هاَوَى
B. Hamka dan Tafsir Al-Azhar 1. Biografi Hamka
2. Seputar Tafsir Al-Azhar
Tafsir Al-Azhar diakui sebagai karya terbesar Hamka yang disusun melalui berbagai cobaan. Karya ini sudah dirintis oleh Hamka sejak tahun 1959 M dan akhirnya diselesaikan pada tahun 1966 M yaitu setelah beliau keluar dari tahanan politik pemerintahan Soekarno. Sebagian besar isi tafsir ini ditulis beliau di dalam penjara. Kitab ini telah dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1979 M. Karya beliau ini telah dicetak beberapa kali bukan saja bukan di Indonesia, tetapi juga di Singapura. Hal ini
62Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, h. 162-166 dan Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 261-270.
menunjukkan bahwa keberadaan kitab tafsir ini telah mendapat perhatian yang meluas dari masyarakat.63
Sejarah penulisan Tafsir Al-Azhar dimulai dari ceramah-ceramah yang disampaikan Hamka setelah shalat subuh yang dimulai sejak tahun 1959 di Masjid Al-Azhar yang membahas tafsir Al-Qur‟an, dimuat secara teratur dalam majalah Gema Islam sampai Januari 1964. Demikianlah tanpa diduga sebelumnya, pada hari senin 12 Ramadhan 1383 H bertepatan dengan 27 Januari 1964 M, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang kaum ibu di Masjid Al-Azhar, beliau ditangkap oleh penguasa Orde Lama lalu dimasukkan ke dalam tahanan. Sebagai tahanan politik, Hamka ditempatkan di beberapa tempat antara lain Bungalow Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob Megamendung, dan Kamar Tahanan Polisi Cimacan. Di waktu ditahan inilah Hamka mempunyai kesempatan yang cukup untuk menulis Tafsir Al-Azhar.64
Pada akhir Januari 1964, beliau telah ditangkap atas dakwaan politik.
Pada masa itu, suasana politik di Indonesia sangatlah genting disebabkan oleh peralihan rezim orde lama ke orde baru. Maka ramailah tokoh-tokoh agama yang telah difitnah secara politik termasuk Hamka.65
Di dalam penjara, Hamka mempunyai kesempatan yang banyak untuk meneruskan penulisan Tafsir Al-Azhar. Selama dua tahun di dalam tahanan, Hamka yang terasing dari dunia telah dianugerahkan perasaan dekat dengan Khaliq. Seluruh waktunya dihabiskan untuk menjalankan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam suasana yang demikian trasedentalnya, Hamka melanjutkan penulisan kitab tafsirnya. Hamka
63Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 54.
64 M, Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, h. 55-56.
65Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 63.
menganggap bahwa kejadian ini adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah dalam hidupnya. Bahkan dengan rendah hati, Hamka mengakui bahwa jika tidak terjadi fitnah atas dirinya, beliau merasakan sukar baginya untuk menyelesaikan tugas besar itu mengingat faktor usia yang semakin lanjut dan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah.66
Salah seorang putra beliau pernah menyarankan agar di dalam kata pengantar kitab tersebut, beliau menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang telah menjatuhkan fitnah padanya. Karena atas usaha fitnah mereka itulah, Hamka telah ditahan lalu dapat menyelesaikan tafsir itu.
Namun Hamka menolak saran itu. Beliau bertegas untuk tetap berpegang pada pendirian tauhid, yaitu meletakkan syukur dan pujian-pujian hanya bagi Allah semata-mata.67
Disebabkan kesehatannya sempat menurun, Hamka pernah dipindahkan ke Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun Jakarta. Selama perawatan, Hamka meneruskan penulisan tafsirnya. Setelah jatuhnya Orde Lama dan kemudian muncul Orde Baru, Hamka dibebaskan dari tuduhan.
Pada tanggal 21 Januari 1966, Hamka kembali menemukan kebebasannya setelah mendekam dalam penjara selama kurang lebih dua tahun.
Kesempatan ini pun dipergunakan Hamka untuk memperbaiki serta menyempurnakan Tafsir Al-Azhar yang sudah pernah dia tulis di beberapa rumah tahanan sebelumnya.68
Berdasarkan penjelasan di atas, masa penulisan Tafsir Al-Azhar selama kurang lebih 7 tahun, bermula dari tahun 1959 M hingga 1966 M.
66Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 64.
67Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 64.
68 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, h. 56-57.
a. Identifikasi Fisiologis
Pada identifikasi ini, penulis mengambil dari terbitan Pustaka Panjimas yang dapat diidentifikasi kondisi fisiknya sebagai berikut:
1) Terdapat 30 juz, yang mana setiap buku menafsirkan satu juz Al- Qur‟an.
2) Desain sampul: Berwarna hijau.
3) Sampul dalam: Terdapat satu lembar yang bertuliskan nama kitab, nama pengarang, nama penerbit, pencetak, hak cipta.
4) Lembar pertama: Berisi daftar isi, sebagai catatan setiap juz dari tafsir ini mempunyai daftar isi tersendiri.
5) Pada Juz I, lembar ke-2 sampai ke-66 berturut-turut berisikan sebagai berikut: Kata pengantar, pendahuluan, Al-Qur‟an, I‟jazul Qur‟an, isi mukjizat Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan makna, menafsirkan Al-Qur‟an, haluan tafsir, mengapa dinamai “Tafsir Al-Azhar”, hikmah Ilahi, dan petunjuk pembaca.
6) Layout konten: Pada juz I diawali dengan surah Al-Fatihah dan diteruskan dengan surah-surah selanjutnya sesuai urutan mushaf.
7) Pada juz II sampai XXX, terdapat Muqaddimah setiap juz yang akan dibahas.
8) Buku tafsir ini ditulis dengan kertas ukuran A5.
9) Akhir penulisan tafsir per juz kadang mencantumkan hari, tanggal, bulan, dan tahun penyelesaian juz tersebut.
10) Tidak setiap akhir jilidnya terdapat bibliografi.
b. Identifikasi Metodologis 1) Latar Belakang Penulisan
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir Al- Azhar, yaitu: Pertama, adanya semangat para pemuda di Indonesia dan di daerah-daerah yang berbahasa Melayu yang sangat ingin mengetahui isi Al- Qur‟an, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa Arab. Semangat mereka terhadap agama telah tumbuh, akan tetapi
“rumah telah kelihatan, bahwa jalan ke sana tidak tahu”, untuk mereka inilah khusus pertama tafsir ini disusun. Kedua, golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli dakwah. Mereka ini, para muballigh, menghadapi bangsa yang sudah mulai cerdas dengan habisnya buta huruf, keterangan- keterangan yang didasarkan pada agama, padahal tidak masuk akal, sudah berani membantahnya. Padahal kalau mereka itu diberi keterangan Al- Qur‟an secara langsung, dapatlah mereka lepas dari dahaga jiwa. Maka tafsir ini merupakan suatu alat penolong bagi mereka untuk menyampaikan dakwah itu.69
Menurut Federspiel, Tafsir Al-Azhar ditulis untuk menggambarkan kekacauan politik waktu itu, terutama penyusupan komunis (PKI) dalam pemerintahan Soekarno.70 Namun menurut Abdul Rauf, ini bukanlah satu- satunya alasan penting yang mendorong penulisan karya tersebut. Federspiel luput akan keadaan pemahaman keagamaan dan dinamika intelektual umat Islam pada waktu itu yang masih tradisional, terutama dalam memahami
69 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I, h. 4.
70Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur‟an Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, h. 17.
keuniversalan Al-Qur‟an. Sesungguhnya, faktor sosial keagamaan masyarakat Islam turut mendorong Hamka menulis Tafsir Al-Azhar.71
2) Latar Belakang Penamaan
Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Hamka memberi nama tafsir Al-Qur‟an 30 juz yang ditulisnya dengan nama Tafsir Al-Azhar.
Pertama, sebagai penghormatan Hamka atas jasa baik Syaikh Mahmud Syaltut selaku Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, yang memberikan gelar Doktor Honorist Causa kepada Hamka. Kedua, nama Al-Azhar diambil dari nama sebuah masjid tempat beliau memberikan kajian tafsir Al-Qur‟an setiap ba‟da subuh, yaitu Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta.72
3) Jenis Tafsir
Dari aspek jenis penafsiran, semua karya tafsir yang dihasilkan oleh generasi kedua periode modern (1950-1980), di mana Hamka berada di dalam generasi ini, semuanya memakai jenis penafsiran pemikiran (bi al- ra‟yi), yaitu tafsir yang didominasi oleh pemikiran-pemikiran rasional tetapi tidak menutup pintu bagi masuknya riwayat atau hadis. Itulah sebabnya di dalam kitab-kitab tafsir bi al-ra‟yi tetap dijumpai hadis-hadis atau asar meskipun porsinya amat kecil, tidak dominan sama sekali. Itu diungkapkan sekedar mendukung pendapat mufassir.73
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menggunakan jenis bi al-ra‟yi karena dalam hal menafsirkan, beliau mengemukakan pendapat-pendapat beliau tentang tafsir ayat-ayat tersebut.
71Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 56.
72 Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 63.
73 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia, (Solo: PT.
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 103.
4) Bentuk dan Corak Tafsir
Hamka menggunakan contoh-contoh yang ada di tengah masyarakat, baik masyarakat kelas atas seperti raja, rakyat biasa, maupun secara individu, semua tergambar di dalam karyanya. Uraian Hamka yang demikian menyentuh perasaan manusiawi yang dalam. Berdasarkan hal tersebut, Tafsir Al-Azhar dalam menjelaskan ayat itu bercorak sastra budaya kemasyarakatan (adab ij‟tima‟iy) dengan pendekatan tasawuf. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang pemikiran dan keahlian Hamka sebagai seorang sastrawan dan sufi sehingga produk tafsir yang dihasilkannya diwarnai oleh kondisi demikian.74
5) Metode Penafsiran
Jika dilihat dari urutan suratnya menggunakan tartib mushafi, Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar menggunakan metode tahlili(analitis).
Hamka menggunakan metode analitis sehingga peluang untuk mengemukakan tafsir yang rinci dan memadai menjadi lebih besar.75
6) Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tafsir ini adalah pertama-tama mengemukakan muqaddimah dan pendahuluan pada setiap awal juz, yang isinya bisa dikatakan merupakan resensi juz yang akan dibahas. Di samping itu juga, Hamka terkadang mencari munasabah (kolerasi) antara juz yang sebelumnya dengan juz yang akan dibahas.
Selanjutnya, Hamka juga menyajikan beberapa ayat di awal pembahasan secara tematik. Dia membentuk sebuah kelompok ayat yang
74Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia, h. 105.
75 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia, h. 104.
dianggap memiliki kesesuaian tema untuk memudahkan penafsiran sekaligus memahami kandungannya. Sepertinya hal ini memang sesuai dengan tujuan Hamka menyusun Tafsir Al-Azhar yang ditujukan bagi masyarakat Indonesia agar lebih dekat dengan Al-Qur‟an. Hamka dengan terlebih dahulu menerjemahkan ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.
Dalam tafsir ini, Hamka juga menjauhkan diri dari berlarut-larut dalam uraian mengenai pengertian kata, selain hal itu dianggap tidak terlalu cocok untuk masyarakat Indonesia yang memang banyak yang tidak memahami bahasa Arab, Hamka menilai pengertian tersebut telah tercakup dalam terjemahannya. Walaupun demikian, bukan berarti Hamka sama sekali tidak pernah menjelaskan pengertian sebuah kata dalam Al-Qur‟an. Sesekali penafsiran atas sebuah kata akan disajikan dalam tafsirnya.
Setelah menerjemahkan ayat, Hamka memulai penafsirannya terhadap ayat tersebut dengan luas dan terkadang dikaitkan dengan kejadian pada zaman sekarang, sehingga pembaca dapat menjadikan Al-Qur‟an sebagai pedoman sepanjang masa.76
Beliau juga sangat disiplin mengutip pendapat para mufassir terdahulu dalam menafsirkan ayat tertentu sebelum memberikan uraian yang lebih panjang. Karena menurut beliau, penafsiran Al-Qur‟an tanpa melihat pendapat ahli tafsir terdahulu dianggap sebagai tindakan yang terlalu berani.77
76 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, h. 171.
77Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 70.
7) Sumber dan Referensi
Di dalam kitab tafsirnya, Hamka menggunakan tinjauan sejarah, antropologi, dan sosiologi sembagai sumber penafsiran untuk memperkaya tafsirnya.78
Dalam hal memilih sumber referensi untuk Tafsir Al-Azhar, Hamka tidak fanatik terhadap satu karya tafsir dan tidak terpaku pada satu mazhab pemikiran. Hamka mengutip berbagai kitab, bukan hanya kitab tafsir melainkan kitab hadis dan lain sebagainya yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi, ada beberapa kitab tafsir yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsirnya. Bukan saja dari segi pemikiran, tetapi haluan serta coraknya juga diambil oleh beliau.79
Tafsir yang menarik hati Hamka untuk dijadikan contoh adalah Tafsir Al-Manar karya Sayid Rasyid Ridha. Selain menguraikan ilmu agama, hadis, fikih, sejarah, tasawuf, dan lain-lain, tafsir ini juga menyesuaikan ayat itu dengan perkembangan politik, budaya dan keadaan masyarakat, yang sesuai dengan zaman pada waktu tafsir itu ditulis. Selain Tafsir Al-Manar, ada beberapa tafsir yang dijadikan contoh oleh Hamka, misalnya Tafsir Al- Maraghi, Tafsir Al-Qasimi, dan Tafsir Fii Zhilalil Qur‟an. Namun demikian Hamka tidak mencantumkannya sebagai rujukan secara langsung untuk memperkuat pemikiran-pemikirannya kecuali hanya pada juzu‟ ke-4 dari Tafsir Al-Azharnya.80
Ternyata ada persamaan antara Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar dalam proses penyusunannya. Kedua kitab tafsir ini bermula dalam bentuk
78Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), cet. ke-IV, h. 295-296.
79 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, h. 169.
80Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 67.
ceramah di masjid yang kemudian disusun dalam bentuk tulisan. Ini menyebabkan tafsir itu dapat berkomunikasi dengan pembacanya serta memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Yang berbeda hanyalah latar tempatnya, di mana Tafsir Al-Manar ditulis dengan berlatar belakang masyarakat Mesir, sedangkan Tafsir Al-Azhar dibuat dengan berlatar belakang masyarakat Indonesia.81
Selain kitab-kitab tafsir yang disebutkan di atas, masih banyak lagi kitab-kitab karangan ahli Tafsir, sarjana-sarjana modern, dan karangan- karangan Orientalis Barat yang menjadi sumber referensi beliau.82
c. Berbagai Komentar Terhadap Tafsir Al-Azhar
Hamka adalah seorang ulama yang hebat dan seorang penulis yang produktif pada masanya. Sehingga membuat beliau mendapat pujian dari generasi berikutnya, diantaranya:
1) Seorang tokoh intelektual muslim yaitu Prof. Dr. Komarudin Hidayat berkata, “Hingga saat ini, belum ada karya tafsir intelektual Indonesia yang mana pendekatannya, kesohorannya, dan pengaruhnya mengungguli karya Hamka.
2) Tokoh Muhammadiyah, Prof. Dr. Yunan Yusuf mengatakan,
“Khusus Tafsir Al-Azhar, menurut saya ada tiga kelebihan. Pertama, diuraikan dalam bahasa yang mudah dan bahasa roman. Hal itu akan dikenali bagi yang sudah membaca Di Bawah Lindungan Ka‟bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kedua, Hamka merujuk pada tafsir-tafsir yang Mu‟tabar di kalangan masyarakat kita seperti TafsirBaidhawi, Tafsir Tantawi Jauhari, Tafsir Al-Qurthubi, dan
81Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 67.
82 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, h. 170.
Tafsir Az-Zamakhsyari. Dengan demikian Tafsir Al-Azhar menjadi tidak asing bagi masyarakat kita. Tetapi, penafsiran Hamka lebih rasional daripada para penafsir lain.
3) Karel A. Steenbrink, seorang sarjana Belanda pakar dalam bidang sejarah Indonesia mengatakan bahwa Tafsir Al-Azhar termasuk tafsir yang mempunyai nilai besar jika dilihat dari kuantiti pembahasannya.
Hamka memberi tumpuan secara khas dari segi tasawuf, akhlak, dan permasalahan pembaharuan Indonesia.83
d. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Azhar
Tafsir Al-Azhar menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Hal itu karena tafsir ini disusun sesuai dengan keperluan masyarakat itu sendiri. Bahkan uraiannya merupakan jawaban terhadap persoalan yang sedang mereka hadapi. Sebagai pujangga, Hamka pandai menyusun kata-kata sehingga menarik para pembacanya untuk membaca tulisannya.84
Nashruddin Baidan di dalam bukunya mengatakan, uraian Hamka yang demikian panjang di dalam Tafsir Al-Azhar tidak membosankan, tetapi enak dibaca dan menyentuh perasaan manusiawi yang amat halus.85
Menurut Federspiel, Tafsir Al-Azhar memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan karya tafsir semasanya, yaitu membicarakan tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer. Sebagai contoh, dapat dilihat
83Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 80-81.
84Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawwuf Hamka, h. 67.
85 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia, h. 105.
pada komentarnya tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok nasionalis di Asia pada awal abad ke-20.86
86Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur‟an Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, h. 48.
79