• Tidak ada hasil yang ditemukan

نإ

F. Kerangka Teoritik

Sesungguhnya Al-Qur‟anadalah kitab petunjuk bagi manusia. Al- Qur‟anditurunkan untuk membuka lebar-lebar pikiran manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Al Qur'an mengajak manusia untuk berfikir tentang kekuasaan Allah swt di langit, di bumi dan pada diri mereka sehingga melahirkan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Swt. Al-Qur‟anmemuat petunjuk mengenai apa yang dikehendaki Allah Swt. karenanya manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendaki-Nya, itu demi meraih kebahagiaan hakiki di akherat, harus memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut, yang mana manfaat petunjukpetunjuk tersebut

35Saidah, Telaah Kisah Luqman Dalam Al-Qur‟an Menurut Al-Maraghi, Konsentrasi Ulum Al-Qur‟an Dan Ulum Al-Hadis Program Studi Ilmu Agama Pasca Sarjana, Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, 2005M/1426 H

22

tidak hanya terbatas di akherat kelak, tapi juga menjamin kebahagiaan manusia di dunia ini. Upaya memahami maksud firman-firman Allah swt.

itu sesuai dengan kemampuan manusia itulah yang disebut tafsir.36

Dalam sejarah perkembangan Tafsir diketahui bahwa penafsiran Al- Qur‟anmengalami perkembangan, diawali periode penafsiran Rasul Saw.

Sahabat dantabi‟în yang dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsîr bi al-Ma‟tsûr. Selanjutnya setelah berakhir masa tabi'în, sekitar tahun 150 H. Dimulai periode baru yang sejalan dengan laju perkembangan masyarakat menuntut bertambahnya porsi akal atau ijtihad sehingga melahirkan berbagai corak penafsiran, misalnya corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corakpenafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawwuf dan sejak Muhammad Abduh (1849-1905 M) lahir corak sastra budaya kemasyarakatan.

Corak terakhir ini menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur‟anyang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkanpetunjuk ayat. Dari semangat ini lahirlah metode maudu'i sebagai pengembangan metode yang ada sebelumnya yakni metode tahlili, ijmali dan muqaran.

Metode Maudû‟i ini pada awalnya dimotori oleh Syeikh Muhammad Syaltut pada 1960 M, dalam Tafsîr Al-Qur‟an al-Azhîm, yaitu tidak lagi membahas ayat demi ayat, tapi surat demi surat atau bagian-bagian tertentu dalam satu suratkemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat pada surat tersebut. Namun, apa yang ditempuh Syaltut belum menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Qur‟an dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena suatu masalah tertentu dapat ditemukan dalam berbagai surat. Kenyatan ini menimbulkan ide untuk menghimpun semua ayat yang bicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumy pada akhir tahun enam puluhan. 37 Dengan demikian tafsir maudu'i mempunyai dua pengertian ini.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penulisan tesis ini, dijelaskan terlebih dahulu kata kunci yang terdapat dalam pembahasan ini, sekaligus penggunaan secara operasional. Pertama adalah kata

“Masyarakat Islam” yang kedua adalah kata “humanis,” dan ketiga adalah kata “Al-Qur‟an”, dalam hal ini pembahasannya lebih ditekankan pada pengembangan masyarakat Islam supaya ada sinergitas pembahasan dan lebih spesifik, sesuai pokok pembahasan, yaitu masalah pengembangan

36M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ân , (Bandung: Mizan, 2004), hal. 15

37M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân, (Bandung: Mizan, 2004) hal. 74

23 Masyarakat yang humanis. Dengan kata lain paradigma pengembangan Masyarakat Islam adalah sama dengan pengembangan masyarakat Islam yg humanis.

Pengertian masyarakat Islam menurut Ali Syar‟ati mendefinisikannya lebih senang menggunakan term ummah sebagai pengganti terminology masyarakat Islam. Baginya, ummah dipandang sebagai pengganti terminology masyarakat Islam.38 Pada bagian lain, Abdullah Nasheef menterjemahkan kata ummah dengan “bangsa atau komunitas”.39Ummah dipandang sebagai komunitas orang yang percaya kepada Tuhan yang menciptakan dan memelihara mereka. Siapapun yang percaya kepada Tuhan adalah anggota komunitas Islam.

Komunitas islam haruslah hidup menurut system Islam, ummah bukanlah suatu entitas monolitik, melainkan suatu komunitas yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku, berbagai ras dan warna kulit. Ummah adalah sebuah istilah yang dinamis dan progresif. Karenanya, ummah berbeda dengan istilah nation, yaitu kelompok masyarakat yang diikat oleh kekerabatan, kesatuan daerah dan ras. Ummah juga berbeda dengan istilah Qaum, yaitu kelompok masyarakat yang dibangun atas dasar menegakkan individu dengan berserikat, bersatu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Istilah lain yang sejenis karena mempunyai makna dan karakteristik yang berbeda pula.

Definisi umat (ummah) menurut Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, ummah adalah sebagai jama‟ah,40Ummat adalah setiap jama‟ah yang disatukan oleh suatu hal, satu agama, satu zaman, atau satu tempat, baik factor pemersatu itu dipaksakan atau berdasar atas pilihan. Umat Islam atau jama‟ah (masyarakat) Islam adalah jama‟ah yang disatukan tidak saja oleh kesamaan wilayah melainkan juga disatukan oleh dan atas dasar aqidah.

Pemahaman tentang makna dari berbagai istilah tersebut maka secara terminologis pengembangan masyarakat Islam berarti

“mentransformasikan” dan melembagakan semua segi ajaran Islam dalam kehidupan keluarga (usrah), kelompok sosial (jama‟ah), dan masyarakat (ummah). Pengertian lain, pengembangan masyarakat islam, adalah

“system tindakan nyata yang menawarkan alternatif model pemecahan

38Ali Syar‟ati, Ummah dan Imamah (Lampung: YAFI, 1990) hal. 38.

39Machendrawaty dan Agus Ahmad. Safe‟I, Pengembangan Masyarakat Islam, hal.

6.

40Husain bin Muhammad Ali Jabar, Menuju Jama‟atul Muslimin, Tela‟ah system Jama‟ah Dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 2001) hal. 52.

24

masalah ummah dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam.41

Masyarakat islam menurut Yusuf Al-Qardhawi terdapat delapan unsur yang bisa menjadi susunan anatomi masyarakat islam. Pertama: aqidah, yang merupakan pilar inti dan unsur-unsur esensial yang menjadi landasan terbentuknya individu atau masyarakat yang berkualitas secara moral, mental dan berkarakter amanah. Kedua: ibadah, baik yang bersifat ritual maupun sosial. Karakter ini merupakan manifestasi dari aqidah dalam rangka pelaksanaan syari‟at Islam. Ketiga: keterpaduan antara akal dan wahyu, antara ketentuan syariat dan tuntutan zaman, antara nilai-nilai salafi dengan pembaharuan, mengambil inspirasi actual dan meiliki sifat keterbukaan. Keempat: terciptanya rasa damai, cinta dan kasih saying yang bersifat lintas geografis dengan mewujudkan cita-cita rasa Islam dalam kehidupan kongkrit. Kelima: masyarakat yang diwarnai akhlaq karrimah, yaitu masyarakat yang penuh keadilan, kesetiaan, keberanian, toleran dan ta‟awun. Keenam: masyarakat yang menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam berbagai bentuk, yaitu ilmu, amal, kebebasan dan musyawarah, di samping itu masyarakat yang menempatkan hukum ilahi sebagai Power of Islamic Society. Ketujuh: masyarakat yang menerapkan prinsip-prinsip perekonomian Islam yang direduksi dari hukum normatif islam.

Kedelapan: masyarakat yang menempatkan seni dan budaya dalam khazanah kehidupan masyarakat islam.42

Sejumlah uraian tersebut di atas, merupakan anatomi masyarakat Islam, dapat dipandang sebagai upaya mencari tipe ideal dari masyarakat Islam. Pengembangan atau pemberdayaan masyarakat Islam yang pada akhirnya akan menyediakan sebuah ruang kepada masyarakat untuk mengadakan pilihan-pilihan dan mampu memilih dengan jelas adalah masyarakat yang mempunyai kualitas tertentu dan diharapkan mampu untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,43 dapat di jumpai istilah humanis yang berasal dari akar kata human dengan segala bentuk derivasinya, yang kesemuanya memiliki arti yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kata “human” memiliki arti: (1) bersifat manusiawi, (2) berperikemanusiaan (baik budi, luhur budi, dan sebagainya). Kata

“humanis” memiliki arti: (1) orang yang mendambakan dan

41Amrullah Ahmad, Strategy Dakwah Islam Di Tengah Era Reformasi Menuju Indonesia Baru Dalam Memasuki Abad ke 21: Makalah, IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung , 1999, hal. 9.

42Yusuf Al-Qardhawi, Anatomi Masyarakat Islam yang dikutip oleh Machendrawaty danAgus Ahmad. Safe‟I, Pengembangan., hal. 18.

43Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar BahasaIndonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 361.

25 memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan azas-azas kemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, dan (2) penganut faham yang menganggap manusia sebagai obyek yang terpenting. Kata “humanisme” (humanism: Inggris) memiliki arti: (1) aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, (2) paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting, karena paham ini menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi, sebagai sumber nilai terakhir, dan mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional serta berarti tanpa acuan pada konsep-konsep tentang adikodrati, 44 dan (3) aliran zaman renaisans yang menjadikan sastra klasik sebagai dasar seluruh peradaban manusia. Kata

“humanistik” memiliki arti: pertumbuhan rasa kemanusiaan. Adapun kata

“humanisasi” yang merupakan kata jadian, memiliki arti: penumbuhan rasa perikemanusiaan; pemanusiaan.

Dari beberapa pengertian di atas yang menunjukkan perbedaan makna dari peristilahan yang ada, terlihat bahwa kata “humanis” berasal dari kata

“human” yang mendapatkan akhiran “is”, yang memiliki arti: penganut ajaran humanisme, yaitu suatu doktrin yang menekankan kepentingan- kepentingan kemanusiaan yang ideal. Seorang humanis adalah seseorang yang selalu mendamba serta memperjuangkan sebuah kehidupan yang ideal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Humanisme sendiri, selalu diatributkan pada sebuah corak pandangan filsafat yang menempatkan manusia dalam kedudukan tempat yang khusus serta menjadikannya ukuran segala sesuatu. Dari sisi sejarah, awalnya humanisme merupakan aliran sastra, budaya, pemikiran, dan pendidikan, kemudian mengalami perkembangan dan mulai menampakkan nuansa sosial-politiknya. Karena itu, hampir semua mazhab pemikiran politik, etika, seni, sastra dan sistem-sistem politik dikuasainya. Dengan kata lain, disadari atau tidak, humanisme telah menjalar kesemua aspek kemasyarakatan tersebut, seperti komunisme, utilitarianisme, spiritualisme, individualisme, eksistensialisme, liberalisme, hingga protestantismenya Martin Luther King (Kristen Protestan).45

Dalam paradigma humanis, manusia dipandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki fitrah-fitrah tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Dan fitrah manusia ini hanya bisa dikembangkan melalui pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia. Pengembangan masyarakat humanis berorientasi pada pengembangan manusia (human people), menekankan nilai-nilai manusiawi, dan nilai-nilai kultural dalam

44Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 295

45Mahmud Rajabi, Horison Manusia, (Jakarta: al-Huda, 2006), hal. 31

26

pendidikan. Tujuan utama ini adalah kemanusiaan, yang bersifat normatif dan berkepribadian. Kepribadian yang dikembangkan adalah kepribadian yang utuh, terintegrasi dan terpadu dengan nilai sosio-kultural. Dan kepribadian itu sendiri dapat diamati dari tingkah laku dan pengalaman.

Sasaran pokok pengembangan masyarakat humanis adalah membantuk anggota keluarga, masyarakat dan warga negara baik, yang memiliki jiwa demokratis, bertanggung jawab, memiliki harga diri, kreatif, rasional, objektif, tidak berprasangka, mawas diri terhadap perubahan dan pembaharuan serta mampu memanfaatkan waktu senggang secara efektif.

Terkait dengan kata Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam. Dalam hal ini penulis mengkaji konsep humanisme dalam tinjauan Al-Qur‟anyang dilengkapi dengan kitab-kitab tafsir yang ada, serta analisa dari beberapa tokoh yang akan disesuaikan dengan tema-tema ayat yang berkaitan dengan permasalahan masyarakat IslamHumanis.

Al-Qur‟an sebagai worldview seorang muslim merupakan dasar dari humanisme Islam. Penafsiran terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang empat tema pengembangan masyarakat, dengan skala individu, keluarga, masyarakat dan negara.Dalam konteks keindonesiaan, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia yang plural, baik dalam segi agama, ras maupun budaya yang berbeda-beda.

Berangkat dari berbagai asumsi tersebut persoalan pengembangan masyarakat dengan cara manusiawi atau Humanis, semenjak dahuluhingga sekarang senantiasa dibutuhkan manusia dan akhir-akhir ini banyak di harapkanmasyarakat kita, baik dilakukan oleh orang muslim maupun nonmuslim, maka perludicarikan penjelasannya dari Al-Qur‟anmelalui metode tematik. Metode inidimungkinkan karena pembahasan mengenai pengembangan masyarakat banyak disinggung Al-Qur‟andalam banyak ayat dan tersebar dalam banyak surat.

Dalam konteks keutamaan masa kini, setidaknya ada tiga kompleks Pengembangan atau pemberdayaan yang mendesak untuk segera diatasi, yaitu, Pertama: Pemberdayaan pada matra ruhaniah, pada tataran ini di upayakan agar modal tetap terjaga dan nilai-nilai ke-Islaman masyarakat tidak terkooptasi oleh budaya negatif Barat. Kedua: Pemberdayaan intelektual, yaitu suatu upaya untuk mengejar ketertinggalan umat Islam dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga: pemberdayaan ekonomi, yaitu bekerja keras dan gigih untuk mengeluarkan umat dari kukungan kemiskinan.46

Dengan demikian, arti dari pengembangan masyarakat humanis adalah sebuah proses yang dilakukan dalam pengembangan yang berlandaskan

46Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad. Safe‟I, Pengembangan Masyarakat Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001)hal. 44.

27 ajaran Islam untuk menumbuh kembangkan rasa kemanusiaan (memanusiakan manusia) dengan mengedepankan rasa persaudaraan antar sesama muslim dan manusia sebagai makhluk Tuhan yang sama-sama mengemban amanat sebagai khalifah di muka bumi ini, yang berlandaskan kepada wahyu, akal dan hati nurani. Sehingga tercipta suatu kehidupan yang aman dan damai tanpa adanya tindak kekerasan sebagaimana misi utama Islam, sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Pengembangan masyarakat Islam yang humanis, diarahkan untuk mengungkapkan konsep tentang pengembangan masyarakat yang dapat membentuk sikap manusia dalam lingkungannya.

G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis yang digunakan untuk memperoleh data penulisan Tesis ini adalah library research, yaitu suatu riset kepustakaan atau penelitian murni.47Di mana metode ini digunakan untuk menentukan literatur yang mempunyai keterkaitan dengan pokok permasalahan di atas.Penelitian tesis ini merupakan kajian kepustakaan melalui studi dokumentasi. Sesuai dengan masalah yang akan dibahas, penelitian ini diawali dengan menggali dan mengumpulkan berbagai informasi, dokumentasi dan data-data melalui studi kepustakaan (library research).

Selanjutnya, penelusuran diarahkan kepada kitab Tafsîr Al-Qur‟an Al-„Azhîm Dan Kitab Tafsîr Al-Mishbâh melalui analisis isi buku (content analisis) untuk diperoleh hasil yang diinginkan. Untuk mempermudah dan membatasi penggunaan ayat, yang pertama kali dilakukan penulis adalah mencari ayat-ayat seputar persoalan di atas. Pencarian ini dilakukan pertama kali dengan membuka buku indeks Al-Qur‟an yang telah mengumpulkan kata-kata yang ada dalam Al-Qur‟an, kemudian menyaringnya dengan pendekatan tematik. Dalam hal ini, penulis mengambil ayat-ayat yang secara khusus menerangkan persoalan yang berhubungan dengan kajian di atas dan mengkaji model takwil mufassir klasik, dan kemudian melihat model penafsiran metaforis yang dilakukan oleh tokoh yang akan dikaji.

Agar kajian ini tidak terlalu meluas, dalam menggali model penafsiran Ibn Katsîr dan Quraish Shihab, akan diambil ayat-ayat yang berkaitan langsung dengan kajian ini. Hal ini dilakukan agar diperoleh kekayaan informasi tentang istilah-istilah yang dikaji. Untuk persoalan

47Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), hal.

9.

28

konsep pengembangan masyarakat, akan diambil dari ayat ayat yang cukup populer.

Setelah terhimpun semua data yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dikaji, maka data tersebut selanjutnya penulis kaji dengan menggunakan teknik analisis dan komparatif. Artinya, semua data yang berhasil penulis himpun itu dianalisis dan diperbandingkan antara satu informasi dengan informasi lainnya. Dengan begitu, diharapkan akan dapat menghasilkan suatu gambaran yang integral.

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber primer merupakan data pokok yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai informasi yang dicari atau sebagai sumber utama dalam Tesis ini. Dalam penelitian ini, objek utama dalam kajian ini adalah Tafsîr Al-Qur‟an Al-„Azhîm kitab Tafsir Ibn Katsîr dan Al- Mishbâh kitab Tafsir Muhammad Quraish Shihab Dengan meneliti ayat-ayat yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitiannya, 48 atau dijadikan alat untuk dapat menganalisis pembahasan Tesis ini, baik interpretasi mufasir, tokoh intelektual, dan para ilmuwan mengenai pokok permasalahan di atas. Sumber sekunder yang digunakan adalah beberapa kitab tafsir dan juga karya-karya ilmiah dari para intelektual yang relevan dengan penelitian ini.Adapun untuk sumber-sumber data sekunder yang akan dijadikan rujukan oleh penulis dalam penelitian dan penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1) Kitab-kitab tafsir yang terkait dengan penelitian yang biasanya mencakup pembahasan tentang pengembangan masyarakat.

2) Buku-buku ilmu Al-Qur‟an

3) Buku-buku tafsir yang berbicara tentang kehidupanmasyarakat mukmin,

4) Buku-buku induk hadis yang relevan

5) Kamus-kamus berbahsa arab yang di gunakan untuk mengecek kebenaran dalam bahasa Arab.

6) Buku-buku/ Jurnal lainnya yang berkaitan dengan tema tesis yang diteliti.

48Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. I, hal. 91.

29 7) Maktabah Shâmilah, biasanya media ini di gunakan oleh penulis untuk melacak satu ayat atau haditsh untuk kemudian dirujuk ke kitab aslinya. Jika dirasa kesulitan dalam merujuk pada kitab asli, maka penulis menjadikan maktabah shamilah sebagai rujukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode telaah pustaka, setelah data terkumpul, diadakan seleksi dengan kriteria relevansi data dengan tema yang akan dibahas.

4. Metode Analisis Data

Dalam metode analisis data, penulis menekankan pada beberapa metode berfikir, di antaranya yaitu: pertama, metode berfikir interpretatif (interpretasi data) adalah menyelami isi buku untuk dengan setepat mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang disajikannya.49Metode ini penulis gunakan untuk menginterpretasikan beberapa maksud dari Ayat-ayat. Kedua, berfikir reflektif (reflective thinking) yaitu sebuah cara untuk mengkombinasikan cara berfikir deduktif dan induktif. Dengan demikian penulis mengkontekskan dengan keadaan sekarang. Ketiga, berfikir kontekstual, dapat juga diartikansituasional, yakni sesuai dengan keadaan.

a. Metode Maudhu‟i

Metode ini mempunyai dua macam bentuk kajian. Pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surah itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang samasama membicarakan satu masalah tertentu. Ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu‟i.50Adapun langkah yang harus ditempuh menurut Nashruddin Baidan yang dikutip dari pendapat Al- Farmawi yaitu:

49Anton Bekker dan Ahmad Choris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisius, 1990), Cet. I, hal. 69.

50Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i, Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 35-36.

30

1) Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut, sesuai dengan kronologi urutannya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang menasakh dan sebagainya.

2) Menelusuri latar belakang turun (asbabun nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun (kalau ada).

3) Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu, kemudian mengkajinya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, sejarah, budaya, munasabah ayat, dhamir, dan sebagainya.

4) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman dari berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun kontemporer.

5) Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang obyektif melalui kaidah-kaidah tafsir mu‟tabar serta didukung oleh fakta (kalau ada) dan argumen-argumen dari Al-Qur'an, hadits atau faktafakta sejarah yang dapat ditemukan.51

b. Metode Tafsir Tahlily

Yang dimaksud dengan metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain (munasabat), dan tak ketinggalan pendapat para mufassir.

c. Analisis Kontekstual

Analisis kontekstual berarti memaknai sesuatu dengan melihat keterkaitan masa lampau, kini, mendatang. Sesuatu akan dilihat maknahistorik dahulu, makna fungsional sekarang, dan mengantisipasikan makna di kemudian hari, atau menempatkan Al-Qur‟ansebagai sentralnya.52

51Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟ân , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. III, hal. 153.

52Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), Cet. III, hal. 178.

31

4. Analisis Komparatif (Muqâran)

Metode penyajian yang dilakukan dengan mengadakan perbandingan antara satu konsep dengan lainnya, kemudian menarik suatu kesimpulan.53 Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. Pada penelitian ini variabelnya masih mandiri tetapi untuk sampel yang lebih dari satu atau dalam waktu yang berbeda.

Jadi, penelitian komparatif adalah jenis penelitian yang digunakan untuk membandingkan antara dua kelompok atau lebih dari suatu variabel tertentu.54

Para ahli tafsîr tidak berbeda pendapat mengenai metode ini.Metode komparatif adalah: Mebandingkan teks ayat-ayat Al-Qur‟anyang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalamsatu kasus yang sama, atau diduga sama, membandingkan ayat Al-Qur‟an dengan hadits Nabi saw yang pada lahirnya antara keduanyaterlihat bertentangan, dan membandingkan berbagai pendapat paraulama tafsîr dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an .55

Dalam penerapan metode ini penulis menempuh beberapa langkah antara lain yang sebagaimana telah diungkapakan oleh pemikiran Ibn Katsîr dan M. Quraish Shihab sebagai berikut.

1) Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan ayat-ayat pengembangan Masyarakat yang terhimpun dalam Al-Qur‟an.

2) Memahami sekaligus mengambil ayat-ayat yang akan diteliti.

3) Mengkaji beberapa makna ayat-ayat pengembangan Masyarakat dalam Al-Qur‟an melalui pendapat mufassir yaitu Ibn Katsîr dan M.

Quraish Shihab.

Dokumen terkait