PENDAHULUAN
Identifikasi Masalah
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Apakah tafsiran Syaikh Abdul Qadir Jailani dan Syaikh Fadhl bin Hasan Ath-Tabarsi tentang ayat-ayat nasihat Allah Swt. Bagaimana menganalisis persamaan dan perbezaan antara tafsiran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Syaikh al-Fadhl ibn al-Hasan ibn al-Fadhl Ath-Tabarsi terhadap ayat-ayat teguran Nabi Muhammad saw.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulis telah mengambil hanya 6 tempat yang terdapat dalam Al-Quran, ayat-ayatnya adalah: QS. Untuk mencari analisis persamaan dan perbezaan antara tafsiran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Syaikh al-Fadhl ibn al-Hasan bin al-Fadhl Ath-Tabarsi dalam ayat-ayat nasihat kepada Nabi Muhammad saw.
Tinjauan Pustaka
Quraish Sihab, Visi Tafsir Al-Quran Bertemakan Pelbagai Isu Ummah, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. Setelah membaca tesis ini, penulis mendapati gambaran yang sangat jelas tentang ayat-ayat teguran kepada Nabi Muhammad saw bahawa baginda adalah penerima wahyu daripada Allah swt dan bukannya daripada pencipta al-Quran.
Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan teknik dokumenter dimana data dikumpulkan dari kajian teks atau buku yang relevan dengan pokok bahasan atau rumusan masalah di atas. Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengelola data agar penelitian dapat dilakukan secara rasional, sistematis, dan terarah.
Teknik dan Sistematika Penulisan
35M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan og Keserasian Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 6Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 9Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h.
22Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 30 Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 32 Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h.
35 Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 36Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 43Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h.
44Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h. 47Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma‟ Al-Bayan Li „Ulûmil Qur‟an, h.
DISKURSUS „ITȂB (TEGURAN) KEPADA NABI
Definisi Maksum
Ayat-Ayat Teguran pada Nabi Muhammad saw
22 Lihat Al-Qur'an dan transkripsi kata demi kata serta terjemahan kata demi kata, (Bekasi: Cipta Bagus Segara, 2016), hal. Ia pun membacakan Al-Qur'an dengan qirâ'at (pola bacaan) yang berbeda-beda sesuai zduhur. 18 Zainiyah, “Konsep Cinta Ilahi dalam Al-Qur'an”, skripsi (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2018), unpublished (n.d.).
8 Al-Imam Said Abu Fadl bin Al-Hasan At-Thabarsi, Majma' Al-Bayan Li 'Ulûmil Qur'an, hlm. 11Ahmad Muahammad Yusuf, Asbabun Nuzul, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an, (Jakarta: Widya Cahaya, 2014), hlm. Di dalam Al-Qur'an adalah daar bevele en verbode van Allah SWT, soos gevind in QS.
Tanggapan para Ulama tentang Ayat-ayat Teguran
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan Tafsir Al-Jailâni
- Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
- Profil Tafsir al-Jailânî
13M. Quraish Shihab, Pesan Tafsîr Al-Misbâh, Kesan dan Harmoni Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol.15, hal.14M. Quraish Shihab, Pesan Tafsîr Al-Misbâh, Kesan dan Harmoni Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid 15, hlm. Teguran Allah kepada Rasulullah dalam Al-Qur'an, Skripsi, Banda Aceh : UIN Ar-Raniry Darussalam, 2018 .
Al-Qur’an Perspang (Al-Qutb) dalam latih tubi Muhammad dalam Tafsir Al-Tabari dalam Tafsir fi Zahlul Al-Qur’an, Tahsis, Yejikarta: Ain Sunan Kal-Ajja, 2003.
Syeikh Fadhl bin Hasan Ath-Thabarsi dan tafsir Ath-Thabarsi
- Syeikh Fadhl bin Hasan At-Thabarsi
- Profil Tafsir Ath-Thabarsi
Mengharamkan Sesuatu yang Halal
- Penafsiran Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
- Penafsiran Syeikh Fadhl bin Hasan Ath-Thabarsi
- Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Janganlah menceritakannya kepada salah satu istriku dan merahasiakan hal ini dari mereka serta dari khalifah setelahku yaitu Abu Bakar dan setelahnya Umar.” Tafsir Al-Jailâni merupakan tafsir yang bercorak isyari sufi, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan dalam tafsir ayat ini unsur sufi isyari, yaitu “Janganlah kamu menceritakannya kepada salah satu istriku dan rahasiakan juga hal itu kepada orang-orang seperti khalifah setelahku yaitu Abu Bakar dan setelahnya. Umar.” Maka ketika hamba itu melakukan hal tersebut dan menceritakan kepada Aisyah tentang madu yang diberikan Rasulullah kepadanya, Aisyah merasa cemburu lalu menceritakan hal tersebut kepada istri-istri yang lain dan berkata, “Jika Rasulullah datang kepadamu, katakanlah demikian.
Sauda berkata, “Aku tidak akan mengatakan hal ini kepada Rasulullah karena aku berbeda dengan Aisyah.” Jangan beritahu istri-istrimu yang lain, itu adalah amanah.” mengkonsumsi madu atau bersenang-senang dengan beberapa istri Nabi, daripada meyakini haramnya setelah dihalalkan oleh Allah.
Namun Hafsoh menceritakan hal ini kepada Aisyah, dan Aisyah pun menceritakan hal tersebut kepada istri-istri rasul yang lain.
Bermuka Masam
Ini adalah satu lagi kesan, dan Allah ingin menghapuskan kesan tersebut dengan turunnya ayat-ayat ini. Oleh itu, teguran ayat-ayat di atas sebenarnya menunjukkan keagungan Nabi Muhammad saw dan baginda adalah manusia – tetapi bukan sebagai manusia biasa. Walaupun tafsiran Al-Jailânî adalah tafsiran Isyari seperti sufi, namun tidak terdapat unsur tasawuf dalam tafsiran ayat ini.
Persamaan penafsiran al-Jailânî dan Ath-Tabarsi terhadap ayat ini adalah bahwa ayat ini merupakan peringatan dari Allah kepada Nabi-Nya. Dalam tafsir Al-Jailânî hanya dijelaskan satu riwayat mengenai ayat ini, yaitu ketika Rasulullah SAW. Sedangkan dalam tafsir Ath-Thabarsi dijelaskan riwayat lain mengenai ayat ini kepada siapa diturunkannya, yaitu Al-Murtadho berkata: “Jika dilihat ayat tersebut secara dzohir, tidak terlihat bahwa ayat tersebut diperlihatkan. Rasulullah, namun hanya sebagai kebaruan yang belum jelas karena sifat wajah orang tersebut.sur tidak termasuk dalam ciri-ciri Rasulullah, apalagi orang-orang mukmin yang diberi petunjuk.”
Diriwayatkan daripada As-Shodiq bahawa ayat ini diturunkan kepada seorang lelaki dari Bani Umayyah ketika dia bersama Rasulullah dan Ibnu Ummu Maktum datang ketika dia melihat Ibnu Ummu Maktum dia menyangka dia seorang yang kotor dan.
Menyolati Jenazah Orang Munafik
Dalam tafsir Al-Jailânî tidak disebutkan Al-Qirâ'at (berbagai bacaan), sedangkan dalam tafsir Ath-Thabarsi dijelaskan. Menurut penulis, ayat ini merupakan peringatan berupa larangan bagi rasul yang ingin mendoakan jenazah Abdullah bin Ubay atas permintaan putranya. Sebagaimana disebutkan dalam asbab an-nuzul riwayat Bukhari dari Ibnu Umar, bahwa ketika Abdullah bin Ubay (seorang tokoh munafik) meninggal dunia, putranya datang menjenguk Rasulullah.
Kebaikan Abdullah bin Ubay menyebabkan ribuan orang Khazraj masuk Islam. Dan Imam Ath-Tabarsi tidak melanggar teologi maksumnya karena sejarah mengatakan bahwa dia adalah Rasulullah. Persamaan kedua mufasir tersebut adalah tafsir al-Jailânî dan tafsir Ath-Thabarsî menjelaskan larangan Allah SWT.
Dalam tafsir al-Jailâni tidak ada riwayat sama ada Rasulullah mendoakan Abdullah bin Ubay atau tidak, sedangkan dalam tafsir Ath-Tabarsi disebutkan beberapa riwayat mengenainya, tetapi beberapa riwayat mengatakan bahawa Rasulullah tidak mendoakan Abdullah bin Ubay. .
