• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Entrepreneurship

BAB I PENDAHULUAN

G. Kerangka Teori

1. Konsep Entrepreneurship

Istilah entrepreneurship memiliki sejarah yang berasal dari tahun 1732, ketika ekonom Irlandia Richard Cantillon menggunakan kata tersebut untuk individu dengan "kesediaan untuk melakukan bentuk arbitrase yang melibatkan risiko finansial dari usaha baru". Irlandia Richard Cantillon Mendefinisikan entrepreneurship itu rumit dan tidak ada teori universal tentangnya. entrepreneurship telah diartikan oleh berbagai profesi memiliki banyak arti sejak usia paruh baya.19 Namun, ringkasan

18Alvika Meta Sari, Suratmin Utomo, Atiek sri Radjeki, “Peningkatan Motivasi Berwirausaha Santri Pondok Pesantren Melalui Pelatihan Kewirausahaan”, Jurnal Teknologi, Jakarta: Universitas Muhammadiyah, Nomer. 01 Volume 6 Januari, 2014. hal.16-30.

19Igbo, “Developing Entrepreneurship Through Entrepreneurship Education”. Journal of Home Economics Research vol. 7, 2006. hal.50-54.

dari arti entrepreneurship akan mencerminkan sudut pandang definisi individu tersebut.20

Drucker menyebut entrepreneurship sebagai “tindakan inovatif, yang mencakup memberikan sumber daya yang ada untuk kapasitas penghasil kekayaan baru.” Walaupun definisi ini mungkin tampak masuk

akal, banyak peneliti berpendapat bahwa entrepreneurship masih merupakan bidang tanpa batasan yang jelas dan tidak memiliki kerangka konseptual yang jelas.21

Sedangkan Gartner menggambarkannya sebagai “penciptaan organisasi baru”. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa

entrepreneurship, merupakan sumber utama untuk berinovasi, mungkin melibatkan pengembangan visi dan metode bisnis baru untuk perusahaan yang sudah mapan serta pembentukan organisasi baru.22

Sedangkan Menurut Gana, kewirausahaan adalah kemampuan untuk mencari peluang investasi dan mendirikan usaha berdasarkan peluang yang telah diidentifikasi. Pengusaha berani mengambil resiko, fokus dan diberikan energi oleh dorongan batin. Kemampuan untuk mengembangkan usaha baru atau menerapkan pendekatan baru pada bisnis

20 Oviawe, “Repositioning Nigerian Youths for Economic Empowerment Through Entrepreneurship Education”. European Journal of Educational Studies No. 2 Vol. 2, 2010.

hal.67.

21 Bruyat, C. & Julien, “Defining the Field of Research in Entrepreneurship”, Journal of Business Venturing. No. 16, Vol. (2), 2001, hal. 65. Lihat juga, Busenitz, L., West, P., Shepherd, D., Nelson, T., Chandler, G., & Zacharakis, A. Entrepreneurship in Emergence: Past Trends and Future Directions”, Journal of Management. 20 (3), 2003, hal. 285-308.

22 Gartner, W.B. 'Who is an Entrepreneur? is The Wrong Question'. American Journal of Small Business, no.12 Vol. 4, 1989, hal. 11-22.

lama adalah satu-satunya gagasan kewirausahaan.23 Dengan kata lain, individu memberikan pasar produk atau jasa dengan menggunakan sumber daya. Kewirausahaan adalah kemauan dan kemampuan individu untuk mencari peluang investasi, membangun dan menjalankan perusahaan dengan sukses.24 Pengusaha pada dasarnya adalah orang yang memiliki atau mengendalikan bisnis yang dengannya pendapatan diperoleh.

