BAB III METODE PENELITIAN
C. Hasil Penelitian
1. Pelanggaran Prinsip Kesantunan Leech
a) Pelanggaran Maksim Kemurahan/kedermawanan
Kedermawanan/kemurahan merupakan istilah yang mengarah kepada sikap atau perilaku suka memberi dan menolong. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Maksim Kedermawanan/
Kemurahan yaitu kurangi keuntungan diri sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri.
Dalam konteks tuturan sehari-hari yang spontan, banyak ditemukan pelanggaran terhadap maksim ini, baik disengaja maupun tidak disengaja. Seperti tuturan di bawah ini:
A:“berapaharganya duabasket?”
B:“Rp.350.000,- kita ambilkankiom.”
A:“Rp.300.000,- monah?”
B:“tidak bisa om, Rp. 175.000,- 1 basket rata na ambilkanki orangom.”
A:“Rp.330.000,- paenah?”
B:“tambahimiRp. 10.000,-om.”
A:“itumo ka ambilka 2basket.”
B: “tambahimi ye Rp. 10.000,- asalkan ada sedikit om, ka mahal
jugaki kodongmodalnya.”
A:“kasi’masukmi pae dikantong.”. (Lampiran kartu data 01).
Konteks tuturan di atas adalah seorang bapak yang hendak membeli ikan sarden kemudian bapak tersebut bertanya mengenai harga jual ikan sarden kepada penjual (juragang) ikan sarden berapa harga jual ikan tersebut kalau membeli lebih dari satu basket. Dari data tuturan di atas berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa tuturan yang diujarkan oleh (B) (penjual (juragang) ikan sarden) melanggar prinsip kesantunan Leech di akhir percakapan. Ada ungkapan bahwa sebagai manusia rajin-rajinlah melakukan kebajikan, salah satunya adalah dermawan.
Hendaknya sebagai seorang penjual harus memiliki rasa kasih sayang dan rasa bermurah hati kepada pembeli, bukan dengan cara mengemis demi mendapatkan tambahan sedikit uang. Sebagaimana tuturan yang diujarkan (B) (penjual (pacato’/mitra nelayan) ikan sarden)“tambahimi ye Rp. 10.000,- asalkan ada sedikit om, ka mahalki juga ki kodongmodalnya.” “ Penggunaan kata “kodong” pada tuturan (B) (penjual (juragang) ikan sarden) sangat jelas melanggar Maksim kedermawanan/Kemurahan.
b) Pelanggaran Maksim Penghargaan.
Dalam Maksim tersebut, setiap pelaku transaksi komunikasi diharuskan mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Setiap orang yang mematuhi maksim iniakan mendapatkan citra diri sebagai orang yang pintar menghormati
orang lain, dan akan mampu membangun kehidupan yang harmonis dan penuh dengan toleransi. Pelanggaran terhadap Maksim Penghargaan akan membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tahu caranya bagaimana cara menghormati orang lain, tidak tahu sopan santun, dan selalu iri hati. peneliti menemukan data tuturan yang melanggar maksim ini, sebagai berikut:
A: “ta’siapa tappu’nah?”
B:“e…ka'jalaki. Teamakow, tena kulle nuballi, maemakow boya maraeng.”
A: “siapaka tappu’nah?”
B:“teamakow, gappaka kusareko harga nanuta’bangka.Bannyangi tappu’na rawa.”(Lampiran kartu data 02).
Tuturan di atas berlangsung ketika seorang pembeli (pakulontong/
pengecer) ingin membeli ikan mairo dan hendak menawar ikan kepada penjual ikan mairo yang berjenis kelamin sama-sama laki dan juga seumuran. Tuturan yang diujarkan (B) termasuk tidak santun pada tuturan“e…ka'jalaki.Teamakow, tena kulle nuballi, maemakow boyamaraeng.”Dalam tuturan (B) tersebut melakukan celaan terhadap mitra tuturnya (A). Suatu tuturan dikatakan santun apabila salah satu diantaranya menjaga suasana perasaan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan kita. Tuturan tersebut yang diujarkan (B) melanggar Maksim Penghargaan dan mengandung unsur sarkasme.
