• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MENGENAL KH. HUSEIN MUHAMMAD, SYEIKH

B. Mengenal Syeikh Nawawi al-Bantani dan Kitab Uqud al-Lujain

2. Kritik KH. Husein Muhammad terhadap Kitab Uqud al-

Sebelum membahas mengenai kritik Kiai Husein terhadap Uqud al- Lujain, alangkah baiknya bila mengetahui alasan dan tujuan Kiai Husien dalam mengkritik kitab tersebut. Hal ini karena, kritik Kiai Husein tidak berangkat dari ruang hampa, melainkan hasil dari pergesekan dan pergulatan pemikirannya-pemikirannya mengenai perempuan. Kiai Husein sendiri, menyadari betul bahwa kitab Uqud al-Lujain adalah kitab yang membicarakan relasi suami istri yang paling banyak dibaca, setidak-tidaknya di Pesantren Indonesia.41 Dan bukan hanya dalam waktu yang singkat, melainkan kitab ini telah menjadi pegangan pesantren selama dua abad.42

Seperti pengakuan Kiai Husein sendiri, alasan kenapa ia mengkritik Uqud al-Lujain, ialah karena di dalam kitab ini, ada banyak hal yang bisa disanggah dari sisi keagamaannya, karena terdapat banyak diskriminasi terhadap perempuan, juga terdapat misoginis, kebencian kepada perempuan.

Menurutnya, Islam tidak begitu. Karena itu, kemungkinan ada tafsir yang subjektif dari Syeikh Nawawi, yang kontekstual. Mungkin juga dari sisi sanadnya ada yang tidak sahih, matannya juga tidak masuk akal, bertentangan

40Ibid., 316-317.

41Ibid., 106.

42Husein Muhammad, Wawancara, Jember, 25 Agustus 2017, melalui telepon.

dengan hadits yang lain, bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an.43 Adapun tujuannya, Kiai Husein ingin melakukan perubahan besar terhadap pemahaman teks-teks agama, terutama di kalangan pesantren yang dianggapnya memberikan pemahaman bias terhadap perempuan.44

Kemudian, mengenai kritik Kiai Husein terhadap Uqud al-Lujain, setidaknya dapat dibagi menjadi dua fokus permasalahan. Pertama, mengenai hadits-hadits yang terdapat dalam Uqud al-Lujain. Menurut Kiai Husein, Syeikh Nawawi mengutip lebih dari 100 buah hadits dan hikayat. Akan tetapi, Syeikh Nawawi seringkali tidak memberikan catatan apa pun tentang nilai keabsahan dari hadits atau cerita yang menjadi landasannya. Dia tidak melakukan takhrij (penilaian).45 Mengenai hal ini, Kiai Husein bahkan sempat membandingkan Syeikh Nawawi dengan Imam Nawawi Syarafuddin, dengan menulis bahwa:

"Tulisan-tulisan Syeikh Nawawi banyak mengutip hadits-hadits nabi dan kisah-kisah yang sangat menarik dan mungkin saja dipandang aneh, meskipun kadang sulit dipahami nalar. Banyak orang menyebutnya sebagai cerita-cerita israiliyat karena cerita-cerita seperti ini banyak ditemukan dalam buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Yahudi untuk memberi interpretasi terhadap kitab suci mereka. Dalil-dalil keagamaan yang umumnya diambil dari karangan-karangan ulama lain ini oleh Nawawi dijadikannya sebagai cara untuk mendukung pikiran- pikirannya. Akan tetapi, hadits-hadits dan kisah-kisah tersebut seringkali tidak diberikan penilaian, apakah shahih atau dhaif (lemah).

Tidak seperti Imam Nawawi Syarafuddin, Nawawi al-Bantani memang tidak dikenal sebagai ahli hadits. Selain itu, kitab-kitab Nawawi juga tidak mencantumkan catatan kaki atau referensi. Gaya penulisan tanpa catatan kaki dan bahkan daftar referensi seperti itu memang telah lazim

43Ibid.

