• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Kajian Teori

1. Teori Tentang Pernikahan Dalam Islam.

a. Pengertian Pernikahan

Pernikahan berasal dari nikah (حاكن) yang berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan juga diartikan bersetubuh (wathi). Menurut istilah, perkawinan adalah suatu akad yang ditetapkan syara‟ untuk memperbolehkan dan juga menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan. 20 Sedangkan menurut fiqih, nikah merupakan sebuah akad yang memiliki kekuatan hukum untu memperbolehkan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau lafadz yang semakna dengannya.21 Pernikahan bukan hanya mengatur kehidupan rumah tangga ataupun keturunan, akan tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lainnya.22 Pendapat Ulama fiqh seperti imam syafi‟i, imam hanafi, imam maliki, dan imam hambali mengenai pengertan perkawinan yaitu suatu akad yang mengandung suatu kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan suami istri dengan seorang perempuan) yang diawali dengan akad nikah, ataupun makna serupa dengan kedua kata tersebut.23

20 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), 5-6

21Busriyanti, Fiqih Munakahat, (Jember: STAIN Jember Press, 2013), 4

22 Sudarto,Fikih Munakahat, (Qiara Media,2020),2

23 Syafingi, Chalwan. "Larangan Perkawinan Ngalor-Ngulon dalam Adat Jawa di Desa Leses Kabupaten Klaten Perspektif Sadd Ad-dzariah." MISYKAT: Jurnal Ilmu-ilmu Al-Quran, Hadist, Syari'ah dan Tarbiyah 5.2 (2020), 102

Makna dari pernikahan juga diterangkan pada pasal 1 undang- undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan

“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.” 24 Maksudnya disini adalah bahwasanya pengertian perkawinan memiliki 4 (empat) unsur yaitu: 1) ikatan lahir batin yaitu suatu perkawinan bukan hanya terdapat ikatan lahir yang diwujudkan dalam bentuk ijab qabul akan tetapi juga ikatan batin yang diwujudkan dalam bentuk persetujuan yang ikhlas antara kedua pihak calon mempelai yakni tidak ada unsur paksaan dalam menjalankan pernikahan ini. 2) antara seorang pria dengan wanita, maksudnya adalah ikatan pernikahan dalam UU ini hanya diperbolehkan antara seorang pria dengan wanita. 3) membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maksudnya adalah tujuan adanya pernikahan adalah memperoleh ketenangan, kesenangan, kenyamanan, ketentraman lahir dan batin untuk selama-lamanya dalam kehidupan rumah tangga. 4) berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya adalah pernikahan harus berlandasakan pada ketentuan agama ataupun tidak boleh bertentangan dengan agama.25

24 Syafingi, Chalwan. "Larangan Perkawinan Ngalor-Ngulon dalam Adat Jawa di Desa Leses Kabupaten Klaten Perspektif Sadd Ad-dzariah." MISYKAT: Jurnal Ilmu-ilmu Al-Quran, Hadist, Syari'ah dan Tarbiyah 5.2 (2020), 102

25 Jamaluddin dan Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan, (Sulawesi: Unimal Press, 2016), 17-18

Selanjutnya dijelaskan juga dalam KHI, pengertian perkawinan dan tujuannya dalam pasal 2 dan 3 yaitu bahwasanya sebuah pernikahan adalah mitsaqan ghalizan dalam rangka menaati perintah Allah dan menjalankannya bernilai ibadah serta pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.26

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasanya pernikahan adalah menghalalkan hubungan badan atau persetubuhan antara laki dan perempuan ataupun jenis kelamin yang berbeda dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal dan meneruskan keturunan sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT.

b. Syarat, Rukun, Dan Tujuan Nikah

Dalam islam sendiri ada Syarat dan rukun nikah yang harus dipenuhi oleh calon mempelai agar pernikahan tersebut sah.

1) Syarat Nikah

Syarat-syarat yang harus dipenuhi Calon Pengantin Laki- laki dan Calon Pengantin Perempuan untuk melakukan sebuah pernikahan yaitu sebagai berikut:

a) Syarat bagi pengantin laki-laki yaitu islam, ridha terhadap pernikahan tersebut, orangnya jelas, tidak ada halangan syara‟

seperti tidak sedang ihram haji atau umrah. Berdasarkan pendapat hanafiyyah baligh dan berakal bukan syarat sah-nya

26Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), 7

nikah, akan tetapi syarat sahnya akad nikah, sedangkan syarat sahnya nikah hanya mumayyiz.

b) Syarat pengantin wanita yaitu rida terhadap pernikahan tersebut, islam, orangnya jelas, tidak ada halangan syar‟i untuk dinikahi, baik bersifat muabbad (selamanya) karena mahram, ataupun muaqqat (sementara) misalnya masih terikat pernikahan dengan orang lain.27

Berdasarkan penjelasan syarat-syarat nikah diatas sebuah pernikahan tidak dapat dijalankan apabila adanya halangan syara‟.

