BAB II DISKURSUS „ITȂB (TEGURAN) KEPADA NABI
F. Mendo‟akan Keburukan kepada Orang yang
menikahinya tanpa akad dan menjadikannya sebagai seorang istri tanpa mahar. Karena itu Zainab memiliki keistimewaan atas para istri Rasul yang lainnya yaitu sesungguhnya Allah menjadi wali pada pernikahan Zainab.
Sedangkan dalam tafsir Thabarsi tidak dijelaskan tentang hal itu (menikahi Zainab tanpa mahar, wali, dan akad).
F. Mendo’akan Keburukan kepada Orang yang Mendzaliminya
Dari penafsiran al-Jailânî dapat disimpulkan bahwa Rasul tidak ada kaitannya dengan mereka, sesungguhnya Allah lah yang berhak atas sikap orang-orang yang telah mendzaliminya. Maka dari itu Allah mengazab mereka selama hidupnya atas kedzaliman dan kekufuran yang telah mereka lakukan.
Menurut penulis hal ini merupakan teguran yang berupa pemberitahuan kepada nabi Muhammad saw. ini senada dengan penafsiran Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya yaitu bahwa ayat ini merupakan sebuah pemberitahuan kepada nabi Muhammad saw. dan umat islam bahwa sesungguhnya segala urusan semuanya milik Allah Swt. semua yang ada tunduk kepada-Nya, tidak ada perbedaan dalam hal ini antara malaikat yang didekatkan kepada Tuhan atau seorang nabi atau seorang manusia biasa kecuali orang yang dijadikan oleh- Nya untuk sebuah tujuan atau Allah Swt. memberinya izin untuk memberi syafaat.39
Meskipun tafsir Al-Jailânî merupakan tafsir yang bercorak sufi isyari, namun dalam menafsirkan ayat ini tidak terdapat unsur kesufiannya. Karena tidak semua ayat Al-Qur‟an ditafsirkan dengan corak kesufiaan.
2. Penafsiran Syeikh Fadhl bin Hasan Ath-Tabarsi
Imam Ath-Thabarsi memaparkan beberapa perbedaan pendapat para ulama mengenai sebab turunnya ayat ini;
a. Ayat ini turun ketika perang Uhud pada tahun 3 H. Yang mana menyebabkan wajah rasul becucuran darah. Maka ada salah seorang sahabat berkata “bagaimana mungkin suatu kaum akan
39Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, h. 410
beruntung setelah apa yang mereka perbuat pada nabinya”. Padahal dalam perkara hidayah merupakan urusan allah.40
b. Ayat ini turun ketika nabi berdoa kepada Allah Swt. bagi kaum musyrikin ketika perang uhud dengan doa yang negatif.41
c. Ayat ini turun ketika Rasulallah saw. mengutus para qurra‟nya ke sumur maunah pada bulan safar tahun 4 hijriah selama 4 bulan untuk mengajarkan penduduknya Al-Qur‟an dan pengetahuan- pengetahuan lainnya. Namun para utusan tersebut semuanya dibunuh oleh penduduk setempat. Setelah kabar tersebut sampai ke telinga rasul, beliau pun marah besar dan melaknat mereka hingga satu bulan.42
Namun Imam Ath-Thabarsi berpendapat bahwa pendapat yang lebih benar adalah ayat tersebut turun ketika perang Uhud. Terdapat dua poin yang disimpulkan oleh imam thabrasi :
1) Bahwa ayat ini memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 126.
2) Kalimat laisa laka minal amri syaiun au yatûba „alaihim au yu‟adz-dzibahum fainnahum dzâlimûn merupakan kata sanggahan antara dua kata yaitu au yatûba „alaihim dan liyaqtho‟a tharafa maka arti sebenarnya untuk membinasakan para orang-orang kafir atau untuk menjadikan mereka hina atau Allah menerima taubat mereka atau Allah mengazab mereka, maka sesungguhnya mereka (orang kafir) berhak
40Riwayat dari Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Hassan, Qatadah dan Robi
41Riwayat dari Imam Juba‟i
42Riwayat dari Imam Maqatil
menerima azab dan tidak ada campur tangan dalam empat permasalahan ini kecuali semua itu urusan Allah.43
Ayat ini menunjukan bahwa sesuatu yang berkaitan dengan keberuntungan, penerimaan taubat dan azab itu hanya urusan Allah dan tidak berhak bagi nabi akan hal tersebut dan cukup bagi nabi memberikan petunjuk. Maka seakan-akan Allah berfirman janganlah kamu mengangkat pedang pada mereka agar mereka bertaubat.44
Menurut penulis ketika nabi berdo‟a yang negatif untuk orang musyrikin pada perang Uhud, Allah melarang nabi-Nya akan hal itu.