44 M. Nooruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 174.

45Muhammad, Fiqh Perempuan, 234-235.

dalam karya-karya tulis yang berkembang pada masa itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila para peneliti karya-karyanya seringkali menghadapi kesulitan untuk melacak sumber kutipan Nawawi."46 Kiai Husein bahkan pernah mengatakan bahwa Syeikh Nawawi adalah orang yang suka menulis, tetapi seringkali hanya memindah-mindahkan.

Analisisnya kadang-kadang serius, kadang-kadang tidak.47 Selain itu, Kiai Husein juga berkomentar mengenai penulis-penulis yang haditsnya dirujuk oleh Syeikh Nawawi, sebagai berikut:

"Hadits-hadits yang dinukil, memang bukan khas milik Nawawi.

Hadits-hadits tersebut dikutipnya dari sejumlah referensi klasik lain yang dalam tradisi keilmuan di pesantren juga memiliki tingkat otoritas yang tinggi, seperti Ihya Ulum al-Din, karya Abu Hamid al-Ghazali, Al- Zawajir, karya Ibnu Hajar al-Haitami, Uqubat ahl al-Kabair, karangan Abu Laits al-Samarqandi, Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Mundziri dan Al-Kabair, karya Al-Dzahabi. Lima buah kitab ini merupakan sumber primer bagi karya al-Nawawi di atas. Sumber lainnya adalah Al- Jami' al-Shagir, karya Jalal al-Din al-Suyuthi, Syarh Ghayah wa al- Taqrib, Tafsir Khazin dan Tafsir Khatib al-Syarbini. Para penulis buku- buku klasik ini, seperti diketahui pada umumnya adalah pada pengikut madzhab Syafi'i aliran Iraqi yang memiliki kecenderungan tekstualis.

Secara kultural semua pikiran-pikiran para tokoh terkemuka itu membentuk kekuatan argumen yang sangat kokoh di kalangan kaum muslimin Indonesia, khususnya komunitas Pesantren. Nawawi dan para ulama di atas barangkali tidak salah dan boleh jadi tidak dalam rangka menumpahkan kebenciannya terhadap perempuan. Pernyataan dan pandangan-pandangannya dalam buku ini tampaknya merupakan refleksi belaka atas kultur masyarakat yang memang patriarkhis."48 Hadits-hadits yang ditulis Syeikh Nawawi dalam 'Uqud al Lujain sendiri, menurut Kiai Husein, setelah dilacak melalui penelitian pada sisi transmisinya (sanad), ternyata ada sekitar 30 hadits yang sama sekali tidak

46Ibid., 232.

47Husein Muhammad, Wawancara, Jember, 25 Agustus 2017, melalui telepon.

48Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, 86.

valid dan tidak akurat.49 Selanjutnya, ada sekitar 22 hadits lain yang masuk dalam kategori dha'if (lemah).50 Sebagian hadits bahkan tidak diketahui sumbernya. Kiai Husein menemukan lebih dari 20 hadits dalam kategori ini."51

Selain itu, hadits-hadits di dalam Uqud al-Lujain banyak sekali yang menderitakan perempuan, misoginis—semacam kebencian kepada perempuan.

Salah satu yang disoroti Kiai Husein, misalnya adalah hadits berikut ini:

ْﻮَﻟ َﺎﻴِﻗ َﻪَﻠْـﻴَﻟ ْﺖَﻠَﻌَﺟ ًتَاَﺮْﻣِا ﱠنَا َﺎََو ًم

َﺎﻴِﺻ َﺎﻫَر َﺎﻬَﺟْوَز َﺎﻫَﺎﻋَدَو ًم ِﻓ َﱃِا

َاو َﺔَﻋَﺎﺳ ُﻪْﻨَﻋ ْتَﺮﱠﺧﱠﺄﺗَو ِﻪِﺷَاﺮ ًةَﺪِﺣ

َﻣَﺎﻴِﻘْﻟا َمْﻮَـﻳ ْتَءَﺎﺟ ﱠﻼﱠﺳﺎِﺑ ُﺐَﺤْﺴُﺗ ِﺔ

َْﻷَو َﻞِﺳ َﻞَﻔْﺳَا َﱃِا َْﲔِﻃَﺎﻴﱠﺸَﻌَﻣ َلَﻼْﻏ ﻟا

ﱠﺎﺴ َْﲔِﻠِﻓ

Ketika mengomentari hadits di atas, Kiai Husein mengatakan bahwa:

"Andaikata seorang perempuan menjadikan waktu malamnya untuk shalat, siang harinya untuk berpuasa, lalu suaminya memanggilnya ke tempat tidur sedangkan istri menundanya sesaat, maka kelak pada Hari Kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu, berkumpul dengan setan-setan hingga sampai di tempat yang serendah-rendahnya. Gimana masuk akal?"52

Ada lagi hadits, bahwa perempuan yang keluar rumah tanpa izin suaminya akan dilaknat kullu syai'in fi as-sama'i wa al-'ardh wa inkana dhaliman: oleh semua yang ada langit dan bumi, meskipun suami itu dhalim.

Menurut Kiai Husein, hadits ini juga tidak masuk akal.53

Kaidah yang digunakan Kiai Husein dalam mengkritik hadits-hadits dalam Uqud al-Lujain, menurut pengakuannya, ialah berdasarkan kaidah dari

49Ibid., 94.

50Ibid., 94.

51Muhammad, Fiqh Perempuan, 245.

52Husein Muhammad, Wawancara, Jember, 25 Agustus 2017, melalui telepon.

53Ibid.

para ulama. Menurutnya, dalam mengambil sebuah hadits, para ulama berpendapat bahwa: apabila Anda melihat sebuah hadits yang bertentangan dengan teks yang lain, apakah teks Al-Qur'an, atau hadits yang lain, atau bertentangan dengan akal, logika rasional, ketahuilah bahwa hadits itu maudhu'.54

Adapun kitab-kitab hadits yang dijadikan rujukan Kiai Husein dalam meneliti dan mengkritik Uqud al-Lujain adalah: al-Kutub as-Sittah, al-Jami ash-Shagir, Majma' az-Zawaid, al-La'ali' al-Mashnu'ah fi al-Ahadits al- Ma'udhu'ah, Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas min al-Ahadits 'ala Alsinat an- Nas, al-Jam' bain ash-Shahihain, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits, Al-Mughni 'an Haml al-Asfar dalam Ihya Ulum ad-Din, Muntakhab Kanz al- Ummal, Mausu'ah Athraf al-Hadits, Misykat al-Mashabih, As-Sunan al-Kubra, Ash-Shahih al-Musnad min ma Laisa fi ash-Shahihain, dan At-Targhib wa at- Tarhib li al-Mundziri. Selain itu, dilakukan juga penelitian terhadap kitab-kitab yang terkait. Beberapa di antaranya adalah: Hilyah al-Auliya wa Thabaqat al- Ashfiya karya al-Hafizh Abu Nuaim al-Ishfahani, kitab-kitab thabaqat (biografi), At-Taqrib li Ibnu Hajar, dan Tahdzir al-Muslimin.55

Kedua, mengenai materi dalam kitab Uqud al-Lujain. Menurut Kiai

Husein, komposisi pembahasan yang menyangkut hak-hak suami lebih besar ketimbang kewajibannya. Sebaliknya, kewajiban-kewajiban istri lebih besar daripada hak-hak yang dimilikinya. Di sini, kecenderungan Syeikh Nawawi

54Ibid.