Memintakan Ampunan bagi Orang Munafik
Dalam tafsir al-Jailânî tidak disebutkan perumpamaan ini (meminta ampun karena kekafiran), sedangkan dalam tafsir Tabarsi disebutkan ketika Nabi Ibrahim meminta ampun kepada ayahnya yang saat itu meninggal tanpa mendapat hidayah. Dalam tafsir al-Jailâni tidak ada riwayat Nabi saw menyapa Abdullah bin Ubay atau tidak, sedangkan dalam tafsir Ath-Thabarsi terdapat beberapa riwayat mengenai hal tersebut, namun ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah tidak menyapa Abdullah bin Ubay. setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka.” Ketika Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menafsirkan ayat ini, dijelaskan bahwa tidak baik dan pantas bagi Nabi dan para pengikutnya untuk meminta ampun dan keringanan kepada orang-orang musyrik. azab mereka dan dimasukkan ke surga Allah.
Hal ini sama dengan Al-Marahgi dalam penafsirannya, yaitu tidak termasuk tingkah laku Nabi dan tidak termasuk kepunyaannya sebagai Nabi, juga tidak termasuk tingkah laku orang-orang mukmin, mereka berdoa kepada Allah SWT untuk ampunan bagi mereka. orang-orang.muslim. Sangat jelas bagi orang beriman dengan dalil bahwa orang musyrik itu termasuk penghuni neraka.24. Ayat ini diturunkan mengenai seorang mukmin yang meminta ampun kepada saudaranya yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik, namun hal itu dilarang.29.
Persamaan keduanya adalah dalam tafsir al-Jailâni dan Thabarsi dijelaskan bahwa tidak baik dan tidak patut bagi Nabi dan orang-orang mukmin untuk meminta ampun kepada orang-orang munafik setelah mereka meninggal, meskipun mereka adalah saudara dekat. .
Menyembunyikan Berita Allah SWT
33 Sayyid Seykh Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailâni, disahkan oleh Dr. Muhamma Fadhil Al-Jailani Al-Hasani At-Tailani Al-Jamazraqi, jld. Ayat ini diturunkan kerana Zainab binti Zahsyin yang didakwahkan oleh Rasulullah untuk anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Ayat ini diturunkan kepada Umi Kulthum binti Uqbah bin Abi Mu‟bid yang berserah diri kepada Rasulullah.
Rasul berkata, “Aku menerimamu”, dan dia menikahkannya dengan Zaid, maka dia dan saudaranya menolak dan berkata, “Kami ingin kamu menikahinya dan bukan Zaid”, maka turunlah ayat ini. Dan tujuan Nabi menyembunyikan ayat ini adalah karena beliau takut orang akan berpikiran negatif terhadap beliau karena beliau menikah dengan mantan istri anak angkatnya (Zaid). Menurut penulis, ayat ini merupakan peringatan kepada Nabi yang menyembunyikan risalah Allah karena takut orang akan berpikiran negatif terhadapnya.
Persamaan antara Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Imam Ath-Tabarsi mengenai ayat ini menjadi teguran dan pengajaran bagi Rasulullah.
Mendo‟akan Keburukan kepada Orang yang
Ayat ini turun ketika perang Uhud tahun 3 H. Yang membuat muka rasul berdarah. Ayat ini turun ketika Nabi berdoa kepada Allah SWT. bagi orang musyrik semasa perang Uhud dengan doa yang negatif 41. Al-Jailani mentafsirkan ayat ini apabila orang Yahudi menyeru orang Quraisy untuk bertanya kepada Nabi tentang roh, dzulkarnain dan ashabul kahfi.
Menurut penulisnya, Imam Ath-Tabarsi, penafsiran ayat ini tidak hanya dimaksudkan sebagai peringatan kepada Nabi, tetapi bersifat komprehensif, terbukti dengan tidak adanya sejarah yang secara khusus berkaitan dengan Nabi. Meskipun Imam Ath-Thabarsi adalah seorang ulama Syiah yang memiliki teologi maksum, namun ia menyimpang dari teologinya dalam penafsiran ayat ini. Kemudian Imam Ath-Thabarsi yang merupakan ulama Syiah di istana 'Asyariyah, tidak melanggar/menyimpang dari teologi Syiah itu sendiri, yaitu teologi infalibilitas atau 'ishmah, dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Keajaiban Al-Qur'an: Ditinjau dari Aspek Linguistik, Tanda-Tanda Ilmiah dan Laporan Yang Gaib, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.