• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

F. Teknik Analisis Data

Metode kajian (analisis) yang dipakai dalam penganalisisan adalah dengan analisis induktif. Menurut Sugiyono (2005:89) analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh selanjutnya dikembangkan. Sementara Djajasudarma (1993: 13) menyebutkan bahwa data secara induktif yaitu data yang dikaji melalui proses yang berlangsung data ke toeri.

Berdasarkan dari teori Djajasudarma (1993: 58-60) yang menyatakan bahwa metode kajian (analisis) dapat dibedakan antara metode kajian (analisis) padan dan metode kajian (analisis) distribusional. Djajasudarma (1993: 58) menyatakan bahwa metode kajian padan di dalam penelitian kualitatif alat penentunya adalah unsur luar bahasa. Menurut Djajasudarma metode kajian padan dapat dibedakan atas: metode padan referensial, metode padan fonetik artikuler, metode padan translasional dengan penentu bahasa atau langue lain, metode padan pragmatis, metode padan ortografi.

metode kajian (analisis) distribusional menurut Djajasudarma (1993: 60-61)

82

adalah metode kajian dengan teknik pemilihan data berdasarkan kategori (kriteria) tertentu dari segi kegramatikalan.

Berdasarkan paparan di atas, data sebagai objek penelitian ini dianalisis metode kajian padan, khususnya metode kajian padan translasional karena metode ini menjadikan objek penelitian sebagai standar pembaku berdasarkan kesepadanan, keselarasan, kesesuaian dan kesamaannya (Djajasudarma, 1993:58) serta metode kajian distribusional dengan teknik substitusi yang digunakan untuk mencari/menentukan sinonimi pada batas tertentu. Semua data yang diperoleh diseleksi sesuai landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini mulai menuliskan tuturan lisan ke dalam tulisan sehingga tergambarkan terjadinya alih kode dan campur kode, memerikan sesuai dengan faktor-faktor alih kode dan campur kode yang sesuai dengan landasan teori, serta mengidentifikasi jenis-jenis alih kode dan campur kode pada interaksi antarsiswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone.

83

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah (Suwito: 80). Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih ditandai oleh: (a) Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks

Berdasarkan hasil pengumpulan data penelitian, terdapat tiga bentuk alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Bugis dalam interaksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone. Ketiga bentuk alih kode yang dimaksud adalah kata, frasa yang termuat dalam lima kategori peristiwa tutur dalam berirteraksi antarsiswa.

Alih kode yang terjadi dalam interaksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone, bahasa Indonesia dan Bugislah yang paling mendominasi, karena bahasa tersebut mengakar penggunaannya di tengah-tengah masyarakat, baik pada saat berkomunikasi sehari-hari maupun dalam berinteraksi dalam dunia pendidikan. Kedua

84

bahasa tersebut digunakan secara bergantian dan spontan dalam berinteraksi baik secara sengaja maupun tidak disengaja.

Alih kode yang terjadi dalam interaksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone, jika ditinjau dari peristiwa tuturnya disebabkan pada identifikasi peranan, pendidikan, dan situasional.

1. Wujud Alih Kode dalam Interaksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone

Alih kode adalah penggunaan kode atau variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau keadaan lain. Penyesuaian diri yang dimaksud adalah dalam bentuk penyesuaian bahasa dalam tindak tutur dari penutur kepada lawan tuturnya apabila ada istilah yang tidak dipahami oleh lawan tuturnya.

Oleh karena itu, alih kode yang dimaksudkan dalam penelitian ini perubahan bentuk bahasa yang digunakan oleh penutur dalam berkomunikasi. Misalnya, dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis atau sebaliknya, bahasa Bugis ke bahasa Indonesia.

Bentuk alih kode yang terjadi pada kegiatan interaksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone pada umumnya alih kode berwujud internal, misalnya, (1) dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis, dan (2) dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia.

85

Alih kode yang terjadi dalam interaksi antarsiswa di SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone, bahasa Indonesia dan bahasa Bugislah yang paling mendominasi, karena bahasa tersebut mengakar penggunaannya di tenga-tengah masyarakat, baik pada saat berkomunikasi sehari-hari maupun dalam berinteraksi dalam dunia pendidikan. Kedua bahasa tersebut digunakan secara bergantian dan spontan dalam berinteraksi baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Alih kode yang ditemukan dalam interaksi antarsiswa di kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone, yaitu alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis. Hal ini tampak pada beberapa kutipan data berikut ini.

Data 1:

Siswa (a): “sudah betulkah rumusnya yang kamu tulis itu”?

Siswa (b): “pakkoniro rumusna jadi iyatona uki, tidak usah tulis kalau kamu tidak yakin itu benar”.

Peristiwa alih kode yang terjadi pada data (1) terlihat bahwa interaksi yang terjadi antara dua siswa tersebut untuk saling memperjelas tugas yang dikerjakan oleh kedua siswa tersebut. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa tuturan tersebut memberi indikasi bahwa siswa lawan tutur berusaha menjelaskan kepada penutur dengan menggunakan bahasa Bugis dan bahasa Indonesia.

Data 2:

Siswa (a): “koni di bolaku dijama tugas’e nasaba nateangnga

emmakku massuko polena disikola’e. Datang saja di rumah, tidak apa-apa itu karena saya sudah tidak bisa keluar rumah kalau sudah sore”.

86

Siswa (b): “iya di rumahmu saja, ajana mulao disikolae paimeng.

Manre ongkoso”.

Siswa (c): “iya siruntun manenni dibolana Indah jam tiga sore, jangan l upa bawa camilan”.

Peristiwa tutur yang terjadi pada data (2) terlihat bahwa dalam interaksi tersebut salah sorang siswa mengajak kepada teman kelompoknya untuk datang ke rumahnya mengerjakan tugas tambahannya dari sekolah.

Sementara itu, anggota kelompok yang lain menyetujui ide tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peristiwa tutur yang terjadi mengindikasikan bahwa antara siswa satu dengan yang lainnya berusaha untuk saling mengajak dengan mengiyakan pendapat temannya yang lain.

Data 3:

Siswa (b): “begitu memang kalau main-main saja, mueloki perhatiangngi”.

Siswa (c): “iya, ajar dulu. Mogi iyadeto wissenggi”.

Siswa (d): “satu perguruan memang itu, sianregurui”.

Alih kode yang terjadi pada data (3) merupakan alih kode dari bahasa Bugis ke bahasa bahasa Indonesia dan bahasa Bugis, yakni siswa bertanya dengan haparan atau dengan dia mengajukan pertanyaan, maka temannya akan membatunya untuk memberitahukan cara mengaktifkan komputer.

Data 4:

Siswa (a): “Katanya bapak salah, bukan itu yang disuruh dikerjakan.

Makanya Makkutanaki nappa tajama”.

Siswa (b): “sudah saya tanyakan, katanya itu tugasnya”.

Siswa (c): “salanitu kalau begitu”.

Data 5:

Siswa : “salamaneng tennia iyatu rijama, sudah kutanya bapak”.

87

Data 6:

Siswa : “ Sudah betul kutanya bapak”.“ Saya sudah tanyakan, iyyamua rijama”.

Data 7:

Siswa : “ Bertanya dulu supaya jelas, jangan langsung majjama bawang degaga makkappo”.

Pada peristiwa data (4) sampai data (7) terlihat bahwa penutur berusaha memberikan informasi dan memberitahukan kepada lawan tuturnya tentang tugas yang diberikan oleh pak guru. Alih kode bahasa yang dituturkan oleh siswa adalah dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis makanya makkutanaki nappa majjama.

Pada peristiwa tutur data (4) sampai data (7) terlihat bahwa beberapa siswa beriteraksi tentang tugas yang diberikan oleh gurunya. Namun, ada juga beberapa temannya yang belum tahu tugas mana yang harus dikerjakan. Oleh karena itu, sejumlah siswa yang betul-betul mengerti berusaha memberitahukan atau menginformasikan kepada temannya dengan beralih kode, baik dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia maupun sebaliknya.

Data 9:

Siswa a: “laoki kangtingnge matu kopuraki belajar, capek sekali kurasa.

Siswa b: “Ok Bos”.

Data tersebut menunjukkan jenis alih kode yang terjadi pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone dengan melakukan alih kode, yaitu peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis atau sebaliknya

88

dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia, yakni berusaha meyakinkan lawan tuturnya tentang hal yang ingin dilakukan. Dengan beralih kode si penutur merasa bahwa hal itu dilakukan agar temannya yakin dengan penyampaiannya.

Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa jenis alih kode atau bentuk terjadinya alih kode dan campu kode dapat berupa perpindahan atau percampuran kata dan frasa dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dalam penilitian ini dibatasi dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia dan atau sebaliknya dari bahasa Indonesia ke bahasa asing. Dari temuan penelitian dipaparkan pula contoh-contoh jenis alih kode yang terjadi pada peristiwa tutur dalam interaksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukan bahwa siswa melakukan alih kode dalam tuturan mereka. Sesuai dengan hasil temuan selama penelitian berlangsung, terjadinya alih kode diperikan berdasarkan kata/leksikal dan frasa.

Adapun jenis alih kode dalam bentuk leksikal yang ditemui dalam penelitian yang penulis laksanakan adalah sebagai berikut:

Data:

(10) ‘bagannyaji risuroakki

‘hanya bagan yang disuruh buat’

(11) ‘yang penting engka’

yang penting ada’

(12) ‘indomiena rianre’

‘indomie dimakan’

89

(13) ‘salai, tania yatu’

‘salah, bukan yang itu’

(14) ‘mawatang tugasna

‘susah tugasnya

(15) ‘canti’na ukimu

‘bagus sekali tulisanmu’

(16) ‘duaga mubeli?’

‘duakah kamu beli?’

(17) ‘mi mo dipesan’

‘indomie saja dipesan’

Adapun contoh jenis alih kode dalam bentuk frasa yang ditemui dalam penelitian yang penulis laksanakan adalah sebagai berikut:

(18) ‘ma’ganggumi jamanna

‘mengganggu saja kerjaanya’

(19) ‘giliranna kelompo’mu tampil

‘giliran kelompok Anda untuk tampil

(20) ‘iyapa jamai karena yang lain tidak saya tahu kerja”.

‘mari, saya yang kerjakan’

(21) ‘jelaskanki coba menurut kamu!

‘coba jelaskan menurut Anda!

(22) ‘uki bawangniyolo’

tulislah dahulu

(23) ‘denapakotu kapang

‘mungkin tidak begitu

(24) ‘de wisseng jamai, tanya’i dulu ibu’

‘saya tidak tahu kerja’

Data tersebut menunjukkan jenis alih kode yang terjadi pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone.

2. Wujud Campur Kode dalam Interaksi Antarsiswa di kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone

a. Campur Kode yang unsur penyisipannya berupa kata

Pelaksanaan kegiatan beriteraksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone menggunakan bahasa sebagai media

90

penyampaian pesan. Dua bahasa yang digunakan secara silih berganti dan dicampur dalam satu konsep pesan dan informasi sehingga membentuk variasi kebahasaan, yakni campur kode. Wujud campur kode tampak pada penyisipan kata dalam satu tuturan yang dituturkan secara bersamaan.

Data 25:

Siswa (a): “saya tidak bisa temukan rumusnya”.

Siswa (b): “hai look, adami rumusnya di halaman 33”.

Siswa (c): “seriuskikah, kenapa pale saya tidak kutemukan”.

Data 26:

Siswa (a): “tidak bisakah diam, kenapa seperti pasar ruangan”?

Siswa (b): “keep silent ada yang betanya, diam semua dulu”.

Siswa (c): “bukanji pasar tapi lebih dari itu”.

Data 27:

Siswa (a): “setiap hari terlambatko datang ke sekolah”.

Siswa (b): “sorry, terlambatka karena tidak ada mobil kalau pagi-pagi sekali jadi menungguka.”.

Siswa (c): “it’s okey tidak masalah, yang penting jangan terlambat selama bersekolah di sini”.

Data 28:

Siswa (a): “ kalau sudah kau ketik tekanmi atau klik saja save supaya cepat tersimpan filemu.

Siswa (b): “cara manual itu lebih gampang, tidak perlu tekan mousenya pessebawangni ctrl – s namasija pura.