Direktorat Ketenagakerjaan Nasional (NDE) dalam Onyebueke dan Ochonogo, mendefinisikan kewirausahaan sebagai seni yang melibatkan pengenalan peluang bisnis, mobilisasi sumber daya dan tekun untuk memanfaatkan peluang itu dengan cara baru.25 Esomonu, mendefinisikan kewirausahaan sebagai manipulasi efektif kecerdasan manusia yang ditunjukkan dalam kinerja kreatif. Tindakan pengambilan risiko tunggal ini menuntun seseorang untuk menciptakan sesuatu yang bernilai dari hampir tidak ada.

Di sisi lain, bentuk aktif wirausaha, "entrepreneurship", dapat diterjemahkan sebagai "menjalankan atau memulai sesuatu".26 Salah satu kontributor paling berpengaruh untuk pemahaman kita tentang perilaku kewirausahaan.27 Pengusaha telah dilihat sebagai aktor, inovator atau

23 Steinhoff, D., & Burgers, J, “Small Business Management Fundamentals”. New York:

McGraw Hill International, 1993), hal. 37.

24 Inegbenebor, A.U., “Adaptations and Management of Transfer Institutions: A Case Study of the Nigeria Police Force'', Nige Management Review, Vol. 2, No. 1, pp. 3-8. (Centre for Management Development). (1987),

25 Onyebueke C. & OChonogo S, “The Dimension of Poverty in Nigeria and The Problem of Powerment”. The comet. January, 2002, hal. 10,6.

26 Kirzner, Competition and Entrepreneurship, (Chicago and London: University Of Chicago Press, 1973), hal. 10.

27 Minniti, M., & Lévesque, M, “Recent Developments In The Economics Of Entrepreneurship”, Journal of Business Venturing, No. 23, 2008, hal. 603-612.

pengembang teknologi. Secara umum seorang wirausaha digambarkan sebagai orang yang mengatur, mengelola, dan mengasumsikan risiko bisnis atau perusahaan.28

Carner mendefinisikan entrepreneurship sebagai pusat model pembangunan ekonomi yang terintegrasi, menggabungkan teori keuntungan dan bunga, serta teori siklus bisnis dan sistem kapitalis.29 Pengusaha adalah inovator, yang membawa kombinasi dari hal-hal berikut: pengenalan produk baru, pembukaan pasar baru, penaklukan sumber-sumber bahan baru, dan organisasi industri baru. Sedangkan menurut studi Morrison, profil seorang wirausahawan adalah sebagai berikut:

1. Cerdas dan analitis

2. Memiliki serangkaian moral, sosial dan etika bisnis 3. Menunjukkan naluri pedagang dasar, dan

4. didedikasikan untuk pembelajaran seumur hidup dalam berbagai bentuk.

Bakat yang termasuk dalam definisi Morrison adalah persyaratan penting untuk menjadi pengusaha sukses di era pengetahuan.30 Sedangkan Anayakoha menggambarkan wirausahawan sebagai orang yang memilih, mengasumsikan risiko, mengidentifikasi peluang bisnis, mengumpulkan

28Woolf, Webster's New Collegiate Dictionary, (Springfield, MA: G. & C. Merriam Company, 1980), hal. 790.

29Carnier T.A. “A perspective on Entrepreneurship”. Harvard Business Review, August- September, 1996. pp. 103-108.

30Morrison, A. “Entrepreneurship: What Triggers it” International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research, No. 6, Vol. 2, 1999, hal. 59-71.

sumber daya, memulai tindakan, mendirikan organisasi, dan perusahaan untuk memenuhi permintaan atau peluang pasar tersebut.31

Semangat kewirausahaan membutuhkan latar belakang sosial dan budaya yang sesuai untuk memulai motif penciptaan usaha dan aspirasi untuk keunggulan di berbagai bidang akademik untuk menciptakan usaha yang sukses.32 Bahkan individu-individu yang termotivasi oleh faktor- faktor seperti penghargaan finansial, prestasi, sosial, karir, dan pemenuhan individu membutuhkan budaya nasional yang mendukung dan mendorong aktivitas kewirausahaan.33 Bahwa Entrepreneurship hebat tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi mereka adalah produk dari masyarakat dan budaya yang berorientasi kewirausahaan.

