BAB IV HASIL PENGEMBANGAN DAN PEMBAHASAN 49
E. Spesifikasi Produk
5. Kearifan Local (Local wisdom)
Rahyono (Fajarani 2014) berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan nilai- nilai khas pada satu kultur masyarakat dan biasanya tidak dimiliki oleh kelompok lain karena lahir dan berkembang murni dari kelompok itu sendiri serta menjadi ciri khas baik berupa ide, aktivitas sosial, peninggalan dalam bentuk fisik, dan lain-lain.
Sedangkan menurut Isiawati (2016) kearifan lokal juga dapat dimaknai sebagai pemikiran tentang kehidupan. Pemikiran tersebut didasari oleh akal jernih, sikap baik dan hal-hal positif di dalamnya.
Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa manusia semakin berbudi luhur. Mengacu kepada definisi-definisi di atas, maka kearifan lokal Bugis dapat disimpulkan sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang tumbuh di dalam budaya masyarakat bugis setempat.
Masyarakat bugis menurut ahli Anthropologi budaya bugis Leonard (Rizani 2020) apabila seseorang dikenal ataupun belum dikenal datang bertamu kerumah orang Bugis dan dijamu oleh tuan rumah, maka tuan rumah akan mengatakan bahwa anda sudah meminum air dirumahku maka secara tidak langsung kita telah mengikat persaudaraan. Dari hal tersebut dapat kita simpulkan dari ahli budaya bugis Leonard bahwasannya suku Bugis memiliki persaudaraan yang begitu tinggi.
a) Budaya 3S
1) Budaya Sipakatau (saling memanusiakan)
Inilah dasar yang melandasai seluruh adap sopan santun kita sebagai manusia, seharusnya saling memanusaiakan dengan manusia lainnya, apapun
latarbelakangnya. Sebagaimana tertera pada falsafah bugis tentang manusia dalam bahasa bugis (Tau) sebagai berikut, Rizani (2020):
Sipakatauwwi tauwe nasaba taumi
(Manusia saling memanusaiakan karena ia manusia) Sipakalebbi tauwe nasaba tauwi ancajingenna
(Manusia saling memuliakan, karena dari manusia asal kejadiannya)
Nasaba akkatauwanna (Sebab kemanusiaannya)
Sitanrereangngi tauwe siri’na, nasaba gau sipakatau (Manusia saling mendukung karena siri’nya. Karena perbuatan
saling memanusaiakan)
Nae rekkuwa tauwe nawelaiwi sipakataue
(Apabila manusia sudah meninggal saling memanusiakan) Pasilaingngi tauwe ripura onrona
(Yang membedakan manusia pada tempatnya)
Nasaba pangissengenna
(Perbedaan itu karena pengetahuannya)
Patanrei alebbirenna tauwe (Tinggikanlah kemuliaan manusia)
Nasaba akkaleng madacengna (Sebab akal baiknya)
Campu’ni koritu siassakkarenna appakatauwangnge (Maka muncullah saling menyangkal arti kemanusiaan)
Pribahasa di atas merupakan prinsip orang bugis yang disebut ‘Siri’ dikutip dari buku berjudul Pawalung. Karena itu perilaku sopan santun harus selalu mencermin sifat yang terkandung dalam falsafah ‘Siri’. Manusia dalam bahasa bugis adalah (Tau) memiliki pandangan bahwasannya manusia jangan dilihat sebatas raganya saja tapi lebih dalam dari itu.
Dapat disimpulkan bahwasannya jika manusia tidak saling memanusiakan, maka tidak ada bedanya dengan sikap seperti binatang yang hanya melihat ras dan kekuasaan.
Memanusiakan manusia berararti senantiasa menghargai dan menghormati harkat dan manusia lainnya. Memanusiakan manusia ialah tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti. Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antar sesama manusia dengan memberikan rasa percaya, hormat, kedamaian dan kesejahteraan hidup. Sikap yang tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendahkan harga diri kita. Sifat Sipakatau juga sejalan dengan HAM (Hak Asasi Manusia) dikarenakan membuat manusia sadar akan jadi dirinya.
Rizani (2020) berpendapat, kelebihan manusia adalah akal budinya, tetapi juga memiliki kekurangan, maksudanya yaitu seseorang berbeda dengan satu sama lain.
Naba naccekkengi gauk olo kolo’
(Sebab sudah ditunggai perbuatan binatang) Lenynyei gau sipakatauwe
(Maka hilanglah perbuatan saling memanusiakan)
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kita harus saling menghormati sesama tanpa melihat dia miskin/kaya, fisik sempurna/tidak atau dalam keadaan apapun.
Sipakatau dalam suku bugis berguna menjaga budaya dalam kehidupan, bermasyarakat dan berbangsa, pada dasarnya berasal dari prinsip hidup ‘Siri’ dan
‘Passe’ yang menunjukan ia harus patuh dan taat pada 1) Hukum, 2) Peradaban, 3) Selalu menjaga diri dari sikap etika dan moral. Pada prinsipnya ‘Siri’ dan
‘Passe’ bagi setiap manusia bugis dituntun untuk selalu menegakkan harga diri dan kehormatan baik bagi dirinya, keluarganya, serta bangsanya Rizani (2020).
Bagi orang Bugis ‘Siri’ dalam adat sopan santun tidak boleh asal berkata, dan asal bicara. Sebab kata-kata yang sudah keluar dari mulut bukan lagi milik kita, orang bugis tidak boleh asal mengeluarkan pendapat yang tidak bermakna. Dalam hal ini masalah bicara pada umumnya orang bugis tidak banyak bicara (pendiam), meraka lebih baik diam daripada membicarakan sesuatu yang tidak berguna.
Nilai-nilai dari Sipakatau ada 4 yaitu;
1). Sifat Jujur (Lempu), jika bersalah atau dipersalahkan, dia minta maaf.
2). Cerdas (Acca), yaitu mampu melihat dan memahami kemungkinan akibat yang akan terjadi dari suatu perbuatan atau tindakan yang akan diambilnya.
3). Berani (Warani) maksudnya berani mengambil tindakan untuk mempertahankan dan membela kehormatan.
4). Tegas (Gatteng) yaitu berani mengambil keputusan dengan cepat.
Makna dari Sipakatu bahwa apa dalam diri kita, sama dengan apa yang ada pada diri manusia lainnya, sehingga hal ini dapat melahirkan suatu persaudaraan sejati. Maka hal ini kita harus senantiasa memanusiakan manusia dalam menjalani
kehidupan sehari-hari tanpa memandang apapun untuk saling menghargai, saling menolong, bertutur kata yang baik dan saling mencintai.
2) Budaya Sipakalebbi’ (Saling memuliakan)
Dalam interaksi kita sehari-hari antar sesama manusia harus saling memuliakan. Makna Sipakalebbi’ menurut Rizani (2020) dalam hubungan interaksi antara manusia dengan manusia lainnya tidaklah sekedar adap sopan santun, tapi lebih dari itu, sebab Sipakalebbi’ melahirkan sikap kemulian yang didapat dari kita saling memuliakan manusia.
Sipakalebbi’ berasal dari kata ‘Lebbi’ dalam bahasa bugisnya artinya: lebih, juga berarti: mulia. Dua makna ini saling menerangkan yaitu manusia baru dianggap memiliki kelebihan, kalau ia memiliki sifat mulia atau manusia baru dianggap memiliki kelebihan dari manusia lainnya seperti; Sopan dalam berperilaku, santun dalam bertutur kata, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, disamping itu memiliki sikap jujur, memilii ilmu pengetahuan yang cukup memadai, memiliki jiwa yang tegas dan berani. Dalam tradisi adat orang bugis, makna kemuliaan itu tidak dapat dinilai dari kekayaan, keturunan dan kebangsawanan, nama gelar, jabatan maupun status, yang akan membuat serta merta orang dimuliakan, disenangi, dicintai oleh orang-orang sekitar, Rizani (2020).
Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasannya kemulian itu bisa didapatkan dengan kita senantiasa bertutur kata yang sopan dan santun dalam tindakan dan tidak dapat dari gelar, ststus sosial ataupun jabatan.
Orang bugis menjaga adap sopan santun dalama budaya Sipakalebbi’ yaitu dengan memperbaiki cara bicara agar tidak melukai hati, memperbaiki tingkah laku, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh (sombong), tidak melebihi. Dalam hal ini senantiasa menjaga tutur katanya, tahu diri, lihat diri, berbuat berdasarkan kepatutan dan tidak dihinakan oleh kepelitan, tidak bangkrut karena boros.
3) Budaya Sipkainge’
Sipakainge’ Merupakan arti dari mengingatkan. Dalam budaya bugis pentingnya saling mengingatkan. Sipakainge', merupakan sifat saling mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri dari manusia yaitu, memiliki kekurangan. Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka bumi ini. Budaya Sipakainge’
hadir sebagai penuntun bagi masyarakat bugis untuk saling mengingatkan satu samalain. Sipakainge’ ini diperlukan dalam kehidupan untuk memberikan masukan baik berupa kritik dan saran satusama lain. Mengingat manusia tidak terlepas dari kekhilafan dan dosa sehingga sebagai manusia yang hidup dalam struktur masyarakat diharapakan saling mengingatkan ketika melakukan tindakan yang di luar norma dan etika yang ada. Kritik dan saran ini tentunya dibutuhkan untuk melakukan perbaikan atas kesalahan dan kekurangan yang dilakukan (Razak, 2015).
Adab-adab menginatkanpun tidak terlepas dari pegangan orang bugis yaitu dalam mengingatkan harus;
a) tulus
b) mendahulukan prasangka baik
c) pada waktu dan tempat yang tepat
d) bijak dan lemah lembut saat kita mengingatkan
Diantara sifat Sipakainge’ terdapat pula aplikasi diantaranya ‘Rebba sipatokkong’ artinya tolong menolong dalam hal berintraksi dalam lingkungan.
Dalam hal demikian orang bugis juga harus bisa senantiasa mengingatkan dirinya (intropeksi diri) juga agar bisa tahu diri, tentang kapasitas diri dan kemampuannya sehingga tidak serta merta berperilaku diluar kapasitasnya Rizani (2020).
Dalam adat istiadat orang bugis, salah satu unsur untuk saling mengingatkan agar manusia tidak terjerumus kedalam hal-hal tercela yang dapat menghilangkan kehormatan seseorang. Secara tidak langsung sifat Sipakainge’
yaitu ‘Rebba sipatokkong’ berdampak pula pada penanggulangan kemiskinan, kebodohan, pengangguran yang sangat berbahaya dalam masyarakat, karena dapat membawa seseorang melakukan kejahatan, yaitu mencuri, memajak, membegal dst. Sehingga menyalahi norma-norma hukum.
Rizani (2020) mengatakan Sipakainge’ adalah sebuah nasehat yang bertujuan menyadarkan atau mendidik seseorang dengan memberikan peringatan berdasarkan kebenaran dengan maksud dan tujuan yang baik.
Karena itu nasehat selalu bersifat mendidik. Namun dalam realitanya sebuah nasehat sering bersifat relatif, bergantung standar yang digunakan oleh penasehat maupun yang dinasehati.
Bagan 2.3 Skema Kerangka Pikir