55Muhammad, Fiqh Perempuan, 245-246.

terlihat sangat patriarkhis.56 Kuantitas pembahasan mengenai hak dan kewajiban suami istri juga menunjukkan bias laki-laki dari Syeikh Nawawi dalam kitab Uqud al-Lujain. Dalam hal ini, kewajiban yang harus dipikul laki- laki (suami) dibahas dalam 3 (tiga) halaman, sementara bahasan mengenai sebaliknya dikemukakan secara panjang dalam 6 (enam) halaman lebih.57

Kiai Husein menyebut bahwa secara umum, pandangan Syeikh Nawawi dalam kitab Uqud al-Lujain, memperlihatkan kecenderungannya yang sangat kuat terhadap perspektif patriarki. Laki-laki, menurut pandangan ini, memegang peranan penting dalam setiap aspek kehidupan dan diberikan hak untuk mengatur dan menentukan hampir segalanya. Sebuah pandangan yang memberikan kepada laki-laki sebuah porsi lebih tinggi daripada perempuan.

Jadi, ada perspektif superioritas laki-laki.58

Kiai Husein juga menolak pendapat Syeikh Nawawi yang mengatakan bahwa kaum laki-laki memiliki kelebihan atas kaum perempuan dalam banyak segi, baik secara kodrati atau secara hukum agama (syar'i). Menurut Kiai Husein, kelebihan (superioritas) laki-laki atas perempuan sebagaimana penafsiran Syeikh Nawawi atas an-Nisa: 34, bukanlah bersifat kodrati, melainkan konstruksi budaya sehingga dapat dipertukarkan dan bisa berubah.

Jelasnya, pandangan tentang superioritas laki-laki karena kelebihan akal dan kekuatan fisiknya tidaklah bersifat mutlak dan bukan sesuatu yang kodrati.

Ayat Al-Qur'an sesungguhnya telah menyiratkan pandangan ini, melalui kata-

56Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, 84-85.

57Muhammad, Fiqh Perempuan, 240.

58Ibid., 236.

katanya: bima fadhdhala Allah ba'dhahum 'ala ba'dh (disebabkan Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain). Bahasa Al-Qur'an jelas tidak menyebutkan: bima fadhalahum 'alaihinna (disebabkan karena Allah melebihkan laki-laki atas kaum perempuan).59Karena itu, apa yang dipaparkan oleh Syeikh Nawawi melalui realitas yang dilihatnya bahwa hanya laki-laki yang menjadi ulama, menjadi pemimpin pemerintahan dan seterusnya, tidak dapat menafikan realitas yang lain tentang adanya sejumlah ulama perempuan, semacam istri-istri Rasulullah saw, Rabiah al-Adawiyah, dan lainnya. Bahkan, dewasa ini lahir sejumlah perempuan yang dengan sukses memimpin masyarakat, perusahaan, organisasi politik, bahkan juga memimpin bangsa.60

Kiai Husein juga mengkritik pandangan Syaikh Nawawi dalam Uqud al Lujain, yang mengatakan bahwa tugas kodrati istri adalah berada di dalam rumah dan menyelesaikan urusan-urusan di dalamnya. Dan lebih dari itu, karena posisi istri adalah sebagai tahanan bagi suami, maka istri mesti tunduk dan taat kepada suami sebagai pihak yang menahannya.61 Menurut Kiai Husein, status istri dalam hal ini seakan-akan dinyatakan sebagai hak milik penuh suami, dimana dia harus menuruti apa saja yang diinginkan suaminya.

Dia juga tidak diperkenankan menggunakan harta suami dan hartanya sendiri, kecuali atas izin suami.62Betapa seorang istri benar-benar terperangkap dalam genggaman tangan suami. Dia sama sekali tidak berdaya di hadapan suami.63

59Ibid., 238-239.

60Ibid., 239.

61Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, 313.

62Muhammad, Fiqh Perempuan, 241-242.

63Ibid., 244.

Menurut Kiai Husein, pandangan seperti yang diungkapkan Syaikh Nawawi tersebut, turut memberi konstribusi dalam menciptakan ketimpangan sosial yang merugikan kaum perempuan.64

3. Basis Pemikiran KH. Husein Muhammad dalam Mengkritik Kitab