Campur kode yang berupa proses pembentukan kata sesuai dengan data (36) tersebut, yakni kata hei look dan adami tersebut disisipkan pada posisi yang berbeda dalam pengungkapan oleh siswa. Kata tersebut dikategorikan sebagai kata campur karena hei look dan adami dibentuk oleh dua unsur bahasa yang berbeda, yakni bahasa Inggris hei look. Demikian

91

halnya dengan kata adami yang dibentuk oleh unsur bahasa Indonesia ada dan partikel bahasa Bugis Bone –na.

Terjadinya campur kode bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Bugis Bone sesuai dengan data tersebut didebakan oleh faktor kemampuan siswa menggunakan dua bahasa atau lebih dalam satu tindak komunikasi.

b. Campur Kode yang unsur penyisipannya berupa frasa

Pelaksanaan kegiatan beriteraksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone menggunakan bahasa sebagai media penyampaian pesan. Dua bahasa yang digunakan secara silih berganti dan dicampur dalam satu konsep pesan dan informasi sehingga membentuk variasi kebahasaan, yakni campur kode. Wujud campur kode tampak pada penyisipan frasa dalam satu tuturan yang dituturkan secara bersamaan.

Adapun contoh peristiwa tutur terjadinya alih kode dalam bentuk frasa yang ditemukan dalam penelitian yang dilaksanakan ini, adalah sebagai berikut:

Data 29:

Siswa (a) : ‘iyanatu naseng bapak rumusnya, coco’ni.”

Siswa (b) : Mana engka? Bukan yang itu tadi yang bapak jelaskan.

Siswa (a) : Jadi bagaimanami ini?

Siswa (b) : Makkutana bawangni kembali, biar jelas.

Data 30

Siswa (a) : Purani mujama tugasmu yang kemarin?

Siswa (b) : De’pa napura karena sibukka kerja tuas yang lain.

92

Data 31:

Siswa (a): “just it, ituji saja jawabannya.”

Siswa (b): “sesingkat itukah jawabannya? “nothing it, bukan itu karena yang saya baca penjelasannya banyak”.

Siswa (c) : “samaji yang saya temukan sedikitji jawabannya”.

Siswa (d) : “saya juga sedikitji yang kutulis karena itu yang saya

temukan. adapale di halaman yang lain juga tentang pokok bahasan itu”.

Campur kode yang berupa proses pembentukan frasa sesuai dengan data (29) tersebut, yakni kata iyanatu nasen dan coco’ni tersebut disisipkan pada posisi yang berbeda dalam pengungkapan oleh siswa. Kata tersebut dikategorikan sebagai kata campur karena iyanatu nasen dan coco’ni dibentuk oleh bahasa Bugis, yaitu iyanatu nasen dan coco’ni. Begitu pun pada data (30) dan (31) yang terjadi unsure pencampuran bahasa dan dialek.

3. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Alih Kode dalam Interaksi pembelajaran siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode pada dasarnya disebabkan oleh faktor sosio-situasional, antara lain: (1) pembicara atau penutur, ketika berinteraksi dengan lawan tutur, penutur harus mempertimbangkan situasi dan lawan tutur, (2) penutur ingin memberi rasa hormat terhadap lawan tuturnya, (3) Adanya ketergantungan terhadap bahasa tertentu dan kurangnya pemahaman terhadap kaidah bahasa yang sedang digunakan, dan (4) faktor kebiasaan, penutur sekadar ingin memperlihatkan kemampuannya dalam menggunakan suatu bahasa.

93

1. Pembicara atau penutur

Pembicara atau penutur merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya alih kode. Dalam hal ini, seorang penutur dengan sadar beralih kode dari satu bahasa ke bahasa lain untuk satu tujuan, misalnya menegaskan sesuatu serta keinginan mengakrabkan diri dengan lawan tutur.

Peristiwa alih kode, baik dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis ataupun sebaliknya dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia terjadi karena faktor penutur yang berkeinginan untuk menegaskan sesuatu.

Data 32:

Siswa (a): “teman-teman karena hari ini ada rapat dewan guru maka diharapkan jangan ada yang berkeliaran, aja tamarukka, sibawa aja tamassu pole kelas naseng gurutta”.

Siswa (b): “itu artinya tidak belajarki jam pertama karena semua guru rapat”.