Kemudian tidak sepatutnya bagi orang muslim untuk menilai orang lain apakah dia bernasib buruk atau tidak selama ia masih hidup, karena yang berhak menilai seseorang itu hanya Allah. Boleh jadi Allah memberikan taufik dan menerima taubatnya seperti yang dijelaskan oleh Imam Ath-Thabarsi dalam tafsirnya.
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Persamaan dalam tafsir al-Jailânî dan tafsir Ath-Thabarsi dijelaskan bahwa perkara yang berkaitan dengan mereka itu (orang munafik) adalah urusan Allah Swt..
Sedangkan Perbedaannya yaitu dalam tafsir al-Jailânî tidak dijelaskan peristiwa yang menyebabkan Allah memberitahukan kepada nabi-Nya bahwa hal ini (laknat dan penghinaan/azab) adalah merupakan urusan Allah.
Namun dalam tafsir Ath-Thabarsi dijelaskan bahwa ada sebuah riwayat dari sahabat Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Hasan, Qatadah
43Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 463-464
44Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 465
dan Robi yaitu ketika perang Uhud kaum muslimin berperang melawan orang-orang musyrik yang menyebabkan gigi Rasul patah dan juga sampai wajah Rasul bercucuran darah. Pemuda yang melukai nabi itu adalah Utsbah bin Abi Waqos. Maka para sahabat mendoakan keburukannya hingga ia mati dalam keadaan kafir dalam waktu yang singkat. Maka ia pun mati dalam keadaan kafir tidak lama setelah itu, dan Abdullah bin Umayah yang menyebabkan wajah Utsbah berdarah dan ia mendo‟akan Utsbah agar Allah menolak kematiannya. Maka Allah pun memberitahukan kepada nabi-Nya bahwa ini adalah urusan Allah.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasul mengusap darah yang ada di wajahnya dan berdo‟a: “Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahuinya, maka karena ini memungkinkan Rasul itu takut terhadap penentangan mereka ataupun penolakannya. Maka Allah pun mengabarkan nabinya bahwa hal tersebut bukan urusannya melainkan urusan Allah dan tugas Rasul hanya menyampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan mengajak mereka kepada kebenaran.
Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah ingin mendoa‟akan (hal negative) bagi para musuhnya pada pernag Uhud, maka Allah melarang hal tersebut dan Rasul pun bertaubat kepada Allah maka turunlah ayat ini (laisalaka minal amru syaiun) bukan urusanmu untuk melaknat mereka ataupun menghinakannya (riwayat dari Abdullah bin Mas‟ud). Ada yang mengatakan ayat ini turun pada penduduk sumur maunah yang mana mereka itu merupakan tujuh puluh orang qurra nya rasul, namun penduduk tersebut membunuh mereka semua dan diantara orang-orang yang dibunuh terdapat seorang budak milik Abu Bakar yang bernama Amir bin Fahirah. Maka Rasul pun marah
setelah mengetahui hal tersebut dan melaknat mereka hingga satu bulan maka turlah ayat ini (riwayat dari Imam Maqotil).
Namun pendapat yang lebih benar bahwa ayat tersebut turun ketika perang Uhud, karena para ulama telah sepakat akan hal ini.
Karena makna sebenarnya yaitu tidak ada campur tangan Rasul terkait hukuman dan kebinasaan atau melaknat mereka hingga datang waktu mereka untuk bertaubat.
G. Nabi Muhammad saw Tidak Mengucap InsyaAllah
Kita sebagai manusia yang tidak luput dari khilaf, dosa dan lupa, biasanya dalam suatu hal kita sering lupa tidak mengaitkannya dengan kehendak Allah (pengucapan InsyaAllah). Atas hal ini Rasulpun ditegur oleh Allah dalam QS. Al-Kahfi [18]: 23-24
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu:
"Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi; Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"[879]. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (QS. Al-Kahfi [18]: 23-24)
1. Penafsiran Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Al-Jailani dalam menafsirkan ayat ini adalah ketika itu orang Yahudi mendesak kaum Quraisy untuk menanyakan kepada Nabi hal tentang ruh, dzulkarnain dan ashabul kahfi. Lalu nabi menjawab
“Datang lagi esok hari! Akan saya kabarkan perkara itu”. Beliau
berkata seperti itu tanpa ada pengaitan dengan kehendak Allah yaitu InsyaAllah. Maka wahyu pun tidak datang selama sepuluh hari dan perkara tersebut tidak memilki jawaban dan orang-orang Quraisy beranggapan bahwa Rasul itu berdusta sehingga membuat Rasul merasa sedih. Hal ini merupakan sebuah pelajaran bagi rasul agar tidak meninggalkan suatu hal kecuali mengaitkannya dengan kehendak Allah (Insya Allah). dan Allah menyuruh nabi-Nya ketika lupa menyebutkan kehendak Allah di dalam suatu perkara, setelah engkau mengingatnya maka katakanlah InsyaAllah. Hal itu sebagai pengganti yang telah lalu.45
Menurut penulis hal ini sama dengan penafsiran Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya yaitu ingatlah kehendak Allah dan katakanlah insyaAllah jika suatu saat kamu lupa mengucapkannya. Dengan kata lain, jika kamu lupa mengucapkan insyaAllah, kemudian kamu tiba- tiba teringat dan menyadarinya, segeralah mengucapkannya, baik jeda antara lupa dengan mengingatnya cukup lama maupun tidak.46
Meskipun tafsir Al-Jailânî merupakan tafsir yang bercorak sufi isyari, namun dalam menafsirkan ayat ini tidak terdapat unsur kesufiannya. Karena tidak semua ayat Al-Qur‟an ditafsirkan dengan corak kesufiaan.
2. Penafsiran Syeikh Fadhl bin Hasan Ath-Thabarsi
Imam Ath-Thabrasi memiliki beberapa pandangan mengenai ayat walâ taqûlanna lisyaiin innî fâ‟ilun dzâlika ghada, yaitu:
a. Bahwa Allah melarang nabi-Nya untuk mengatakan sebuah kepastian kecuali harus dikaitkan dengan kehendak Allah.
45Sayyid Seykh Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailani, ditahqiq oleh Dr. Muhamma Fadhil Al-Jailani Al-Hasani At-Tailani Al-Jamazraqi, juz.3, h. 187-188
46Al-Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, jilid 8, h. 228
b. Bahwa pengucapan InsyaAllah bermakna masdar
c. Bahwa ayat tersebut merupakan larangan bagi manusia ketika mengatakan sebuah kepastian.
Adapun pada lafadz wadzkur rabbaka idzâ nasîta Imam Thabrasi memberikan dua pandangan mengenai ayat ini:
a. Bahwa ayat ini memiliki kaitan dengan ayat sebelumnya.
b. Bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat isti‟na yaitu kata yang tidak memiliki keterkaitan dengan kata sebelumnya.
Menurut penulis Imam Ath-Thabarsi dalam menafsirkan ayat ini tidak hanya ditujukan teguran untuk Rasul tetapi sifatnya untuk menyeluruh, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya riwayat yang mengkhususkan untuk nabi.
Selain itu teguran ini juga merupakan pelajaran bagi hamba- hamba-Nya agar selalu mengaitkan lafadz InsyaAllah disetiap perkataan kita. Hal ini disebutkan dalam tafsir Ath-Thabarsi yang mengutip dari Imam Ahfas.47
Meskipun Imam Ath-Thabarsi seorang ulama dari syiah yang memiliki teologi maksum, namun dalam penafsirkan ayat ini beliau menyimpang dari teologinya.
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Persamaannya adalah pada tafsir al-Jailânî dan tafsir Ath-Thabarsi dijelaskan bahwa Allah melarang Rasulullah dan memberinya sebuah pelajaran agar tidak meninggalkan suatu hal kecuali mengkaitkannya dengan kehendak Allah (InsyaAllah). Dan ketika engkau lupa menyebutkan kehendak Allah di dalam suatu perkara, setelah engkau
47Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 187
mengingat suatu hal yang lupa sekalipun sampai beberapa tahun katakanlah InsyaAllah.
Sedangkan perbedaannya yaitu pada tafsir al-Jailânî tidak dijelaskan aspek-aspek kalimat pengecualiaan (insyaAllah), namun yang dijelaskan pada ayat ini adalah bahwa orang-orang Yahudi mendesak kaum Quraisy untuk bertanya kepada Rasul sebagai ujian dan tantangan yaitu tentang ruh, dzul karnain dan ashabul kahfi. Nabi mengatakan “Datanglah esok hari!”. Tanpa pengucapkan insyaAllah.
Ternyata firman Allah tidak turun dalam beberapa hari dan membuat Nabi saw. sedih dan gelisah.
Sedangkan dalam tafsir Ath-Thabarsi dijelaskan aspek-aspek kalimat penegecualian (InsyaAllah), yaitu Sayyid al-Ajali al-Murtadha berkata: “Ketahuilah bahwa kalimat pengeculian (InsyaAllah) yang masuk dalam sebuah kata memiliki beberapa aspek, terkadang masuk dalam permasalahan iman, perceraian, pemerdekaan dan perjanjian.
Dan terkadang juga kata pengecualian ini masuk dalam sebuah kata dan dimaksudkan untuk memberikan keringanan.
90 A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Para utusan Allah Swt. adalah pribadi-pribadi pilihan yang dipilih langsung oleh Allah Swt. untuk menjalankan tugas yang sangat isimewa. Keistimewaan tugas yang diemban oleh para Rasul meniscayakan terpeliharanya dari kesalahan. Rasulullah saw.
sebagai teladan bagi umatnya. Namun Allah Swt. pernah menegur sikap Nabi yang kurang pantas dimiliki oleh seorang utusan Allah Swt.
Menurut penafsiran Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Imam Ath-Thabarsi mengenai ayat-ayat teguran pada nabi Muhammad saw. yang termaktub di dalam Al-Qur’an adalah bahwa teguran tersebut merupakan bimbingan Allah Swt., bentuk pelajaran, kasih sayang terhadap kekasih-Nya, pengarahan bagi Rasulullah saw. Meskipun Rasulullah saw. ditegur oleh Allah Swt. bukan berarti beliau berdosa, akan tetapi karena beliau adalah manusia teragung sehingga sikap yang menimbulkan kesan negatif pun tidak Allah kehendaki.
2. Ketika Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani menafsirkan ayat-ayat teguran ini, beliau memaparkan kesufian di dalamnya tetapi tidak semua ayat teguran ditafsirkan dengan kesufiannya. Selain itu, beliau juga sedikit sekali memaparkan riwayat-riwayat pada ayat itu. Bedahalnya dengan Imam Ath-Thabarsi ketika menafsirkan ayat-ayat teguran beliau memaparkan banyak riwayat-riwayat
yang mana dari riwayat tersebut menunjukan bahwa teguran itu tidak untuk nabi.
Kemudian Imam Ath-Thabarsi yang merupakan ulama syi’ah istana ‘asyariyah namun ketika menafsirkan ayat-ayat ini beliau tidak menyalahi/menyimpang dari teologi syi’ah itu sendiri yaitu teologi tentang maksum atau ‘ishmah. Yang mana menurut keyakinan mereka bahwa imam-imam mereka sebagaimana para nabi adalah bersifat ma’shum dalam segala tindak-tanduknya dan tidak pernah berbuat dosa besar dan kecil serta tidak ada tanda- tanda berlaku maksiat dan tidak boleh berbuat salah ataupun lupa.
B. Saran
Penulisan menyarankan agar pembaca mencoba untuk meneliti ayat-ayat teguran pada nabi Muhammad saw. perspektif tafsir-tafsir sufi dengan mengkaji keseluruhan ayat-ayat teguran ini.
Abd Mani’ Halim Mahmud. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli tafsir, Jakarta: Maktabah Al-Aiman 2003.
Abdul Sayyid Seykh Qadir. Tafsir Al-Jailani, ditahqiq oleh Dr. Muhamma Fadhil Al-Jailani Al-Hasani At-Tailani Al-Jamazraqi, Istanbul:
Markaz Al-Jailani li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah, 2009.
Ahmad Ali As-Salus. Ensiklopedi Sunnah – Syiah, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Ahmad Muhammad Vad’aq. Muhammad saw The Real Rahmatan lil
‘Alamin, Bekasi: Pustaka Al-Khairat, 2010.
Ahmad Soleh.Golden Stories Kisah-Kisah Super Inspiratif dalam Islam, Banyuanyar Surakarta: Al-Qudwah Publishing, 2015.
Ahmad Syed Semait. Kurnia Rabbani Limpahan Rahmani. Singapura, Pustaka Nasional PTE LTD, 2001.
Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arb-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Nasional PTE LTD, 2001.
Al-Qarni ‘Aidh. Seolah Engkau Melihat Muhammad, Jakarta, Percetakan Lintas Semesta, 2004.
Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Himah. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2010.
Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Jumânatul ‘Alî. Bandung: Cv Penerbit J- ART, 2004.
Al-Qu’an dan Terjemahan Untuk Wanita. Jakarta: Penerbit Wali Oasis Terrace Recident.
Al-Qur’an Hafalan dan Terjemahan. Jakarta: Penerbit Almahira, 2015.
Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid Warna At-Tauhid, Jakarta: Cahaya Press, 2017.
Al-Qurthubi Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Amin Saiful Ghofur. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Anisa Rima. Teguran Allah terhadap Rasulullah saw dalam Al-Qur’an, Skripsi, Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam, 2018.
Az-Zuhaili Wahbah. Tafsir Al-Munir. Jakarta: Gema Insani, 2014.
Baidan Nasruddin dan Erwati Aziz. Metodologi Khusus Penelitian Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Fikri Atik Ilyas. Muhammad Difitnah!. Jakarta, Maghfirah Pustaka, 2007.
Hadi Saiful El-Sutha. Ensiklopedia Tokoh Islam Berpengaruh Di Dunia Jilid I, Depok: Penerbit Erlangga, 2017.
Harun Salman. Mutiara Al-Qur’an. Jakarta: PT Qaf Kreativa, 2016.
Hawa Said. Ar-Rasul Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Jakarta:
Gema Insani, 2005.
Husen Muhammad adz-Dzahabi, Tarsir wal Mufassirun
Ja’far Syeikh Subhani. ‘Ismah: Keterpeliharaan Nabi dari Dosa.
Penerjemah Syamsuri Rifa’I ttp: Penerbit Yayasan As-Sajjad, 1405 H/ 1991 M.
Khalil Manna al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor, Pustaka Litera AntarNusa, 2010.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama RI. Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012.
Mahmud Syalabi. Kepribadian Rasulullah saw. Beirut: Pustaka Mantiq, 1997.
Mandzur Al-Imam Al-‘Alamah ibn. Lisân Al-‘Arâbî. Mesir: Dar Al-Hadits, 2006.
Masyhuri, M. Zainuddin. Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif, Bandung: PT Refika Aditama, 2008.
M Mufid. Dan Rasulullah pun Ditegur, Jakarta Selatan: Qultum Media, 2015.
Mohamed Sayyed Fadil Al-Jailani Al-Hasani. Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani R.A. Depok: Keira Publishing, 2016.
Muhammad Ahmad Yusuf. iAsbabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Jakarta: Widya Cahaya, 2014.
Mushaf Al-Hadi Perkata Latin dan Tajwid Latin, (Jakarta: Maktabah Al- Fatih, 2016.
Mustaqim Abdul. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Yogyakarta, Idea Press Yogyakarta, 2015.
Nasution Muslim. Ensiklopedia Aqidah Islam, Jakarta: Kencana, 2003.
Nuryasin M. al-Syafi’i. Teguran al-Qur’an (al-‘Itab) Kepada Nabi Muhammad Dalam Tafsir al-Tabari dan Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Skripsi, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Menjadi Kekasih Allah. Yogyakarta: Citra Media, 2014.
Quraish M. Sihab. Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007.
Quraish M. Sihab. Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
Quraish M Shihab. Tafsir Al-Misbah. Tangerang: PT Lentera Hati, 2016.
Ruslin Ris’an. Teologi Islam Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh- Tokohnya, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Said Al-Imam Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thibrisi. Majma’ Al-Bayan Li
‘Ulum Al-Qur’an, Al-Qhirah: Darut Taqrib Bainal Madzahib Al- Islamiyyah, 1958.
SakhoAhsin Muhammad. Membumikan Ulumul Qur’an, Jakarta: Penerbit Qaf, 2019.
Wijaya Aksin. Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2016.
Zainiyah. Konsep Cinta Ilahi Dalam Al-Qur’an, TesisSurabaya: UIN Sunan Ampel, 2018.
https://m.repubilka.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara