BAB II TINJAUAN PUSTAKA
B. Analisis Teoretis Subjek
4. Jual-beli
Jual-beli menurut bahasa adalah memberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu atau menukarkan sesuatu dengan sesuatu. Menurut syara’ ialah menukarkan harta benda dengan alat pembelian yang sah atau dengan harta lain dengan ijab dan qabul menurut syara’.70 Jual-beli menurut syariat adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah). Sebagian ulama memberikan definisi mengenai jual beli adalah menukar suatu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus merupakan definisi yang bersifat toleran karena menjadikan jual beli sebagai saling menukar, sebab pada dasarnya akad tidak harus ada saling tukar akan tetapi menjadi bagian dari konsekuensinya, kecuali
69SC Fahmi, “Bab II Landasan Teori”, diakses dari http://repository.umy.ac.id, pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 12.16 WITA.
70A. Zainuddin, dan Muhammad Jamhari, al-Islam 2 (Muamalah dan Akhlak) (Cet. I;
Bandung: Pustaka Setika, 1999), h. 11.
jika dikatakan “akad yang mempunyai sifat saling tukar menukar artinya menuntut adanya satu pertukaran”.71
Inti jual-beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu memberi benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah diberikan syara’ dan disepakati.72 Berdasarkan definisi yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jual-beli dapat terjadi dengan cara:
a. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela.
b. Memindahkan milik dengan ganti dapat dibenarkan, yaitu berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.73
Cara pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela. Harta yang dimaksud adalah semua yang dimiliki dan dapat dimanfaatkan. Harta yang dimaksud dalam pengertian lain yaitu terkait dengan objek hukum, meliputi segala benda, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang dapat dimanfaatkan atau berguna bagi subjek hukum. Pertukaran harta atas dasar saling rela dapat dikemukakan bahwa jual-beli yang dilakukan adalah dalam bentuk barter atau pertukaran barang. Sedangkan cara kedua, yaitu memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan.74 Adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat dibenarkan di sini berarti milik/harta tersebut dipertukarkan dengan
71Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, Ed. I; (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h. 23.
72Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 68- 69.
73Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 139.
74Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam…, h. 140.
alat pembayaran yang sah seperti, uang rupiah dan mata uang lainnya. Allah Swt., menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba sebagaimana yang terdapat dalm QS. al-Baqarah/2: 275
Terjemahnya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual--beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.75
Ayat tersebut menjelaskan bahwa jual-beli dihalalkan oleh Allah Swt., dan melarang kita untuk mengambil riba dengan berbagai bentuknya.
Orang yang melakukan jual-beli hendaknya saling memudahkan sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
نْب دَّمَح م يِنَثَّدَح َلاَق ٍف ِّرَط م نْب دَّمَح م َناَّسَغ و بَأ اَنَثَّدَح ٍشاَّيَع نْب ُّيِلَع اَنَثَّدَح ْبَع ِنْب ِرِباَج ْنَع ِرِدَكْن مْلا اَم هْنَع َّللَّا َي ِض َر ِ َّللَّا ِد
ِهْيَلَع َّللَّا ىَّلَص ِ َّللَّا َلو س َر َّنَأ
ىَضَتْقا اَذِإ َو ى َرَتْشا اَذِإ َو َعاَب اَذِإ ااحْمَس الً ج َر َّللَّا َم ِح َر َلاَق َمَّلَس َو
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu Ghossan Muhammad bin Muthorrif berkata, telah menceritakan kepada saya Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
75Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 47.
bersabda: "Allah merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli dan juga orang yang meminta haknya." (HR. Bukhari).76 Hadis tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan transaksi jual-beli, apakah sebagai penjual maupun sebagai pembeli hendaknya saling memudahkan dan meminta hak masing-masing sehingga mendapatkan rahmat dari Allah Swt.,
Selain itu, orang yang melakukan jual-beli juga hendaknya saling terbuka, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:
نْب ىَيْحَي اَنَثَّدَح ىَّنَث مْلا نْب دَّمَح م اَنَثَّدَح نْب و رْمَع اَنَثَّدَح و ح َةَبْع ش ْنَع ٍديِعَس
َةَداَتَق ْنَع ةَبْع ش اَنَثَّدَح َلَاَق ٍّيِدْهَم نْب ِنَمْح َّرلا دْبَع َو ٍديِعَس نْب ىَيْحَي اَنَثَّدَح ٍّيِلَع ٍما َز ِح ِنْب ِميِكَح ْنَع ِث ِراَحْلا ِنْب ِ َّللَّا ِدْبَع ْنَع ِليِلَخْلا يِبَأ ْنَع ْنَع
ىَّلَص ِّيِبَّنلا
ِف اَم هَل َك ِرو ب اَنَّيَب َو اَقَدَص ْنِإَف اَق َّرَفَتَي ْمَل اَم ِراَي ِخْلاِب ِناَعِّيَبْلا َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع َّللَّا ي
اَمِهِعْيَب ةَك َرَب َق ِح م اَمَتَك َو اَبَذَك ْنِإ َو اَمِهِعْيَب
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Syu'bah. Dan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Amru bin Ali telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dan Abdurrahman bin Mahdi keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Abu Al Khalil dari Abdullah bin Al Harits dari Hakim bin Hizam dari Nabi Shallallu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Orang yang bertransaksi jual beli berhak khiyar (memilih) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang." (HR.
Muslim).77
Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang melakukan transaksi jual- beli agar senantiasa bersikap jujur dan terbuka terhadap kualitas barangnya khususnya pedagang sehingga tidak hanya mendapatkan keuntungan dunia saja tetapi juga memperoleh berkah atas usahanya.
76Moh. Syamsi Hasan, Hadis-hadis Populer Shahih Bukhari dan Muslim (Surabaya:
Amelia, 2008), h. 503.
77Moh. Syamsi Hasan, Hadis-hadis Populer Shahih Bukhari dan Muslim…, h. 502.
Hukum asal jual-beli adalah mubah atau boleh apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Tetapi pada situasi tertentu, hukum bisa berubah menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh.
a. Wajib
Jual-beli hukumnya wajib apabila seseorang sangat terdesak untuk membeli makanan dan yang lainnya, maka penjual jangan menimbunnya atau tidak menjualnya.
b. Haram
Jual-beli hukumnya haram apabila memperjual-belikan barang haram seperti anjing, babi, dan lainnya.
b. Sunnah
Jual-beli hukumnya Sunnah apabila seorang penjual bersumpah kepada orang lain akan menjual barang dagangannya, yang tidak akan menimbulkan kemudaratan bilamana dia menjualnya.
c. Makruh
Jual-beli hukumnya makruh apabila memperjual-belikan kucing dan kulit binatang buas untuk dimanfaatkan kulitnya.78
Perjanjian jual-beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual-beli. Rukun dari perbuatan jual beli terdiri dari:
a. Adanya pihak penjual dan pembeli.
b. Adanya uang dan benda.
c. Adanya lafal.79
78Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2015), h.
16.
Ketiga rukun tersebut harus terpenuhi dalam transaksi jual-beli, hal ini dikarenakan bahwa apabila salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi dalam transaksi jual-beli maka transaksi tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai transaksi jual-beli, dan apabila salah satu dari rukun tersebut tidak ada maka transaksi jual-beli tidak sah. Rukun jual-beli tersebut memiliki syarat baik yang terkait dengan subjek maupun syarat yang terkait dengan objek. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
a. Syarat Subjek
1) Berakal, agar dia tidak tertipu, orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
Berakal berarti dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik bagi dirinya. Apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual-beli yang diadakan tidak sah.
2) Dengan kehendaknya sendiri (bukan paksaan)
Kehendak sendiri yang dimaksud adalah bahwa dalam melakukan perbuatan jual-beli, salah satu pihak tidak melakukan tekanan atau paksaan atas pihak lain sehingga pihak lain tersebut melakukan perbuatan jual-beli bukan disebabkan kemauan sendiri, akan tetapi ada unsur paksaan. Jual-beli yang dilakukan bukan atas dasar kehendak sendiri adalah tidak sah.80 Dasar hukum bahwa jual-beli harus dilakukan atas dasar kehendak sendiri terdapat dalam QS.
an-Nisa’/4: 29.
79Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam…, h. 140.
80Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam…, h. 141.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah Swt., adalah Maha Penyayang kepadamu.81
Perkataan suka sama suka dalam ayat di atas, menjadi dasar bahwa jual- beli harus dilakukan karena adanya unsur kerelaan antara kedua belah pihak.
Selain itu, dapat pula dipahami bahwa dasar jual-beli merupakan kehendak bebas atau kehendak sendiri yang bebas dari berbagai unsur tekanan atau paksaan dan tipu daya.
3) Keduanya tidak mubazir
Keadaan tidak mubazir maksudnya pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual-beli bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab orang yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak.
Maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri.
4) Baligh
Dewasa dalam hukum Islam adalah apabila telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan. Bagi anak- anak yang belum dewasa atau baligh akan tetapi sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana buruk, sebagian ulama berpendapat bahwa anak tersebut diperbolehkan melakukan perbuatan jual-beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak bernilai tinggi.82 Apabila anak yang belum dewasa tidak dapat melakukan perbuatan hukum seperti jual-beli barang kecil dan tidak bernilai
81Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 83.
82Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam…, h. 142.
tinggi yang sudah lazim di tengah-tengah masyarakat, maka akan menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi masyarakat.
b. Syarat Objek
Objek jual-beli adalah benda yang menjadi sebab terjadinya jual-beli.
Benda yang dijadikan sebagai objek jual-beli harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Bersih barangnya
Bersih barangnya yang dimaksud ialah bahwa barang yang diperjual- belikan bukanlah benda yang dikualifikasi sebagai benda najis, atau digolongkan sebagai benda yang diharamkan.
2) Dapat dimanfaatkan
Barang yang dapat dimanfaatkan sangat relatif pengertiannya, sebab pada hakikatnya seluruh barang yang dijadikan sebagai objek jual-beli merupakan barang yang dapat dimanfaatkan seperti untuk konsumsi, dinikmati keindahannya, dinikmati suaranya, serta dipergunakan untuk keperluan yang bermanfaat seperti membeli seekor anjing untuk berburu. Barang yang bermanfaat yang dimaksud di sini adalah kemanfaatan barang tersebut sesuai dengan ketentuan hukum agama (syariat Islam) atau tidak bertentangan dengan norma-norma agama.
3) Milik orang yang melakukan akad
Orang yang melakukan perjanjian jual-beli atas sesuatu barang adalah pemilik sah barang tersebut dan/atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Jual-beli barang yang dilakukan oleh orang yang bukan pemilik atau yang berhak berdasarkan kuasa pemilik, dipandang sebagai perjanjian jual-beli yang batal.
4) Mampu menyerahkannya
Mampu menyerahkan yang dimaksud ialah penjual (baik sebagai pemilik maupun sebagai kuasa) dapat menyerahkan barang yang dijadikannya sebagai objek jual-beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pembeli.
5) Mengetahui
Apabila dalam suatu jual-beli keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui, maka perjanjian jual-beli itu tidak sah. Sebab bisa saja perjanjian itu mengandung unsur penipuan. Mengetahui di sini dapat diartikan secara lebih luas, yaitu melihat sendiri keadaan barang baik mengenai hitungan, takaran, timbangan atau kualitasnya. Sedangkan menyangkut pembayarannya, kedua belah pihak harus mengetahui tentang jumlah pembayaran maupun jangka waktu pembayaran.83 Jadi, apabila dua pihak ingin melakukan transaksi jual-beli maka kedua belah pihak harus mengetahui segala hal yang menyangkut transaksi jual- beli baik mengenai barang maupun pembayarannya.
6) Barang yang diakadkan ada di tangan (dikuasai)
Menyangkut perjanjian jual-beli atas sesuatu barang yang belum di tangan (tidak berada dalam penguasaan penjual) dilarang, sebab bisa jadi barang tersebut rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan.
c. Syarat Lafal
1) Adanya persesuaian antara ijab dan qabul 2) Berlangsung dalam majelis akad.84
83Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam…, h. 143-146.
84Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Ed. I; (Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 121.
Kedua syarat lafal tersebut dapat dipahami bahwa ijab dan qabul yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertransaksi harus dilakukan dalam 1 majelis. Jual-beli ada tiga macam yaitu:
a. Menjual barang yang dapat dilihat, hukumnya boleh jika barang yang dijual suci, bermanfaat dan memenuhi rukun jual beli.
b. Menjual barang yang tidak ada dan tidak dapat dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah satu dari mereka, atau barangnya ada tetapi tidak diperlihatkan. Maka jual beli itu tidak boleh karna penjualan yang tersembunyi itu dilarang. Penjualan gharar adalah penjualan yang tidak diketahui. Penjualan semacam ini sangat ditakutkan dan dapat menyebabkan terjadinya kemudharatan umat apabila barang yang dibeli tidak sesuai degan keinginan pembeli.
c. Menjual sesuatu yang ditentukan sifatnya dan diserahkan kemudian, ini adalah salam (pembayarannya lebih didahulukan diawal jual beli), hukumnya boleh.85
Semua proses jual-beli tidak selamanya diperbolehkan, akan tetapi ada pula diantaranya yang dilarang karena suatu hal tertentu yang diperkirakan akan merugikan orang lain dan mengandung kemudaratan. Jual-beli yang dilarang terbagi atas dua:
a. Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun
1) Jual-beli yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjual-belikan, seperti babi, berhala, bangkai, dan khamar (minuman yang memabukkan).
2) Jual-beli yang belum jelas, seperti jual-beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya dan jual-beli barang yang belum tampak.
85Sohari Sahrani, Fiqh Muamalah (Cet. I; Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 71.
3) Jual-beli bersyarat ialah jual-beli yang ijab-qabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual-beli atau ada unsur-unsur yang merugikan dan dilarang oleh agama.
4) Jual-beli yang menimbulkan kemudaratan, kemaksiatan, bahkan kemusyrikan. Seperti jual-beli patung, salib, dan buku-buku bacaan porno.
5) Jual-beli yang dilarang karena dianiaya, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.
6) Jual-beli muhaqalah, ialah menjual tanaman-tanaman yang masih ada di sawah atau di ladang.
7) Jual-beli mukhadharah, ialah menjual buah-buahan yang masih hijau dan belum pantas dipanen.
8) Jual-beli mulamasah, ialah jual-beli secara sentuh menyentuh, misalnya seseorang yang menyentuh sehelai kain dengan tangannya, maka orang tersebut otomatis telah membeli kain ini.
9) Jual-beli munabadzah, ialah jual-beli secara lempar-melempar yaitu dua orang saling melempar barang dan setelah terjadi lempar-melempar terjadilah jual beli.
10) Jual-beli muzabanah, ialah menjual buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi yang kering dengan bayaran padi basah sedang ukuran timbangannya sama, sehingga akan merugikan pemilik padi basah.
b. Jual-beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait 1) Jual-beli dari orang yang masih dalam tawar-menawar. Apabila ada dua
orang masih tawar-menawar atas sesuatu barang, maka terlarang bagi orang lain untuk membeli barang itu, sebelum penawar pertama diputuskan.
2) Jual-beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar, adalah menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah kemudian menjual di Pasar dengan harga yang lebih tinggi.
3) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
4) Jual-beli barang rampasan atau curian. Jika si pembeli telah mengetahui bahwa barang tersebut barang curian/rampasan, maka keduanya telah bekerja sama dalam perbuatan dosa. Karena dalam jual-beli ini yang apabila mereka kedua belah pihak mengetahui tentang asal-muasal barang tersebut tapi tidak dipedulikan maka mereka telah berserikat melakukan perbuatan dosa, dan jual beli ini sifatnya haram.86
Hal-hal tersebut dapat dihindari apabila ada kesadaran dari masyarakat akan arti pentingnya kejujuran dalam melakukan kegiatan bisnis baik dalam bisnis dalam skala kecil maupun bisnis dalam skala lebih besar.