Pada data berikut, peneliti menemukan pelanggaran mengenai maksim ini, dengan tuturan sebagai berikut:
A: “siapa tappu’na sibaske’?”
B:“limastangnga (Rp. 550.000,-)daeng.”
A:“appa’stangnga (Rp. 450.000,-)mo?”
B: “tena’ kulle sari’.”
C:“kurang stali lima(Rp. 475.000,-) pae?”
B:“tenamo kulle daeng lima mang tompi stangnga (Rp.550.000,-) tenamo kurang. Punna tenakirapiki, kipilarimi katte. Ka lima rua stangnga (Rp.525.000,-) antumodala’na.”.
(Lampiran kartu data 10).
Pelanggaran Maksim penghargaan terjadi pada tuturan “tenamo kulle daeng lima mang tompi stangnga(Rp. 550.000,-) tenamo kurang. Punna tena kirapiki, kipilarimi katte. Ka lima rua stangnga (Rp. 525.000,-) antu modala’na.” pada kata “Punna tena kirapiki, kipilarimi katte.” Walaupun ada kata “Katte” istilah adat Bugis Makassar untuk penghormatan kepada orang yang lebih tua namun dalam konteks ini ada kata “kipilarimi”, membuat tuturan tersebut menjadi tidak santun seyogyanya sebagai seorang pedagang salah satu modal utama yang harus dipegang yakni membuat kenyamanan pembeli sehingga barang dagangan bisa laku terjual. Pada data ini tuturan yang diujarkan telah jelas melanggar Maksim Penghargaan.
Data tuturan berikut yang masih mengenai pelanggaran Maksim Penghargaan dengan tuturan sebagai berikut:
A:“sareangmi rodong tawwa anne,nia’mi doe’na. ka kau sumpaepa nu’menteng-menteng tenapa nummalli, lampapi nganu harganalampa ero’makow malli.”
B: “sare tonga se’re pinggawa.”
A:“tayangmianjo mae punnania’inja allemi.”.
(Lampiran kartu data 17).
Maksim Penghargaan mengaharuskan para peserta tutur dituntut tidak mengeluarkan cacian pada lawan tuturnya. Seperti yang terjadi pada tuturan ini“sareangmi rodong tawwa anne, nia’mi doe’na. ka kau sumpaepa nu’menteng-menteng tenapa nummalli, lampapi nganu hargana lampa ero’makow malli.”. Tuturan tersebut mengandung unsur cacian terhadap lawan tuturnya ditambah dengan volume suara pada waktu itu sangat keras sehingga menimbulkan ketidaksantunan.
Ini jelas melanggar prinsip kesantunan Leech pada Maksim Penghargaan, yaitu kurangi cacian pada orang lain dan tambahi pujian pada orang lain.
c) Pelanggaran Maksim Kecocokan/Kemufakatan.
Maksim kecocokan sering disebut juga dengan Maksim Kesepakatan atau Maksim Kemufakatan. Di dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan
atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan antara diri penutur dengan dengan mitra tutur, masing- masing dari mereka akan bersikap santun. peneliti menemukan data tuturan yang melanggar maksim ini, sebagai berikut:
A: “siapa?”
B: “sampulo ringgit (Rp. 250.000,-).”
A: “ruangbi (Rp. 200.000,-) mo?”
B:“munna salapang ringgit (Rp.225.000,-) ta’baluka daeng.”
A:“salapangringgit (Rp. 225.000,-) pae?
B:“Dikana manna salapang ringgit (Rp. 225.000,-)ta’baluka.
Boli’mi.”. (Lampiran kartu data 03).