Halangan syara‟ ini terbagi dua yaitu halangan selamanya dan halangan sementara.

a. Halangan Selamanya 1) Adanya pertalian darah

2) Adanya pertalian keluarga karena perkawinan (musaharah) yang haram dinikahi selamanya atau biasa disebut pertalian semenda

3) Adanya pertalian susuan 28 b. Halangan Sementara

a. Perempuan yang telah ditalak tiga, sampai ia menikah dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan suami istri dengan suami barunya serta selesai menjalankan masa

„iddah-nya.

27Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat, (Tanggerang: Tira Smart, 2019), 9

28 Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat, (Tanggerang: Tira Smart, 2019), 43-50

b. Perempuan yang sedang terikat pada sebuah pernikahan atau sedang dalam masa „iddah.

c. Menikahi wanita musyrik

d. Menghimpun atau mengumpulkan dua orang bersaudara atau yang memilki hubungan mahram seperti bibi dengan keponakan

e. Menikahi lebih dari empat orang perempuan.29 2) Rukun Nikah

Rukun Pernikahan dijelskan dalam KHI dalam pasal 14 yaitu sebagai berikut:

a. Calon Suami;

b. Calon Istri;

c. Wali Nikah;

d. Dua Orang Saksi;

e. Ijab dan qobul.30 3) Tujuan Nikah

a. Memelihara Gen manusia. adanya pernikahan dimaksudkan agar terpeliharanya keberlangsungan gen manusia dari masa ke masa;

b. Membentuk tiang yang paling teguh dan kokoh. adanya pernikahan manusia memiliki hak-hak dan kewajiban yang

29 Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat, 55-58

30 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Permata Press, 2003), 5

sakral dan religius, sehingga seseorang tersebut akan merasa ada ikatan suci yang membuat tinggi sifat kemanusiaannya;

c. Perisai diri manusia. Pernikahan dapat menjauhkan manusia ke dalam hal-hal yang diharamkan oleh Allah;

d. Melawan hawa nafsu. Pernikahan ini dapat menyalurkan nafsu manusia menjadi terpelihara dan memberikan maslahat kepada orang lain serta menjalankan hak-hak istri dan anak dan mendidiknya;31

2. Maqasid Syari'ah Dalam Pandangan Jaseer Auda a. Pengertian Maqasid Syari'ah

Kata "Maqsid" jamak dari Maqasid yaitu memiliki makna Tujuan , sasaran, prinsip, ataupun hal yang diminati. Kemudian mengenai pengertian Syari'ah , Imam Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa " Syariat bangunan dasarnya , diletakkan atas hikmah dan kesejahteraan manusia, pada dunia ini dan akhirat nantinya. Oleh karenanya, jika terdapat suatu aturan (yang mengatasnamakan syariat) yang mengantikan keadilan dengan ketidakadilan, rahmat dan lawannya, maslahat umum dengan mafsadat, ataupun hikmah dengan omong kosong, maka aturan itu tidak termasuk syariat, sekalipun diklaim demikian menurut beberapa interpretasi". Jika disatukan Maqasid syari'ah memiliki makna yaitu seperangkat tujuan hukum islam yang terbentuk dari keadilan dan kemaslahatan masyarakat,

31 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: AMZAH, 2018), 39-41

bukanlah peraturan yang mengakibatkan timbulnya kerusakan pada tatanan sosial. Maqasid Syariah yang digagas oleh Jasser Auda bukanlah suatu hal yang baru, Maqasid Syari'ah ini sudah ada sejak abad ke-3 dari karya Imam Turmudzi dengan al-salah wa Maqasiduhu.32

Kajian hukum islam Klasik menyatakan bahwasanya Maqasid dibagi menjadi tiga, yaitu ad-daruriyat (Tujuan Primer), al-hajiyat (Tujuan Sekunder) dan at-tahsiniyat (Tujuan tersier). ad-daruriyat disini merupakan tujuan yang harus ada, ketiadaanya dapat mengakibatkan hancurnya kehidupan, seperti dalam islam mewajibkan beribadah untuk menyelamatkan jiwa. Al-hajiyat yaitu kebutuhan manusia untuk mempermudah kepentinganad-daruriyat seperti memberikan fasilitas-fasilitas untuk ibadah shalat yaitu masjid atau mushola. At-tahsiniyat yaitu sesuatu yang kehadirannya bukan hal yang dibutuhkan namun dapat memperindah kepentingan daruriyat dan hajiyat, seperti memperindah masjid dengan memberikan kubah model kairo, istanbul ataupun jakarta.

