• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahasiswa

Dalam dokumen PERSETUJUAN PEMBIMBING (Halaman 32-43)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Mahasiswa

Mahasiswa berasal dari kata ‘maha’ yang berarti besar, agung dan siswa yang berarti orang yang sedang belajar di institusi, dalam hal ini pendidikan tinggi. Sifat dan watak yang kritis, ketajaman intelektual, independensi, serta energi yang besar. Dalam perspektif sosial posisi mahasiswa menjadi sangat strategis dan dianggap memiliki peran dalam mewarnai hidup pada level selanjutnya, saat seorang sarjana memasuki dunia masyarakat sesungguhnya.

Mahasiswa seharusnya merupakan proses pengembangan diri secara acak

14

(random), yang diprakarsai oleh kemerdekaan dan kebebasan manusiawi di dalam ruang-ruang interaksinya.

Mahasiswa adalah sebagian kecil dari generasi muda yang dimiliki oleh suatu negara yang memiliki kesempatan mengasah kemampuan di perguruan tinggi dan merupakan aset negara di masa mendatang. Sebagai kalangan yang memiliki kesempatan lebih untuk memangku pendidikan mahasiswa dituntut lebih cerdas. Cerdas di sini tidak terpaku pada akademis saja, namun mahasiswa juga perlu cerdas dalam bersikap selayaknya kaum terdidik pada umumnya.

Lingkungan universitas identik sebagai tempat kaum cendekiawan dan intelek yang senantiasa dipercaya oleh publik. Universitas merupakan wadah pengembangan iptek dan menjadi tolak ukur tata perilaku dan etika. Namun dewasa ini banyak mahasiswa yang tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai etika.

Fenomena yang merebak saat ini dikalangan mahasiswa yaitu, budaya ketidakjujuran mahasiswa. Fakta menunjukkan bahwa, budaya ketidakjujuran kian menggejala di kalangan mahasiswa. Ketidakjujuran ini meliputi menyontek ketika ujian, plagiarisme atau pun menitip absen ketika tidak hadir dalam perkuliahan.

Mahasiswa merupakan salah satu elemen penting yang diharapakan dapat melakukan perubahan dan memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa dan negaranya. Menjadi mahasiswa seharusnya menjadi langkah awal yang nyata untuk melakukan perubahan. Rasa idealisme yang ada pada diri mahasiswa sudah seharusnya di dukung oleh seluruh masyarakat sebagai salah satu alat aspirasi masyarakat untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Namun melihat fenomena yang ada sekarang ini, pemerintah cenderung mematikan karakter para mahasiswa dengan menerapkan kurikulum-kurikulum yang sekuler yang

menjadikan mahasiswa sibuk mementingkan kepentingan dirinya sendiri yakni bagaimana cara mendapat nilai yang baik, lulus tepat waktu, dan bekerja di perusahaan dengan mendapat gaji besar, bahkan saat ini mahasiswa lebih merasa bangga ketika mereka lulus dan bekerja di negara asing. Sungguh itu merupakan realita yang menyedihkan. Pemerintah yang merasa kedaulatannya terancam oleh semangat dan rasa idealisme tinggi para mahasiswa kini menerapkan kurikulum- kurikulum sekuler menjadikan mahasiswa disibukkan dengan kepentingan materi kuliah sehingga mahasiswa tidak lagi peduli terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka. Hal ini yang menjadikan mahasiswa Indonesia seperti hidup dalam pemerintahan yang dikatator.

Pengertian mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No. 30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia 18-30 tahun.

Pengertian mahasiswa menurut Knopfemacher (Sarwono, 1978:30) adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat) dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual.

Secara umum tipe dan karakter mahasiswa dapat dibagi sebagai berikut : 1. Tipe Akademik yaitu mahasiswa yang hanya memfokuskan diri pada kegiatan

akademik dan cenderung apatis terhadap kegiatan kemahasiswaan dan kondisi masyarakat.

16

2. Tipe Organisatoris yaitu mahasiswa yang memfokuskan diri pada kelembagaan baik di dalam maupun di luar kampus, peka terhadap kondisi sosial dan cenderung tidak mengkonsentrasikan diri pada kegiatan akademik.

3. Tipe Hedonis yaitu mahasiswa selalu mengikuti trend dan mode tapi cenderung apatis terhadap kegiatan akademik dan kemahasiswaan.

4. Tipe Aktivis Mahasiswa yaitu mahasiswa yang memfokuskan diri pada kegiatan akademik kemudian berusaha mentrasformasikan “kebenaran ilmiah” yang didapatkan ke masyarakat melalui lembaga dan sebagainya dan berusaha memperjuangkannya.

Dunia kemahasiswaan menjadi lebih pas dianalogikan sebagai sebuah aquarium citra diri, dimana di dalamnya terjadi reaksi-reaksi simbolik-tidak sesungguhnya real yang dibangun atas kerangka idealitas dan kemerdekaan, mengangkat peran-peran sosial secara dominan agar pencitraan menjadi lebih nyata di masyarakat. Secara tidak langsung, predikat mahasiswa menjadikan seseorang, secara sosial “terkondisi” menyesuaikan dirinya dengan asumsi-asumsi publik tentang apa dan bagaimana itu mahasiswa.

Mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya kegagalan pemahaman peran dan fungsi mahasiswa yang telah keluar dari koridor. Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari adanya penyimpangan sikap, gaya hidup, pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata dan integritas kehidupan mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak terarah terhadap perjuangan mahasiswa itu sendiri.

Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka mengenyam pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir semacam ini wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat ini. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah kehidupan selanjutnya. Ketika peneliti bertanya kepada beberapa mahasiswa di kampus tentang latar belakang studi mereka, alasan kuliah di Universitas Muhammadiyah Makassar, apa beda pelajar dan mahasiswa secara paradigmatik, apa yang mereka lakukan di kampus dan target yang dicapai.

Jawaban mereka tidak seragam dan sangat bervariasi.

Bila kita bertanya kepada mahasiswa yang hanya belajar tanpa terlibat dalam kegiatan kampus, bagi mereka menjadi mahasiswa adalah belajar, mengerjakan makalah, ikut seminar di kampus dan mengikuti ujian. Target mereka terorientasikan memperoleh bea siswa dan merampungkan perkuliahan secara cepat (lebih cepat lebih baik). Terhadap kegiatan keagamaan atau peningkatan religiositas mereka sangat aktif.

Peran mahasiswa bagi bangsa dan negeri ini bukan hanya duduk di depan meja dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga mempunyai berbagai perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa Indonesia. Peran tersebut adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan pada suatu kaum, sebagai generasi pengganti yang menggantikan kaum yang sudah rusak moral dan perilakunya, dan juga sebagai

18

generasi pembaharu yang memperbaiki dan memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang ada pada suatu kaum.

Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri didalam dada mahasiswa Indonesia baik yang ada didalam negeri maupun mahasiswa yang sedang belajar diluar negeri. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh mahasiswa Indonesia, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa Indonesia.

1. Sikap dan Perilaku Mahasiswa

Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda yang juga merupakan warga negara hendaknya memberikan rasa percaya pada masyarakat, bahwa merekalah yang menggantikan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini di kemudian hari.

Peran mahasiswa sebagai agent of changes tidak diragukan lagi, sebab di negara mana pun di dunia ini, mahasiswa tampil sebagai pionir pembaharuan dalam suatu negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa harus memiliki sikap dan perilaku yang positif. Mahasiswa harus memiliki sikap dan perilaku kreatif, kritis, kooperatif, dan etis. Sikap dan perilaku ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat di era global.

a. Sikap dan Perilaku Kreatif dan Kritis

Kreativitas merupakan kemampuan unik seseorang (termasuk mahasiswa) hingga mau dan mampu menciptakan (to creat) sesuatu yang baru atau mengadakan sesuatu secara baru, paling tidak untuk dirinya sendiri.16 Sikap dan perilaku kreatif dan kritis dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses, pribadi, lingkungan, dan produk. Dilihat dari proses, mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya divergen, yang ditandai

dengan adanya ketertarikan untuk berdiskusi, mampu menyelesaikan masalah, mampu menyelesaikan tugas, mampu bekerjasama dan mampu menyelesaikan persoalan yang bersifat menantang. Selain itu, mahasiswa juga mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalah serta ada kebaruan dalam solusi yang ditawarkan. Dilihat dari sudut pribadi, mahasiswa diharapkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya yang ditandai dengan disiplin dan daya juang yang tinggi. Dilihat dari aspek produk, mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan karya/produk (baik konsep maupun benda) yang inovatif dan ditandai kebaruan (novelty), kemenarikan, dan kemanfaatan.

b. Kooperatif

Sikap kooperatif terkait dengan kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan kelompok yang ditandai dengan keinginan untuk berkontribusi dalam kelompok, tidak mendominasi kelompok, dan memberi kesempatan orang lain untuk berpartisipasi. Sikap kooperatif juga terkait dengan kemampuan berkomunikasi yang ditandai sikap asertif (mampu menyampaikan pikiran, perasaan, dan keinginan tanpa merugikan pihak lain);

mampu berkomunikasi secara lisan, tertulis, verbal, nonverbal secara jelas, sistematis tidak ambigu; menjadi pendengar yang baik; merespon dengan tepat (sesuai dengan substansi dan caranya); dan dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Selain itu, sikap kooperatif juga terkait dengan kemampuan membangun sikap saling percaya (trust). Sikap ini ditandai dengan adanya komitmen dan disiplin yang bersifat terbuka dalam menerima pendapat orang lain (openness), berbagi informasi (sharing), memberi

20

dukungan (support) dengan cara elegant dan gentle, menerima orang lain (acceptance) dengan tulus, terampil mengelola konflik, mampu mengubah situasi konflik menjadi situasi problem solving, serta jeli dalam mengkritisi ide/gagasan dan bukan orangnya (personal).

c. Etis

Sikap etis dalam etika pergaulan baik akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari ditandai dengan sikap jujur, berpikir positif, bertatakrama, dan taat hukum. Sikap jujur ditandai dengan tidak melakukan plagiat, berani mengakui kesalahan dan menerima diri apa adanya, tidak ragu-ragu mengapresiasi orang lain, tidak melakukan pemalsuan (termasuk tanda tangan presensi kuliah, pembimbingan, dan urusan administrasi lainnya), membangun dan mengembangkan sikap saling percaya di antara sivitas akademika, serta mampu menyampaikan pendapat sesuai fakta (data). Berpikir positif ditandai dengan adanya sikap adil dan objektif (tidak apriori terhadap orang atau kelompok lain), toleransi/apresiasi (menerima dan menghargai keragaman atau perbedaan, termasuk perbedaan pendapat), dan dapat bekerjasama dengan semua orang (tanpa melihat perbedaan latar belakang suku, agama, ras, atau golongan).

Tatakrama (etiket) ditandai dengan bertutur kata santun walau tetap berpikir kritis (santun dalam berargumen, misalnya ditunjukkan dengan penggunaan istilah, salam, maaf, permisi, terimakasih), berpenampilan dan berperilaku sopan baik dalam tingkah laku, tatacara berpakaian (bersih, rapi, menutup aurat bagi yang merasa perlu), dan menghormati tradisi serta norma masyarakat lokal.Taat hukum ditandai dengan sikap dan perilaku taat peraturan walaupun

secara fisik tidak ada yang mengawasi (tidak mengkonsumsi minuman keras, narkoba, tidak memiliki barang illegal, tidak melakukan perusakan lingkungan hidup (bioetik), menolak budaya instan (jalan pintas) yang mendorong pelanggaran akademik (menyontek, menjiplak tugas/karya tulis, melakukan perjokian, dan suap-menyuap), serta tidak melakukan perbuatan yang merugikan negara, lembaga, atau orang lain.

2. Peran dan posisi mahasiswa a. Peran moral

Mahasiswa dalam kehidupanya tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar. Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura-hura dan kesenanggan) maka berarti telah berada persimpangan jalan. Jika mahasiswa hari ini lebih suka mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutin pacaran tanpa tahu dan mauambil tahu tentang perubahan di negeri ini maka mahasiswa semacam ini adalah potret generasi yang hilang yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahasiswa.

b. Peran sosial

Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat sekat kelompok namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskankeangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa melihat penderitaan orang lain tidak bisa melihat poenderitan rakyat tidak

22

bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun danmemberikan bantuan baik moril maupun materil bagi siapa saja yangmemerlukannya.

c. Peran Akademik

Sesibuk apapun mahasiswa turun kejalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu lupa bahwa insan akademik. Mahasiswa dengan segala aktivitasnya harus tetap menjaga kuliahnya. Setiap orang tua pasti ingin anaknya selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai seorang anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan keinginan itu untuk mengukir masa depan yang cerah dan membahagiakan orang tua.

d. Peran politik

Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena disini mahasiswa berfungsi sebagai presseur group (group penekan) bagi pemerintah yang zalim. Oleh karena itu pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran yang satu ini. Pada masa orde baru di mana daya kritis rakyat itu di pasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung di cap sebagai makar dan kejahatan terhadap negara. Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreativitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Oleh karena itu Mahasiswa harus tetap menjaga idealismenya sebagai agen kontrolsosial (Agent Of Social Control) dan agen perubahan sosial (Agent Of Social Change). Sejak era pra kemerdekaan sampai era

reformasi, mahasiswa mampu mengambil peran strategis bagi perubahan sosial, politik dan ekonomi.

Mahasiswa selama ini dianggap sebagai kelas khusus dalam masyarakat.

Selain karena jumlahnya yang sangat sedikit (tidak sampai 5 persen dari total penduduk Indonesia), jenjang pendidikan mahasiswa juga lebih tinggi dari kelompok masyarakat lain. Mahasiswa dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih. Karena itu, berbagai harapan ditumpukan masyarakat kepada mahasiswa.

Mahasiswa diharapkan menjadi agent of change, pemicu perubahan.

Dengan pengetahuan dan kemampuannya, mereka diharapkan oleh masyarakat untuk menjadi pendobrak kejumudan, membongkar pola pikir anti-kemajuan, serta menawarkan pemikiran baru dan segar untuk memajukan masyarakat.

Mereka diharapkan menjadi pelopor perubahan masyarakat. Mahasiswa, dengan idealisme yang dimiliki, juga diharapkan menjadi kontrol pemerintah terhadap berbagai kebijakan tidak pro-rakyat.

Berbicara tentang mahasiswa ideal, tentunya tidak terlepas dari sosok atau profil dan kriteria. Sosok mahasiswa ideal, adalah mereka yang mampu mengintegrasikan pendidikan yang dipelajari dengan realitas masyarakat dimana mereka dibesarkan. Dalam artian, mereka mampu memahami kegelisahan masyarakat dan dengan kemampuan yang dimiliki, bisa melakukan perubahan, berjuang bersama masyarakat. Dalam setiap gerak langkahnya, mereka senantiasa mendasarkan perjuangan pada keyakinan agama yang dimiliki, sehingga segala sesuatu yang dilakukan memiliki dasar atau landasan, baik secara keagamaan, secara intelektual, dan ditujukan untuk kemanusiaan.

24

Dalam dokumen PERSETUJUAN PEMBIMBING (Halaman 32-43)

Dokumen terkait