• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki puluhan gunung aktif didunia. Tercatat sebanyak 129 gunung aktif berada di wilayah Indonesia dan merupakan sekitar 13% dari persebaran gunung api dunia (BNBP, 2010). Hal ini dikarenakan posisi Indonesia yang berada di titik pertemuan tiga lempeng tektonik bumi yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia dan Lempeng Pasifik sehingga Indonesia berada di jalur “The Pasific Ring of Fire”. Dimana ketiga lempengan tersebut saling bertumbukan yang mengakibatkan naiknya permukaan tanah sehingga terbentuk jajaran gunung-gunung di Indonesia.

Gambar 1.1 Peta Sebaran Gunung Api di Indonesia (Badan Geologi, 2011)

2 Sehingga Indonesia selalu tidak terlepas dari bencana alam terutama letusan gunung api setiap tahunnya. Rata-rata terdapat satu kali letusan gunung api, terhitung dari tahun 2002 s/d 2009 (BNPB, 2009).

Tabel 1.1 Rata-Rata Kejadian Bencana Indonesia Tahun 2002 s/d 2009 (BNPB, 2009)

Jenis Kejadian Rata-Rata Kejadian/Tahun

Banjir 297

Kekeringan 156

Kebakaran 147

Angin Topan 110

Tanah Longsor 92

Banjir dan Tanah Longsor 27

Gelombang Pasang 17

Kecelakaan Transportasi 14

Gempa Bumi 14

Kebakaran Hutan dan Lahan 10

Konflik/Kerusuhan Sosial 6

Letusan Gunung Api 1

Aksi Teror/Sabotase 1

Kecelakaan Industri 2

Gempa Bumi dan Tsunami 0.25

Walaupun rata-rata letusan gunung api tiap tahunnya hanya terjadi satu kali, letusan gunung api tidak bisa dianggap sebuah hal yang kecil, dikarenakan letusan gunung api dapat berdampak besar terhadap kehidupan manusia. Tercatat dalam sejarah, letusan gunung Tambora pada tahun 1815 yang mengeluarkan sekitar 1,7 ton abu dan material vulkanik. Sebagian dari material vulkanik menuju atmosfer dan membentuk lapisan yang menutupi atmosfer, sehingga menghalangi sebagian pancaran sinar matahari.

Akibatnya pada tahun 1816 menjadi tahun yang tidak memiliki musim panas yang berdampak pada gagalnya panen diberbagai daerah dan berujung pada bencana kelaparan. Lalu letusan gunung Krakatau pada tahun 1883,

3 diperkirakan kekuatan letusannya setara 200 megaton TNT atau kira-kira sekitar 13.000 kali kekuatan ledakan bom di Hiroshima. Dampak yang ditimbulkan dari letusan tersebut berupa tsunami yang menewaskan lebih dari 36 ribu jiwa. Dan gunung Merapi yang meletus pada tahun 928 mengakibatkan hancurnya sebuah kerajaan, yakni kerajaan Mataram (BNPB, 2010).

Gunung api aktif Indonesia dibedakan menjadi tiga tipe, yakni tipe gunung A, B, C. Terdapat sebanyak 79 gunung untuk tipe A, sedangkan untuk tipe B terdapat 29 gunung dan tipe C terdapat 21 gunung (Zaennudin, 2010). Untuk tipe gunung A perlu dilakukan kegiatan pemantauan dikarenakan gunung dengan tipe ini terbilang masih aktif. Tercatat gunung dengan tipe A pernah mengalami letusan sejak tahun 1600, berbeda dengan tipe gunung B dimana sejak tahun 1600 belum pernah mengalami letusan dan tipe gunung C yang hanya terlihat aktivitasnya berupa lapangan sulfatara dan fumalora (BNPB, 2009).

Gambar 1.2 Jumlah Tipe Gunung Indonesia (Zaennudin, 2010) Salah satu yang mendapat perhatian adalah gunung Semeru yang kegiatan erupsinya sangat aktif. Gunung yang masuk kedalam wilayah

79

29 21

0 20 40 60 80 100

A B C

Jumlah Gunung

Tipe Gunung

4 adminstratif Kabupaten Malang, Lumajang, Pasuruan, dan Probolinggo terbilang sangat aktif dikarenakan tingginya aktivitas vulkanologis yang terjadi. Kawah gunung Semeru sering kali mengalami letusan atau erupsi yang terjadi 3 sampai 4 kali setiap jamnya. Semenjak tahun 1967 letusan gunung Semeru terjadi dengan interval letusan antara 5-15 menit (Wahyudin, 2010). Dan semenjak 2 Mei 2012 status gunung Semeru berada di tingkat dua yakni Waspada.

