat sejalan dengan program dari kurikulum merdeka yang baru-baru ini mulai di terapkan di satuan pendidikan.
Dimana salah satu proyeknya adalah dalam rangka penguatan profil pelajar Pancasila. Dimana proyek tersebut di terapkan dalam rangka mencapai karakter siswa yang sesuai dengan profil Pancasila. Sesuai dengan namanya kurikulum merdeka mengusung konsep bahwa pendidikan di Indonesia harus “Merdeka Belajar”. Siswa bisa mendalami minat dan bakatnya dengan memilih jenis mata pelajaran yang mendukung minat dan bakatnya.
Kurikulum merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intra-kurikuler yang beragam dan di rancang supaya proses pembelajaran menjadi lebih fleksibel. Selain siswa diberi kebebasan, guru juga diberikan keleluasaan
untuk memilih perangkat ajar sesuai kreatifitas agar bisa menumbuhkan minat belajar peserta didik.
Menurut Kemristekdikti, ada 3 kategori pelaksanaan implementasi Kurikulum Merdeka, termasuk;
1. Mandiri belajar 2. Mandiri berubah 3. Mandiri berbagi
Kurikulum merdeka mendukung juga strategi pembelajaran berbasis proyek. Melalui strategi ini, peserta didik diharapkan dapat menerapkan materi yang dipelajari melalui proyek dan studi kasus. Dimana proyek dan studi kasus yang dilakukan siswa dikenal dengan nama Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Proyek tersebut diterapkan agar siswa bisa mencapai profil pelajar Pancasila. Profil pelajar Pancasila sendiri adalah karakter dan kemampuan yang dibangun dalam keseharian dan dihidupkan dalam diri setiap peserta didik. Ini termasuk karakter beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa, gotong royong, kreatif, mandiri, kebhinekaan global, dan bernalar kritis. Nilai-nilai ini sangat sejalan dengan Penerapan Pendidikan Antikorupsi sehingga satu sama lain keberadaannya bisa aling melengkapi dan bersinergi dalam aplikasi pelaksanaannya.
Maka dengan implementasi melalui kurikulum, pendidikan antikorupsi (PAK) menjadi bagian atau salah satu bentuk dari penguatan profil pelajar Pancasila melalui pendidikan basis karakter. Untuk itu, diharapkan satuan pendidikan perlu menyusun perencanaan dan pengembangan kurikulum melalui beberapa tahapan sebagai berikut ini:
1. Membangun komitmen seluruh warga sekolah dan kampus, komite, stakeholder, dan masyarakat sekitar untuk melaksanakan Pendidikan antikorupsi di satuan pendidikan;
2. Melakukan analisis konteks untuk menetapkan sumber daya, dan sarana yang diperlukan, nilai-nilai dan indicator yang dikembangkan serta prosedur penilaian keberhasilan
3. Merumuskan visi, misi, tujuan dalam menuju Lembaga sekolah, kampus berbudaya antikorupsi;
4. Menyusun rencana kerja sekolah/kampus (RKS/RKK) dan rencana aksi sekolah kampus (RAS/RAK);
5. Menyusun dokumen pelengkap kurikulum yang merefleksikan semua kegiatan yang dilakukan di sekolah/kampus mengarah pada proses pemberdayaan dan pembudayaan pendidikan karakter dan antikorupsi.
6. Menjabarkan kalender pendidikan yang memuat semua program dan kegiatan sekolah/kampus baik kegiatan pembelajaran, pembiasaan /pembudayaan melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, kegiatan mandiri, kegiatan spontan, dan terprogram.
7. Evaluasi diri sekolah (EDS) terhadap semua program-program yang diterapkan sekolah serta capaian hasilnya.
D. LANGKAH INTEGRASI NILAI ANTIKORUPSI DALAM