kenyamanan dan ketenangan tapi juga mampu menghadirkan keresahan yang luar biasa.
Istilah kecerdasan emosi (emotional intelligence-EI) muncul dan terkenal sejak Daniel Goleman menerbitkan bukunya Emotional Intelligence, pada tahun 1995. Menurutnya, kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri.51 Kecerdasan emosi memberi kita kesadaran akan perasaan sendiri dan perasaan orang lain. Emotional Intelligence juga mengajarkan dan menanamkan rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat.
Daniel Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional mengandung beberapa pengertian. Pertama, kecerdasan emosi tidak hanya bersikap ramah. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah, melainkan misalnya sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkap kebenaran yang selama ini dihadapi. Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa memanjakan perasaan, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama.52 Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengelola, mengendalikan, menetralisir potensi emosi dalam hati manusia, sehingga sisi positifnya selalu berada di permukaan dan sisi negatifnya selalu terkendali dan dinetralisir.
51 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, Kecerdasan Emosional (Cet. XX; Jakarta: Gramedia, 2015), h. xiii.
52 Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence, terj. Alex Tri Kantjono Widodo, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, h. 9
Kecerdasan emosi dapat diartikan dengan kemampuan untuk
“menjinakkan” emosi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi sehingga yang bersangkutan dapat menjadi rasional di suatu saat dan menjadi tidak begitu rasional pada saat yang lain. Dengan demikian emosi mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Tidak semua orang dapat memberikan respon yang sama terhadap kecenderungan emosinya. Seseorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.53
2. Fungsi kecerdasan emosi
Memuncaknya emosi berlangsung amat singkat, hanya dalam hitungan detik. Ekspresi emosi mulai muncul dalam perubahan otot wajah dalam waktu sepersekian ribu detik setelah peristiwa pemicu reaksi. Perubahan fisiologis yang khas pada emosi tertentu (seperti berhentinya aliran darah dan meningkatnya detak jantung) juga hanya membutuhkan waktu sepersekian ribu detik untuk terjadi. Kecepatan ini terutama berlaku bagi emosi hebat, seperti rasa takut terhadap ancaman mendadak, merasa sangat terhina dan sebagainya.
Pikiran emosional bisa juga muncul mendahului atau serempak dengan pikiran rasional. Ini terjadi, misalnya, dalam tindakan penyelamatan diri saat darurat, timbulnya rasa cinta, rasa benci dan sebagainya. “Kita tidak bisa memilih emosi yang melanda kita”.54 Kemunculan pikiran emosional dapat juga diundang, misalnya, jika secara sengaja mengenang saat menyakitkan, datanglah perasaan sedih
53 Nazaruddin Umar, Pengantar, dalam buku M. Darwis Hude, Emosi:
Penjelajahan ReligioPsikologis tentang Emosi Manusia di dalam al Quran (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006), h. ix.
54 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, Kecerdasan Emosional, h. 7
sehingga air mata menetes. Demikian pula jika secara sengaja mengingat kenangan bahagia, datanglah rasa senang.
Kecerdasan emosional dalam menopang kelangsungan dan kesuksesan manusia dalam menjalani tugas semakin penting. Peran IQ dalam keberhasilan manusia dalam menjalani tugas semakin penting.
Peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua setelah kecerdasan emosional dalam menentukan peralihan prestasi puncak dalam pekerjaan.55
Tingkat kecerdasan emosional yang baik dari seseroang dapat membuktikan sikap saling memahami dan saling pengertian antara semua komponen organisasi dalam bekerja sama, serta hubungan interaksi sumber daya manusia terhadap pelaksanaan tugas dalam organisasi dapat tercipta lebih harmonis.
Dengan demikian, kesuksesan hidup secara idealnya terdukung tidak hanya kecerdasan rasio, melainkan juga oleh kecerdasan emosi.
Tentu dua kecerdasan ini pun sia-sia jika kesehatan fisik terabaikan.
Karena itu, kesehatan jasmani juga menjadi landasan bagi kedua kecerdasan tersebut. Namun demikian kecerdasan emosi dalam banyak hal lebih menentukan sukses-tidaknya seseorang. Seorang pemburu eksekutif di kawasan Amerika Latin dari kantor perwakilan Egon Zehnder International di Buenes Aires, Claudio Fernandez Araoz, membandingkan 227 eksekutif yang sangat sukses dengan 23 lainnya yang gagal dalam pekerjaan mereka.56 Ia menemukan bahwa manajer yang gagal hampir selalu mempunyai keahlian dan kecerdasan rasio yang sangat tinggi dalam bidang mereka. Kelemahan fatal mereka
55 H. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003), h. 51.
56 Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence, terj. Alex Tri Kantjono Widodo, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, h. 41.
dalam setiap kasus yang dijumpai adalah lemahnya kecerdasan emosi.
Mereka bersikap sombong, terlalu mengandalkan otak, tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang terkadang berubah, dan meremehkan kerja sama tim.57
Uraian Goleman tentang hal ini layak disimak. Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan penyebab orang yang cerdas rasio justru gagal dalam pekerjaannya.