Gambar 1.3 Letusan Semeru Tahun 2005 (PVMBG, 2014) Letusan gunung Semeru bersifat vulkanian dan strombolian. Tipe letusan vulkanian ditunjukkan dengan timbulnya letusan yang bersifat eksplosif diikuti dengan hancurnya kubah dan lidah lava yang sebelumnya telah terbentuk. Dan tipe letusan strombolian dicirikan dengan pembentukan kubah dan lidah lava baru. Pada umumnya ketika letusan eksplosif terjadi akan timbul awan panas atau sering disebut dengan “wedhus gembel”, yang mengalir turun melalui bukaan kawah dan lembah-lembah yang ada. Pada saat ini bukaan kawah mengarah kebagian tenggara dan menuju ke hulu Besuk Kembar, Besuk Bang, dan Besuk Kobokan.

5 Tabel 1.2 Frekuensi dan Potensi Penduduk Terdampak tahun 1962 s/d 2012

(BNPB, 2012)

Gunung Frekuensi Total (jiwa)

Marapi 14 19.957

Krakatau 17 0

Semeru 23 61.216

Batur 13 9.576

Lokon 14 17.590

Karangetang 28 0

Bila gunung tertinggi di pulau Jawa ini meletus diperkirakan akan mengancam sekitar lebih dari 60 ribu jiwa yang terbagi kedalam 45 desa yang terletak di dua Kabupaten yakni Lumajang dan Malang (BNPB, 2012).

Hal ini dikarenakan desa-desa tersebut masuk kedalam daerah berbahaya akibat letusan gunung Semeru. Terdapat 3 kawasan berbahaya gunung Semeru yang terbagi berdasarkan bahaya yang mungkin terjadi dikawasan tersebut, yakni kawasan rawan satu (I), kawasan rawan dua (II) dan kawasan rawan tiga (III).

Tabel 1.3 Jumlah Penduduk Terancam Erupsi Gunung Semeru (BNPB, 2012)

Indeks (KRB)

Laki-Laki (jiwa)

Perempuan

(jiwa) Total (jiwa)

I 5.554 5.688 38.468

II 5.738 5.768 11.506

III 18.898 19.570 11.242

Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari letusan gunung api di Indonesia dan salah satunya adalah gunung Semeru, Pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun Tentang Penanggulangan

6 Bencana yang disebutkan pada UU tersebut pada pasal 4 huruf “a”, penanggulangan bencana bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Dan dengan membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang mengatur kegiatan penanggulangan bencana.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana selaku pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana, menjalankan kegiatan tersebut dengan menggunakan paradigma pengurangan resiko. Penggunaan paradigma ini merubah pandangan mengenai kegiatan penanggulangan bencana yang bersifat responsif menjadi preventif melalui kegiatan pengurangan resiko atau sering disebut dengan mitigasi (BNPB, 2010). Dalam paradigma ini masyarakat dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengelola dan mengurangi resiko terjadinya bencana, dikarenakan masyarakat bukan lagi dianggap sebagai objek melainkan subjek dari penanggulangan bencana dalam proses pembangunan (Bakornas, 2007). Pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 pada pasal 26 ayat (1) huruf “b”, dijelaskan bahwa setiap masyarakat berhak untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Kemudian pada huruf “c”, bahwa setiap orang berhak mendapatkan informasi secara tertulis dan atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana. Dan pada pasal 27 huruf

“b”, dijelaskan bahwa setiap masyarakat berkewajiban untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana. Berdasarkan Undang-Undang tersebut masyarakat berhak dan wajib untuk terlibat dalam kegiatan penanggulangan

7 bencana yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana melalui peningkatan kemampuan menghadapi bencana dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya bencana. Hal ini dilakukan sebagai perwujudan dari Undang-Undang tersebut pada pasal 37 pada huruf “c”

yang berisi tentang, pengembangan budaya sadar bencana.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh untuk mengurangi segala resiko ketika terjadinya bencana. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana setidaknya terdapat empat hal utama dalam kegiatan pengurangan resiko bencana yakni (1) tersedianya informasi dan peta kawasan untuk masing- masing jenis bencana; (2) melakukan kegiatan sosialisasi guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana; (3) menjelaskan kepada masyarakat tentang hal yang diperlukan dan dihindari serta cara penyelamatan diri bila terjadi bencana; (4) melakukan pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana.

Untuk itu dibuatlah peta tematik kawasan rawan bencana dan disebarkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan ketika menetapkan sebuah kebijakan terutama kebijakan untuk tata ruang.

8 Gambar 1.4 Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Semeru

(PVMBG)

Bentuk lain penyebaran informasi mengenai bahaya letusan gunung yang disampaikan baik melalui media cetak (leaflet dan poster), elektronik serta melalui kegiatan penyuluhan seperti yang dilakukan BPBD Pasuruan dengan memberikan pembekalan materi terkait pengurangan resiko bencana kepada para siswa. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMAN 1 Purwosari. Sugeng Hariadi selaku Sekretaris BPBD Kabupaten Pasuruan yang memberikan materi kepada para siswa menuturkan, “Kita ini hidup di area bencana. Terutama Kabupaten Pasuruan ini, memiliki potensi bencana banjir, longsor dan putting beliung merata. Bahkan ada juga potensi bencana erupsi, di Bromo, Semeru. Dan jangan salah Gunung Arjuna-Welirang-Penanggungan sebenarnya hanya tidur, sewaktu-waktu bisa aktif lagi”. Beliau mengajak kepada para siswa untuk mengenali potensi, pencegahan atau mitigasi serta

9 mengetahui langkah-langkah antisipasi agar dapat mengurangi korban jiwa dan kerugian material.

Kemudian terdapat kegiatan gladi lapang simulasi letusan gunung Semeru. Menurut Ribowo selaku Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang, kegiatan ini bertujuan untuk melatih para warga agar siap terhadap semua kemungkinan bencana letusan dan sarana untuk melihat koordinasi antar pihak terkait.

Lalu dengan membentuk Kampung Siaga Bencana Mahameru di Desa Gubugklakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang yang diresmikan oleh Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa. Beliau menuturkan bahwa, “Kampung Siaga Bencana dibentuk untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam pengurangan resiko bencana sekaligus peningkatan kapasitas relawan masyarakat dalam penanggulangan berbasis masyarakat”.

Kemudian melakukan kegiatan pemantuan aktivitas vulkanologi gunung Semeru dilakukan baik secara visual, deformasi, dan kegempaan.

Proses pemantauan dilakukan pada pos pengamatan di G. Sawur, guna mengetahui aktivitas terkini dari gunung Semeru.

Namun dari upaya-upaya yang dilakukan tidak semua dapat berjalan dengan optimal, menurut Rencana Strategis BNPB Tahun 2015 – 2019 terdapat beberapa kekurangan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana seperti terbatasnya sarana dan prasarana, dan keterbatasan jaringan informasi dan komunikasi dalam hal kebencanaan. Kemudian bila merujuk pada upaya-upaya diatas, beberapa kegiatan pengurangan resiko bencana letusan gunung terfokus di daerah rawan bencana, salah satunya adalah

10 penyebaran informasi mengenai bencana letusan gunung api. Bila mengacu pada peraturan sebelumnya, seluruh masyarakat berhak mendapatkan informasi mengenai penanggulangan bencana, baik yang tinggal di daerah rawan ataupun yang tidak tinggal di daerah rawan bencana. Melalui informasi, masyarakat dapat menggambarkan bahaya yang terjadi dan dapat meningkatkan pengetahuannya terhadap bencana. Sejalan dengan meningkatnya pemahaman dan pengetahuan terhadap bencana diharapkan dapat meminimalisir jumlah korban jiwa, dikarenakan segala upaya pengurangan resiko atau mitigasi bertujuan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan dari bencana.

Terdapat beberapa penelitian yang membahas tentang kegiatan mitigasi bencana seperti penelitian dengan judul “Perancangan Sistem Informasi Geografis Pemetaan Daerah Rawan Tanah Longsor, Mitigasi Dan Manajemen Bencana Di Kabupaten Banjarnegara” (Setiadi, 2013).

Penelitian ini bertujuan untuk merancang sistem informasi geografis berbasis web yang dapat memetakan daerah-daerah rawan longsor dan mengelola data bencana sehingga dapat membantu pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan. Penelitian ini menggunakan metode Linier Sequence untuk membangun aplikasi dan Data Flow Diagram untuk perancangan sistem. Perbedaan dengan penelitian saya adalah penelitian saya terfokus pada bencana gunung api. Untuk pemetaan terdapat peta lokasi fasilitas pendukung seperti lokasi pengungsian, rumah sakit dan puskesmas yang bisa diakses. Kemudian terdapat informasi mitigasi bencana gunung api yang dapat dilihat di halaman beranda sistem.

11 Kemudian penelitian lain yang berjudul “Sistem Informasi Multi Ancaman Bencana Alam Di Aceh” (Nasaruddin, Munadi dan Yuliansyah, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk membangun sebuah sistem informasi berbasis web GIS yang menyediakan informasi bencana yang terdapat di Aceh. Informasi tersebut disampaikan melalui visualisasi peta multi ancaman bencana alam yang merupakan penggabungan satu peta bencana dengan peta bencana lainnya, sehingga terlihat hubungan antar keduanya atau lebih. Untuk pembuatan basis datanya penelitian ini menggunakan perangkat PostgreeSql dan PostGis untuk basis data spasialnya. Sedangkan untuk server menggunakan perangkat GeoServer. Perbedaan penelitian saya adalah pada penelitian saya terdapat informasi mitigasi bencana gunung api yang dapat diakses. Untuk pemetaan terfokus pada peta bencana gunung api.

Lalu terdapat penelitian lainnya yang berjudul “Manajemen Mitigasi Bencana dengan Teknologi Informasi di Kabupaten Ciamis” (Emaliyawati dkk, 2016). Penelitian ini menghasilkan sistem informasi berbasis web yang dapat memberikan informasi tentang elemen kesehatan seperti layanan kesehatan terdekat dari lokasi kejadian, sarana prasarana, dan sumber daya manusia. Sistem yang dibangun berfokus pad web GIS rumah sakit dan puskesmas. Penelitian ini menggunakan perangkat Mapserver dan PostgreSQL dalam pembangunan sistemnya. Perbedaan dengan penelitian saya adalah terdapat pemetaan kawasan rawan bencana gunung api sehingga dapat memvisualisasikan daerah yang rawan terhadap bahaya gunung api.

Kemudian terdapat informasi mitigasi yang dapat diakses.

Kemudian penelitian lainnya yang berjudul “Sistem Informasi Geografis Mitigasi Bencana Alam Berbasis Web Menggunakan Oracle

12 MapViewer” (Purwanto, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk membangun sistem informasi geografis berbasis web yang dapat memberikan informasi tentang bencana alam meliputi tumbukan, longsor dan gempa bumi di Indonesia melalui visualisasi peta. Perbedaan dengan penelitian saya adalah informasi yang disampaikan pada penelitian saya berupa bencana gunung api. Kemudian didalam penelitian saya terdapat informasi mitigasi bencana gunung api yang dapat diakses secara bebas.

Lalu penelitian lainnya yang berjudul “Perancangan dan Pembuatan Sistem Informasi Geografis Berbasis Web Mitigasi Bencana Alam (SIMiCA) di Provinsi Lampung (Basuki, Hasibuan dan Yusmiarti, 2013)”.

Penelitian ini menghasilkan sistem informasi berbasis web yang menyediakan informasi mengenai kerentanan alam dan tingkat resiko terhadap bencana alam di Provinsi Lampung. Data yang disajikan berupa visualisasi pemetaan kerentanan dan resiko bencana melalui web GIS.

Untuk server menggunakan perangkat Geoserver. Perbedaan dengan penelitian saya adalah terdapat informasi mitigasi bencana gunung api yang disajikan dalam aplikasi. Kemudian untuk pemetaan terdapat peta fasilitas pendukung seperti rumah sakit, puskesmas dan lokasi pengungsian.

Penelitian lainnya yang berjudul “Rancang Bangun Sistem Informasi Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi” (Firmansyah dan Karyana, 2008). Penelitian ini menghasilkan sistem informasi berbasis web seperti informasi spasial dan non-spasial terkait dengan bencana. Untuk informasi spasial berupa peta geologi gunung api dan peta kawasan rawan bencana gunung api yang ditampilkan dalam bentuk Web Geographic Information Sistem (GIS), sedangkan untuk gerakan tanah, gempa bumi dan

13 tsunami ditampilkan dalam bentuk peta dengan format raster image. Untuk informasi non-spasial disajikan berupa informasi gunung api, kejadian letusan gunung api, gerakan tanah, gempa bumi dan tsunami. Sistem yang dihasilkan juga dapat mendukung pihak terkait untuk mengambil keputusan.

Perbedaan dengan penelitian saya terdapat pada data yang digunakan, penelitian ini hanya terfokus kepada gunung api dan terdapat pemberitan informasi mitigasi bencana gunung api.

Kemudian penelitian lainnya yang berjudul “Rancang Bangun Spasial Web Service Ancaman Dan Resiko Bencana Alam (Studi Kasus:

Wilayah Pemantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana)” (Utami, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sistem informasi spasial web service mengenai daerah yang terkena ancaman dan teresiko bencana alam di Indonesia yang terintegrasi dengan perangkat mobile. Perbedaan dengan penelitian saya terletak pada objek bencana dimana penelitian ini fokus terhadap bencana gunung api. Kemudian pada penelitian saya terdapat pemetaan fasilitas pendukung mitigasi bencana seperti lokasi pengungsian, rumah sakit dan puskesmas.

Dari latar belakang yang telah dijabarkan diatas, peneliti bermaksud mengembangkan sistem informasi yang dapat menjawab berbagai permasalahan tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian ini peneliti mengangkat judul “Pengembangan Sistem Informasi Spasial Mitigasi Bencana Gunung Api (Studi Kasus: Gunung Semeru)”.

14

Dokumen terkait