• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Analisis Penelitian

4.3 Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat Tanete Dalam Tahapan

Pada bagian ketiga tulisan ini dijelaskan bahwa dalam melaksanakan atau melantunkan ritual ini terdapat sikap gotong royong atau kerjasama antara satu petugas adat bululondong dengan petugas yang lainnya seperti mempersiapkan diri untuk bersama-sama melantunkan nyanyian osong. Dengan kerjasama tersebut maka osong peti sejazah dan osong kerbau dapat dilantunkan dengan sebaik-baik mungkin sehingga keluarga yang berduka atau masyarakat yang mendengarkan lagu osong dapat dikuatkan. Selain itu, para panitia pemakaman yang dimana mereka mempersiapkan setiap keperluan yang dibutuhkan oleh para petugas adat bululondong. Seperti dalam tahap allo ma’joja tungka, terdapat kegiatan mangroto yang dimana petugas adat bululondong dan petugas kerbau menghitung jumlah kerbau yang ada. Selanjutnya, mereka juga bekerjasama untuk menenangkan hewan kerbau agar acara yang sedang berlangsung dapat terlaksana dengan aman dan

93Jacob Daan Engel, Pendampingan Keindonesiaan “Sebuah Upaya Memanusiakan Manusia Dalam Konteks Indonesia”, PT BPK Gunung Mulia : Jakarta, 2020, 3 & 4.

38

tentram. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Engel tentang pendampingan keindonesiaan yang didalamnya terdapat nilai-nilai sosial budaya masyarakat.

Salah satu nilai sosial budaya masyarakat adalah sikap gotong royong.94 Dengan demikian penulis menyimpulkan adanya kerjasama yang baik atau sikap gotong royong yang baik dalam proses melantunkan nyanyian osong, maka keluarga yang berdukapun dapat merasakan makna osong yang sesungguhnya sebab penulis melihat bahwa pelantunan lagu osong juga mempengaruhi makna osong itu sendiri agar tersampaikan dengan baik. Dalam hal ini keluarga yang berduka merasakan ketenangan dan keiklasan ketika nyanyian osong tersebut dilantunkan dengan baik sehingga dapat menyentuh hati. Kemudian, bergotong royong dalam mengamankan dan menenangkan kerbau yang juga akan mensukseskan ritual osong sehingga ritual osong dapat terealisasikan dengan baik.

Dalam prosesi ritual osong, para petugas adat bululondong atau masyarakat yang melantunkan osong mengorbankan waktu dan tenaganya dalam menjalankan adat dengan tujuan untuk memberikan penghiburan atau penguatan kepada keluarga maupun masyarakat yang berduka yang mendengarkan lagu osong. Selain itu, masyarakat juga berempati dalam mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mempersiapkan segala sesuatunya dalam pelaksanaan ritual osong tersebut. Misalnya pada tahap allo pa’pala’daran atau ma’ beloi tedong dan ma’papeling tedong, masyarakat bersama dengan keluarga yang berdukacita membuat passangkinan atau tempat kerbau diikat dan bala’kajan atau tempat yang akan digunakan untuk membagi-bagikan daging kerbau yang akan dibagian kepada masyarakat. Selain itu, allo pa’pala’daran atau ma’ beloi tedong dan ma’papeling tedong terdapat kerjasama antara satu anggota keluarga yang berduka dengan anggota keluarga yang lain dalam mempersiapkan makanan dan minuman dalam hal ini daun sirih, rokok, kopi, teh dan makanan-makanan ringan lainnya. Selain itu juga, seluruh rumpun keluarga mempersiapkan tempat pertemuan adat yang akan dihadiri oleh para petugas adat dan masyarakat to ala’ yang hadir dalam acara kedukaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Engel tentang pendampingan keindonesiaan yang didalamnya terdapat nilai berbagi rasa dan

94 Engel, pendampingan keindonesiaan, 6,7.

39

saling menerima95, Sebab dalam pelaksanan nyanyian osong masyarakat suku to ala’ mengorbankan diri mereka dalam hal ini waktu dan tenaga hanya untuk mempersiapkan kegiatan nyanyian osong. Dengan adanya sikap seperti ini, tentu keluarga yang berdukacita akan merasakan kepedulian dari orang lain secara khusus dari warga masyarakat. Hal inilah yang kemudian akan menguatkan dan menghibur keluarga yang berdukacita.

Dalam hasil penelitian, penulis memahami bahwa pada tahapan osong khususnya tahapan allo pa’paladaran atau ma’beloi tedong dan ma’paleling tedong, keluarga membagi-bagikan daging kerbau kepada setiap masyarakat sebagai tanda syukur atau terimakasih kepada masyarakat yang telah berpartisipasi dalam acara kematian. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Engel tentang pendampingan keindonesiaan yang didalamnya terdapat nilai persaudaraan yang rukun. Persaudaraan yang rukun meruapakan sikap yang menempatkan manusia sebagai manusia yang hidup dalam budayanya sendiri dan menjadi pendorong kepada sesamanya untuk berbuat baik. Penulis memahami bahwa hal ini sejalan karena dalam ritual osong khususnya dalam tahapan allo pa’paladaran atau ma’beloi tedong dan ma’paleling tedong terdapat perilaku dan sikap keluarga yang berduka terhadap masyarakat untuk berbuat baik.96 Dalam ritual osong, hal ini menjadi suatu hal yang tidak asing lagi dalam adat kematian suku to ala’ karena hal ini merupakan suatu kebiasaan yang harus dilakukan ketika melaksanakan ritual osong itu sendiri. Dengan kata lain, ketika keluarga telah mampu melaksanakan ritual osong, berarti mereka dengan sepenuh hati bersedia untuk melaksanakan kegiatan membagi-bagikan daging kerbau kepada masyarakat. Dengan demikian, penulis memahami bahwa ritual osong terdapat nilai-nilai positif yang menempatkan manusia untuk berbuat baik kepada sesamanya.

Pada bagian ketiga tulisan ini dijelaskan bahwa warga yang tinggal di desa tanete merupakan warga yang bersuku toraja,, suku bugis dan suku to ala’.

Kemudian, beberapa dari masyarakat suku to ala’ yang telah menikah dengan orang yang beda suku. Dengan demikian penulis memahami bahwa warga masyarakat yang menikah beda suku ketika yang mengalami dukacita oleh karena kepergian

95 Engel, pendampingan pastoral keindonesiaan, 54-56.

96 Engel, pendampingan keindonesiaan, 10-12

40

dari anggota keluarga harus berhadapan dengan adat yang akan dilakukan oleh masyarakat suku to ala’ secara khusus ritual osong itu sendiri. Sebagai warga masyarakat yang bukan suku to ala’ tentu hal ini menjadi suatu tantangan yang akan dijalani. Akan tetapi dari hasil penelitian, penulis melihat bahwa warga masyarakat desa Tanete, sekalipun hidup dengan kehidupan yang memiliki beragam suku tetapi mereka tetap rukun bahkan mereka saling menopang satu sama lain. Maka dari itu, penulis memahami bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Engel terkait pendampingan keindonesiaan yang didalamnya terdapat nilai sosial budaya masyarakat saling menerima dan adanya persaudaraan yang rukun97, sebab masyarakat to ala’ dalam melaksanakan ritual osong tetap menerima perbedaan yang ada. Ritual osong yang dilaksanakan oleh keluarga yang berdukacita dapat terealisasikan dengan baik karena adanya dukungan dari keluarga walaupun beda suku. Hal inilah yang kemudian juga menjadi salah satu penguatan dan penghiburan bagi keluarga secara khusus keluarga yang bersuku to ala’ sebab adanya sikap saling menerima tanpa melihat perbedaan yang ada pada mereka.

Dalam masyarakat to ala’ keluarga yang berdukacita tentunya saling menguatkan anggota keluarga yang lainnya. Dengan kata lain, anggota keluarga yang berduka berusaha untuk kuat dan tegar dan juga membagi kekuatan dan ketegarannya dengan orang lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Engel tentang pendampingan keindonesiaan yang didalamnya terdapat dalam nilai persaudaraan yang rukun dan solidaritas.98 Penulis memahami bahwa dalam ritual osong terdapat sikap persaudaraan yang rukun dan solidaritas sebab masyarakat to ala’ secara khusus keluarga, tetap mendorong mereka untuk berbuat baik atau peduli terhadap sesama mereka manusia. Sembari masyarakat to ala’ menjadi penggerak bagi sesama untuk peduli terhadap orang lain, mereka juga tidak menghilangkan identitas mereka sebagai makluk yang berbudaya.

Selanjutnya, dalam ritual osong, keluarga yang berdukacita merasakan penguatan, penghiburan dan mengiklaskan anggota keluarga yang telah meninggal.

Keluarga yang berdukacita sadar dan paham bahwa manusia akan kembali kepada tuhan sebagai pencipta-nya. Selanjutnya, keluarga yang berdukacita paham akan

97 Engel, pendampingan keindonesiaan, 10-12.

98 Engel, pendampingan keindonesiaan, 10-12.

41

tanggungjawabnya sebagai manusia bahwa tidak perlu larut dalam dukacita akan tetapi tetap menjalani hidup bersama dengan Tuhan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Engel tentang nilai sosial budaya masyarakat pertemanan dalam pendampingan keindonesiaan yang menegaskan bahwa dalam sikap pertemanan, orang yang didampingi diajak untuk mengembangkan potensi dalam dirinya yang kemudian dapat mendorong orang yang didampingi untuk melanjutkan kehidupannya.99 Dengan demikian, penulis memahami bahwa nyanyian osong secara khusus makna yang ada didalamnya mengandung sikap pertemanan, terbukti ketika pada bagian ketiga tulisan ini menegaskan bahwa keluarga yang berdukacita sadar dan paham untuk tidak larut dalam kesedihan dan adanya motivasi dalam diri setiap keluarga bahwa tanggung jawab manusia saat ini adalah tetap menjalani hidup bersama Tuhan karena manusia pada hakikatnya akan kembali kepada pencipta-Nya.

Dokumen terkait