Berdasarkan data (31) tersebut, tampak peristiwa alih kode bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis. Pertama-tama, siswa menyapa teman-temannya. Selanjutnya, menyampaikan informasi dari ibu wali kelasnya dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar penyampaian informasi. Namun, isi informasi yang disampaikan menggunakan bahasa Bugis, yaitu aja tamrukka sibawa aja tamassu pole kelas naseng gurutta. Peristiwa inilah yang merupakan proses alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis yang bertujuan untuk menegaskan sesuatu. Dalam hal ini siswa menegaskan infromasi yang disampaikan oleh wali kelasnya

94

Berdasarkan hasil penelitian bahwa alih kode yang terjadi dalam interaksi antarsiswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone yakni alih kode sementara dengan situasi, pendidikan dan identifikasi yaitu pergantian kode yang dipakai dalam peristiwa bahasa yang berlangsung sebentar saja. Pergantian itu terlihat dalam tuturan dari bahasa Bugis beralih ke bahasa Indonesia atau pun sebaliknya.

2. Penutur ingin memberi rasa hormat terhadap lawan tuturnya

Peristiwa alih kode dalam berkomunikasi juga dipengaruhi oleh penutur berkeinginan utnuk menghargai dan memberi rasa hormat kepada lawan tuturnya. Rasa hormat terhadap lawan tutur dilakukan sebagai aplikasi dari kebiasaan dan budaya masyarakat. Perhatikan contoh berikut ini!

Data 33:

Siswa: “Nasuroki wali kelasta mappepaccing nasaba mau ada penilaian antar kelas. Jadi silakan bersihkan kelasnya masing-masing, begitu.”

Data 34:

Siswa: “tapinrengengka matu passerritta, mauka juga sapu kelasku.”

Alih kode yang tampak pada data (33 dan 34), yaitu alih kode bahasa Bugis ke bahasa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk kalimat. Dalam hal ini siswa siswa beralih kode dari bahasa Bugis, yakni nasuroki wali kelasta. Kata ini dialihkan dari dua unsur bahasa yang berbeda, yakni nasuroki wali kelasta (bahasa bugis dan menggunakan partikel –ta sebagai rasa hormat kepada teman. Diungkapkannya kata nasuroki (bukan nasuroko atau isuroko) oleh siswa dengan tujuan menghormati atau menghargai lawan

95

tuturnya. Demikian halnya pada data (42) alih kode bahasa Bugis dan bahasa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk kalimat, yakni kata tapinrengengaka merupakan bahasa Bugis, kata ini dentuk oleh unsur yang berbeda kata passerritta (bahasa Bugis) dan partikel –ki (Bugis).

3. Sekadar Bergengsi

Sekadar bergengsi seorang penutur juga memengaruhi beralih kode dari satu bahasa ke bahasa lain, terutama penutur yang menguasai bahasa asing. Penutur menguasai bahasa asing bercampur kode ke bahasa yang lebih modern sseperti bahasa Indonesia atau bahasa asing. Demikian halnya penutur yang merupakan siswa yang ammpu menggunakan beberapa bahasa, ketika berbahasa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing, maka ia selalu memadukannya dengan bahasa lain untuk bergengsi.

Hal ini dinyatakan karena faktor gengsi untuk tidak dinilai oleh temannya sebagai siswa yang kurang memahami bahasa asing sehingga menggunakan bahasa asing.

4. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Campur Kode dalam Interaksi Antarsiswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone.

Berdasarkan hasil analisis data penelitian, terdapat tiga wujud campur kode bahasa Bugis/Bugis Bone ke bahasa Indonesia dan bahasa Inggris serta bahasa Arab ataupun sebaliknya dalam interaksi antarsiswa.

96

Campur kode tersebut menandakan bahwa, pemakaian bahasa dalam interaksi antarsiswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone berbeda-beda karena dipengaruhi latar belakang sosial dan budaya daerah setempat. Faktor campur kode tersebut adalah:

a. Bilingualitas

Bilingualitas merupakan kemampuan seorang penutur menggunakan dua bahasa atau lebih secara bersama-sama dalam satu konteks komunikasi. Bilingualitas siswa sebagai penutur memengaruhi terjadinya campur kode dalam kegiatan berinteraksi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Salomekko Kabupaten Bone. Perhatikan data berikut ini!

Data 35:

Siswa (a): “can you help me? Jelaskan dulu nomor tiga, susahnya minta ampun”.

Siswa (b): “don’t ask to me karena saya juga tidak tahu carana dikerja”.

Data 36:

Siswa (b): “explain to next number”.

Siswa (c): “explain, apa artinya itu”.

Siswa (c): “samakah meaning artinya”.

Campur kode yang berupa proses pembentukan hybrid word sesuai dengan data (35) tersebut, yakni carana. Kata tersebut digunakan pada akhir kalimat oleh siswa. Kata tersebut dikategorikan sebagai kata campur karena kata carana dibentuk oleh dua unsur bahasa yang berbeda, yakni bahasa Indonesia cara dan partikel bahasa Bugis Bone –na.

97

Terjadinya campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Bugis Bone sesuai dengan data (35) dan 36) tersebut disebabkan oleh faktor kemampuan (bilingualitas) siswa menggunakan tiga bahasa dalam satu tindak komunikasi, yaitu bahasa Indonesia, Bugis Bone, dan Inggris.

b. Penutur ingin memberi rasa hormat terhadap lawan tuturnya

Perostiwa campur kode dalam berkomunikasi juga dipengaruhi oleh penutur berkeinginan utnuk mengahrgai dan memberi rasa hormat kepada lawan tuturnya. Rasa hormat terhadap lawan tutur dilakukan sebagai aplikasi dari kebiasaan dan budaya masyarakat. Perhatikan contoh berikut ini!

Data 37:

Siswa a: “ambil saja karena, saya pinjam juga tadi pulpenta tidak usah ragu-ragu anggap saja punyata”.

Siswa b: “tidak bagus kalau tidak kupinjamki dulu karena itu pulpenta dan adajiki juga”.

Campur kode yang tampak pada data (37), yaitu campur kode bahasa Indonesia ke bahasa Bugis Bone yang diwujudkan dalam bentuk kata. Dalam hal ini siswa menggunakan bahasa Indonesia dan Bugis Bone, yakni pulpenta. Kata ini dibentuk oleh dua unsur bahasa yang berbeda, yakni pulpen (bahasa Indonesia) dan partikel –ta (Bugis Bone). Diungkapkannya kata pulpenta (bukan pulpenmu atau pulpen kamu) oleh siswa dengan tujuan menghormati atau menghargai lawan tuturnya.

c. Faktor kebiasaan

98

Faktor kebiasaan yang dimaksud, yakni kebiasaan penutur dalam berbicara dengan memadukan dua unsur bahasa yang berbeda, seperti tergambar pada data berikut ini.

Data 38:

Siswa (a): “adami guru menuju ke kelas”.

Siswa (b): “janganki ribut nanti marah lagi seperti kemarin”.

Siswa (c): “iyya jangami kasi mara-marah bela sudah kelas panas adatongmi guru marah-marah tambah bambangmi entu”.

Campur kode yang berupa proses pembentukan hybrid word sesuai dengan data (38) tersebut, yakni janganki dan adami. Kedua kata ini disisipkan pada posisi yang berbeda dalam pengungkapan kalimat oleh siswa. Kedua kata ini dikategorikan sebagai kata campur karena kata janganki di bentuk oleh dua unsur bahasa yang berbeda, yakni bahasa Indonesia Jangan dan partikel bahasa Bugis –ki. Demikian halnya dengan kata adami yang dibentuk oleh unsur bahasa Indonesia ada dan partikel bahasa Bugis Bone –mi.

Data 39:

Siswa (a): “berapa biayana tugas kelompokmu kamu?”

Siswa (b): “banyak anggranna karena di download dulu baru ketik ulang baru diprint lagi”.

Siswa (c): “sussana juga tugasna haruspi ada daftar pustakanya haruski juga ambil dari internet.”

Campur kode yang berupa proses pembemtukan dari hybrid word sesuai dengan data (39) tersebut, yakni, sussana dan tugasna. Kedua kata ini disisipkan pada posisi yang berbeda dalam pengungkapan kalimat oleh

Dokumen terkait