Kemudian teori Maqasid Syari'ah ini dikembangkan oleh Jasser Auda dalam karyanya yang berjudul Maqasid al-shari'ah as philosophy of islamic law: a system Approach yang ingin mengubah paradigma lama tertutupnya pintu ijtihad.33

32 Retna Gumanti, “ Maqasid Al-Syari‟ah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem dalam Hukum Islam), Jurnal Al-Himayah, Vol. 2 (1), Maret 2018, 100-101

33 Retna Gumanti, “ Maqasid Al-Syari‟ah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem dalam Hukum Islam), 103-104

Jasser Auda dalam pemikirannya menempatkan Maqasid Syari‟ah sebagai dasar atau pokok dalam menentukan hukum islam.

Dalam hal ini Jasser Auda melakukan pengembangan terhadap Maqasid ke arah kontemporer.

Tabel 2.2

Teori Maqasid Klasik ke Teori Maqasid Kontemporer No. Teori Maqasid Klasik Teori Maqasid Kontemporer 1.

Hifzun Nasli (Perlindungan Keturunan)

Lebih Mengarah ke perlindungan Keluarga

2. Hifzul Aqli (Perlindungan Akal)

Mengembangkan pikiran ilmiah 3. Hifzul Irdi (Perlindungan

Kehormatan)

Menjaga serta Memberikan Perlindungan terhadap Harkat dan Martabat Manusia dan HAM 4. Hifzuddin (Perlindungan

Agama)

Menjaga , Melindungi, dan

menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan

5. Hifzulmali (Perlindungan Harta)

Kepedulian sosial Terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia.

b. Teori Sistem Jasser Auda

Jasser Auda juga menggunakan enam fitur pendekatan sistem sebagai pisau analisisnya yaitu sebagai berikut:

1) Fitur Kognitif

Fitur Kognitif adalah memisahkan wahyu atau fikih dari kognisinya (pemahaman rasio). Dalam hal ini yaitu antara adat/tradisi dengan rasionalitas fuqaha‟. 34para ulama fiqh dan mutakallim bersepakat bahwasanya Allah tidak boleh disebut

34 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari‟ah, Terj. Rosidin dan Ali Abd el-Mu‟in (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), 12

Faqih, hal ini dikarenakan tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya.

Fiqh merupakan hasil kognisi (nalar) dari manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan masih ada kelemahan dan kekurangan.

Selanjutnya ulama membagi pendapat yang dihasilkan oleh nalar menjadi 3 bagian yaitu: pasti benar, pasti salah, serta kemungkinan salah dan benar. Sehingga yang jelas bertentangan dengan Al- Qur‟an dan Sunnah harus ditolak dan apabila mengandung kemungkinan, oleh banyak ulama dibenarkan mengamalkannya dalam keadaan mendesak. Fiqh yang dimaksud disini adalah masih membutuhkan perbaikan dan kritik perdebatan menuju yang lebih baik.35

2) Fitur Kemenyeluruhan

Fitur Kemenyeluruhan adalah pembenahan kelemahan pada ushul fiqh klasik yang seringkali menggunakan pendekatan reduksionis dan atomistik. Pendekatakan atomistik ini dilihat dari pengambilan sikap dalam menyelesaikan suatu kasus-kasus yang dihadapi dengan mengandalkan satu nas. Solusi yang disarankan disini adalah menetapkan sistem holisme melalui operasionalisasi tafsir tematik, yang mana tidak hanya terbatas pada ayat-ayat hukum, akan tetapi menjadikan seluruh ayat Al-Qur‟an sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan hukum islam.

3) Fitur Keterbukaan

35 Pendapat Jasser Auda dalam Jurnal, Syukur Prihantoro, “ Maqasid Al-Syari‟ah Dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah Upaya Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem)”, Jurnal At-Tafkir, Vol. 10 (1), Juni 2017, 125

Fitur Keterbukaan adalah Sistem yang harus memelihara atau memupuk keterbukaan dan pembaharuan diri sehingga dapat hidup dan berkembang sampai jangkauan tradisi atau adat kebiasaan ('Urf). Maka 'Urf pada saat ini haruslah ditekankan pada pandangan dunia dan wawasan seorang faqih, akan tetapi pandangan dunia ini haruslah kompeten yang dibangun diatas basis ilmiah. Sehingga ada dua implikasi yang didapat dari reformasi hukum islam ini yaitu mengurangi literalisme dalam hukum islam dan menjadikan sistem islam lebih maju pada ilmu-ilmu alam, sosial, dan budaya.

4) Fitur Hierarki-saling berkaitan

Jasser Auda melakukan perbaikan pada maqasid syari‟ah, adapun perbaikan yang dimaksud adalah yang pertama menjadikan jangkauan maqasid yang bersifat lebih umum dengan membagi menjadi tiga bagian yaitu 1. Maqasid Ammah (maqasid keadilan, persamaan, dan toleransi yang termasuk ke dalam nilai dlaruriyat).

2. Maqasid khassah ( maqasid yang mencakup maslahah suatu persoalan ke dalam bab ilmu). 3. Maqasid Juz‟iyyah (maslahah terkait tentang hikmah yang didapat dari sebuah nas). Ketiga bagian tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya (non- partikular). Sehingga konsep Jasser Auda ini dapat menjangkau pada cakupan masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia dunia.

5) Fitur multi-dimensionalitas

Yang dimaksud dengan multi-dimensionalitas adalah mengkombinasikasikan melalui pendekatan Maqasid, dengan menawarkan solusi atas dilema dalil-dalil yang bertentangan.36 Prinsip yang dimaksud disini adalah untuk memberikan kritik pada akar pemikiran binnary opposition dalam hukum islam. Sehingga perbedaan dalam hadits yang berkaitan dengan 'Urf harus dilihat dari sudut pandang maqasid of universality of law.37

6) Fitur kebermaksudan

Fitur kebermaksudan adalah ditujukan kepada sumber- sumber utama yaitu Al-Qur‟an dan Hadits dan ditujukan kepada sumber-sumber rasional yaitu Qiyas, Istihsan, dan lain-lain.38 Adapun maqasid syari‟ah merupakan suatu hal yang paling mendasar pada suatu sistem hukum islam. Hal ini dikarenakan maqasid syari‟ah harus disesuaikan pada teks Al-Qur‟an dan Hadits, bukan hanya pada pemikiran para faqih. Perwujudan maqasid syari‟ah menjadi tolak ukur dari validitasi setiap ijtihad, tanpa menghubungkannya pada kecondongan suatu mazhab

36 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari‟ah, Terj. Rosidin dan Ali Abd el-Mu‟in (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), 13

37Pendapat Jasser Auda dalam Jurnal, Syukur Prihantoro, “ Maqasid Al-Syari‟ah Dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah Upaya Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem)”, Jurnal At-Tafkir, Vol. 10 (1), Juni 2017, 129

38 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari‟ah, Tej. Rosidin dan Ali Abd el-Mu‟in (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), 14

tertentu. Adapun tujuan penetapan hukum islam dikembalikan pada kemashlahatan masyarakat sekitarnya.39

Dapat disimpulkan bahwasanya konsep Maqasid Syari'ah jaser auda adalah berdasarkan rumusan konvensional membutuhkan pengembangan yeng lebih mempresentasikan keterbukan sistem hukum.

Keterbukaan sistem hukum disini jaser auda mengadopsi dari metode dan prinsip yang terdapat dalam suatu teori sistem dan sains kognitif yang kemudian digunakan dalam dikursus hukum islam yang memuat beberapa hal yaitu watak kognitif sistem, kemenyeluruhan, keterbukaan, hierarki saling mempengaruhi, multidimensionalitas, dan kebermaksudan. Jaser auda membedakan antara 'Urf dan syariat, yang pertama disebutkan bersifat manusiawi dan yang kedua bersifat ilahi. Suatu pembentukan hukum dapat merujuk pada 'Urf karena pada dasarnya 'Urf berdasarkan pertimbangan maqasid syari‟ah. Maksudnya disini adalah bahwasanya maqasid menjadi sumber rujukan 'Urf dalam pembentukan fikih, meskipun 'Urf bukan sumber hukum yang diwahyukan.40 Menurut jaser auda maqasid syariah adalah tujuan yang utama dibalik penetapan syariat.

Maqasid yang dimaksud disini adalah prinsip-prinsip yang menyediakan jawaban terkait pertanyaan tentang hukum islam. Mengenai reformasi maqasid tradisional ke maqasid kontemporer bahwasanya maqasid tradisional hanya menitikberatkan pada pelestarian dan penjagaan saja.

39 Pendapat Jasser Auda dalam Jurnal, Syukur Prihantoro, “ Maqasid Al-Syari‟ah Dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah Upaya Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem)”, Jurnal At-Tafkir, Vol. 10 (1), Juni 2017, 129

40Khairul Amri, “Kedudukan 'Urf Dalam Proses Pembentukan Fikih:Studi Pemikiran Jasser Auda” (Skripsi, UIN Sunan Kalijogo Yoyakarta, 2019), 116

Namun dengan adanya reformasi ini maqasid yang dulunya hanya penjagaan dan pelestarian, menjadi menuju maqasid yang bernuansa pengembangan dan memuliakan hak asasi manusia.41

41Hilmy Pratomo, “ Peran Teori Maqasid Syari‟ah Kontemporer Dalam Pengembangan Sistem Penafsiran Al-Qur‟an”,Jurnal Al-Mu‟asirah, Vol. 16, No. 1 (Januari 2019): 109.

Dokumen terkait