• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENURUT M. QURAISH SHIHAB DAN HAMKA

Dalam dokumen Untitled - repository iiq (Halaman 95-104)

79

BAB IV

Allah menghidupkan orang yang mati.1 Muhammad Quraish Shihab menafsirkan (

ﺓﻮﺴﻗ

) qaswah sebagai kata yang digunakan untuk menyifati benda maupun hati. Maknanya adalah keberadaan sesuatu dalam satu keadaan yang sama, tidak dapat berubah ke keadaan yang berbeda dari keadaannya yang lalu.

Sebenarnya, kekerasan hati mereka telah terjadi jauh sebelumnya.

Karena itu, kata (

ﻢﺛ

) di sini dipahami oleh banyak ulama bukan dalam arti selang waktu yang lama. Tetapi ia digunakan untuk menunjukkan bahwa kekerasan hati seharusnya telah sirna setelah peristiwa penghidupan kembali si terbunuh melalui penyembelihan sapi itu. Muhammad Quraish Shihab lalu mengutip pendapat Asy-Syihab Al-Khaffaji yang mengatakan “Sungguh sangat jauh bagi seorang yang berakal untuk bersikap keras kepala setelah melihat tanda-tanda kebesaran Allah itu”.

Tetapi, orang-orang Yahudi tidak demikian. Hati mereka lebih membatu dan pikiran mereka semakin keras. Demikian ibarat keadaan hati mereka yang menolak kebenaran. Tidak sedikitpun celah di hati mereka yang dapat dijadikan pintu masuknya hidayah, tidak juga ada celah untuk keluarnya rahmat kasih sayang yang dianugerahkan Allah swt melalui naluri manusia. Berbeda dengan batu yang walau keras dan padat, ada di antaranya yang memiliki celah sehingga air dapat keluar dari celahnya. Bahkan, ada yang sedemikian besar celahnya sehingga air yang mengalir di sekelilingnya memancar keluar dengan deras. Bukankah “ada batu yang mengalir sungai- sungai darinya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya?”

1 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. ke-V, Vol. 1, h. 276.

Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa “sungguh ada di antara batu yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.” Muhammad Quraish Shihab menafsirkan bahwa batu itu taat kepada hukum-hukum alam yang ditetapkan Allah swt baginya. Bukankah batu dan segala sesuatu tidak dapat mengelak dari apa yang dinamai hukum-hukum alam, yang pada hakikatnya adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkanNya terhadap alam?2

Ayat ini menyatakan bahwa ia meluncur karena takut kepada Allah.

Apakah batu takut? Bukankah ia benda mati dan tak bernyawa? Maka bagaimana ia dapat takut? Dari satu sisi dapat dikatakan bahwa dalam pandangan Al-Qur’an segala sesuatu di alam raya ini hidup dengan kehidupan yang sesuai dengan kondisinya. Karena itu, tegas Al-Qur’an:













































“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji- Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra’ [17]: 44).

Jika demikian, segala sesuatu termasuk batu, “mengerti”, tetapi jangan tanya bagaimana mereka mengerti dan takut atau bagaimana mereka bertasbih. Demikian penafsiran Muhammad Quraish Shihab. Beliau juga menambahkan sebuah hadis untuk menunjukkan adanya rasa bagi segala sesuatu, yakni sebuah hadis yang berbunyi:

2 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an, Vol. 1, h.277.

َنَأ ُتْعِمَس ،َةَداَتَ ق ْنَع ،ٍدِلاَخ ِنْب َةَّرُ ق ْنَع ،يِبَأ يِنَرَ بْخَأ :َلاَق ،ٍّيِلَع ُنْب ُرْصَن يِنَثَّدَح اًس » ُهُّبِحُنَو اَنُّ بِحُي ٌلَبَج اَذَه « : َلاَق ،َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها ىَّلَص َّيِبَّنلا َّنَأ ،ُهْنَع ُهَّللا َيِضَر

Telah menceritakan kepadaku Nashr bin Ali dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Ayahku dari Qurrah bin Khalid dari Qatadah aku mendengar Anas radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ini adalah gunung yang mencintai kami dan kamipun mencintainya.". (HR. Bukhari).

Ayat dan hadis yang beliau paparkan dimaksudkan agar manusia memperlakukan benda-benda tak bernyawa itu seperti benda hidup, yang juga membutuhkan perlakuan baik, persahabatan, dan kasih sayang.

