• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merapi24

Dalam dokumen BUKU GUNUNG API INDONESIA (Halaman 165-175)

Merapi 155

Merapi

G. Merapi (2986 m dpl) terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah.

Posisi geografinya terletak pada 7° 32’30” LS dan 110°

26’30” BT. Berdasarkan tatanan tektoniknya, gunung ini terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia menunjam di bawah Lempeng Eurasia yang mengontrol vulkanisme di Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Gunung Merapi muncul di bagian selatan dari kelurusan dari jajaran gunungapi di Jawa Tengah mulai dari utara ke selatan, yaitu Ungaran-Telomoyo-Merbabu-Merapi dengan arah N165 E. Kelurusan ini merupakan sebuah patahan yang berhubungan dengan retakan akibat aktivitas tektonik yang mendahului vulkanisme di Jawa Tengah. Aktivitas vulkanisme ini bergeser dari arah utara ke selatan, dimana G. Merapi muncul paling muda.

Secara garis besar sejarah geologi G. Merapi terbagi dalam empat periode, yaitu Pra Merapi, Merapi Tua,

Informasi Umum

Merapi Muda, dan Merapi Baru. Periode pertama adalah Pra Merapi dimulai sejak sekitar 700.000 tahun lalu dimana saat ini menyisakan jejak G. Bibi (2025 m dpl) di lereng timurlaut G. Merapi. Gunung Bibi memiliki lava yang bersifat basaltic andesit. Periode kedua, periode Merapi Tua menyisakan bukit Turgo dan Plawangan yang telah berumur antara 60.000 sampai 8.000 tahun. Saat ini kedua bukit tersebut mendominasi morfologi lereng selatan G. Merapi. Pada periode ketiga, yaitu Merapi Muda beraktivitas antara 8000 sampai 2000 tahun lalu. Di masa itu terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur yang sekarang tampak di lereng utara Gunung Merapi serta menyisakan kawah Pasar Bubar. Periode keempat aktivitas Merapi yang sekarang ini disebut Merapi Baru, dimana terbentuk kerucut puncak Merapi yang sekarang ini disebut sebagai Gunung Anyar di bekas kawah Pasar Bubar dimulai sekitar 2000 tahun yang lalu.

Peta lokasi G. Merapi yang terletak di Jawa Tengah

Merapi 157

Sejarah dan Karakteristik Letusan

Sejarah letusan G. Merapi secara tertulis mulai tercatat sejak awal masa kolonial Belanda sekitar abad ke-17.

Letusan sebelumnya tidak tercatat secara jelas. Sedangkan letusan-letusan besar yang terjadi pada masa sebelum periode Merapi baru, hanya didasarkan pada penentuan waktu relatif.

Berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, G.

Merapi meletus lebih dari 80 kali atau rata-rata sekali meletus dalam 4 tahun. Masa istirahat berkisar antara 1-18 tahun, artinya masa istirahat terpanjang yang pernah tercatat andalah 18 tahun. Pada periode 3000 - 250 tahun yang lalu tercatat lebih kurang 33 kali letusan, dimana 7 diantaranya merupakan letusan besar (Andreastuti dkk, 2000). Pada periode Merapi baru telah terjadi beberapa kali letusan besar, yaitu abad ke-19 (tahun 1768, 1822,

1849, 1872) dan abad ke-20 yaitu 1930-1931. Erupsi abad ke-19 jauh lebih besar dari letusan abad ke-20, dimana awan panas mencapai 20 km dari puncak. Kemungkinan letusan besar terjadi sekali dalam 100 tahun (Newhall, 2000). Aktivitas Merapi pada abad ke-20 terjadi minimal 28 kali letusan, dimana letusan terbesar terjadi pada tahun 1931.

Secara umum, letusan Merapi pada abad ke-18 dan abab ke- 19 masa istirahatnya relatif lebih panjang, sedangkan indeks letusannya lebih besar. Akan tetapi tidak bisa disimpulkan bahwa masa istirahat yang panjang, menentukan letusan yang akan datang relatif besar, karena berdasarkan fakta, beberapa letusan besar memiliki masa istirahat pendek.

Atau sebaliknya, pada saat mengalami istirahat panjang, letusan berikutnya ternyata kecil. Ada kemungkinan juga

Morfologi Gunung Merapi (kiri) dan lelehan lava pijar di puncak Gunung Merapi (kanan).

Strategi Mitigasi

bahwa periode panjang letusan pada abad ke-18 dan abad ke-19 disebabkan banyak letusan kecil yang tidak tercatat dengan baik, karena kondisi saat itu. Jadi besar kecilnya letusan lebih tergantung pada sifat kimia magma dan sifat fisika magma.

G. Merapi berbentuk sebuah kerucut gunungapi dengan komposisi magma basaltik andesit dengan kandungan silika (SiO2) berkisar antara 52 - 56%. Morfologi bagian puncaknya dicirikan oleh kawah yang berbentuk tapal kuda, dimana di tengahnya tumbuh kubah lava.

Letusan G. Merapi dicirikan oleh keluarnya magma ke permukaan membentuk kubah lava di tengah kawah aktif di sekitar puncak. Munculnya lava baru biasanya disertai dengan pengrusakan lava lama yang menutup aliran sehingga terjadi guguran lava. Lava baru yang mencapai permukaan membetuk kubah yang bisa tumbuh membesar.

Pertumbuhan kubah lava sebanding dengan laju aliran magma yang bervariasi hingga mencapai ratusan ribu meter kubik per hari. Kubah lava yang tumbuh di kawah dan membesar menyebabkan ketidakstabilan. Kubah lava yang tidak stabil posisinya dan didorong oleh tekanan gas dari dalam menyebabkan sebagian longsor sehingga terjadi awan panas.

Awanpanas akan mengalir secara gravitasional menyusur lembah sungai dengan kecepatan 60-100 km/jam dan akan berhenti ketika energi geraknya habis. Inilah awan panas yang disebut Tipe Merapi yang menjadi ancaman bahaya yang utama.

Dalam catatan sejarah, letusan G. Merapi pada umumnya tidak besar. Bila diukur berdasarkan indek letusan VEI (Volcano Explosivity Index) antara 1-4 dengan jarak luncur awanpanas berkisar antara 4-15 km. Letusan G. Merapi sejak tahun 1872-1931 mengarah ke barat-barat laut.

Tetapi sejak letusan besar tahun 1930-1931, arah letusan dominan ke barat daya sampai dengan letusan tahun 2001.

Kecuali pada letusan tahun 1994, terjadi penyimpangan ke arah selatan, yaitu ke hulu K. Boyong, terletak antara bukit Turgo dan Plawangan. Pada erupsi tahun 2006, terjadi perubahan arah dari barat daya ke arah tenggara, dengan membentuk bukaan kawah yang mengarah ke Kali Gendol. Erupsi terbesar tahun 2010 terjadi pada tanggal 5 November 2010, yaitu terjadi penghancuran kubah lava yang menghasilkan awanpanas sejauh 15 km ke K. Gendol.

Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana yang dapat dilakukan melalui berbagai cara termasuk pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan tidak kalah penting adalah penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

Apabila sudah mencapai fase krisis, harus dilakukan

tindakan operasional berupa pemberian peringatan dini, meningkatkan komunikasi dan prosedur pemberian informasi, menyusun rencana tanggap darurat yang berupa penerapan dari tindakan rencana keadaan darurat dan sesegera mungkin mendefinisikan perkiraan akhir dari fase kritis.

a. Peringatan Dini

Ada 4 tingkat peringatan dini untuk mitigasi bencana

Merapi 159 letusan Merapi, yaitu Aktif Normal, Waspada, Siaga,

dan Awas.

1) Aktif Normal: Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan visual tidak menunjukkan adanya gejala yang menuju pada kejadian letusan.

2) Waspada: Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan visual menunjukkan peningkatan kegiatan di atas aktif normal. Pada tingkat waspada, peningkatan aktivitas tidak selalu diikuti aktivitas lanjut yang mengarah pada letusan (erupsi), tetapi bisa kembali ke keadaan normal.

Pada tingkat Waspada mulai dilakukan penyuluhan di desa-desa yang berada di kawasan rawan bencana Merapi.

3) Siaga: Peningkatan aktivitas Merapi terlihat semakin jelas, baik secara instrumental maupun visual, sehingga berdasarkan evaluasi dapat disimpulkan bahwa aktivitas dapat diikuti oleh letusan. Dalam kondisi Siaga, penyuluhan dilakukan secara lebih intensif. Sasarannya adalah penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana, aparat di jajaran SATLAK PB dan LSM serta para relawan. Disamping itu masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana sudah siap jika diungsikan sewaktu-waktu.

4) Awas: Analisis dan evaluasi data, secara instrumental dan atau visual cenderung menunjukkan bahwa kegiatan Merapi menuju pada atau sedang memasuki fase letusan utama. Pada kondisi Awas, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana atau diperkirakan akan terlanda awan panas yang akan terjadi sudah diungsikan menjauh dari daerah ancaman bahaya primer awan panas.

Sarana komunikasi radio bergerak juga termasuk dalam sistem penyebaran informasi dan peringatan dini di Merapi. Komunikasi berkaitan dengan kondisi terakhir Merapi bisa dilakukan antara para pengamat gunungapi dengan kantor BPPTK, instansi terkait, aparat desa, SAR, dan lembaga swadaya masyarakat

khususnya yang tergabung dalam Forum Merapi.

Salah satu poster penyebaran informasi di Gunung Merapi berkaitan dengan tingkat aktivitas adalah Poster “Catur Gatra Ngadepi Beboyo” yang sudah beredar di Desa-Desa Kawasan Rawan Bencana.

b. Penyebaran Informasi

Sosialisasi dilakukan tidak hanya dilakukan pada saat Merapi dalam keadaan status aktivitas yang membahayakan, akan tetapi dilakukan baik dalam status aktif normal maupun pada status siaga. Namun demikian pada keadaan aktivitas Merapi meningkat seperti ketika aktivitas Merapi dinyatakan pada status Waspada dan atau Siaga menjelang terjadinya krisis Merapi sosialisasi dilakukan lebih sering. Sosialisasi status aktivitas dan ancaman bahaya Merapi pada intinya bertujuan untuk menyampaikan, menjelaskan kondisi vulkanis Merapi untuk menjaga kesiapan segenap aparat dan masyarakat dalam menghadapi peningkatan atau penurunan status aktivitas Gunung Merapi. Sasarannya antara lain adalah menyampaikan kondisi aktivitas Merapi terkini.

Pada 17 Desember 2007 di Yogyakarta, Bupati Klaten, Bupati Boyolali, Bupati Magelang, Provinsi Jawa Tengah dan Bupati Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana geologi (PVMBG) sepakat bekerja sama dalam “Forum Merapi” dalam rangka pengurangan risiko Merapi. Forum Merapi merupakan wadah bersama untuk menyatukan kekuatan, menyelaraskan program dan menjembatani komunikasi antar pelaku dalam kegiatan bersama untuk aksi pengurangan risiko bencana letusan G. Merapi serta menjaga kesinambungan daya dukung lingkungan bagi masyarakat sekitarnya. Perjanjian kerja sama “Forum Merapi” telah disepakati pada 19 Desember 2008.

Kesepakatan kerja sama “Forum Merapi” berdasarkan pertimbangan kesadaran pentingnya kerja sama untuk

mengurangi risiko bencana sebagaimana dirintis sejak 26 Mei 2006 di kantor Badan Koordinator II Magelang oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sleman, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Paguyuban Siaga Gunung (PASAG) Merapi, Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, serta didukung oleh Oxfam Great Bratain (GB), Deutsche Gesselschaft for Technische Zusammennabeit (GTZ), United Nations Children’s Fund (UNICEF), dan United nation Development Programme (UNDP).

c. Wajib Latih Penanggulangan Bencana (WLPB)

Wajib Latih Penanggulangan bencana termasuk di dalamnya adalah upaya mengurangi risiko bencana yang meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiap- siagaan, penyelamatan dan pemulihan. Kegiatan penanggulangan bencana merupakan satu kesatuan aktivitas yang melibatkan semua komponen masyarakat dan aparatur melalui koordinasi dari tingkat lokal sampai nasional. Peningkatan kapasitas kelembagaan maupun kapasitas masyarakat merupakan hal mutlak penting demi mengurangi risiko bencana. Konsep wajib latih muncul sebagai alternatif dalam rangka pengurangan risiko bencana melalui rekayasa sosial peningkatan kapasitas masyarakat di kawasan rawan bencana.

