• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Tafsir al-Jailânî

Dalam dokumen AYAT-AYAT TEGURAN PADA NABI MUHAMMAD SAW (Halaman 64-68)

BAB II DISKURSUS „ITȂB (TEGURAN) KEPADA NABI

A. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan Tafsir Al-Jailâni

2. Profil Tafsir al-Jailânî

terkait penamaannya sebagai tafsir Al-Jailânî itu semata-mata merupakan gagasan dari penelitiannya, beliau khawatir jika suatu saat karya-karya ini diambil oleh peneliti kurang mahir dalam bidan tafsir yang banyak tersebar di Arab, sehingga usaha beliau untuk memunculkan karya-karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang masih terkubur akan terganggu dan diselewengkan demi tujuan materialistis dan sebagai mata pencaharian semata.

Karangan ini juga bisa disebut Al-Fawâtih al-Ilahiyah wa Al-Mafâtih Al-Ghaibiyyah Al-Muwadihah li Al-Kalimi Al- Quraniyyah wa Al-Hukmi Al-Firqâniyyah. Dalam kitab ini beliau menjelaskan tentang pengaruh besar dari Al-Qur‟an terhadap diri seorang hamba yang zuhud. Karena di dalam Al- Qur‟an terdapat rahasia-rahasia dan isyarat yang berbeda-beda bagi seorang hamba yang semuanya itu dapat dirasakan dengan mujahadah yang tinggi seperti yang terkandunng dalam QS. Al-Ankâbut [29]: 69.14





















“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

(QS. Al-Ankâbut[29]: 69)

14Sayyid Seykh Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailani, ditahqiq oleh Dr. Muhamma Fadhil Al-Jailani Al-Hasani At-Tailani Al-Jamazraqi, h. 29

b. Metode dan Corak Penafsiran Al-Jailani

Tafsir ini terdiri dari 6 jilid. Diterbitkan oleh Markaz Al- Jailani li Al-Buhuts al-„Ilmiyyah, Istanbul, Turki. Tafsir ini menggunakan metode penulisan sebagai berikut:

1) Menuliskan ayat Al-Qur‟an per kata, lalu dijelaskan maknanya, kadangkala menjelaskan arti lahir terlebih dahulu, lalu diteruskan ke tafsir isyarinya. Tapi, sering kali langsung menukil ke tafsir isyarinya.

2) Di setiap permulaan surah diberikan mukadimah terlebih dahulu, baik mengenai isi kandungan surah itu atau arahan-arahan lainnya menyangkut kebersihan jiwa dalam rangka menuju Zat Ilahiyyah. Kemudian, di akhir surat ada khitâm (kalimat penutup) yang meringkas keseluruhan isi kandungan surah dalam kacamata tasawuf.

3) Tafsir ini tidak berbicara banyak tentang Ulûm Al- Qur‟an seperti sebab nuzul, makki-madani, I‟rab, balaghah, isytiqaq, dan sebagainya, karena hal ini sudah banyak disinggung oleh tafsir-tafsir yang lain.15 4) Tafsir ini tidak menggunakan tafsir nabawi sebagai

rujukannya, apalagi tafsir sahabat dan tabi‟in, karena tafsir sufi/isyari adalah hasil olah piker dan olah hati penafsirnya. Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sangat piawai dalam menentukan sisi-sisi sufistik dalam menjelaskan arti terdalam sebuah ayat.

15Ahsin Sakho Muhammad, Membumikan Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Penerbit Qaf,2019), h. 186

5) Syeikh Al-Jailani mandiri dalam menuangkan ide-ide tasawufnya, tidak taklid kepada siapa pun. Beliau sangat piawai menentukan sisi-sisi/nilai tasawuf pada setiap ayat.

6) Tafsir ini –jika dibandingkan dengan tafsir al-Alûsi- termasuk tafsir isyari yang sangat sederhana. Bahasa yang digunakannya pun masih bisa dikonsumsi oleh para santri dan akademisi, asal mereka sudah pernah bergaul dengan istilah-istilah tasawuf.16

Dalam ayat-ayat ahkam beliau menjelaskan dengan hukum-hukum fikih secara ringkas, dan dalam masalah qirâ‟at beliau tidak hanya menjelaskan menurut riwayat Hafs saja namun menurut imam- imam qirâ‟at lain juga.

Corak pada kitab tafsir ini adalah Shufi Isyâri, beliau tidak hanya menafsirkan yang bersumber dari segi pemahaman dan keilmuan seperti yang diterapkan oleh mufasir-mufasir lainnya tetapi beliau juga menggunakan kekuatan batin dan meningkatkan takwa, kemudian mulâzamah terhadap guru yang bertujuan agar menghasilkan sebuah pengaruh dalam diri seorang murid menuju derajat yang tinggi.17

c. Sumber Penafsiran

Tafsir al-Jailânî merupakan tafsir bi al-Iqtirân, karena cara manafsirkannya didasarkan atas perpaduan antara sumber riwayat yang kuat dan shahih dengan sumber ijtihad hasil pemikiran yang

16Ahsin Sakho Muhammad, Membumikan Ulumul Qur‟an, h. 187

17Sayyid Seykh Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailani, ditahqiq oleh Dr. Muhamma Fadhil Al-Jailani Al-Hasani At-Tailani Al-Jamazraqi, h. 28

sehat. Berisi perpaduan riwayat dn hasil pemikiran yang baik.

Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Imam Muchlas, MA.

menyebutkan model tafsir seperti ini dengan nama Tafsir Isyari, yakni menafsirkan Al-Qur‟an dengan tafsir bi al-ma‟tsûr kemudian mengembangkannya melalui ilmu tasawuf.

Jadi bisa dipahami bahwa sumber penafsiran Al-Jailani juga berasal dari isyarat yang masuk dalam hati mufassirnya. Al- Jailani tidak menukil pendapat ulama lain, kecuali Ali ibn Abi thalib, Ibn Abbas, dan lain-lain.18

B. Syeikh Fadhl bin Hasan At-Thabarsi dan Tafsir Ath-Thabarsi 1. Syeikh Fadhl bin Hasan At-Thabarsi

a. Biografi dan Perjalanan Intelektualnya

Nama lengkapnya adalah al-Fadhl ibn al-Hasan bin al- Fadhl ath-Thabarsi. Kata ath- Thabarsi adalah nisbah kepada Thibristan. Ia salah seorang ulama besar dari golongan Syi‟ah Imamiyah, diwafatkan pada malam hari raya „Ied al-Adhha tahun 548 H, ia menghabiskan usianya di Khurasan tepatnya di perkampungan al-Masyhad ar-Radhawi, sehingga namanya dinisbahkan kepada al-Masyhad. Kadang-kadang disebut juga ath-Thibrisi al-Masyhadi kemudian ia pindah ke kampung asalnya Sabdazar yang terletak di kawasan Khurasan.19

Keluarga beliau merupakan keluarga yang terkenal baik dalam kelimuan dan agamanya, sehingga menghasilkan generasi-generasi emas dan banyak menghasilkan karangan-

18Zainiyah, “Konsep Cinta Ilahi Dalam Al-Qur‟an”, Tesis (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2018), Tidak Diterbitkan (t.d)

19Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli tafsir, ( Jakarta: Maktabah Al-Aiman, 2003), h. 337

karangan keilmuan. Beliau adalah orang yang jenius, yang menghabiskan hidupnya dengan menulis dan unggul dalam banyak bidang keilmuan. Diantaranya: ilmu tafsir, fikih, ilmu nahwu, ilmu hisab, ilmu al-jabar, dan ilmu muqâbalah.20

Keluarganya merupakan keluarga yang terkenal dengan kelimuan dan keshalihannya. Beliau diistimewakan di kalangannya. Dan perpustakaan islam miliknya kaya akan ragam keilmuan. Anak beliau bernama Radhi Ad-Din Abu Nasr Hasan bin Al-Fadl, penulis kitab Makârim Al-Akhlâq.

Dan cucunya adalah Abu Fadl Ali bin Hasan penulis kitab Masykât Al-Anwar.21

b. Guru-Guru at-Thabarsi

Sejumlah besar ulama belajar dengannya, dan ia sendiri berguru kepada beberapa ulama-ulama, yaitu:

1) Asy-Syeikh Abu Ali Ibn Syaikh Ath-Thusi,

2) Syaikh Abu Al-Wafa Abdul Jabbar bin Ali Al-Mukri 3) Al-Ajal Hasan bin Husen bin Hasan

4) Maufiq Ad-Din Al-Hasan bin Al-Fath

5) Sayyid Abu thalib Muhammad bin Al-Husen Al- Jurzani

6) Abu Al-Fath Abdullah bin Abdul Karim Al-Qusyairi 7) Abu Hasan Ubaidullah Muhammad bin Al-Husen

20Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li

„Ulûm Al-Qur‟an, h. 9

21Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayân Li

„Ulûm Al-Qur‟an, (Al-Qhirah: Darut Taqrib Bainal Madzahib Al-Islamiyyah, 1958), Juz 1, h. 10

c. Murid-Murid Ath- Thabarsi

Adapun diantara murid-muridnya, yaitu:

1) Abu Nasr Hasan bin Al-Fadl

2) Rasyid Ad-Din Abu Ja‟far Muhammad bin Ali 3) Syeikh Muntajib Ad-Din

4) Sayyid Fadhullah Ar-Rawandi

5) Sayyid Abu Hamdi Mahdi bin Nazaril Husen 6) Sayyid Syarfasyah bin Muhammad bin Ziyadah 7) Syeikh Abdullah bin Ja‟far Ad-Durisi.22

d. Karya-Karya Ath- Thabarsi

Beliau memiliki karangan yang banyak dan terkenal. Imam al-Fadl an-Nawawi pernah berkata: “Bahwasannya Syeikh Fadl memiliki karangan-karangan yang sangat banyak dan berbobot”, di antaranya:

1) Majmâ‟ al-Bayân lî ulûm Al-Qurân, beliau menafsirkan Al-Qur‟an, kitab ini yang memuat sebanyak 10 jilid yang mana dalam karangannya ini ada campur tangan dari Muhamamd bin Hasan bin Ali At-Thusi seperti yang beliau jelaskan dalam muqadimahnya.

2) Jamî‟Al-Jjawâmi

3) Al-Kaf Wasysyaf ringkasan dari kitab Al-Kasysyaf 4) I‟lâm Al-Hudâ Fî Fahdâilil Aimmah sebanyak dua

jilid.

22Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Tabrasi, Majma‟ Al-Bayân Fi

„Ulum Al-Qur‟an, (Bairut: Dar maktabah Al-Hayah), h. 8-9

Selain karangan-karangan tafsir, beliau juga memiliki karangan-karangan lain yaitu:

1) Kitab Al-Umdah fî Ushûluddin.

2) Haqâik Al-Umûr fî Akhbâr

3) Al-farâid wa An-Nafil yang dikarang di kota Persia.