Sehingga, kalaupun mereka tidak hidup seperti kehidupan kita, ia memiliki

“kehidupan” yang sesuai dengan keadaan mereka.3

Kembali kepada orang-orang Yahudi yang kekerasan hatinya dilukiskan oleh ayat yang ditafsirkan ini. Beliau berpendapat bahwa hati adalah tempat rahmat dan kasih sayang. Ada yang keras dan tidak mengenal belas kasihan, ada juga yang tersentuh walau dengan peristiwa kecil sekali pun. Hati yang tidak diisi dengan zikir akan membatu bahkan lebih keras daripada batu. Hati orang-orang Yahudi lebih keras daripada batu. Bukankah mereka bergeming dengan peringatan-peringatan? Tidak sesuatu pun yang bermanfaat terpancar dari sisi mereka, padahal ada batu yang memancarkan air.4

Di dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka cukup singkat menafsirkan ayat ini. Beliau menjelaskan bahwa hati mereka lebih keras daripada batu, sebab tidak ada pengajaran yang bisa masuk ke dalam. Batu yang dikatakan keras

3 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-

Qur‟an, Vol. 1, h. 278.

4 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an, Vol. 1, h. 278.

itu masih juga ada faedah yang diharapkan, yaitu dapat memancarkan sungai.

Tapi hati yang keras tak dapat memancarkan faedah apa-apa.

Maka kalau hatimu dimisalkan sekeras batu padahal daripada batu masih banyak faedah yang diharapkan dan dari batu yang runtuh karena takutnya kepada Allah dan tunduk sujudnya kepada Tuhan apakah lagi misal yang layak bagi hatimu yang kesat lagi keras itu? Sungguh pun demikian

“Dan tidaklah Allah lengah dari apa yang kamu perbuat”.

Tidaklah Allah akan lengah. Tidaklah kamu lepas dari titikan Tuhan.

Pasti datang masanya kamu akan membayar sendiri dengan mahal segala kejahatan hatimu itu. Jika pengajaran yang lunak tidak berbekas kepada hatimu, karena lebih keras daripada batu, maka palu godam azablah yang akan menimpa dirimu kelak. Waktunya akan datang. Demikianlah uraian Hamka dalam kitab tafsirnya.5

Menurut hemat penulis, penafsiran antara Muhammad Quraish Shihab dan Hamka pada dasarnya sama. Yaitu keduanya sama-sama menjelaskan bahwa hati yang lebih keras daripada batu itu adalah tidak ada sedikitpun celah atau ruang bagi hidayah untuk bisa masuk ke dalamnya.

Hanya saja, Muhammad Quraish Shihab lebih luas dan rinci dalam menguraikan ayat ini dengan menjelaskan makna kata qaswah dan kata tsumma yang terdapat di dalamnya. Sedangkan Hamka cukup singkat dalam penafsirannya. Beliau hanya menjelaskan secara umum perbandingan antara batu yang keras dengan hati yang lebih keras daripada batu.

Pada potongan ayat “dan diantaranya sungguh ada batu yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah”, Muhammad Quraish Shihab

5 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ I, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), cet. VII, h.

223.

berusaha mengajak pembaca tafsirnya untuk berpikir dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana sebuah batu sebagai benda mati bisa mempunyai “rasa” untuk takut kepada Allah. Kemudian Muhammad Quraish Shihab menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan memaparkan sebuah ayat yang juga diperkuat dengan hadis Nabi saw. Sedangkan Hamka dalam menjelaskan potongan ayat ini memberi penegasan tentang perumpamaan seperti apa yang dapat menggambarkan hati manusia yang keras jika batu saja masih dapat runtuh karena takut kepada Allah.

Kemudian di akhir penafsiran tentang ayat ini, Muhammad Quraish Shihab menjelaskan tentang kondisi dan watak sebuah hati; ada yang keras sampai tidak mengenal rasa belas kasihan, dan ada pula yang mudah tersentuh dengan peristiwa-peristiwa kecil. Beliau juga menjelaskan tentang penyebab seseorang bisa memiliki hati yang keras, yang pada ayat ini disimpulkan sebagai hati orang-orang Yahudi pada kaum Bani Israil.

Sedangkan Hamka dalam akhir penafsiran ayat ini memberikan sebuah penegasan berupa ancaman bagi orang-orang yang memiliki hati yang keras.

B. QS. Al-An’am: 43































“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.”(QS. Al-An’am [6]: 43).

Menurut Muhammad Quraish Shihab, ayat ini merupakan pertanyaan yang timbul dari keheranan terhadap orang-orang yang dijelaskan pada ayat sebelumnya, yang mengisyaratkan terbukanya kemungkinan diterimanya permohonan para pembangkang itu, selama memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Allah. Ayat tersebut menjelaskan bahwa siksa yang dijatuhkan Allah antara lain bertujuan untuk mendorong mereka bertaubat dengan tulus dan berdoa dengan rendah hati. Karena kalau tidak, siksa yang lebih besar dapat menimpa mereka. Tetapi umat-umat itu membangkang, maka mereka disiksa dengan kesengsaraan seperti pembunuhan dan kemelaratan seperti kegelisahan batin, supaya mereka tunduk merendahkan diri kepada Allah sambil mengakui kesalahan mereka dan bermohon kiranya Allah menghindarkan mereka dari petaka.

Karena Allah telah menawarkan kesempatan, namun mereka tidak bergeming menyambutnya, maka pastilah timbul keheranan melihat sikap mereka. Karena itu, kelanjutan ayat tersebut, yakni QS. Al-An’am ayat 43, mempertanyakan .“Maka mengapa mereka tidak tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka?” Jawabannya adalah memang mereka tidak bermohon karena mereka amat durhaka, bahkan hati mereka telah menjadi keras sehingga mengingat Allah pun tidak, dan setan pun merayu dan mengelabui mereka sehingga setan-setan manusia dan jin itu memperindah sesuatu yang sering mereka kerjakan, yakni dosa-dosa dan kedurhakaan.6 Demikianlah penafsiran Muhammad Quraish Shihab.

Beliau menguraikan bahwa firman-Nya “Maka mengapa mereka tidak tunduk”, sebenarnya tidak terdapat dalam teks ayat. Ini dipahami dari kata

ﻻﻮﻟ

yang dari segi bahasa digunakan sebagai ajakan, tetapi oleh

6 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. II, h. 93.

sementara ulama tidak dipahami dalam artian tersebut. Beliau mengutip pendapat pakar bahasa dan Tafsir, az-Zamakhsyari, yang menjelaskan bahwa di sini kata

ﻻﻮﻟ

berarti “tidak” karena ajakan telah berulang-ulang disampaikan kepada mereka, yakni mereka tidak tunduk atau bermohon.

Menurut az-Zamakhsyari, kata tersebut sengaja dipilih untuk menggambarkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan buat mereka meninggalkan doa dan permohonan kepada Allah swt, kecuali karena kekerasan hati mereka dan rayuan setan.7

Jadi, menurut Muhammad Quraish Shihab, mereka disebut memiliki hati yang keras disebabkan karena mereka tidak bermohon, yang juga berarti tidak menyambut ajakan itu, sehingga tidak tunduk kepada Allah swt.

Di dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menerjemahkan

ﻻﻮﻠﻓ

dengan

“mengapalah mereka sampai hati demikian”, atau “sayang sekali mereka tidak segera insaf akan diri setelah bencana datang, kesengsaraan dan kemelaratan menimpa”. Bukan mereka tunduk dan insaf melainkan bertambah kafir, bertambah mendustakan rasul-rasul Allah. Tidak mereka bertambah tunduk dan sadar akan kesalahan karena menolak kebenaran dan membelakangi Allah, melainkan bertambah keras kepala. Mereka berkeras hati dan tidak mau percaya bahwasanya berbagai macam aneka warna malapetaka yang menimpa mereka itu bukanlah karena takdir Allah. Lalu datang setan memperdayakan, baik setan halus atau setan kasar yang terdiri dari manusia sendiri yang membisikkan dan menyanjung mengatakan bahwa langkah yang ditempuh ini bukanlah salah, melainkan langkah yang benar.

Kalau kita merendahkan diri dan tunduk pada setan itu, berarti kita mengaku

7 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 4, cet. II, hal. 94.

lemah. Kalau kita mengaku lemah, niscaya wibawa kita hilang dan orang tidak takut lagi kepada kita.8

Penulis tidak menemukan perbedaan penafsiran antara Muhammad Quraish Shihab dan Hamka tentang

ْﻢُهُ بْﻮُﻠُ ﻗ ْتَﺴَﻗ

. Keduanya menafsirkan hati yang keras pada ayat ini adalah hati orang-orang yang membangkang dan tidak memohon ampunan kepada Allah setelah dijatuhkan siksa kepada mereka. Padahal adanya siksa itu agar supaya mereka bisa kembali kepada Allah, namun karena hati yang keras disertai rayuan indah setan lah, sehingga membuat mereka enggan untuk segera mengambil hikmah dari setiap siksaan itu.

Dan menurut hemat penulis, ayat ini menegaskan bahwa bukannya hidayah Allah yang tak sanggup menembus hati mereka yang keras, tapi karena memang mereka membangkang dan enggan kembali ke jalan yang benar karena sudah tergoda dengan rayuan setan yang membuat segala amalan mereka terasa indah.

C. QS. Al-Hajj: 53



































“Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat.” (QS.

Al-Hajj [22]: 53).

8 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),cet. VII, h.

258.

Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkan apa yang dilakukan setan itu diizinkan oleh Allah, dalam arti bahwa Allah yang memberi potensi kepada setan untuk melakukan hal itu dalam rangka menguji orang-orang munafik yang di dalam hati mereka terdapat penyakit dan orang-orang kafir yang memiliki hati yang bejat.

Memang itu dilakukan oleh setan, tetapi kemampuannya itu bersumber dari Allah swt karena tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi -baik atau buruk- kecuali atas izin-Nya.9

Pada ayat ini, Muhammad Quraish Shihab menerjemahkan kalimat

Dalam dokumen Untitled - repository iiq (Halaman 95-104)

Dokumen terkait