Berdasarkan definisi di atas, Entrepreneurship mengacu pada kemampuan individu untuk mengubah ide menjadi tindakan. Ini mencakup kreativitas, inovasi dan pengambilan risiko, serta kemampuan untuk merencanakan dan mengelola proyek untuk mencapai tujuan. Ini mendukung semua orang dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan di masyarakat, membuat karyawan lebih sadar konteks pekerjaan mereka dan lebih mampu menangkap peluang, dan memberikan landasan bagi Entrepreneurship dalam membangun aktivitas sosial atau komersial.

31 Anyakoha, Practical Tips for Economic Empowerment and Surviva, (Nsukka: AP Express, 2006), hal. 80.

32 Hogarth-Scott & Wilson, Encouraging Future Entrepreneurs: The Effect of Entrepreneurship Course Characteristics on Entrepreneurial Intention, (University of St.Gallen, St.Gallen, 1998), hal. 124.

33 Lee, S.M.& Peterson,“Culture, Entrepreneurial Orientation, and Global Competitiveness” Journal of World Business, 35, 2000, hal. 401-416.

a. Karakteristik Entrepreneurship

Karakteristik umum kewirausahaan dapat dilihat dari berbagai aspek kepribadian seperti: jiwa, watak, sikap dan perilaku seseorang.

Dari berbagai penelitian yang ada ditemukan sembilan belas karakteristik penting wirausaha yang diperoleh dari tujuh penelitian yang pernah dilakukan. Kesembilan belas karakteristik itu dikelompokkan menjadi enam sifat unggul sebagai berikut:

1) Percaya diri 2) Originalitas

3) Berorientasi Manusia 4) Berorientasi Hasil Kerja 5) Berorientasi Masa Depan 6) Berani Mengambil Risiko.34

Penelitian Mc Ber & Co di Amerika Serikat pada usaha kecil menemukan sembilan ciri wirausaha yang berhasil, yang dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:

1) Bersifat proaktif, yaitu inisiatif yang tinggi dan asertif.

2) Orientasi prestasi, yaitu melihat kesempatan dan bertindak langsung, orientasi efisiensi, menekankan pekerjaan dengan kualitas tinggi, perencanaan yang sistematis, monitoring.

34 Muchson, Entrepreneurship (Kewirausahaan), (Surabaya: Guepedia, 2017), hal. 47.

3) Komitmen dengan pihak lain, yaitu komitmen yang tinggi pada pekerjaan, dan menyadari pentingnya hubungan bisnis yang mendasar.35

b. Faktor-faktor keberhasilan pengusaha (entrepreneur) 1) Motivasi

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for Entrepreneurial Research menemukan 69% siswa menengah atas ingin mulai menjalankan usaha mereka sendiri. Motivasi utamanya adalah be their own bosses (jadilah bos sendiri).36

2) Usia/umur

Menurut National Federation of Independent Business, Washington, usia saat seseorang memulai usaha sendiri adalah Umur Kronologis bervariasi. Menyatakan bahwa kebanyakan wirausaha memulai usahanya antara umur 25-30 tahun. Sementara Staw mengungkapkan bahwa umumnya pria memulai usaha sendiri ketika berumur 30 tahun dan wanita pada umur 35 tahun.

Hurlock berpendapat bahwa perkembangan karier berjalan seiring dengan perkembangan manusia. Setiap kelompok manusia memiliki cirri-ciri khas bila dikaitkan dengan perkembangan karier.37

35Zimmerer, TW dan Scarborough, Essential of Entrepreneur and Small Business Management 2th Prentice Hall.1998.

36Zimmerer, TW dan Scarborough, Essential of Entrepreneur…hal.123.

37 Meng, LA dan Liang TW, Entrepreneur, Entrepreneurship and Enterprising Culture, Paris: Addison-Wesley Company. 1996, hal.125.

Pendapat Hurlock senada dengan pendapat Staw bahwa umur bisa terkait dengan keberhasilan. Sedangkan Bedanya, Hurlock menekankan pada kemantapan karier, tetapi Staw menekankan bertambahnya pengalaman. Menurut Staw umur bisa terkait dengan keberhasilan bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha. Dengan bertambahnya pengalaman ketika umur seseorang bertambah, maka umur memang terkait dengan keberhasilan.

3) Pengalaman

Pengalaman dalam menjalankan usaha merupakan predictor terbaik bagi keberhasilan, terutama bila bisnis baru itu berkaitan dengan pengalaman bisnis sebelumya. Wirausaha yang memiliki usaha maju saat ini bukanlah usaha pertama kali yang dimiliki. Pengalaman mengelola usaha bisa diperoleh sejak kecil karena pengasuhan yang diberikan oleh orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha.

4) Pendidikan

Menurut penelitian Kim para wirausaha di Singapura, bahwa wirausaha yang berhasil memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dari pada wirausaha yang kurang berhasil. Sedangkang dalam penelitian Jacobowitz & Vidler Hasil wawancara dengan 430 wirausaha menunjukkan bahwa mereka memiliki pendidikan

yang kurang memadai, yaitu 30% drop-out dari Sekolah Menengah Atas. Hanya 11% lulus dari universitas 4 tahun.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas,dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha skala kecil,dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha.

2. Konsep Pondok Pesantren

Di Indonesia, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia. di Jawa (termasuk Sunda dan Madura) umumnya disebut “pesantren” atau “pondok” atau

“pondok pesantren”.38 Sedangkan di Aceh, istilah pesantren sering disebut dengan “dayah” atau “rangkang” dan di Minangkabau disebut “surau”.39

Perkataan pesantren berasal dari kata dasar santri yang diberi awalan pedan akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri. Menurut Prof.

Johns, sebagaimana dikutip Zamakhsyari Dhofier, santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji. Zamakhsyari Dhofier juga mengutip Berg yang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau orang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri

38Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: (Studi tentang Pandangan Hidup Kyai), hal.8.

Lihat A Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal.15.

39 M Dawam Raharjo (peny.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:LP3S, 1985), hal. 5.

berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.40

Pondok pesantren umumnya dikenal sebagai perguruan swasta yang berkemampuan tinggi dalam berswakarsa dan berswakarya dalam menyelenggarakan pendidikan. Misi mulia yang diembannya selama ini lebih bercorak ethico religious dengan orientasi pembentukan dimensi kepribadian anak didik baik dari segi pembinaan agama (diniyyah tahzibiyyah) dan pembinaan jasad, akal, dan jiwa (Khalqiyyah).41 Di era modern Pesantren selain dituntut untuk memperkuat penanaman nilai-nilai spiritual (Ubudiyyah) kepada para santri, juga dituntut untuk memperkaya penanaman aspek tanggung jawab, rasionalitas dan pemecahan masalah.

Tanggung jawab (responsibility) pada konteks ini diartikan sebagai sikap konsisten dan disiplin melaksanakan apa yang benar (doing what right).

Rasionalitas artinya menggunakan akal sehat atau berorientasi pada pertanyaan mengapa. Sementara itu, pemecahan masalah adalah mengamalkan apa yang kita ketahui dan kuasai ke dalam tindakan (putting what you know and what you can do into action).42

Pesantren merupakan salah satu model dari pendidikan berbasis masyarakat. Kebanyakan pesantren berdiri atas inisiatif masyarakat Muslim yang tujuan utamanya adalah untuk mendidik generasi muda

40 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi tentang Pandangan Hidup Kiai), hal.22.

41 Muslih Usa dan Aden Wijdan, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hal. 12.

42 Abdurrahman Mas’ud, Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat Madani, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti (ed), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani (Cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 141.

sehingga memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik.