Pada tuturan di atas jelas bahwa adanya ketidakcocokan antara penjual (B) dengan pembeli (A). sebagaimana pada kartu data tertera terjadi tawar menawar, namun tidak ada kesetujuan atau kemufakatan.
Tuturan yang melannggar Maksim tersebut diujarkan oleh (B) dengan tuturan“Dikanamanna salapang ringgit(Rp. 225.000,-)ta’baluka.
Boli’mi.”.
Sampel yang peneliti temukan pelanggaran maksim ini, ada juga pada data tuturan berikut:
A:“bossambei rong limang kayu (5),ka caddi dudui?”
B:“teamakow nyambe-nyambei.Punna nyambe-nyambekow tena nummalli,ka nakke lagi tujuh ringgit (Rp.17.500,-) rata kualleangngi, lampa kau erokko pilei, tenamo numalli sari’
punna nupilei. Nuballassika antu.”(Lampiran Kartu data 05).
Konteks tuturan tersebut terjadi pada pagi hari sekitar jam 07:15 Wita pada hari Rabu, 6 Agustus 2014 seorang pakulontong (pembeli/pengecer) membeli ikan cakalang yang sudah putus harga.
Tuturan pada kartu data tersebut yang termasuk kategori tidak santun ialah“teamakownyambe-nyambei. Punna nyambe-nyambekow tena nummalli, ka nakke lagi tujuh ringgit (Rp.17.500,-) rata kualleangngi, lampa kau erokko pilei,tenamo numalli sari’ punnanupilei. Nu ballassika antu.” Tuturan tersebut jelas melangar prinsip Kesantunan Leech Maksim Kecocokan/kemufakatan, yang mengharuskan bahwa peserta tutur hendaknya saling membina kecocokan dan mengurangi ketidak sesuaian dengan mitra tuturnya.
Data tuturan berikut yang masih mengenai pelanggaran Maksim Kecocokan dengan tuturan sebagai berikut:
A: “siapa tappu’na layanga se’restangnga (Rp.150.000,-)?”
B:“tena nia’ se’restangnga (Rp.150.000,-) katte, jukuta’ruangbi tarallena (Rp.200.000,-) antu.”
A:“o…kukana ta’ se’re stangnga(Rp.150.000,-).”
B:“tenaniakatte,a’lappo-lappoka lagi battangna tase’re stangnga (Rp.150.000,-) lampaero’ki ga’gayya.”.
(Lampiran kartu data 16).
Seperti yang tertera di atas percakapan interaksi antara pakulontong yang hanya mengetes penjual (mitra nelayan) mengenai harga dari ikan tersebut. Tapi pacato’/penjual (mitra nelayan) dengan pakulontong (pembeli pengecer) tidak memilki kesepakatan atau kecocokan dalam hal harga ikan, seperti yang tertera pada kartu data 16 yang melanggar Maksim Kecocokan/Kemufakatan “tena nia katte, a’lappo-lappoka lagi battangna tase’restangnga (Rp.150.000,-) lampaero’ki
ga’gayya.”
2. Pematuhan Prinsip Kesantunan Leech a) Pematuhan Maksim Kebijaksanaan
Bijakasana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan sebagai sifat yang selalu menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam mengahadapi atau memecahkan suatu masalah. berikut ini ada data tuturan yang mematuhi Maksim Kebijaksanaan:
A:“nakkerong antu daengsibaske’ka leba’mi ku bayara.”
B:“taikamma anne, ka puniwangngi battu rawa ripabongkaranga, na kana ratemakow ripa’balukanga.”
C:“kammaannesari’,kitayangmi anjo mae ka jaiji. Ka anne tawwa nia’mi doe’nalampa sumpaepana’tayang.”
B:“tabe’ pae doe’na saretonga si baske’?”
C: “iye’, kitayangmi anjo mae.”(Lampiran kartu data 09).
