HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
C. Isu Penting Seputar Pelaksanaan Penjaminan Hak
Ifdhal Kasim menguraikan bahwa dalam pandangannya selama ini telah terjadi perbedaan yang tajam antara hak ekonomi, sosial dan budaya dengan hak sipil dan politik. Perbedaan tajam yang dibuat
Ibid.
Ekonomi Sosial dan Budaya
5
HUKUM HAK ASASI MANUSIA itu adalah dengan mengatakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak-hak positif (positive rights), sementara hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights). Dikatakan positif, karena untuk merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan tersebut diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara di sini haruslah berperan aktif. Sebaliknya dikatakan negatif, karena negara harus abstain atau tidak bertindak dalam rangka merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan.6
Menurutnya, peran negara di sini haruslah pasif. Maka dari itu, hak- hak negatif itu dirumuskan dalam bahasa “freedom from” (kebebasan dari), sedangkan hak-hak dalam kategori positif dirumuskan dalam bahasa “rights to” (hak atas). Kedua kategori hak ini menuntut tanggung jawab negara yang berbeda. Kalau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations of result, sedangkan hak-hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations of conduct.7
Yosep Adi Prasetyo mengemukakan bahwa kesalahpahaman mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah salah satu sebab pokok adanya pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pertama, hak-hak ini lebih dianggap sebagai aspirasi ketimbang suatu hak yang dapat ditegakkan atau harus dipenuhi. Kedua adalah anggapan bahwa pemenuhan hak-hak sosial ekonomi hanya dan hanya dapat dilakukan melalui kebijakan pembangunan (tidak mempunyai efek langsung).
Sering kali pula karena alasan ini ada anggapan bahwa hak ekonomi, sosial, dan budaya hanya berlaku dalam sistem politik tertentu atau di negara-negara kaya saja.8
6
Arti Pentingnya”, Makalah pada Lokakarya yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, Hotel Jogja Plaza, 25 Januari 2006, hlm. 4., http://pusham.uii.ac.id/upl/
article/id_makalah%20ifdal.pdf, 13/04/2013.
7
8
Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia dilaksanakan di Lombok, 28–31 Mei 2012, hlm. 3.
45
Ifdhal Kasim, “Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menegaskan Kembali
Ibid.
Yosep Adi Prasetyo, Hak Ekosob dan Kewajiban Negara, Makalah Dalam
Menurut beliau pemikiran ini tidak seluruhnya benar, karena beberapa alasan, antara lain bahwa cara pemenuhan tidak mengubah legalitas dari hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai hak asasi. Kalau memang pemenuhannya harus dilakukan secara bertahap tidak berarti hak ekonomi, sosial, dan budaya bukan hak asasi manusia. Sehubungan dengan ini, hak ekonomi, sosial, dan budaya dianggap sebagai hak-hak positif yang membutuhkan campur tangan negara. Hal demikian oleh sebagian orang dianggap sebagai dasar untuk tidak memperlakukan hak sosial ekonomi sebagai hak asasi. Bagi kelompok yang memiliki pemahaman seperti ini, hak asasi hanyalah hak sipil dan politik yang mensyaratkan negara untuk melakukan campur tangan tesebut. Akan tetapi dikotomis ini sangat menyesatkan, karena realisasi dari hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya memerlukan tindakan aktif negara.9
Lebih lanjut diurai beliau bahwa di sisi lain, negara juga harus tidak melakukan campur tangan. Sebagai contoh, pada hak sipil dan politik dikenal kewajiban negara untuk tidak melakukan penyiksaan, menghambat kehidupan beragama, atau menahan seseorang secara semena-mena. Pada hak ekonomi, sosial, dan budaya, contoh dari sifat negatif hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah negara tidak boleh melakukan penggusuran paksa. Alasan lainnya adalah realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak bergantung pada ketersediaan sumber-sumber daya, melainkan pada kesamaan akses terhadap sumber- sumber tersebut. Oleh karena itu, pemerintah negara kaya sekalipun dapat dianggap melanggar hak asasi seseorang jika mencegah akses yang sama terhadap sumber-sumber daya. Sebaliknya, pemerintah- pemerintah dari berbagai negara miskin, yang memiliki sumber daya yang terbatas, juga dapat memenuhi hak tersebut, misalnya melalui perangkat perundang-undangan. Kekurangan sumber daya tidak dapat menjadi alasan bagi negara untuk menghilangkan hak asasi seseorang.
Sekalipun memerlukan waktu, negara mempunyai kewajiban untuk menunjukan bahwa telah melakukan langkah-langkah konkret untuk
Ibid.
9
HUKUM HAK ASASI MANUSIA
mencapai pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya.10
Sehubungan dengan ini, hak ekonomi, sosial, dan budaya dianggap sebagai hak-hak positif yang membutuhkan campur tangan negara.
Hal demikian oleh sebagian orang dianggap sebagai dasar untuk tidak memperlakukan hak sosial ekonomi sebagai hak asasi. Bagi kelompok yang memiliki pemahaman seperti ini, hak asasi hanyalah hak sipil dan politik yang mensyaratkan negara untuk melakukan campur tangan tesebut.
Akan tetapi dikotomi ini sangat menyesatkan, karena realisasi dari hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya memerlukan tindakan aktif negara. sipil dan politik dikenal kewajiban negara untuk tidak melakukan penyiksaan, menghambat kehidupan beragama, atau menahan seseorang secara semena-mena. Pada hak ekonomi, sosial, dan budaya, contoh dari sifat negatif hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah negara tidak boleh melakukan penggusuran paksa. Alasan lainnya adalah realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak bergantung pada ketersediaan sumber-sumber daya, melainkan pada kesamaan akses terhadap sumber-sumber tersebut. Oleh karena itu, pemerintah negara kaya sekalipun dapat dianggap melanggar hak asasi seseorang jika mencegah akses yang sama terhadap sumber-sumber daya. Sebaliknya, pemerintah-pemerintah dari berbagai negara miskin, yang memiliki sumber daya yang terbatas, juga dapat memenuhi hak tersebut misalnya melalui perangkat perundang-undangan. Kekurangan sumber daya tidak dapat menjadi alasan bagi negara untuk menghilangkan hak asasi seseorang. Sekalipun memerlukan waktu, negara mempunyai kewajiban untuk menunjukkan bahwa telah melakukan langkah-langkah konkret untuk mencapai pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya.11
Rangkuman
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya lewat UU No. 11 Tahun 2005 tentang
Ibid.
Ibid, hlm. 3.
47
10 11
Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Ada tiga alasan utama dalam menjelaskan betapa pentingnya penjaminan terhadap hak ekonomi sosial dan budaya yaitu pertama, hak ECOSOC mencakup berbagai masalah paling utama yang dialami manusia sehari-hari. Kedua, hak ECOSOC tidak bisa dipisahkan dengan hak asasi manusia yang lainnya: interdependensi hak asasi manusia adalah realitas yang tidak bisa dihindari saat ini. Ketiga, hak ECOSOC mengubah kebutuhan menjadi hak: seperti yang sudah diulas di atas, atas dasar keadilan dan martabat manusia, hak ekonomi sosial budaya memungkinkan masyarakat menjadikan kebutuhan pokok mereka sebagai sebuah hak yang harus diklaim (rights to claim) dan bukannya sumbangan yang didapat (charity to receive).
Selama ini telah terjadi perbedaan yang tajam antara hak ekonomi, sosial dan budaya dengan hak sipil dan politik. Perbedaan tajam yang dibuat itu adalah dengan mengatakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak-hak positif (positive rights), sementara hak- hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights).
Dikatakan positif, karena untuk merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan tersebut diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara di sini haruslah berperan aktif. Sebaliknya, dikatakan negatif karena negara harus abstain atau tidak bertindak dalam rangka merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan.