BAB II TINJAUAN PUSTAKA
8. Kode
Sebelum kita mengetahui mengenai hakekat alih kode dan campur kode, kita harus lebih paham benar konsep kode tersebut. Kode disini bukanlah kode yang mengarah ke unsur bahasa secara perspektif melainkan kode disini ialah varian yang terdapat dalam bahasa tersebut. Varian yang dimaksudkan ialah tingkat-tingkat, gaya cerita dan gaya percakapan.
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hirarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional, juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek, varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa, dan
50
varian kegunaan atau register) kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
Halliday (dalam Simpson dan Asher, 1994:577), menjelaskan bahwa kode haruslah mencirikan arti atau nilai adat-istiadat serta diturunkan dari system sosial. Bahasa manusia merupakan suatu kode yang kompleks.
Dalam sosiolinguistik, kode ditekankan pada konsep dasar yang jelas, yakni dari pengalaman dan ciri bahasa yang digunakan dalam masyarakat yang berbeda.
Kode dapat pula diartikan sebagai suatu system tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang kebahasaan penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada. Dalam kode tersebut terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat- kalimat, kata-kata, morfem, dan fonem. Hanya saja, ada suatu pembatasan umum yang membatasi pemakaian unsur-unsur bahasa tersebut. Dengan demikian, pemakaian unsur-unsur bahasa itu memiliki beberapa keistimewaan antara lain terdapat pada bentuk, distibusi, dan frekuensi unsur-unsur bahasa (Syamsuddin, dkk. 1997).
“Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota suatu masyarakat bahasa”
(Poedjosoedarmo, 1978:30). Bagi suatu masyarakat ekabahasa (monolingual), kode-kode itu realisasinya adalah varian-varian dari bahasa
51
yang satu. Tetapi bagi masyarakat dwibahasa atau mencakup varian-varian dua bahasa atau lebih. Kode-kode itu dengan sendirinya mengandung arti yang sifatnya menyerupai unsur-unsur bahasa yang lain.
Selanjutnya, Sumarsono, dkk. (2002) mengemukakan bahwa kode itu memiliki sifat netral. Dikatakan netral karena kode itu tidak memiliki kecenderungan interpretasi yang menimbulkan emosi. Lebih lanjut dikatakan, bahwa kode adalah semacam system yang dipakai oleh dua orang atau lebih untuk berkomunikasi.
Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kode adalah suatu variasi bahasa atau lebih yang digunakan dalam berkomunikasi.
a. Alih Kode
1) Pengertian alih kode
Sebagai seorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa, dan juga terlibat dengan dua budaya, seorang dwibahasawan tentulah tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa itu. Salah satu akibat dari kedwibahasaan adalah adanya tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang dipakainya atau digunakannya unsur-unsur dari bahasa yang satu pada penggunaan bahasa yang lain.
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat
52
mulitilingual. Dalam masyarakat mulitilungal sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing- masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Scotton menganggap bahwa alih kode merupakan penggunaan dua varian atau varietas linguistik atau lebih dalam percakapan atau interaksi yang sama. Sedangkan Nababan berasumsi konsep alih kode ini mencakup juga kejadian di mana kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain atau dari satu dialek ke dialek yang lain.
Peristiwa peralihan bahasa atau alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1973: 408-409) terdapat dua macam alih kode, (1) alih kode situsional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafoar yang melambangkan identitas penutur.
53
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (Suwito:80). Menurutnya alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di dalam masyarakat multi lingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain. Di dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks.
Tanda-tanda yang demikian dikemukakan oleh Kachru (1965 dalam Suwito 1991: 80) disebut ciri-ciri unit-unit kontekstual (contextual unuts).
Dengan adanya ciri-ciri itu menunjukkan bahwa di dalam alih kode masing- masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri secara eksklusif, dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian, alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansional di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
Hymes (1875:103 dalam Chaer dan Agustina 1995:142) menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam
54
ilustrasi di atas, Hymes mengatakan “code switching has becomea common term for alternative us of two or more language, varieties of language, or even speech styles”.
Adapun penyebab terjadinya alih kode menurut Fishman (1976: 15 dalam Chaer dan Agustina 1995:143), yaitu “siapa berbicara. Dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Secara umum, penyebab alih kode adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal, (5) perubahan topik pembicaraan.
Berdasarkan konsep yang diuraikan para ahli itu, dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain karena perubahan situasi yang mungkin terjadi antarbahasa, antarvarian (baik regional maupun sosial) antarregister, antarragam ataupun antar gaya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat kita tarik garis lurus, bahwa alih kode merupakan peralihan kode bahasa dalam satu peristiwa komunikasi verbal. Pola alih kode dapat kita bagi menjadi dua yaitu berdasar linguistik maupun partisipan. Pola linguistic terdapat pola alih kode intrabahasa, yang dalam pola itu terjadi pada varian dalam satu bahasa. Sedangkan yang kedua ialah pola alih kode antarbahasa, dalam pola ini pilihan kode dari varian suatu bahasa ke bahasa lain. Jika dilihat dari partisipan dapat dibagi menjadi dua kembali yakni dimensi intrapartisipan dan dimensi antarpartisipan.
55
Alih kode adalah penggunaan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain, sedangkan campur kode adalah penggunaan suatu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan bahasa-nahasa lain (Chaer, 1995:203).
Menurut Gumperz (1976) alih kode meemiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. sebagai acuan unsur yang tidak atau kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan, kebanyakan terjadi karena pembicara tidak mengetahui suatu kata dalam bahasa lain.
2. berfungsi direktif, dalam hal ini pendengar dilibatkan langsung, alih kode diarahkan langsung pada pendengar, peserta ujian dalam percakapan ini dapat berpikir tentang fungsi langsung dari pemilihan bahasa.
3. berfungsi ekspresif, pembicara menekankan identitas alih kode melaui penggunaan dua bahasa dalam wacana yang sama.
4. Berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada dalam konversi dan berfungsi fatik.
5. berfungsi sebagai metabahasa, dengan pemahaman alih kode digunakan dalam mengulas suatu bahasa baik secara langsung maupun tidak langsung.
6. berfungsi di dalam humor atau permainan, hal ini sangat berperan di dalam masyarakat bilingual/multilingual.
2) Batasan Alih Kode
Dalam keadaan bilingual, penutur ada kalanya mengganti unsur-unur bahasa atau tingkat tutur, hal ini tergantung pada konteks dan situasi bahasa tersebut. Misalnya, pada waktu berbahasa X dengan si A, dating si B yang tidak dapat berbahasa Y memasuki situasi berbahasa itu, maka kita beralih memakai bahasa yang dimengerti oleh si B. Kejadian semacam ini kita sebut alih kode.
56
Nababan (1991:31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam yang lain, misalnya ragam akrab;
atau dari dialek satu ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi dan sebagainya.
Kridalaksana (1982:7) menegaskan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode. Alih kode dapat terjadi pada masyarakat bahasa bilingual atau multilingual, namun juga terjadi pada masyarakat bahasa monolingual.
Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu:
a. Alih kode ekstern
Bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya.
b. Alih bahasa intern
Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko berubah ke krama.
3) Beberapa Faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode
57
Secara umum alih kode disebabkan oleh factor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosio-situasional. Suwito (1985:72) mengemukakan beberapa faktor penyebab terjadinya alih kode, yaitu:
1. Pembicara atau penutur
Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena maksud. Hal demikian ini dilakukan dengan maksud agar situasi dapat berubah menjadi lebih santai atau akrab.
Penutur dapat pula beralih kode dengan maksud untuk lebih mengakrabkan diri dengan lawan bicara.
2. Pendengar atau lawan tutur
Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual, hal itu berarti bahwa seorang penutur mungkin harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya.
Dalam hal ini, lawan tutur dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu: (1) lawan tutur berlatar belakang kebahasaan sama dengan penutur, (2) lawan tutur yang berlatar belakang kebahasaan berlainan dengan penutur.
Menghadapi lawan tutur golongan (1) alih kode mungkin berwujud alih kode varian (baik regional maupun sosial), alih ragam, alih gaya atau alih register. Berhadapan dengan lawan tutur golongan (2) alih kode yang berwujud alih dari bahasa daerah ke bahasa-bahasa lain yang dikuasainya,
58
dari bahasa daerah ke bahasa nasional atau mungkin pula dari bahasa keduanya ke bahasa asing tertentu.
3. Penutur Ketiga
Dua orang berasal dari kelompok etnik yang sama, pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi apabila kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang tersebut berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih kode ke bahasa ketiga yang dikuasai oleh ketiganya. Hal ini dilakukan untuk menetralisasi situasi dan sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut. Apabila kedua orang pertama tetap menggunakan bahasa kelompok etniknya sendiri, padahal mereka tahu bahwa orang ketiga tidak mengetahui bahasa mereka, maka dianggap sebagai suatu perilaku yang kurang terpuji.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu: (1) pokok pembicaraan bersifat formal; (2) pokok pembicaraan bersifat informal.
Topik golongan (1) biasanya diungkapkan dengan bahasa baku dengan gaya netral dan disampaikan secara serius, sedangkan topik golongan (2) disampaikan dengan bahasa tidak baku, dengan gaya bahasa sedikit emosional dan serba seenaknya. Apabila seorang penutur mula-mula
59
berbicara tentang hal-hal yang sifatnya formal, dan kemudian beralih ke masalah-masalah informal.
5. Membangkitkan rasa humor
Alih kode sering dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat atau pelawak untuk membangkitkan rasa humor. Rasa humor yang dilakukan oleh guru-guru sangat diperlukan untuk menyegarkan suasana yang dirasakan perlu untuk dilakukan dalam suasana lesu, sedangkan bagi pelawak sudah jelas fungsinya yang untuk membuat penonton merasa senang dan puas.
6. Sekadar bergengsi
Sebagian penutur ada yang beralih kode sekadar untuk bergengsi. Hal itu terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor. Faktor sosio- situasional yang lainnya sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode. Alih kode seperti itu dapat dikatakan baik fungsi kontekstual maupun situasi relevansialnya tidak mendukung peralihan kodenya. Oleh karena alih kode semacam itu tidak didukung oleh faktor-faktor yang seharusnya mendukung, maka berarti kesan dipaksakan, tidak wajar dan tidak jarang menjadikan tidak komunikatif. Alih kode demikian biasanya didasari oleh penilaian penutur bahwa bahasa yang satu lebih tinggi nilai sosialnya daripada bahasa lain.
Biasanya pembicaraan alih kode akan selalu diikuti dengan campur kode. Ohoiwutun (1996:72) menyatakan bahwa, hadirnya alih kode dan campur kode merupakan akibat dari kemampuan anggota masyarakat
60
berbahasa lebih dari satu. Apabila seseorang yang melaksanakan pembicaraan pada dasarnya mengirimkan berupa kode-kode kepada lawan bicaranya. Kalau hanya satu pihak memahami apa yang dikodekan lawan bicaranya, maka selanjutnya ia akan mengambil keputusan dan berbuat sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
b. Campur Kode
Bertemunya dua kebudayaan yang berlainan akan mengakibatkan persentuhan dua bahasa. Keadaan ini akan menyebabkan kontak bahasa (language contact) dari dua kebudayaan yang memiliki dua bahasa yang berbeda. (Suwito, 1985:39). Kondisi seperti ini dimungkankan bila seorang penutur menggunakan lebih dari satu bahasa di masyarakat tutur. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa tidak akan pernah mungkin seorang penutur dalam masyarakat tutur, akan menggunakan satu bahasa secara murni serta tidak terpengaruh oleh bahasa lainnya sementara di dalam lingkungan masyarakat tutur itu sendiri terdapat aneka bahasa dan juga di dalam diri penutur sudah ada kemampuan aneka bahasa tersebut, kondisi seperti ini dapat menimbulkan gejala campur kode.
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan,. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi
61
informal. Namun bias terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Di dalam bahasa Indonesia sering di temui suatu keadaan ketika seseorang mencampur dua atau lebih bahasa dalam satu tindak berbahasa.
Apabila diperhatikan hubungan antara kemampuan dalam dua bahasa tersebut pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang, kemampuan dan tindak laku dalam kedua bahasa tersebut adalah berpisah dan bekerja secara sendiri-sendiri yang dapat menyebabkan terjadinya campur kode.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, campur kode adalah (1) interferensi, (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata, frasa, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya (Depdikbud, 2005:168).
Campur kode berbeda dari alih kode, campur kode adalah pengambilan secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam yang dipakainya itu.
Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda.
Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor
62
situasional. Bentuk linguistik campur kode yang paling tinggi, khususnya di Indonesia berupa leksikalisasi. Di India terdapat campur/pambauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris yang disebut Taglish atau hula-hula atau mix-mix (Sibayan, 1977:17); di Hongkong pembauran antara bahasa Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture (Abdullah, 1979:17). Di Indonesia campur kode antara BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-gado (Nababan, 1977).
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam masyarakat multilingual adalah terjadinya campur kode (code-mixing).
Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan cirri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbale balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dan tuturannya (Suwito 1991:88). Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur- unsur yang telah membantu dengan bahasa yang disisipinya dengan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
63
Menurut Fasold campur kode ialah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode. Dalam campur kode terdapat serpihan- serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang tertentu. Serpihan di sini dapat berbentuk kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar. Campur kode memiliki ciri-ciri yakni tidak ditentukan oleh pilihan kode, tetapi berlangsung tanpa hal yang menjadi tuntutan seseorang untuk mencampurkan unsur suatu varian bahasa ke dalam bahasa lain, campur kode berlaku pada bahasa yang berbeda, terjadi pada situasi yang informal, dalam situasi formal terdapat hanya kalau tidak tersedia kata atau ungkapan dalam bahasa yang sedang digunakan. Perbedaan antara alih kode dan campur kode ialah pertama alih kode itu mengarah pada terjemahan dan padanan istilah code switching, sedangkan campur kode terjadi tanpa ada kondisi yang menuntut pencampuran kode itu. Dan ketiga pada alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun dalam bahasa yang berbeda.
Pada campur kode terjadi peralihan kode, tetapi bercampurnya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh penutur.
Unsur-unsur demikian dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
(1) bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya; (2) bersumber dari bahasa asing. Campur kode dengan unsur-unsur golongan pertama disebut campur kode ke dalam, sedangkan campur kode dari golongan kedua disebut campur kode ke luar.
64
Ciri-ciri adanya gejala campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi sendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dengan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.
Dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan konvergensi yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung bahasa yang disisipinya.
Campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain secara konsisten dan unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam peristiwa campur kode terbatas pada tingkat klausa. (Suwito, 1983). Apabila dalam tuturan terjadi percampuran atau kombinasi variasi-variasi yang berbeda dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode.
Dengan sudut pandang demikian, dapat kita bedakan antara peristiwa alih kode dengan campur kode dengan melihat kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode menuju alih kode. Jika dalam tuturan terjadi peralihan dari klausa yang satu ke klausa yang lain dan masing-masing masih mendukung fungsi tersendiri, maka terjadi alih kode. Tetapi apabila suatu tuturan baik klausa maupun frase-frasenya dan masing-masing klausa dan frase-frase tersebut tidak lagi mendukung fungsi tersendiri, maka akan terjadi campur kode.
65
Istilah alih kode dan campur kode berkaitan erat dengan istilah diglosia dan peminjaman. Pemakaian istilah-istilah tersebut sering dikacaukan. Untuk itu, perlu pemisahan yang jelas. Istilah diglosia untuk menyatakan keadaan bahasa suatu masyarakat yang mengenal dua variasi dari satu bahasa.
Simpson dan Asher (1994), menjelaskan perbedaan istilah-istilah di atas, dengan mengidentifikasi keberadaannya dalam suatu wacana. Ruang lingkup diglosia mencakup keseluruhan tipe wacana, sedangkan alih kode mencakup seluruh percakapan dalam satu konteks. Selanjutnya, istilah campur kode mencakup pilihan klausa dalam satu konteks, dan istilah peminjaman hanya mencakup penggunaan kata-kata dari bahasa lain.
1) Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode
Terjadinya campur kode dapat juga disebabkan oleh adanya kedwibahasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari sehingga dalam menggunakan bahasa yang berlainan dalam satu waktu. Adanya kemampuan dalam mempergunakan bahasa tersebut secara tak disadari, menyebabkan ia mencampur bahasa atau ragam bahasa dalam satu tindak bahasa atau campur kode.
Campur kode ini terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya, penutur yang mempunyai latar belakang tertentu yang cenderung memiliki campur kode tertentu. Untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu pemilihan bentuk campur