Konteks tuturan di atas adalah sesama pakulontong (pembeli pengecer) saling berebut ikan yang telah putus harga. salah satu dari pakulontong (pembeli pengecer) telah lebih dulu menitip uang kepada pacato’ (mitra nelayan). Dari data tuturan tersebut berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa tuturan yang diungkapkan oleh (C) pacato’
(mitra nelayan) mematuhi prinsip kesantunan Leech pada maksim kebijaksanaan dengan tuturan “kamma anne sari’, ki tayangmianjo mae ka jaiji. Kaanne nia’mi doe’nalampa sumpaepa na’tayang.”
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bijaksana merupakan kecakapan dalam mengambil atau mengahadapi masalah. Seorang pacato’ (mitra nelayan) bijaksana dalam mengambil keputusan dengan menggunakan tuturan yang santun kepada lawan tuturnya, supaya kedua pakulontong (pembeli pengecer) tidak berselisih.
Data tuturan berikut yang masih mengenai pematuhan Maksim Kebijaksanaan dengan tuturan sebagai berikut:
A: “berapami itu udangta 1 kilo?”
B: “Rp. 35.000,-1 kilo.”
A: “kasi’ka 1 kilo?”
B: “tabe’ ibu udangta 1 kilo di’.”
A:“ini daeng uangta (Rp. 50.000,-)kembalimi?”
B:“maafibudi’tunggu sebentar kugantikanki uangta ka habiski uang kecilku.”. (Lampiran kartu data 13).
Interaksi antara seorang ibu dengan seorang penjual udang yang usianya terbilang cukup jauh, seorang penjual sudah berumur tua dibandingkan seorang ibu yang masih terbilang cukup mudah. Sebagai orang tua harus cakpa dalam mengambil keputusan dengan masalah yang dihadapinya. Ketika mendapatkan masalah seperti yang dujarkan oleh seorang ibu “ini daeng uangta (Rp. 50.000,-)kembalimi?”. Pada saat itu pula sorang penjual ini kehabisan uang kembalian, dari sini seorang penjual harus mengambil kebijaksanaan dengan mencari cara bagaimana sehingga dalam “tuturan selalu terlihat bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirasakan penutur”(wijana 1996:55).
Tuturan yang termasuk kategori santun pada maksim ini ialah tuturan yang diujarkan sorang penjual karena telah mampu mengambil kebijaksanaan dalam situasi tersebut dengan tuturan yang diujarkan
“maafibudi’tunggu sebentar kugantikanki uangta ka habiski uang keci lku.”
Ada lagi data tuturan yang peneliti temukan untuk pematuhan maksim ini, sebagai berikut:
A: “ini ibu ikanta’, tabe’.”
B: “iye’, tabe’ uangnya daeng.”
A: “tunggu kembaliannya ibu, ini ye’ kembalianta.’
B:“pak,lebihki uangkembaliannya.”
A: “o iye’, makasih banyak ibu.”
B: “sama-sama.”. (Lampiran kartu data 15).
Sesuai dengan konteks tersebut, maka tuturan yang telah dianalisis oleh peneliti, yang mematuhi prinsip kesantunan Leech pada maksim kebijaksanaan ada pada tuturan “pak, lebihki uang kembaliannya.”, sebagaimana telah dijelaskan bahwa maksim kebijaksanaan mengharuskan untuk kurangi kerugian pada orang lain dan tambah keuntungan orang lain.
b) Pematuhan Maksim Kecocokan/kemufakatan
Pada pematuhan maksim ini, peneliti menemukan data tuturan sebagai berikut:
A: “ta’ appa’mo (Rp. 40.000,-)?”
B:“tena’ kulle… teakow anjo appa stangnga (Rp. 45.000,-).
Allemi-allemi, ngallekowta’appa mamipalla’busuki.”.
(Lampiran kartu data 20).
Dari data tutran di atas peneliti dapat mengambil simpulan terhadap hasil analisis, bahwaberdasarkan prinsip kesantunan Leech pada maksim kecocokan/kemufakatan tuturan “tena’kulle…teakowanjo appa stangnga (Rp. 45.000,-). Allemi-allemi, ngallekow ta’ appa mami palla’busuki.” Bahwa ikan yang sebelumnya tidak cocok dengan harga yang dipasarkan pada saat itu, dijual mengingat dengan faktor
banyaknya penawaran harga. Sehingga ada kecocokan antara penjual dengan pembeli. Sebagaimana telah dijelaskan pada maksim ini dituntut adanya konvensional (kesepakatan/kecocokan) antara penutur dengan lawan tutur. menurut Wijana (1996:55) mengemukakan suatu tuturan dikatakan santun apabila memperhatikan hal-hal berikut salah satunya mempertemukan perasaan kita (penutur) dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan.
c) Pematuhan Maksim Kemurahan/Kedermawanan
Sesuai dengan prinsip kesantunan Leech pada maksim ini, peneliti menemukan data tuturan sebagai berikut:
A: “Rp. 35.000,-1 kilo.”
B: “kalau yang ini berapa 1 kilo?”
A: “Rp. 55.000,-1 kilo pak.”
B: “kasika 2 kilo.”
A:“pilihmaki yang besar-besarkabaru saya timbangkanki.”
B: “ini, timbangmi.”
A:“tabe’liatkidi’timbangannya pas 2 kgye’. Tabe’pak saya tambahkanki 3ekor.”
A: “terima kasih pak.”
B: “sama-sama.”. (Lampiran kartu data 07).
Tuturan yang dituturkan oleh seorang pembeli dan penjual dalam konteks soerang bapak (pembeli) membeli udang kepada seorang penjual. Seorang penjual memperlihatkan timbangannya kepada pembeli
bahwa timbangannya telah pas, dengan bermurah hati soerang penjual tersebut menambahkan udang kepada pembeli. Tuturan yang termasuk kategori santun menurut prinsip kesantunan Leech pada maksim kemurahan/kedermawanan ialah tuturan yang oleh penjual dengan tuturan“tabe’liatkidi’timbangannya pas 2 kgye’. Tabe’pak saya tambahkanki 3 ekor.”.
Peneliti masih menemukan data tuturan yang mematuhi maksim ini, sebagai berikut:
A: “apa riboya?”
B:“ero’ka malli boluta. Siapakammayaanne?”
A:“ta’sampulo lima sikayu (Rp.15.000,-)sari.”
B:“tena kulle sampulo ringgit (Rp.25.000,-) rua (2) sari,ero’ja ka’dokangi?”
A:“anggallemaki sari’munna sampulo ringgit (Rp.25.000,-) kaero’jaki ka’dokangi.Ammilei maq antue lompo-lompoa.”.
B:“annesari’ruang kayu (2),tabe’ doe’ta’
.
(Lampiran kartu data 08).Pada data tuturan tertera tersebut, tuturan yang mengandung unsur kesantunan dengan prinsip kesantunan Leech pada maksim ini terdapat pada tuturan (A) seorang penjual yang bermurah hati memberikan harga murah kepada pembeli, yang mana sebelumnya telah dijelaskan maksim
Kemurahan/kedermawanan ialah kurangi keuntungan diri sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri pada tuturan
“angngallemaki sari’munna sampulo ringgit (Rp.25.000,-) ka erojakika’
dokangi.ammilei maq antue lompo-lompoa.”.
Berikut ini ada data tuturan yang masih mematuhi Maksim Kemurahan/Kedermawanan:
A:“tallumami stangnga (Rp. 35.000,)maeki’tallu stangngapalla’
busuki.Juku ta’ appa antu (Rp. 40.000,-) ri balukang sikamma ka ero’ji ri palla’busu’.”
B: “kantongta’?”
A:“tabe’ palla’busuki…limang(5) karanjengmami.”. (Lampiran kartu data 14).
Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa penjual ikan tersebut berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menurunkkan harga dari sebelumnya karena menganggap walaupun untung sedikit asalakan cepat laris dan dapat memuaskan konsumen/pembeli. Tuturan yang termasuk santun pada kasus ini ialah
“tallu mami stangnga (Rp. 35.000,-) maeki’ tallu stangnga palla’busuki.
Juku ta’ appa antu (Rp. 40.000,-) ri balukang sikamma ka ero’ji ri palla’busu’.” Tuturan tersebut setelah di analisis termasuk kategori santun pada maksim kemurahan/kedermawanan.
d) Pematuhan Maksim Kesederhanaan
Maksim kesederhanaaan atau sering disebut dengan maksim kerendahan hati menuntut penutur untuk selalu mengurangi pujian pada diri sendiri dan memaksimalkan cacian pada diri sendiri. Pelaku komunikasi yang menaati maksim akan dianggap sebagai seorang yang rendah hati dan tidak sombong. berikut ini ada data tuturan yang mematuhi Maksim Kesederhanaan:
A:“tallu stangnga(Rp. 350.000,-) layanga paressai rong daeng supaya puas tongki balli.”
B:“tenaja mara’-maraengrawana?”
A:“kiparessamidaeng, punnamara’-maraengiteamaki’balli jukukku.”. (Lampiran kartu data 04).
Dari data tuturan tersebut, bahwa seorang penjual ikan lajang dengan rendah hati rela barang dagangannya tidak dibeli, jika kualitas ikan tidak memuaskan konsumen/pembeli. Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan bahwa tuturan “kiparessami daeng, punna mara’- maraengi teamaki’ balli jukukku.” Telah mematuhi prinsip kesantunan Leech pada maksim kesederhanaan.
Peneliti kemudian melanjutkan penelitian pada maksim ini, dan menemukan data tuturan sebagai berikut:
A: “mairo bu.”
B: “berapa itu mairota?”
A:“ Rp.75.000,-1 keranjang ye’.”
B: “baru ji toh?”
A:“kita liatmi ibu, kalau ikan segar masih mengkilapki, masih keraski juga dagingnya ibu, liatmi juga bawana, sama semuaki ye’.”
B: “kasi’ma 1 keranjang?”. (Lampiran kartu data 06)
Berdasarkan hasil analisis, ungkapan kata “kita liatmi ibu”
mengungkapkan kebenaran apa adanya dari kesegaran sambil memperlihatkan secara langsung kesegaran ikan. ada ungkapan kepuasan seorang pelanggan adalah kewajiban bagi penjual. Ini yang diinginkan seorang penjual kepada pembeli, dan telah dijelaskan sebelumnya bahwaprinsip kesantunan Leech pada maksim kesederhanaan,yaitu kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri. Tuturan (A) telah mematuhi prinsip kesantunan Leech dengan tuturan “kita liatmi ibu, kalau ikan segar masih mengkilapki, masih keraski juga dagingnya ibu, liatmi juga bawana, sama semuaki ye’.”.
Peneliti kemudian menemukan pematuhan pada maksim ini, dengan data tuturan sebagai berikut:
A:“manami ikanta’ yang 20 gabus disimpangkanka’?”
B: “ini ye’, periksami dulu.”
A: “sama semuaji toh ini 20 gabus?”
B: “sama jie ye’, Periksa semua mi dulu. Ada 7 kapal tadi kuambil rata 8gabus jina bawa, kusimpangkanmaki ini yang paling baguska, semuanya tadi bagusji tapi ini mi tidak ada kalahki kualitasnya.”
A: “magello’I bale ta’ kasi’…”. (Lampiran kartu data 11).
Konteks tuturan data tersebut menggambarkan seorang pacato’
(mitra nelayan) demi menjaga kenyamanan seorang pembeli (pelanggan) dari daerah jauh, seorang pacato’ (mitra nelayan) rela menyimpankan kualitas ikan yang terbaik. Dari hasil analisis tuturan yang mematuhi maksim ini ialah tutran yang diujarkan oleh (B) pacato’
(mitra nelayan) dengan tuturan “sama jie ye’, Periksa semua mi dulu.