Pesantren dengan hidupnya yang bersifat kolektif barangkali merupakan perwajahan atau cerminan dari semangat dan tradisi dan lembaga gotong royong yang umum terdapat di pedesaan.

a. Tujuan dan Fungsi Pondok Pesantren

Tujuan pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan banyak tentang ilmu-ilmu agama yang bertujuan membentuk manusia bertaqwa, mampu untuk hidup mandiri, ikhlas dalam melakukan suatu perbuatan, berijtihad membela kebenaran agama Islam. Selain itu juga, didirikan Pondok Pesantren pada dasarnya terbagi dua hal:

1) Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.

2) Tujuan umum, yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.43

Pesantren sejak berdirinya telah berpengalaman menghadapi berbagai corak masyarakat dalam rentang waktu yang berbeda.

Pesantren tumbuh atas dukungan mereka, bahkan pesantren berdiri

43 HM. Arifin dan Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 1996, hal. 44.

karena didorong permintaan dan kebutuhan masyarakat, sehingga pesantren memiliki fungsi yang jelas.

Fungsi pesantren pada awal berdirinya sampai dengan kurun sekarang telah mengalami perkembangan. Visi, posisi, dan persepsinya terhadap dunia luar telah berubah. Pesantren pada masa awalnya berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama islam. Kedua fungsi tersebut saling menunjang. Pendidikan dapat dijadikan bekal dalam mengumandangkan dakwah sedang dakwah bisa dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan. Sebagai lembaga dakwah, pesantren berusaha mendekati masyarakat. Pesantren bekerja sama dengan mereka dalam mewujudkan pembangunan. Warga di dalam pesantren telah terlatih melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, menurut Ma’sum fungsi pesantren sekarang mencakup tiga aspek yaitu fungsi religius, fungsi sosial, dan fungsi edukasi.44

b. Pendidikan Entrepreneurship di Pondok Pesantren

Partisipasi pesantren dalam pendidikan non-formal berbasis perekonomian merupakan salah satu bentuk pembaharuan dalam meminimalisir tingkat pengangguran dari para alumni santri yang sudah menamatkan pendidikannya di pondok pesantren. Para alumni nantinya dibekali dengan keterampilan khusus sebagai bekal dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Pondok pesantren dapat

44 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga, hal. 23.

mengelola pendidikan kewirausahaan seperti keterampilan pertanian modern, perkebunan, pertukangan, peternakan, perikanan, teknologi informasi dan lainnya, dalam menyiapkan kader alumni sebagai sumber daya insani yang kreatif dan inovatif dalam mengais rezeki setelah menamatkan pendidikannya di pondok pesantren. Selain itu, pesantren juga perlu memperkenalkan pendidikan perkoperasian kepada para santri agar para alumni nantinya dapat merealisasikan kewirausahaannya melalui bantuan permodalan dari koperasi yang dirintis oleh pondok pesantren.45

Dukungan para kiai memiliki peranan penting dalam mengembangkan wawasan keagamaan Islam dan wawasan sosial dalam menangkap pesan, pada saat zaman yang selalu berubah dan dinamis, dengan menempatkan dirinya sebagai pemandu perubahan dalam mengoptimalkan perubahan dengan kegiatan pengembangan masyarakat menuju terbentuknya struktur masyarakat yang lebih baik dan lebih sejahtera. Paradigma pesantren yang saat ini masih dianggap terbelakang dan gagap teknologi harus dirubah menjadi lembaga yang menyediakan skill dan kompetensi yang tidak hanya memiliki pemahaman ilmu agama tetapi, juga mampu bersaing dalam menyediakan lapangan kerja dalam mensejahterakan lingkungan masyarakat disekitarnya.

45 Khotibul Umam, “Pendidikan Kewirausahaan di Pesantren Sebagai Upaya dalam Membangun Semangat Para Santri Untuk Berwirausaha”, (EKSYAR: Jurnal Ekonomi Syariah, Vol. 03, No. 01, Juni 2016), hal.54.