Wajib latih adalah program berkesinambungan yang diharapkan dapat membentuk budaya siaga bencana pada masyarakat. Tujuan wajib latih adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat akan potensi ancaman bencana, menciptakan dan meningkatkan kesadaran akan risiko bencana. Sasaran wajib latih adalah penduduk yang berada di kawasan rawan bencana berusia 17-50 tahun atau sudah menikah, sehat jasmani dan rohani dan mendapat izin keluarga.

Penyelenggaraan wajib latih dilakukan oleh instansi pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat

yang berkompeten di bidangnya dan dilakukan atas sepengetahuan pemerintah setempat.

Poster Catur Gatara Ngadepi Beboyo salah satu ouput yang dikeluarkan BPPTKG dalam upaya peringatan dini kepada masyarakat.

Merapi 161

Pemantauan Gunung Merapi

G. Merapi dikenal sebagai gunungapi yang sangat aktif.

Oleh karena aktivitasnya yang tinggi, periode letusannya pendek, yaitu antara 2-7 tahun, para ahli gunungapi memanfaatkannya sebagai objek penelitian dan penyelidikan serta untuk ujicoba peralatan pemantauan.

Sebagai akibatnya, hampir semua metoda pemantauan, baik yang konvensional hingga yang paling modern pernah diaplikasikan di G. Merapi.

Berikut ini disajikan berbagai metoda monitoring yang pernah diterapkan di G. Merapi dan hasilnya antara lain visual, seismik, deformasi, geokimia, gayaberat mikro, dan magnetik.

a. Visual

Pengamatan visual dilakukan dengan cara menggunakan panca indra, baik itu penglihatan, pendengaran, bau asap dan lain-lain. Kondisi visual yang dapat diamati antara lain asap solfatara, kondisi cuaca, curah hujan, suara guguran, bau asap/belerang. Untuk itu terdapat 5 Pos Pengamatan, yaitu Pos Kaliurang, Pos Ngepos, Pos Babadan, Pos Jrakah, dan Pos Selo.

b. Seismik

Seismograf elektromagnetik mulai digunakan pada tahun 1969, yaitu menggunakan seismograf Hosaka yang menggunakan kabel agar dapat diletakkan di tempat-tempat yang lebih representatif. Saat ini terdapat 30 stasiun pemantauan seismik.

c. Deformasi

Pengukuran deformasi G. Merapi dilakukan dengan menggunakan berbagai metoda antara lain pengukuran jarak dengan EDM (Electronics Distance Measurement), GPS (Global Positioning System), dan Telemetri Tiltmeter. Saat ini terdapat 16 reflektor untuk pemantauan dengan EDM, 10 stasiun pemantauan dengan GPS dan 13 stasiun pemantauan dengan Tiltmeter.

d. Geokimia

Sulfur dioksida (SO2) merupakan salah satu komponen yang ada dalam gas vulkanik yang dimonitor emisinya untuk memantau aktivitas suatu gunungapi. Konsentrasi SO2 bervariasi antara 5% sampai 50% mol, dengan fluks yang bervariasi. Monitoring emisi SO2 suatu gunungapi biasanya menggunakan Corelation Spectroscopy (COSPEC). COSPEC mengukur kolom SO2 dengan menggunakan pancaran sinar ultra violet (UV) sebagai sumber energinya. Di Gunung Merapi, pengukuran emisi gas SO2 dengan COSPEC telah dilakukan secara harian sejak tahun 1990. Metoda ini merupakan salah satu pemantauan jarak jauh berdasarkan geokimia yang telah banyak diaplikasikan di gunungapi lain di dunia.

Sebelum tahun 2010, monitoring gas vulkanik di Kawah Woro dan Kawah Gendol dilakukan dengan metoda pengambilan sampel gas menggunakan tabung Gigenbach. Dengan prinsip dan cara pengukuran yang sama dengan COSPEC, saat ini pengukuran emisi gas SO2 telah dikembangkan menggunakan DOAS (Differential Optical Absorption Spectroscopy) dan dipasang di Pos PGM Babadan. Selain itu, monitoring terhadap gas CO2 saat ini dilakukan dengan memasang sensor CO2 di lava 53 menggunakan telemetri.

e. Geofisika

Pengamatan dengan metode geofisika di G. Merapi dilakukan secara berkala antara lain Magnetik, Gravitasi, Magnetotelurik, dan Resistivitymeter. Pada dasarnya metode pengamatan dengan metode geofisika ini dilakukan untuk mendapatkan data Subsurface. Data subsurface yang diperoleh ini dapat menginterpretasikan kondisi kantong magma dan memonitoring adanya migrasi yang menuju ke permukaan. Salah satu hasil dari survei Geofisika metode gravitasi untuk mendeteksi subsurface.

f. Pengamatan Morfologi

Pengamatan morfologi didekati dengan metode foto.

Foto yang dikembangkan saat ini bisa dilakukan melalui fotoudara maupun fotogrametri. Metode foto udara menggunakan wahana berupa drone yang dilakukan secara berkala. Sedangkan metode fotogrametri

Lokasi Stasiun Pemantauan Gunung Merapi Hasil data pengamatan dengan metode gravitasi untuk mengetahui

subsurface kondisi bawah permukaan.

Metode foto udara ini efektif memberikan informasi perhitungan kualitatif volume pertumbuhan kubah lava, kendala metode ini adalah adanya angin kencang dan kabut yang menyebabkan misi ditunda atau dibatalkan.

didekati dengan kamera DSLR yang datanya ditelemetrikan dan diambil setiap jamnya. Dari metode foto ini lebih mudah mengamati perubahan morfologi, menghitung volume kubah lava dan kondisi morfologi terkini.

Merapi 163

Peta Kawasan Rawan Bencana

Kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Merapi terbagi menjadi 3 kawasan rawan bencana, yaitu:

a. KRB I: rawan terhadap lahar/banjir dan kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas. Apabila erupsinya membesar, maka kawasan ini berpotensi tertimpa hujan abu dan lontaran batu (pijar). Peluapan lahar dapat terjadi apabila sungai (termasuk di bawah jembatan) tersumbat oleh pepohonan yang tumbang dan melintang di badan sungai. Untuk mengantisipasi ancaman lahar, perlu mensiagakan peralatan berat untuk menyingkirkan sumbatan, mencegah peluapan dan atau penyimpangan aliran lahar. Apabila terjadi banjir lahar dalam skala besar, warga masyarakat yang terancam agar menjauhi daerah aliran sungai dan menuju tempat-tempat evakuasi terdekat yang dianggap aman

b. KRB II: berpotensi terlanda aliran awanpanas, gas beracun, guguran batu (pijar) dan aliran lahar. Batas Kawasan Rawan Bencana II ditentukan berdasarkaan sejarah kegiatan lebih tua dari 100 tahun, dengan indeks letusan (VEI 3-4), baik untuk bahaya aliran massa ataupun bahaya material lontaran batu (pijar. Di dalam

peta, Kawasan Rawan Bencana II digambarkan berwana merah muda. Masyarakat yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana II diharuskan mengungsi jika terjadi eskalasi ancaman letusan gunungapi sesuai dengan saran dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sampai daerah ini dinyatakan aman kembali.

Pernyataaan bahwa harus mengungsi, tetap tinggal di tempat, dan keadaan sudah aman kembali, diputuskan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c. KRB III: sering terlanda awanpanas, aliran lava, guguran batu (pijar), gas racun dan lontaran batu (pijar) hingga radius 2 km. Oleh karena tingkat kerawanannya tinggi, Kawasan Rawan Bencana III tidak direkomendasikan sebagai hunian tetap. Dalam rangka upaya pengurangan risiko bencana, perlu dilakukan pengendalian tingkat kerentanan secara ketat. Apabila terjadi peningkatan aktivitas vulkanik G. Merapi, masyarakat yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana III diprioritaskan untuk diungsikan terlebih dahulu. Berdasarkan Peta KRB G.

Merapi, terdapat 22 desa yang berada pada KRB III.

Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi

Kelud 165

Kelud

Dalam dokumen BUKU GUNUNG API INDONESIA (Halaman 165-175)

Dokumen terkait