Ada 7 kapal tadi kuambil rata 8gabus jina bawa, kusimpangkanmaki ini yang paling baguska, semuanya tadi bagusji tapi ini mi tidak ada kalahki kualitasnya.”
Data tuturan berikut yang masih mengenai pematuhan Maksim Kebijaksanaan dengan tuturan sebagai berikut:
A:“saya tumpahkanki’’,supaya diliatkisampai ke bawa’
segarnya ye’.”
B: “barunya di’.”
A:“pembelinya cantik, ikannya juga bagus, puaski itu beli ye’.”. (Lampiran kartu data 18).
Gagasan dasar maksim kesederhanaan ialah menuntut penutur untuk mengurangi pujian pada diri sendiri dan tambahi cacian pada diri sendiri, sebagaiamana yang tertera pada data tersebut setekah dianalisis peneliti menemukan adanya pematuhan kesantunan berbahasa sesuai dengan prinsip kesantunan Leech bahwa tuturan “saya tumpahkanki’
supaya diliatki sampai ke bawa’ segarnya ye’.” Mematuhi maksim kesederhanaan.
e) Pematuhan Maksim Simpati
Simpati adalah suatu proses seseorang merasa tertarik terhadap pihak lain, sehingga mampu merasakan apa yang dialami, dilakukan dan diderita orang lain. Dalam simpati, perasaan memegang peranan penting. Simpati akan berlangsung apabila terdapat pengertian pada kedua belah pihak. Simpati lebih banyak terlihat dalam hubungan persahabatan, hubungan bertetangga, atau hubungan pekerjaan.
Seseorang merasa simpati dari pada orang lain karena sikap, penampilan, wibawa, atau perbuatannya. Misalnya, mengucapkan selamat ulang tahun merupakan wujud rasa simpati seseorang. Seperti yang terjadi pada data tuturan berikut:
A: “cari ikan apaki’ pak?”
B:“sayacari ikan barakuda, adatidak?”
A: “ai…, baru-baru habis pak, banyak tadi buruki kayak itu pak.
Janganmaki susah cari kalau mauki ku tunjukkanki tempat
yang masih ada ikan yang kita cari. Ikut maki’ pak.”.
(Lampiran kartu data 12).
Sesuai dengan data yang peneliti telah analisis bahwa tuturan A mematuhi maksim simpati dengan tuturan “ai…, baru-baru habis pak, banyak tadi buruki kayak itu pak. Janganmaki susah cari kalau mauki ku tunjukkanki tempat yang masih ada ikan yang kita cari. Ikut maki’
pak”.Sebagaimana pada prinsip kesantunan Lecch pada maksim simpati, yaitu kurangi antisipasi antara diri sendiri dengan orang lain, perbesar rasa simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
Pada maksim simpati peneliti menemukan hal yang sama, dengan tuturan sebagai berikut:
“kakkaraki daeng. Doboloki ye’ kantongna ka jaiji kantong rinni”.
(Lampiran kartu data 19).
Konteks tuturan tersebut menggambarkan seorang penjual ikan melihat salah satu pengunjung/pembeli ikan terlihat kantongannya robek. Langsung saja dengan terdorong hatinya langsung menyapa pengunjung/pembeli tersebut menawarkan kantongan yang kebetulan penjual tersebut sedang banyak stok kantongan, sebagaimana dalam prinsip orang makassar “siri’ na pacce” erat kaitannya dengan istilah simpati. Sesuai dengan hasil analisis maka tuturan yang diujarkan penjual tersebut termasuk dalam kategori santun dan mematuhi maksim simpati dengan tuturan “kakkaraki daeng. Doboloki ye’ kantongna ka jaiji kantong rinni”.