4) Syawâhid At-Tanzîl

5) Al-Muqtashâd dalam ilmu alat.23

2. Profil Tafsir Thabarsi

a. Latar Belakang Penyusunan Tafsir Thabarsi

Di antara kejadian yang menakjubkan, bahkan termasuk karamatnya yang aneh, berita yang tersebar di kalangan umum bahwa ia ditimpa penyakit pingsan (tidak sadarkan diri) maka orang-orang menduganya telah wafat karena itu mereka memandikannya dan mengebumikannya kemudian mereka bubar (dari perkuburan). Setelah ia sadar kembali ternyata ia temukan dirinya berada di dalam kubur dan ia terbelenggu tidak bisa keluar dari arah mana pun, maka pada saat itu ia bernadzar kalau ia selamat dari keadaannya ia akan mengarang sebuah kitab tafsir Al-Qur‟an.24

Salah seorang penggali kuburnya bermimpi tentang diri At-Thabarsi. Dalam mimpi itu, ia mengabarkan bahwa dirinya masih hidup. Atas dasar mimpiitu dan dibarengi hidayah dari Allah Swt., penggali kubur itu bergegas menggali kembali

23Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Tabrasi, Majma‟ Al-Bayan Fi

„Ulum Al-Qur‟an), h. 10-11

24Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli tafsir, h. 338

kuburannya. Hanya rahmat Allah-lah yang membawanya menghirup kembali udara dunia ini. Ath-Thabarsi kemudian menepati nadzarnya. Ia mengarang sebuah kitab tafsir yang diberi nama Majma‟ Al-Bayân.25

Dalam kitab ini, Ath-Thabarsi membuka pintu lebar kepada pembaca untuk langsung menuju pada pembahasan yang diinginkan. Siapa yang ingin membahas ilmu nahwu, maka ia bisa langsung membuka pasal khusus tentangnya.

Siapa yang berminat pada qira‟at, baik riwayat, takhrîj, maupun dalilnya,maka iabisa langsung melihat pada tiap-tiap ayat. Semuanya komplit dan bisa ditemukan dengan mudah.26

b. Metode dan Corak Penafsiran

Metode dalam tafsir ini yaitu Tahlili, menafsirkan Al- Qur‟an dari ayat demi ayat sesuai dengan tertib ayat dan surat dalam mushaf Al-Qur‟an. Sebelum menafsirkan ayat, beliau memaparkan:

1) Makiyah dan Madaniyah,

2) Apabila ada perbedaan dari segi jumlah ayat beliau menjelaskannya,

3) Begitu juga perbedaan dari qira‟atnya, dan juga menyebutan „Ilal-„ilal dalam ilmu tafsir

25Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur‟an, h. 96

26Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur‟an, h. 97

4) Menjelaskan dalam aspek Bahasa, I‟rob, Asbab an- Nuzul, kisah-kisah atau cerita-cerita dan hukum- hukum yang terdapat pada ayat itu.27

Dalam muqadimmah kitab ini juga tedapat subab-subab yang harus diketahui bagi orang yang ingin memperdalam ilmu tafsir. Dalam tafsir Ath-Thabarsi terdapat beberapa pandangan yang dinukil dari pemikiran-pemikiran syi‟ah dan mu‟tazilah pada kitabnya yang fenomenal. Hal itu menunjukan akan keluasan ilmunya pada bidang-bidang yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa Ath-Thabarsi tidak panatik terhadap syi‟ah dan tidak melenceng pada akidahnya seperti yang terjadi pada kebanyakan ulama syiah itsna asy‟ariyah al-imamiyah.28

c. Sumber Penafsiran

Tafsir Majma‟ al-Bayân termasuk jenis kategori tafsir bi Al-ra‟yi, dimana dalam menafsirkan ayat-ayat beliau menggunakan hasil pemahaman mufassir. Sedangkan adanya ayat ayat yang berkaitan, hadis-hadis yang ada dan beberapa pendapat difungsikan sebagai hujjah atau penguat atas pendapat yang dikeluarkan dalam menafsirkan.29

27Muhammad Husen Adz-Dzahabi, Tafsir Wal Mufassirun, (Mesir: Daar al- Hadist, 1937), juz 2, h.77

28Muhammad Husen Adz-Dzahabi, Tafsir Wal Mufassirun, h. 78

29Muhammad Husen Adz-Dzahabi, Tafsir Wal Mufassirun, h. 77

55

PENAFSIRAN SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN SYEIKH FADHL BIN HASAN ATH-THABARSI MENGENAI AYAT-AYAT

TEGURAN PADA NABI MUHAMMAD SAW A. Mengharamkan Sesuatu yang Halal

Dari beberapa ayat yang termasuk ke dalam teguran bagi nabi Muhammad saw. yaitu mengharamkan sesuatu yang halal baginya yang mana terdapat dalam QS. At-tahrim [66]: 1































“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. At-tahrim [66]: 1) 1. Penafsiran Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani

Di awal surat beliau selalu memaparkan sedikit pembahasan tentang ketuhanan.1 Hal ini memang menjadi ciri khas beliau yang mana terkenal sebagai ahli sufi dikalangan para ulama. Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani menafsirkan ayat tersebut melalui sebuah hadis, yang diriwayatkan bahwa Rasulullah bermalam di rumah Maryah padahal ketika itu malamnya Hafshoh. Maka Hafshoh mendatangi Rasulullah dan mencela beliau. Rasul berkata “Aku mengharamkan diriku terhadap Maryah untuk dirimu. Jangan berkata pada salah satu istriku dan rahasiakanlah hal ini pada mereka begitu juga Khalifah setelahku yaitu Abu Bakar dan setelahnya Umar”. Tapi Hafshoh

1Sayyid Seykh Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailani, ditahqiq oleh Dr. Muhammad Fadhil Al-Jailani Al-Hasani At-Tailani Al-Jamazraqi, (Istanbul: Markaz Al-Jailani li Al-Buhuts Al- Ilmiyyah, 2009), juz. 6, h 119

mengabarkan kepada Aisyah dua hal ini padahal mereka berdua (Hafshoh dan Aisyah) wanita yang jujur maka Aisyah memberitahu kepada Rasulullah saw. berita tersebut. Rasul marah terhadap Hafshoh dan mentalaknya dengan talak raj‟i, dan tidak mendekati istri-istrinya selama satu bulan karena sebab peristiwa ini. Maka turunlah ayat ini.2

Di ahkir ayat ini ada lafadz Ghofûrûn (

روفغ

) yang mempunyai arti Maha Pengampu. Seakan-seakan Allah Swt. mengisyaratkan kepada kita semua khususnya nabi muhammad saw. bahwa Allah Swt. telah memberi pengampunan atas apa-apa yang telah nabi perbuat.

Beda halnya dengan penafsiran Wahbah Az-Zuhaili mengenai riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. mengharamkan Mariyah Al-Qibtiyyah bagi diri beliau, sebagaimana disebutkan oleh Daruquthni dari Umar ra. Meskipun itu memungkinkan untuk diterima dari segi maknanya, riwayat tersebut tidak terdokumentasikan dalam sebuah hadis shahih dan tidak pula diriwayatkan oleh seorang perawi adil.3 Ibnu Arabi mengatakan yang shahih adalah pengharaman tersebut adalah menyangkut madu bahwa beliau sebelumnya meminum madu di rumah Zainab ra.. Aisyah ra.

dan Hafsoh pun bersekongkol untuk menyusahkan Rasulullah saw.

menyangkut madu itu, dan terjadilah apa yang terjadi. Beliau pun bersumpah tidak akan meminumnya lagi.

Menurut penulis bahwa ketika Rasulullah saw. mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah Swt. dengan maksud untuk menyenangkan sebagian istri-istrinya. Mengenai sikap ini Rasulullah

2Sayyid Seykh Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailani, ditahqiq oleh Dr. Muhamma Fadhil Al-Jailani Al-Hasani At-Tailani Al-Jamazraqi, juz 6, h. 120

3Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakrata: Gema Insani, 2014), jilid 14,h. 679

saw. telah dimaafkan oleh Allah Swt. dan ini merupakan teguran atas sikapnya dari Allah Swt. Sama halnya dengan penafsiran Wahbah Az- Zuhaili dalam kitab tafsirnya yaitu “Wahai Nabi, mengapa kamu melarang dirimu dari sebagian apa yang telah diperbolehkan Allah Swt. untukmu, dengan maksud kamu ingin menyenangkan dan mengambil hati istri-istrimu.allah Swt. Maha Pengampun terhadap keteledoran darimu berupa sikap mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Swt. bagimu serta terhadap kealpaan-kealpaan yang telah lalu.

Allah juga Maha Penyayang kepadamu. Allah Swt. tidak menghukum kamu atas dosa yang telah kamu tobati serta tidak menuntut pertanggung jawabanmu atas dosa tersebut”. Ini bentuk teguran halus dengan nuansa penuh keramahan,4 seperti ayat:

“Allah memaafkanmu (Muhammad). Mengapa engkaku memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)”. (QS.

At-Taubah [9]: 43).

Tafsir Al-Jailâni ini merupakan tafsir yang bercorak sufi isyari, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam menafsirkan ayat ini memaparkan unsur sufi isyari nya yaitu “Jangan berkata pada salah satu istriku dan rahasiakanlah hal ini pada mereka begitu juga Khalifah setelahku yaitu Abu Bakar dan setelahnya Umar”.

2. Penafsiran Syeikh Fadhl bin Hasan Tabrisi

Sebelum memaparkan tafsirannya, imam Ath-Thabarsi mendahului dengan menyebutkan:

Allûghoh/bahasa: (Al-Haram) yaitu perbuatan jelek yang terlarang lawan katanya adalah halal. (At-Tahrîm) yaitu penjelasan bahwa sesuatu itu hukumnya haram, mewajibkan untuk meninggalkannya.

4Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, h. 680

Asbâb an-Nuzûl: para ulama mufassir berbeda pendapat tentang sebab turunnya ayat ini, ada yang mengatakan bahwa Rasulullah saw.

ketika selesai salat subuh beliau menemui para istri-istrinya dan suatu ketika Rasulullah saw. menghadiahkan kepada Hafsoh binti Umar berupa madu. Maka tiap kali Rasul mendatangi Hafsoh, ia menginginkan Rasul untuk tinggal lebih lama lagi. Aisyah ra. tidak menyukai hal tersebut maka beliau berkata kepada budak perempuan Habasyi: “Apabila Rasul mendatangi Hafsoh maka engkau masuk juga dan lihatlah apa yang diperbuat oleh Rasulullah”. Maka ketika budak tersebut melakukan hal itu dan memberitahukan kepada Aisyah tentang madu yang diberikan oleh Rasulullah, Aisyah merasa cemburu kemudian memberitahukan hal ini kepada istri-istri yang lain seraya berkata: “Jika Rasul mendatangi kalian, maka katakanlah

“Saya mencium bau ghofir5 karena bau ghofir itu merupakan wewangian yang tidak disukai Rasul”. Di lain hari, Rasulullah menemui Saudah. Saudah berkata: “Saya tidak mau mengatakan hal ini kepada Rasulullah karena saya berbeda dengan Aisyah”. Ia berkata lagi: ”Ya Rasulullah apakah engkau telah memakan ghofir?” Beliau menjawab “Tidak, tetapi Hafsoh hanya memberikanku madu”.

Kemudain Rasulullah mendatangi para istri-itrinya dan ketika mendatangi Aisyah, ia menutup hidungnya. Rasul bertanya: “Engkau kenapa?” Aisyah menjawab: “Saya mencium bau ghofir. Apakah engkau memakannya?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Hafsoh hanya memberikanku madu”. Maka Rasulpun berkata: “Saya tidak

5Gharir adalah Bawang atau tumbuhan bergetah yang tidak sedap baunya, namun tumbuhan ini mengandung rasa manis.

akan memakannya lagi”. Maka beliaupun mengharamkan hal tersebut bagi dirinya.6

Dikatakan juga bahwa yang memberikan madu kepada Rasul adalah Ummu Salamah.7 Ada juga yang mengatakan Zainab binti Jahsyin. Aisyah berkata: “Bahwa Rasulullah singgah di rumah Zainab dan di sana meminum madu, maka saya pun bersekongkol bersama Hafsoh apabila nanti Rasulullah datang maka katakanlah saya mencium bau ghofir, apakah engkau memakannya?”. Maka ketika Rasul mendatangi istri yang lain, beliau pun ditanya hal tersebut.

Rasul berkata: “Tidak, saya hanya meminum madu di rumah Zainab, dan tidak akan kembali lagi kesana”. Maka turunlah ayat ini.

Dikatakan juga bahwa Rasulullah telah membagi waktu bagi para istri-istrinya. Maka ketika jatuh pada hari Hafsoh, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya memilki hajat dengan ayah saya (Umar), maka Rasul pun mengizinkannya untuk menemui Umar. Maka ketika saya keluar, Rasulullah mengutus kepada Hafsoh yaitu seorang mudak perempuan bernama Maryah Al-Kibtiyah (seorang budak perempuan dari Mesir yang dihadiahkan oleh penguasa Mesir). Maka Rasullullah pun memerintahkannya untuk masuk ke rumah Hafsoh. ketika Hafsoh datang, tiba-tiba pintu rumahnya terkunci dan ia pun duduk di depan pintu. Kemudian Rasulullah saw. pun keluar dengan wajah yang berkeringat. Hafsoh berkata: “Sesungguhnya engkau mengizinkanku karena hal ini, engkau memerintahkan budak perempuan untuk masuk ke rumahku padahal hari itu merupakan hari giliranku”.

Maka Rasulpun berkata: “Bukankah ia (Maryiah al-Kibtiyah) merupakan budakmu yang telah Allah halalkan bagiku?. Maka

6Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 58

7Riwayat dari „Atho bin Abi Muslim

diamlah kamu! Sesungguhnya budak ini telah aku haramkan atas diriku. Jangan memberitahukan hal ini kepada istri-istri yang lain, ini merupakan amanah”.8 Maka ketika Rasulullah saw. keluar, Hafsoh mengetuk tembok rumah Aisyah. Hafsoh berkata: “Maukah engkau saya beritahu bahwa Rasulullah telah mengharamkan budaknya atas dirinya”. Maka Aisyah pun memberitahukan hal ini kepada istri-istri rasul yang lainnya. Dan turunlah ayat ini (yâ ayyuhannabiyyu lima tuharrimu).

Dalam menafsirkan ayat ini Imam Ath-Thabarsi memaparkan bahwa Rasulullah saw. meminta keridhoan istri-istri nya padahal seharusnya merekalah yang harus meminta kerihoan darimu dan ini bukan merupakan sesuatu yang menyebabkan engkau berdosa baik dosa kecil maupun dosa besar, karena pengharaman seorang suami atas sebagian istri-istrinya karena suatu sebab ataupun tanpa sebab itu merupakan hal yang jelek dan tidak termasuk perbuatan dosa. Dan karena lebih baik berbuat baik untuk menyenangkan hati istri-istrinya dari sesuatu yang tidak disukai.9

Menurut penulis dilihat dari sebab turunnya ayat ini, bahwa pengharaman yang halal disini adalah terkait pengharaman atas dirinya untuk tidak minum madu dan pengharaman atas istrinya. Hal ini sama halnya dengan penafsiran Imam Wahbah az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya al-Munir bahwa yang dimaksud pengharaman di sini adalah berpantangan dan menahan diri dari mengonsumsi madu atau dari bersenang-senang dengan sebagian istri Rasul, bukannya meyakini keharaman hal tersebut setelah setelah dihalalkan Allah

8Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an,, h. 59

9Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 62

Dalam dokumen AYAT-AYAT TEGURAN PADA NABI MUHAMMAD SAW (Halaman 64-68)