3. Penguatan Entrepreneurship Pesantren

Untuk merangsang perkembangan ekonomi yang pesat terutama di negara berkembang, negara seperti Indonesia, penting untuk fokus mempersiapkan wirausahawan yang memulai bisnis baru atau mengembangkan bisnis yang sudah ada.

Melalui penguatan kewirausahaan di Pesantren dipandang sebagai langkah strategis dalam upaya mengatasi permasalahan ekonomi bangsa.

Pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh adanya aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh kalangan wirausaha. Pendapat tokoh ahli ekonomi menyampaikan dibutuhkan 2% wirausaha atau 4, 6 juta wirausahawan untuk dapat memajukan perekonomian bangsa.46

Untuk memperkuat perekonomian bangsa tentunya pondok pesantren melakukan strategi khusus dalam membentuk calon entrepreneur muda di pondok pesantren, dengan demikian Pendidikan wirausaha yang efektif dan efisien, untuk memperkuat entrepreneurship di pondok pesantren :

a) Harus ada seminar, lokakarya dan konferensi reguler untuk staf, siswa dan masyarakat umum untuk memperkuat dan memfokuskan kembali pada pendidikan kewirausahaan.

b) Perencana dan administrator pendidikan perlu memastikan bahwa ukuran kelas dipecah menjadi ukuran yang dapat diatur. Dengan

46 Hilyati Milla, “Pendidikan Kewirausahaan: Sebuah Alternatif Mengurangi Pengangguran Terdidik Dan Pencegahan Korupsi”, (Jurnal Al-Ta'lim, Jilid 1, Nomor 6 November 2013), hal. 465.

demikian, peserta didik akan diawasi dengan lebih baik tentang praktik mereka dan hasilnya menjadi lebih dapat dicapai.

c) Penilaian berkelanjutan harus diberikan dengan benar kepada siswa tanpa kegagalan dan dipantau oleh profesional terlatih. Harus ada penyediaan sarana prasarana yang memadai. Bahan ajar harus memadai dan dalam kondisi baik.

d) Hanya guru yang berpengetahuan luas yang boleh dipekerjakan untuk mengajar dan memimpin pusat kewirausahaan yang baru-baru ini disetujui oleh pengurus pondok pesantren. Pemerintah juga harus mendorong badan-badan swasta untuk mendirikan pusat studi yang baik dengan personel yang berkualifikasi untuk mendidik dan melatih calon wirausahawan di negara ini.

e) Pemerintah harus meningkatkan anggaran untuk pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang pendidikan kewirausahaan wajib dengan jumlah yang harus dikeluarkan untuk merealisasikan tujuan pendanaan.

f) Pemuda harus diperkenalkan dengan kegiatan kewirausahaan pada tahap awal mereka untuk memungkinkan mereka tumbuh bersama dengan program di dalam dan di luar sekolah. Pemerintah harus memasukkan skema pelatihan praktis/lapangan dalam kurikulum kewirausahaan wajib yang ada di pondok pesantren.

g) Mata pelajaran kewirausahaan harus diperkenalkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di semua sekolah menengah di Negara ini.

Melalui metode ini siswa yang melampaui ke tingkat universitas menjadi fasih dengan prinsip tuntutan kewirausahaan.

h) Guru Kewirausahaan, atau pelatih harus secara berkala dilatih kembali dan didorong di bidang penelitian untuk memperbarui keterampilannya agar relevan di era lingkungan yang dinamis dan global saat ini.47 4. Pesantren, Entrepreneurship dan Pembangunan Ekonomi

Pesantren merupakan pilar yang sangat kuat dalam membangun ekonomi bangsa Indonesia, peran dan kontribusinya yang diberikan kepada bangsa Indonesia pada saat ini bukan sekedar mentransfer ilmu agama kepada santri tetapi pesantren ikut andil dalam kemerdekaan bangsa Indonesia.48

Namun sekarang ini pesantren mengalami pergeseran nilai yang sangat luar biasa khususnya berkaitan dengan dunia pekerjaan. Berbicara tentang pekerjaan tentunya berbicara mengenai bagaimana untuk memenuhi kebutuhan hidup di duniawi, apalagi sampai mengembangkan entrepreneurship maka sekarang ini perkembangan entrepreneurship di pondok pesantren sekarang ini sudah menjadi kewajiban atau kebutuhan apalagi dikaitkan dengan pendidikan pesantren yang mengedepankan kejujuran, disiplin, kerja keras dan mandiri. Semua ini nilai pendidikan

47Uzoma-okorie, “Achieving Youth Empowerment Through Repositioning Entrepreneurial Education In Nigerian Universities: Problems And Prospects”, European Scientific Journal Oktober 2013 edition vol.9, No.28 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431

48 Hery Cahyo Bagus Setiawan, “Kontribusi Praktik Kewirausahaan di Pondok Pesantren Entrepreneur Mukmin Mandiri Waru Sidoarjo”, Jurnal Riset Entrepreneurship, no. 2, vol. 2, 2019, hal. 9.

yang dikembangkan oleh pondok pesantren tersebut merupakan jiwa dalam berwirausaha.

Dengan adanya entrepreneur muda di lingkungan pondok pesantren mampu menjadi agen perubahan yang strategis dalam membangun bangsa dan perekonomian Indonesia di masa mendatang. Dalam sejarah dunia telah diakui selama berapa dekade entrepreneurship adalah pendorong utama ekonomi. Kekayaan dan sebagian besar lapangan pekerjaan disediakan oleh bisnis kecil yang dimulai oleh individu yang berjiwa wirausaha, banyak diantaranya kemudian menciptakan bisnis besar.49 H. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian field research adalah penelitian yang dilakukan di lapangan, baik itu instansi pemerintahan, lembaga pemasyarakatan.50 Pendekatan ini, data-data yang terkait dengan masalah yang dibahas dan dijabarkan secara deskriptif interpretatif.51 Bogdan dan Tayloar dalam bukunya Moleong mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan penelitian kualitatif adalah penelitian yang

49Uzoma-okorie, “Achieving Youth Empowerment Through Repositioning Entrepreneurial Education In Nigerian Universities: Problems And Prospects”, European Scientific Journal Oktober 2013 edition vol.9, No.28 ISSN: 1857 -7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431

50 Sumandi Subrata, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Gerpindo, 1998), hal. 23.

51 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2002), hal.3.

Lihat juga Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gremedia, 1991), hal.31.

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.52

Mengenai jenis pendekatan kualitatif yang peneliti pakai merupakan pendekatan kualitatif deskriptif analitis. Data yang diperoleh dianalisi dan diuraikan dengan kata-kata. Peneliti memilih menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif analitis oleh sebab itu, peneliti menguraikan dan mengungkapkan, dan menganalisis bagaimana entrepreneur muda dan penguatan ekonomi berbasis komunitas (studi kasus di Pondok Pesantren Unwanul Falah NW Paok Lombok) dalam berbentuk kata-kata tidak berbentuk angka-angka. Oleh karena itu, untuk bisa mendeskripsikan fenomena-fenomena tersebut, peneliti berinteraksi dengan subyek peneliti sehingga data yang dibutuhkan bener-bener didapatkan serta memiliki tingkat kredibilitas data yang akurat.

Berdasarkan hal tersebut, penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini relevan dengan tujuan kegiatan peneliti yaitu untuk memahami entrepreneur muda dan penguatan ekonomi berbasis komunitas (studi kasus di Pondok Pesantren Unwanul Falah NW Paok Lombok) secara mendalam.

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai

52 Pendekatan kualitatif sering juga disebut dengan metode penelitian naturalistic, karena penelitian yang dilaksanakan pada kondisi yang alamiah, metode ini banyak digunakan pada penelitian sosiologis antropologis. Lihat Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:

Rosda Karya, 2002), hal.3.dan juga Sugiyono Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2015), hal. 14.

Dokumen terkait