Seorang insinyur muda yang lulus dengan nilai A dalam semua ujian, melamar ke sebuah perusahaan bidang teknik lingkungan dan diterima. Tidak lama kemudian, ia dipecat. Mengapa? “Ia cemerlang dalam pekerjaan”, tutur manajer perusahaan. Tetapi ia tidak bisa diarahkan. Ketika supervisor memberi tahu cara membuat sebuah rancangan, ia mengerjakannya dengan cara sendiri. Ketika supervisor menunjukkan bahwa rancangannya tidak sesuai dengan spesifikasi, ia melawan. Ia tidak bisa menerima kritik, ia menganggapnya sebagai serangan pribadi. “ ketika Insinyur lain membutuhkan bantuan, ia langsung menolak dengan alasan terlalu sibuk dengan bagiannya dalam proyek yang sama. Ia menciptakan kebencian yang luar biasa, sehingga ketika betulbetul memerlukan bantuan, tidak seorang pun mau menolongnya.58
Goleman, dalam penelitiannya, menemukan bahwa 67 persen atau sekitar dua pertiga kemampuan yang dipersyaratkan untuk kinerja efektif adalah kecerdasan emosi. Karena itu Goleman menegaskan,
“Compared to IQ and expertise, emotional competence mattered twice a much. This held true across all categories of jobs, and in all kind of
57 Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence, terj. Alex Tri Kantjono Widodo, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, h. 65-66.
58 Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence, terj. Alex Tri Kantjono Widodo, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, h. 67.
organitations” (“Dibandingkan dengan IQ dan keahlian, kecakapan emosi berperan dua kali lebih besar. Ini berlaku untuk semua kategori pekerjaan dan dalam setiap bentuk organisasi”).59
Sampai di sini bisa diambil kesimpulan, bahwa orang yang cerdas rasio tetapi tidak cerdas emosi lebih banyak menunjuk kegagalan daripada gagalnya seseorang. Tentu saja orang gagal itu mungkin secara teori telah mengetahui kecerdasan emosi, tetapi pengetahuannya tersebut belum menjadi kecakapan.
3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi
Menurut Daniel Goleman bahwa penelitian mengenainya telah berumur hampir seratus tahun atas ratusan ribu orang, kecerdasan emosional merupakan konsep baru. Data yang ada mengisyaratkan kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya, dan terkadang lebih ampuh daripada kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient).60 Kemampuan seseorang memotivasi diri sendiri merupakan suatu daya yang sangat penting dalam kehidupan. Ia berangkat dari pikiran- pikiran positif yang melahirkan mimpi-mimpi yang siap untuk diwujudkan, sepanjang mimpi-mimpi terebut dalam batas yang memungkinkan tercapai, sekalipun harus dengan kerja keras.
Menurut Goleman, emotional competence (kecakapan emosional) memiliki 5 wilayah kerja. Pertama, kesadaran diri (self awareness).
Dengan kecakapan ini seseorang mampu mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya dan intuisi. Termasuk dalam kecakapan ini adalah kemampuan untuk mengetahui kekuatan dan
59 Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence, terj. Alex Tri Kantjono Widodo, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, h. 31.
60 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, Kecerdasan Emosional , h. 45.
batas-batas diri serta keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.
Kedua, pengaturan diri (self-regulation). Kecakapan ini membuat seseorang mampu mengelola kondisi, impuls, dan sumber daya diri sendiri. Termasuk dalam kecakapan ini adalah kendali diri, sifat dapat dipercaya, kewaspadaan, kemampuan beradaptasi dan inovasi.
Ketiga, motivasi (motivation). Kecakapan ini membuat seseorang mampu memosisikan emosinya untuk mengantarkan atau memudahkan peralihan sasaran. Termasuk dalam kecakapan ini adalah dorongan prestasi, komitmen, inisiatif dan optimisme.
Keempat, empati (empathy). Kecakapan ini membuat seseorang mempunyai kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain. Termasuk dalam kecakapan ini adalah memahami orang lain, orientasi pelayanan, mengembangkan orang lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis dalam arti membaca arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.
Kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Kegagalan dalam mendata perasaan orang lain merupakan kekurangan utama kecerdasan emosional, karena setiap hubungan merupakan akar kepedulian yang berasal dari penyesuaian emosional dari kemampuan berempati. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca bahasa non-verbal; nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan sebagainya.
Kelima, keterampilan sosial (social-skills). Kecakapan ini membuat seseorang pintar dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain. Termasuk dalam kecakapan ini adalah kemampuan mempengaruhi, komunikasi, 28 kepemimpinan,
katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan kooperasi, serta kemampuan tim (team competence).61 Kecerdasan emosional yang tinggi membuat seseorang dapat mengalami berbagai perasaan secara penuh, ketika perasaan itu muncul dan benar-benar membuat seseorang mengenal dirinya.
Membantu siapapun menunjukkan pengertian, empati, penyesuaian diri, dan pengendalian diri.62 Secara umum ciri-ciri kecerdasan emosional ini dapat dilihat pada kemampuan seseorang untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa.