• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Osong Bagi Keluarga yang Berduka di desa Tanete dari Perspektif Pendampingan Keindonesiaan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Osong Bagi Keluarga yang Berduka di desa Tanete dari Perspektif Pendampingan Keindonesiaan."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

Osong Bagi Keluarga Yang Berduka Di Desa Tanete Dari Perspektif Pendampingan Keindonesiaan

Oleh Ghiland 712018029

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari syarat untuk mencapai gelar Sarjana sains teologi

(S. Si. Teol).

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana 2023

(2)

vi

(3)
(4)

viii

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sang pemilik kehidupan, karena atas kasih dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir (TA) sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana Sains-Teologi (S.Si.Teol) di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Adapun judul tugas akhir penulis ialah “Osong Bagi Keluarga Yang Berduka Di Desa Tanete Dari Perspektif Pendampingan Keindonesiaan”. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, karena penulis menyadari memiliki kekurangan dan mengalami berbagai kesulitan dalam proses penyelesaian tulisan ini. Namun walaupun demikian, besar harapan penulis tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat dijadikan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari dalam proses penyusunan tugas akhir banyak pihak yang terlibat untuk memberi dukungan serta motivasi. Hal tersebut menjadi penyemangat penulis selama proses penulisan tugas akhir. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua keluarga, sahabat dan orang- orang tercinta yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis melalui motivasi serta doa. Penulis mengucapkan terimakasih secara khusus kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, bapak Sa’dan dan ibu Salni yang berperan penting dalam hidup penulis. Terimakasih untuk semua cinta kasihnya dan dukungan yang tulus diberikan kepada penulis, senantiasa mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan tugas dan tanggung jawab sebagai mahasiswa. Terimakasih karena selalu memberikan semangat disaat banyak hal yang membuat penulis ingin menyerah, serta terimakasih sudah membiayai perkuliahan penulis dan memenuhi segala kebutuhan selama menempuh pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana.

2. Dosen pembimbing yang begitu baik yaitu Pdt. Dr. J.D. Engel. M,Si. Selaku dosen pembimbing 1 dan Pdt. Dr. Tony Tampake selaku dosen pembimbing 2. Terimakasih kepada kedua pembimbing penulis yang telah sabar dan sangat tulus dalam membimbing penulis selama pengerjaan Tugas Akhir (TA) hingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir dengan baik.

(6)

x

3. Terima kasih kepada wali studi bapak Pdt. Prof. Yusak B. Setyawan, MATS, Ph.D telah menjadi orang tua kedua buat penulis di tanah rantau.

Terima kasih atas segala dukungan, semangat dan membantu penulis dalam hal administrasi dari awal kuliah hingga selesai.

4. Semua dosen di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis.

5. Terima kasih kepada semua pegawai Tata Usaha (TU) kanfak Teologi yang senantiasa mengarahkan penulis dalam mengurus keperluan akademis dari awal hingga akhir perkuliahan.

6. Terima kasih kepada saudara kandung penulis yaitu Ghaland yang senantiasa memotivasi melalui pertanyaan kapan wisuda dan pertanyaan- pertanyaan terkait perkuliahan yang juga kadangkala membuat penulis down, akan tetapi penulis kemudian menyadari bahwa pertanyaan- pertanyaan tersebut justru perlu untuk dijadikan motivasi dan membuktikan bahwa penulis dapat menyelesaikan perkuliahan.

7. Terima kasih kepada pacar yaitu Heral Brando Pakau Lembang yang juga senantiasa memberikan doa, dukungan dan terima kasih selalu ada untuk penulis dalam keadaan apapun.

8. Terima kasih kepada kak Valentino yang telah meluangkan waktu dan memberikan pencerahan dalam menyusun Tugas akhir sehingga penulis dapat menyelesaikannya.

9. Terima kasih kepada Kiki Clara Popang, Nirwan Parante dan Prily Fatlolona yang dari maba sampai saat ini masih tetap berjuang bersama-sama dengan penulis, terimakasih untuk canda tawanya.

10. Terima kasih kepada saudara-saudara di Salatiga yaitu Ratu, Yona, Widi dan Defri yang tentunya telah memberikan dukungan selama berkuliah di Univesitas Kristen Satya Wacana.

11. Terima kasih kepada teman kos yang telah menjadi keluarga diperantauan yaitu Anti, Anne, Anggy, Helmi dan adek-adekku Retno, Welni, Cunning, Datu, Olin dan Mamas. Terima kasih telah menjadi rumah yang nyaman dan tempat penulis untuk berbagi suka maupun duka.

(7)

12. Terimakasih kepada Mutiara sirenden sebagai patner owner bucket fresh salatiga yang diakhir-akhir penyelesaian perkuliahan penulis, beliau senantiasa memotivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

Salatiga, 10 mei 2023 Penulis

Ghiland.

(8)

xii MOTTO

Hati yang gembira adalah obat yang manjur tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.

(Amsal 17 : 22)

Usahakan apa yang kamu doakan dan doakan apa yang kamu usahakan.

(Ghiland)

(9)

Daftar isi

Halaman Judul………...……i

Lembar Pengesahan………...ii

Pernyataan Keaslian Karya Tulis Tugas Akhir……….iii

Pernyataan Persetujuan Publikasi………...iv

Kata Pengantar……….…..v

Motto……….vii

Daftar isi………...viii

Abstrak………...…ix

1. Pendahuluan………..………..3

1.1 Latar belakang………...3

1.2 Rumusan masalah………...………..11

1.3 Tujuan penelitian……….…….11

1.4 Manfaat penelitian………...11

1.5 Metode penelitian……….11

1.6 Sistematika penelitian……….…….12

2. Landasan teori………..……….12

2.1 Ritual ……….…...13

2.2 Kedukaan……….….17

2.3 Pendampingan Keindonesiaan……….….21

3. Hasil penelitian………...…….………...24

3.1 Gambaran Umum Desa Tanete……….24

3.2 Sejarah Osong………...26

3.3 Makna Osong ……….………...27

3.4 Pemahaman Keluarga Yang Berduka Terhadap Osong Dan Manfaatnya.28 3.5 Tahapan Prosesi Ritual Dalam Kematian To Ala’………..29

3.6 Syair Dalam Osong………....31

3.7 Aturan Saat Melantunkan Nyanyian Osong………...33

3.8 Makna Kematian Bagi Masyarakat To Ala’..………....33

4. Analisis Penelitian………...………....35

4.1 Makna Osong Bagi Keluarga Yang Berduka Sebagai Penghiburan Dalam Masyarakat To’ Ala……….………….35

4.2 Makna Osong Sebagai Pendampingan Keindonesiaan Bagi Keluarga Yang Berduka……….………...36

4.3 Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat Tanete Dalam Tahapan Osong...……….38

4.4 Osong Sebagai Ritual Dalam Masyarakat To Ala’………42

5. Penutup...……….…………..46

5.1 Kesimpulan………...45

5.2 Konstribusi………..……..46

Daftar pustaka……..………47

(10)

xiv

Osong bagi keluarga yang berduka di desa Tanete dari perspektif pendampingan keindonesiaan.

Ghiland (ghiland080900@gmail.com)

Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis osong bagi keluarga yang berduka di desa Tanete dari perspektif pendampingan keindonesiaan. Penelitian ini dilata rbelakangi oleh realita bahwa masyarakat to ala' yang tinggal di desa tanete banyak yang menganggap osong hanya sekedar ritual dan ajaran masyarakat yang diturunkan oleh nenek moyang sehingga masyraakat tetap mengembangkan sikap persaudaraan hingga akhir hayat manusia (kematian).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan deskriptif. Metode kualitatif dapat menjelaskan pemahaman masyarakat to ala' di desa tanete tentang ritual osong, pemahaman keluarga yang berduka terhadap osong, makna ritual osong dan bagaimana sejarah osong di masyarakat to ala' yang sampai saat ini digunakan sebagai ritual kedukaan tradisional. Dalam hal pengumpulan data, penulis menggunakan wawancara mendalam (in defth interview) atau tidak terstruktur. Wawancara ditujukan kepada tokoh adat, petugas adat bululondong, tokoh masyarakat dan beberapa keluarga berduka yang menggunakan ritual osong dalam adat kematian. Data yang diperoleh dari wawancara yang dilakukan kemudian dikaji dengan menggunakan teori ritual oleh Victor Turner, Dhavamony, Catherine Bell, Rohtenbuhler; teori duka dari Totok S.

Wiryasaputra dan teori pendampingan keindonesiaan dari Jacob Daan Engel.

Berdasarkan temuan lapangan, setelah dianalisis dapat dikatakan bahwa ritual osong mengandung makna penghiburan bagi keluarga yang berduka yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pendampingan keindonesiaan. Kemudian, didalam ritual osong terdapat nilai-nilai sosial budaya masyarakat seperti gotong royong, berbagi rasa dan saling menerima, persaudaraan dan solidaritas yang harmonis dan pertemanan.

Kata Kunci: Osong, Kedukaan, Pendampingan Keindonesiaan.

(11)

Abstract

This study aims to describe and analyze empty for bereaved families in the village of Tanete from the perspective of Indonesian assistance. This research is motivated by the fact that many of the To Ala' people who live in Tanete village consider osong to be just a ritual and community teachings handed down by their ancestors so that the community continues to develop an attitude of brotherhood until the end of human life (death). This research was conducted using qualitative methods and descriptive approach. Qualitative methods can explain the understanding of the to ala' community in Tanete village about the osong ritual, the understanding of families who grieve for osong, the meaning of the osong ritual and how the history of osong in the to ala' community is used as a traditional mourning ritual. In terms of data collection, the authors use in-depth interviews (in defth interview) or unstructured. The interviews were aimed at traditional leaders, Bululondong traditional officials, community leaders and several bereaved families who use the osong ritual in the death custom. The data obtained from the interviews conducted were then examined using ritual theory by Victor Turner, Dhavamony, Catherine Bell, Rohtenbuhler; the theory of grief from Totok S. Wiryasaputra and the theory of Indonesian accompaniment from Jacob Daan Engel. Based on the field findings, after being analyzed it can be said that the osong ritual contains a consolation meaning for grieving families which can then be used as a form of Indonesian assistance. Then, in the osong ritual there are socio-cultural values of the community such as mutual cooperation, sharing feelings and mutual acceptance, harmonious brotherhood and solidarity and friendship.

Keywords: Osong, Grief, Indonesian Assistance.

(12)

47

OSONG BAGI KELUARGA YANG BERDUKA DI DESA TANETE DARI PERSPEKTIF PENDAMPINGAN KEINDONESIAAN

Oleh Ghiland 712018029

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari syarat untuk mencapai gelar Sarjana sains teologi

(S. Si. Teol).

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana 2023

(13)

2 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan berbagai budaya, tradisi dan suku bangsa.1 Setiap suku di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang tergambar dari pola dan gaya hidup masing-masing.2 Pola dan gaya hidup merupakan cerminan dari tindakan dan interaksi manusia di dunia.3 Inilah yang disebut suku yang di dalamnya budaya, yang kemudian diwariskan oleh manusia kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dari peradaban kehidupan.

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki empat suku bangsa, yaitu suku Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Keempat suku ini tentunya memiliki kesamaan bentuk dan corak yang ada pada keadaan alam seperti pergumulan hidup bersama dengan alam yang kemudian mereka mengembangkan kebiasaan mereka, mengelola alam dan mempertahankan kelompok. Berangkat dari hal tersebut maka terciptalah suatu budaya dalam suatu suku bangsa yang memiliki tujuan tertentu.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa keempat suku ini juga memiliki perbedaan antara lain lingkungan, gaya hidup, kepribadian, tanah, air, gunung, kondisi iklim yang tentunya akan mempengaruhi gaya hidup penduduk di Sulawesi Selatan.4 Selain itu, dari segi ritual dalam adat kematian yang membedakan keempat suku tersebut adalah ritual osong yang ada pada sub suku Toraja yaitu to'ala. Perbedaan dari masing-masing suku inilah yang membuat budaya antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda.

Toraja merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih mempertahankan adat, tradisi dan budayanya. Suku Toraja adalah suku yang mendiami pegunungan bagian utara provinsi Sulawesi Selatan. Masyarakat Toraja bertempat tinggal di kabupaten Tana Toraja, kabupaten Toraja Utara dan kabupaten

1Nurdin Rismansyah, “Perencanaan Pusat Seni Tradisi Sunda Di Ciamis Jawa Barat : Tema Reinterpreting Tradition, Undergraduate Thesis”, (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2014), 1.

2 Sulasman & Setiagumilar, Teori-teori Kebudayaan dari Teori hingga Aplikasi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 20.

3 Kotler & Keller, Manajemen Pemasaran, Edisi 12 (Jakarta : Erlangga, 2012), 192.

4 Indra jaya, “To Manurung Dalam Masyarakat Karampuang Di Kebupaten Sinjai.” (Program Studi Pendidikan Sosiliogi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan : Universitas Muhammadiyah Makassar, 2017), 1.

(14)

3

Mamasa, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat Toraja tinggal dan bekerja di luar wilayah tanah Toraja. Secara administratif, masyarakat Toraja tinggal di beberapa wilayah Enrekang, wilayah Pinrang, wilayah Polmas, Mamuju dan Luwu. Masyarakat suku Toraja memeluk agama Kristen, ada pula yang menganut agama Islam, Katolik dan kepercayaan animisme atau dikenal dengan aluk to dolo, yang kemudian menjadi bagian dari agama Hindu.5 Dari beberapa agama, agama yang banyak dianut oleh masyarakat Toraja adalah agama Kristen, yang kemudian sangat mengenal adat rambu solo di Toraja. Berikut ini adalah grafik data statistik penganut agama di Toraja.

Sumber : WWW.TORAJAUTARAKAB.GO.ID. 6

Desa Tanete merupakan salah satu desa di Kecamatan Walenrang Timur, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Desa Tanete adalah mayoritas beragama Kristen Protestan. Masyarakat Desa Tanete adalah to ala' atau sang ilanbatu yang memiliki ritual berbeda dengan ritual masyarakat Toraja.7 Ritual adalah tata cara berperilaku atau serangkaian tindakan yang dilakukan seseorang maupun sekelompok manusia secara teratur dalam situasi

5 Rangga Wijaya & Putri Raudya Sofyana, “Suku Toraja”, (Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institute Seni Indonesia (ISI) Surakarta, 2015), 1-2.

6 WWW.TORAJAUTARAKAB.GO.ID, diakses pada pukul 12.29 WIB, kamis 1 desember 2022.

7 Wawancara Dengan Juni Maranden (Pong Titin), Tanggal 26 September 2022 Via Telepon Whatshaap

DATA STATISTIK PENGANUT AGAMA SUKU TORAJA

KRISTEN PROTESTAN KATOLIK ISLAM HINDU

(15)

4

tertentu karena sudah menjadi kebiasaan.8 Nilai-nilai budaya dalam ritual adat to ala’ atau sang ilanbatu tidak dapat dijauhkan dari kepercayaan atau agama.9 Dengan kata lain, to ala' memiliki ritual dalam kehidupan bermasyarakat yang masih lazim dilakukan, yaitu osong yang dilakukan dalam upacara kematian adat.

Inilah perwujudan esensial budaya masyarakat to ala' yang berangkat dari kehidupan sehari-harinya.

Menurut salah satu narasumber yang merupakan tokoh adat suku Toraja yang tinggal di Desa Tanete Kabupaten Luwu, secara antropologis suku Toraja memiliki sub suku atau anak suku. Salah satu sub suku Toraja adalah suku To ala'/sang ilanbatu, yang tinggal di wilayah kerajaan Luwu, tepatnya di sepanjang sungai Lamasi dan sungai Makawa. To ala' atau sang ilanbatu adalah komunitas yang terdiri dari beberapa wilayah atau lembaga adat katomakakaan yang masing- masing dipimpin oleh seorang to makaka, seperti to makaka lewandi, to makaka Sameong, to makaka kedinginan, to makaka bure, to makaka kujan, to makaka uru dan to makaka paranta.10 To makaka adalah tokoh masyarakat atau orang terpelajar yang berstatus bangsawan.11 Lanjutnya, jauh sebelum republik ini terbentuk, katomakakaan ini sudah terbentuk sebagai komunitas yang homogen. Komunitas ini bertujuan untuk menjaga dan mengontrol agar kehidupan masyarakat tertata, bermoral, beretika dan bermartabat.12 Dengan kata lain, komunitas ini terbentuk karena adanya kesamaan baik itu, kebiasaan atau budaya dan tujuan yang sama.

Adat istiadat To ala' atau sang ilanbatu memiliki kemiripan dengan tradisi rambu solo di Toraja. Hal ini dikarenakan to ala' adalah anak sub atau anak suku dari suku Toraja. Ritual dalam adat kematian to ala' di wilayah kerajaan Luwu berbeda dengan ritual adat kematian yang ada di Toraja. Misalnya dalam adat kematian suku To ala' ada ritual osong, sedangkan dalam adat kematian suku Toraja tidak ada ritual osong. Selain itu, dalam ritual kematian suku To Ala' lebih dominan menggunakan bahasa sastra Kerajaan Luwu, seperti bahasa Taek dan Luwu kuno yang hampir punah saat ini. Berbeda dengan adat kematian suku Toraja lebih

8Suprapto, Dialektika Islam Dan Budaya Nusantara (Prenada Media : Jakarta, 2020), 92.

9 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap.

10 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap

11 Vernando Yohanis Sarungallo, “Perencangan Informasi Objek Wisata Ke’te Kesu Melalui Media Infografis,”

(Fakultas Desain, Universitas Computer Indonesia Bandung, 2020), 1.

12 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap

(16)

5

dominan menggunakan bahasa Toraja.13 Dengan kata lain, adat kematian suku to ala’ dan suku Toraja berbeda. Perbedaannya terletak pada ritual yang dilakukan pada setiap prosesi dan juga dari segi bahasa yang digunakan di dalamnya.

Osong adalah lagu yang dinyanyikan sebelum pemakaman berlangsung atau jenazah dikuburkan. Osong merupakan karya sastra daerah yang struktur kata dan kalimatnya dinarasikan dengan menggunakan ragam bahasa kiasan. Osong ini tidak hanya dibawakan oleh umat Kristen tetapi juga umat Islam di Desa Tanete.14 Dengan kata lain, Osong dapat dinyanyikan oleh siapa saja asalkan orang tersebut mengetahui dan memahami syair tersebut dengan baik. Pada masa ini, osong biasanya hanya dinyanyikan oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini dikarenakan tidak banyak orang yang berniat untuk mengetahui dan memahami lagu osong tersebut.

Lagu osong merupakan salah satu adat nenek moyang to ala' yang perubahan syairnya dapat berubah tergantung pada kemampuan petugas adat Bululondong. Misalnya, dahulu ada kata “tuatondok” dalam lagu osong, namun lama kelamaan kata “tuatondok” diganti dengan kata “suruga” atau dalam bahasa Indonesia surga karena memiliki arti yang sama. Misalnya dulu, dalam lagu osong ada kata “Dewata” yang sekarang juga menjadi “Puang” atau dalam bahasa Indonesia, Tuhan.15 Dengan kata lain, syair osong tidak berbeda dengan karya sastra lain yang memiliki metafora sesuai dengan konteks ruang dan waktu namun tidak mengubah ataupun menghilangkan makna dari lagu osong.

Dalam adat kematian suku to ala', ada beberapa tahapan prosesi yang harus dilakukan yang kemudian dalam tahapan tersebut terdapat ritual osong, diantaranya adalah prosesi allo Pangangkaran atau ma'joja sala, allo ma'joja tungka, allo pa'pala'daran dan ma'joja 'paleling tedong, allo pawawaan atau pa'kaburusan dan terakhir allo pasisiran.16 Dalam prosesi Allo Pangangkaran atau ma'joja sala ini, osong dinyanyikan dua kali oleh petugas adat bululondong.

Pertama saat jenazah masih terbaring di tempat tidur di kamar. Kedua, saat jenazah telah dipindahkan ke lakkean (wadah yang bentuknya seperti tempat tidur). Lalu,

13 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap

14 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap

15 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap.

16 Wawancara Dengan Juni Maranden (Pong Titin), Tanggal 26 September 2022 Via Telepon Whatshaap.

(17)

6

dalam prosesi Allo ma'joja tungka, petugas adat bululondong menyanyikan osong setelah nama almarhum diganti dengan gelar baru dan lagu osong yang kemudian dinyanyikan sudah menggunakan gelar baru almarhum. Kemudian dalam Allo pa'pala'daran atau ma'beloi dan ma'paleling tedong, osong dinyanyikan sebanyak satu kali saja disamping kerbau yang telah dihiasi. Selanjutnya, dalam Allo pewawaan atau pa'kaburusan lagu Osong dinyanyikan oleh petugas adat bululondong sebanyak dua kali yaitu saat jenazah hendak diangkat dari lakkean ke pelataran duka dan juga lagu osong dinyanyikan saat jenazah diangkat ke tandu, sebelum menuju ke kuburan.17 Dengan kata lain, dalam pemakaman masyarakat to ala', osong seringkali dinyanyikan dalam setiap prosesi dan dalam setiap prosesinya mengandung makna tersendiri.

Secara umum, osong memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal telah meninggalkan segala hartanya dan akan masuk ke alam yang diimpikan (surga). Hal ini juga bertujuan agar keluarga yang berduka tidak hanyut dalam duka yang sedang dialami karena almarhum akan menuju ke tempat tujuan yang lebih indah yaitu surga.18 Dengan kata lain, lagu osong dinyanyikan dengan tujuan menghibur keluarga yang berduka agar tidak larut dalam duka yang dialami.

Kemudian dalam prosesi allo pa'pala'daran atau ma'beloi dan ma'peleling tedong atau pemilik kerbau menghiasi kerbau yang ada. Petugas adat Bululondong menyanyikan osong mengitari kerbau.19 Hal ini memberikan makna bahwa di dalam duka yang dialami oleh keluarga, akan ada berkat Tuhan dalam keluarga yang ditinggalkan. To ala’ memahami bahwa kerbau adalah hewan terbaik, oleh karena itu kerbau yang dikurbankan dan juga memberikan arti bahwa kurban ini sebagai tanda bahwa mereka mencintai almarhum.20 Dengan kata lain, lagu osong yang dinyanyikan dalam setiap prosesi adat masyarakat to ala’ tidak serta merta dinyanyikan begitu saja, tetapi masing-masing memiliki atau mengandung makna yang baik. Inilah yang menjadi unik pada suku to ala' yang setiap prosesinya berbeda dengan adat suku lainnya.

17Wawancara Dengan Juni Maranden (Pong Titin), Tanggal 26 September 2022 Via Telepon Whatshaap

18 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap.

19 Wawancara Dengan Juni Maranden (Pong Titin), Tanggal 26 September 2022 Via Telepon Whatshaap

20 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap.

(18)

7

Syarat pelaksanaan ritual osong ini adalah nenek moyang atau leluhur almarhum telah melaksanakan adat pemakaman to ala’, kemudian juga keluarga almarhum secara ekonomi mampu memenuhi hewan kurban yang harus dipenuhi.21 Menurut Victor Turner22, ritual adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang dalam melakukan serangkaian kegiatan, yang menunjukkan suatu proses dengan sifat-sifat karakter tertentu untuk masuk ke dalam kondisi atau kehidupan yang belum pernah dialaminya. Ketika seseorang atau sekelompok orang harus menjalani suatu ritual, maka mereka diatur oleh aturan, tradisi dan upacara yang berlaku selama acara tersebut. Dengan kata lain, ritual osong merupakan bagian dari kegiatan adat masyarakat to ala’ yang memiliki keunikan tersendiri dan tentunya dalam ritual ini ada aturan-aturan yang mengikat dan harus dijalankan.

Menurut Engel pendampingan keindonesiaan adalah kegiatan kemitraan, bahu membahu, mendampingi, berbagi dengan tujuan untuk saling bertumbuh dan menguatkan dalam konteks budaya Indonesia. Pendampingan keindonesiaan mengarah pada peningkatan, pengembangan dan transformasi masyarakat.

Pendampingan keindonesiaan bertujuan untuk menghidupkan dan memanusiakan manusia Indonesia. Selain itu, Pendampingan ini juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kualitas hidup serta harkat dan martabat bangsa Indonesia yang terus mengakar dalam budaya bangsa Indonesia itu sendiri.23 Dalam pendampingan keindonesiaan, ada Nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang dikandung seperti gotong royong, berbagi dan menerima, persaudaraan dan solidaritas, menemani.24 Dengan kata lain pendampingan keindonesiaan merupakan kegiatan kemitraan antara pendamping dengan orang yang didampingi, yang kemudian membawa pendamping dan yang didampingi untuk menyadari keberadaannya agar mengalami perubahan dan pertumbuhan ke arah yang lebih baik. Kemudian dalam Pendampingan keindonesiaan mengandung nilai-nilai sosial budaya yang dapat kita temukan dalam setiap suku yang ada di Indonesia.

21 Wawancara Dengan Jumardin Limpalo. Tanggal 27 September 2022 Via Chat Whatshaap.

22 Tri Lupita Anggraini, “Ritual Pengobatan Semah Di Desa Taulang Kecamatan Tualang Kebupaten Siak.”

(Tesis : Universitas Islam Riau, 2018), 1.

23 Jacob Daan Engel, “Pendampingan Pastoral Keindonesiaan,” Kurios, Vol 6, No. 1 (April 2020): 54.

24 Engel, Pendampingan Pastoral Keindonesiaan, 57-58.

(19)

8

Kedukaan merupakan akibat dari suatu kematian yang akan dialami oleh semua manusia yang menimbulkan rasa kehilangan yang besar dalam kehidupan manusia. Kematian seringkali membuat orang merasa putus asa, kecewa bahkan menitikkan air mata karena kepergian orang yang dicintainya. Jadi peristiwa kematian membawa perubahan pada kondisi orang yang ditinggalkan. Menurut Totok S. Wiryasaputra mengungkapkan bahwa kedukaan25 adalah rasa keterkejutan karena kehilangan sesuatu yang sangat berharga, misalnya kematian, kecelakaan, penyakit serius atau tidak tersembuhkan dan perceraian. Orang yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga yang meninggal tentu saja akan merasakan duka yang mendalam. Di sisi lain, jika hubungan orang tersebut dengan keluarga yang ditinggalkan tidak dekat, tentu tingkat perasaan juga akan berbeda. Abineno menegaskan bahwa kedukaan adalah sikap atau reaksi seseorang atas meninggalnya orang yang dicintai karena orang tersebut tidak akan ada lagi bersamanya.

Kedukaan lebih kepada penderitaan seseorang dan tidak hanya terbatas pada apa yang kita rasakan tetapi juga apa yang kita pikirkan, inginkan, dan lakukan.26 Dari peristiwa duka ini, penulis merasa perlu adanya proses pendampingan keindonesiaan dengan tujuan dapat membantu seseorang atau kelompok manusia Indonesia yang sedang mengalami masalah (duka). Dengan kata lain, pendampingan keindonesiaan dapat menyadarkan keberadaan manusia agar dapat mengalami perubahan dan pertumbuhan ke arah yang lebih baik, setidaknya untuk dapat kembali menjalani kehidupannya dengan Ketenangan hati dan pikiran.

Penelitian tentang pendampingan kedukaan bagi keluarga yang berduka telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain: Lavandya Permata Kusuma Wardani dan Daniel Fajar Panuntun dengan judul “Pelayanan Pastoral Penghiburan Kedukaan Bagi Keluarga Korban Meninggal Akibat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)”.27 Kajian ini menunjukkan bahwa model pelayanan duka bagi korban Covid-19 dijelaskan dalam poin-poin pelayanan holistik dan kontekstual, yaitu pelayanan pastoral harus selalu siap tanpa kehilangan sikap kemanusiaannya, memberikan kenyamanan holistik dan kontekstual atau dengan kata lain

25 J.B. Suharjo B. Cahyono, Meraih Kekuatan Penyembuhan Diri Yang Tak Terbatas (PT Gramedia : Jakarta, 2011), 29.

26 J. L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka (PT Bpk Gunung Mulia : Jakarta, 1991), 1.

27 Lavandya P.K.W Dan Daniel F.P., “Pelayanan Pastoral Penghiburan Kedukaan Bagi Keluarga Korban Meninggal Akibat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19),” Kenosis Vol. 6, No. 1 (Juni 2020): 57-58.

(20)

9

kenyamanan yang mengatasi berbagai permasalahan baik itu secara fisik, emosional, psikologis dan sosial dan yang ketiga yaitu penggembalaan harus membangun pelayanan yang integratif bersama-sama dengan orang Kristen lainnya untuk membantu setiap keluarga yang mengalami duka. Amperiyana Nguru dalam penelitiannya yang berjudul “Pelayanan Pastoral Kedukaan Akibat Kematian Mendadak Di GPIB Sejahtera Jemaat Bandung”.28 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan pastoral dengan tujuan penyembuhan (healing) adalah pelayanan pastoral yang relevan untuk membantu orang yang berduka atas kematian orang yang dicintai. Healing juga dapat membantu konseli untuk berani menghadapi kenyataan hidup dan bahkan dapat bangkit dari keterpurukan dengan bersandar kepada Tuhan. Kemudian, metode pelayanan pastoral penyembuhan melalui pelayanan pastoral yang intensif, terprogram dan teratur dengan tim yang melibatkan beberapa ahli akan memberikan dampak positif bagi konseli.

Helga Theressia Uspessy & Jacob Daan Engel dalam penelitiannya yang berjudul “Mima Para Tarpolarda : Falsafah Komunitas Lokal Sebagai Pendampingan Dan Konseling Kedukaan Di Warjukur–Maluku”.29 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendampingan dan konseling tidak hanya dilakukan oleh individu atau konselor yang terlatih tetapi juga semua orang dalam kebudayaan tertentu. Kemudian Tirta Susila dalam penelitiannya yang berjudul “Pendampingan Pastoral Holistik Dari Pendeta Bagi Keluarga Berduka Di Jemaat GKE Nangka Bulik Kebupaten Lamandau”.30 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendampingan pastoral holistik bagi keluarga yang ditinggalkan di Jemaat GKE Nanga Bulik dilakukan melalui pelayanan Firman pada saat ibadah dukacita.

Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian ini akan mengkaji ritual osong bagi keluarga yang berduka di Desa Tanete dari perspektif pendampingan keindonesiaan. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengkaji osong bagi masyarakat to ala’ di desa Tanete dengan meninjau dari perspektif pendampingan

28 Amperiyana Nguru, “Pelayanan Pastoral Kedukaan Akibat Kematian Mendadak Di GPIB Jemaat Sejahtera Bandung,” TeDeum Vol. 9, No. 1, (Juli – Desember, 2019): 62-64.

29 H. T. Uspessy & J. D Engel, “Mima Para Tarpolarda: falsafah komunitas lokal sebagai pendampingan dan konseling kedukaan di Warjukur-Maluku,” Counsellia: Jurnal Bimbingan dan Konseling, Vol 9, no. 2 (2019): 151.

30 T. Susila, “Pendampingan Pastoral Holistik Dari Pendeta Bagi Keluarga Berduka Di Jemaat GKE Nanga Bulik Kabupaten Lamandau,” Danum Pambelum: Jurnal Teologi Dan Musik Gereja, Vol 2, no 1 (2022):

92- 93.

(21)

10

keindonesiaan. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis hendak melakukan penelitian dengan judul : Osong Bagi Keluarga Duka Di Desa Tanete Dari Perspektif Pendampingan Keindonesiaan. Adapun topik dan judul yang penulis usulkan belum pernah diteliti sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini adalah: bagaimana osong bagi keluarga yang berduka di Desa Tanete dari perspektif pendampingan keindonesiaan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis osong bagi keluarga yang berduka di Desa Tanete dari perspektif pendampingan keindonesiaan.

1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut terkait ritual suku Toraja khususnya kepada masyarakat to ala’ dan juga upaya memberikan pendampingan dalam proses ritual kebudayaan di Indonesia.

b. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis untuk menambah wawasan tentang sistem kepercayaan dan budaya dalam masyarakat to-ala'. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemahaman bagaimana pandangan masyarakat to ala’ khususnya keluarga yang berduka terhadap osong dan manfaatnya. Selanjutnya, penelitian ini dapat memberikan pemahaman bahwa nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pendampingan pastoral.

1.5 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Metode penelitian kualitatif adalah suatu cara untuk mendapatkan data baik dalam bentuk tertulis maupun lisan.

Metode ini juga bertujuan untuk memahami makna yang disimbolkan dalam

(22)

11

perilaku masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri.31 Data yang diperoleh merupakan data yang faktual dan akurat terkait dengan kasus atau masalah yang akan dikaji. Maka peneliti memilih metode penelitian deskriptif karena sesuai dengan titik fokus pembahasan yaitu menggali pemahaman masyarakat terhadap ritual dan makna osong di Desa Tanete. Peneliti menggunakan metode ini karena narasumber yang akan dijadikan sebagai responden dapat menjelaskan pemahaman masyarakat to ala' di Desa Tanete tentang ritual osong, makna ritual osong dan bagaimana sejarah osong dalam masyarakat to ala’ yang dimana osong pada zaman ini dijadikan sebagai ritual tradisional.

Dalam pengumpulan data ini, penulis melakukan wawancara mendalam (in defth interview) atau tidak terstruktur. Wawancara mendalam adalah proses tanya jawab secara lisan atau kegiatan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang tidak menggunakan pedoman wawancara yang disusun secara teratur. Dalam penelitian ini, Wawancara ditujukan kepada tokoh adat, petugas adat Bululondong atau orang tua yang melantunkan osong dan tokoh masyarakat yang mengetahui informasi tentang sejarah osong dan maknanya bagi masyarakat to ala' di desa tanete. Kemudian wawancara juga ditujukan kepada beberapa masyarakat suku to ala’ yang telah mengalami kedukaan dan melaksanakan ritual osong. Melalui narasumber atau partisipan tersebut, dapat membantu peneliti atau memberikan informasi kepada peneliti yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan dasar untuk analisis lebih lanjut. Dalam penelitian ini, peneliti juga akan menggunakan studi dokumentasi. Studi dokumentasi melengkapi metode wawancara dalam penelitian kualitatif, guna meningkatkan kredibilitas hasil penelitian.32 Dokumen yang terkait dengan penelitian ini adalah gambar atau foto hasil wawancara tokoh adat, petugas adat Bululondong, tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah ritual osong dan terakhir adalah pendeta.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulis akan membagi tulisan ini menjadi lima bagian, yaitu: bagian pertama, membahas pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah,

31 Imam Suprayogo Tobroni, Metodelogi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT. Remaja Sorda Karya, 2003), 9.

32 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung, Alfabeta, 2008), 83.

(23)

12

tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bagian kedua membahas landasan teori ritual, kedukaan dan pendampingan keindonesiaan.

Kemudian bagian ketiga, membahas hasil penelitian yang meliputi deskripsi osong sebagai penghiburan atau penguatan bagi masyarakat to ala' di Desa Tanete yang sedang mengalami duka. Keempat, berisi pembahasan dan analisis makna osong sebagai upaya pendampingan keindonesiaan dalam kedukaan. Kelima. penutup yang meliputi kesimpulan dan saran berupa kontribusi dan rekomendasi.

2. Landasan Teori 2.1 Ritual

2.1.1 Pengertian Ritual Secara Umum

Ritual adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang atau sekelompok orang yang hidup berbudaya. Dalam budaya ada ritual yang akan dilakukan oleh seseorang atau sekelompok manusia. Menurut Victor Turner, Ritual merupakan sesuatu yang wajib yang harus dilakukan dalam kegiatan, yang memperlihatkan proses dengan tatanan karakter tertentu untuk masuk dalam kondisi atau kehidupan yang sebelumnya belum pernah dialami. Pada saat seseorang atau kelompok harus menjalani ritual maka mereka akan diatur oleh aturan, tradisi dan upacara yang berlaku selama acara.33 Ritual memiliki tujuan untuk dapat menghilangkan konflik, dapat membatasi perpecahan dan membangun solidaritas, mempersatukan dua prinsip yang bertentangan dan menguatkan dan memberikan semangat baru untuk menjalani hidup.34 Kemudian, Dhavamony dalam penelitian Dewi Talia Parengkuan, Femmy C.M. Tasik, Rudy Mumu,”Perubahan Sosial Terhadap Budaya Masamper Ke Tarian Modern Dalam Acara Penghiburan Kedukaan Di Desa Matani Satu Kecamatan Tumpaan Kebupaten Minahasa Selatan, mengatakan bahwa ritual merupakan agama dalam tindakan. Tindakan agama “iman” terutama ditampakkan dalam ritual.

Ungkapan iman manusia tidak dapat dipisahkan dari ritual, karena kedua-duanya adalah satu kesatuan. Akan tetapi, iman manusia pada hakikatnya memperlihatkan

33 Tri Lupita Anggraini, Ritual Pengobatan Semah Di Desa Taulang Kecamatan Tualang Kebupaten Siak, Tesis : Universitas Islam Riau, 2018, 1.

34 Dewi Talia Parengkuan, Femmy C.M. Tasik, Rudy Mumu,”Perubahan Sosial Terhadap Budaya Masamper Ke Tarian Modern Dalam Acara Penghiburan Kedukaan Di Desa Matani Satu

Kecamatan Tumpaan Kebupaten Minahasa Selatan, “Jurnal Ilmiah Society, Vol 2, No 2 (2022):2.

(24)

13

makna dari ritual tersebut sekaligus menafsirkan dan mengarahkan daya hidup ritual itu sendiri.35 Dengan kata lain, ritual merupakan sarana manusia yang beragama untuk berkomunikasi dengan Tuhan, yang suci dan sumber kehidupan manusia.

Ritual bersifat publik untuk menyeragamkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan menjadikannya sebagai perantara pengalaman individu dalam masyarakat. Ritual yang ada pada manusia merupakan proses adaptasi terhadap alam sekitar dan ritual seringkali juga dikaitkan dengan unsur budaya. Dengan kata lain, ritual adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh manusia yang akan melakukan sebuah kegiatan, yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang telah disepakati sebelumnya yang mempengaruhi kehidupan manusia atau proses kehidupan manusia.

Catherine Bell dalam penelitian Febby N.Patty yang berjudul resensi buku : memahami teori ritual Catherine Bell dan fungsinya bagi studi teologi (hermeneutis) mengemukakan bahwa ritual36 telah menjadi sesuatu yang mendasar atau esensial dalam kehidupan manusia, ritual berkembang seiring dengan kehidupan manusia yang berpengaruh pada isi ritual tersebut. Ritual tidak bersifat permanen tetapi dapat berubah seiring dengan perkembangan sosial di masyarakat.

Ketika manusia ingin memahami ritual, tentu tidak lepas dari perkembangan yang ada di masyarakat yang pada dasarnya memberikan andil dalam membangun kehidupan ritual itu sendiri. Ritual sebagai wahana untuk membangun identitas dalam menghadapi situasi, kondisi dan perubahan sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, ritual tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena ritual merupakan bagian dari kehidupan manusia yang pada hakikatnya tumbuh dan berkembang bersama manusia yang berbudaya.

Menurut Rohtenbuhler yang dikutip Linda Astuti dalam penelitiannya yang berjudul Pemaknaan Pesan Pada Upacara Ritual Tabot (Studi Pada Simbol-Simbol Kebudayaan Tabot Diprovinsi Bengkulu) bahwa “ritual is the voluntary performance of approprualety patterned behavior to symbolically effect of

35 Moh. Soehadha, ritual rambut gembel dalam arus ekspansi pasar parawisata, UIN Walisongo journals, vol 21, no 2, (November 2013), 351.

36 Febby N. Patty, resensi buku : memahami teori ritual catherina bell dan fungsinya bagi studi teologi (hermeneutis), GEMA TEOLOGI vol.38, no.2, (oktober 2014), 225-228.

(25)

14

participate in the serious life”. Kemudian Couldry memaknai ritual sebagai tindakan turun temurun, tindakan formal dan mengandung nilai-nilai transendental.37 Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa ritual sebagai kegiatan dalam masyarakat yang dilakukan secara sukarela dan turun-temurun yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan.

2.1.2 Pentingnya Ritual

Ritual dilakukan untuk manusia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan, Sang pencipta alam semesta dengan tujuan bahwa mereka akan diberikan berkah yang melimpah dari suatu pekerjaan yang dilakukan seperti upacara sakral saat masyarakat akan turun sawah, ritual memohon perlindungan dan pengampunan atas kesalahan yang dilakukan manusia agar dapat sembuh dari penyakit dan ritual-ritual dalam keseharian masyarakat. Selain itu ritual dijadikan sebagai kontrol sosial, dengan kata lain dapat mengontrol dengan cara tetap mempertahankan tradisi atau keadaan, perilaku dan nilai-nilai dalam kelompok.38 Dengan kata lain, ritual sangat penting dalam kehidupan masyarakat selain membawa masyarakat untuk melakukan nilai-nilai sosial masyarakat seperti mendekatkan diri kepada Tuhan, juga dapat mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang dalam masyarakat.

2.1.3 Karakteristik Atau Ciri Khas Ritual

Ciri khas dari ritual adalah ritual sebagai aksi, kesadaran & kerelaan, ritual bukan lagi sekedar rekreasi, kolektif, ekspresi dari relasi sosial, efektifitas simbol- simbol dan customary behavior.39 Ritual sebagai aksi atau tindakan artinya bahwa ritual bukan hanya sekedar pemikiran tetapi telah diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, ritual adalah kesadaran dan kemauan, artinya ketika orang melakukan ritual, hal tersebut dilakukan secara sadar dan sukarela. Manusia yang berperan serta sebagai pelaku kegiatan pertunjukan sekaligus sebagai

37 Astuti, L. (2016). Pemaknaan Pesan Pada Upacara Ritual Tabot (Studi Pada Simbol-Simbol Kebudayaan Tabot Di Provinsi Bengkulu). Professional: Jurnal Komunikasi Dan Administrasi Publik, 3(1). Hal 18

38 Fachri fransinata, analisis nilai-niia solidaritas warga negara melalui pelaksanaan upacara mamayu (studi kasus di desa trusni wetan kebupaten Cirebon), skripsi (S1) thesis, FKIP UNPAS, 2020, 22-24

39 Astuti, L. (2016). Pemaknaan Pesan Pada Upacara Ritual Tabot (Studi Pada Simbol-Simbol Kebudayaan Tabot Di Provinsi Bengkulu). Professional: Jurnal Komunikasi Dan Administrasi Publik, 3(1). Hal 18-19

(26)

15

penonton pasti akan melakukannya secara sadar. Berpartisipasi dalam pertunjukan ritual adalah pilihan dan tidak ada paksaan. Kemudian, ritual bukan hanya sekedar rekreasi, artinya ritual diwujudkan bukan hanya untuk kegiatan yang menyenangkan tetapi sebenarnya ritual adalah bagian dari kehidupan manusia yang serius. Ritual memiliki ciri kolektif, artinya ritual tidak hanya ditujukan untuk kepentingan individu, tetapi juga mencakup struktur sosial seperti sistem bahasa, sistem tradisional, dan sistem moral. Artinya, ritual juga didasarkan pada kelompok masyarakat, bukan hanya individual. Ritual merupakan ekspresi relasi sosial, artinya ritual yang ada dalam masyarakat merupakan tindakan relasi sosial.

Kemudian ritual ditandai dengan efektifitas simbol, artinya simbol-simbol dalam ritual sangat efektif dan kuat, misalnya ritual ditampilkan dalam bentuk lagu, tarian dan doa, maka inilah kekuatan dari ritual tersebut yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Selanjutnya, ritual memiliki ciri-ciri customary behavior, artinya ritual berangkat dari kebiasaan yang ada di masyarakat dan ritual tersebut mengandung pengulangan. ritual tersebut sudah dilakukan pada zaman dahulu dan masih dilakukan hingga saat ini.

2.1.4 Ritual kedukaan

Setiap suku yang ada di Indonesia, tentunya memiliki ritual kedukaan yang berbeda-beda tetapi unik karena mengandung makna yang sangat penting. Suku sangihe yang ada di kebupaten minahasa selatan memahami ritual kedukaan sebagai suatu kebudayaan yang melekat dalam diri mereka dan bagian perwujudan dari kepercayaan kepada Sang pencipta. Dalam kehidupan bermasyarakat suku sangihe, terdapat ritual kedukaan yang disebut dengan masamper. Masamper adalah ritual kedukaan yang dimana mereka duduk bersama dan salah satu anggota masyarakat berdiri ditengah menyanyikan lagu sambil memegang sehelai daun dan berbalas-balasan dalam menyanyi.40 Kemudian dalam masyarakat toraja, mereka mengenal akan ritual kedukaan dan mereka menyebutnya Rambu Solo’ yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di

40 Dewi Talia Parengkuan, Femmy C.M. Tasik, Rudy Mumu,”Perubahan Sosial Terhadap Budaya Masamper Ke Tarian Modern Dalam Acara Penghiburan Kedukaan Di Desa Matani Satu

Kecamatan Tumpaan Kebupaten Minahasa Selatan, “Jurnal Ilmiah Society, Vol 2, No 2 (2022):2.

(27)

16

tempat peristirahatan terakhir yang di sebut Puya.41 Dengan kata lain ritual kedukaan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang berbudaya yang erat kaitannya dengan orang yang telah meninggal. Selanjutnya ritual kedukaan tidak dapat dilepaskan dari agama masyarakat itu sendiri yang didalamnya juga tercipta suatu relasi antara manusia dengan sesamanya dan sikap saling mempedulikan.

2.2 Kedukaan

2.2.1 Pengertian Kedukaan.

Kedukaan adalah kondisi manusia ketika mengalami suatu peristiwa kehilangan atau perpisahan seperti kematian atau ketiadaan sesuatu yang berharga yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Orang yang mengalami kedukaan akan merasakan ketegangan dan keraguan dalam hatinya. kedukaan merupakan fenomena universal, artinya semua manusia akan menghadapinya pada waktu- waktu tertentu. Duka berkaitan dengan kematian dan kematian itu tidak ada manusia yang tahu kapan duka hadir dalam kehidupannya, yang tahu hanya Tuhan pencipta alam semesta.

Menurut Sigmund Freud, kedukaan dapat menyebabkan depresi pada manusia, meskipun tidak semua orang yang mengalami depresi disebabkan oleh kematian orang yang dicintai. Menurutnya,kedukaan sama dengan depresi, hal ini karena kedukaan dan depresi menimbulkan gejala psikologis “depresi” yang sama seperti kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, marah, perasaan tidak nyaman dan sebagainya.42 Terkait dengan itu, Norman Wright mengatakan bahwa kedukaan adalah penderitaan emosional yang luar biasa, yang disebabkan oleh peristiwa kehilangan, bencana dan kemalangan.43 Totok S. Wiryasaputra mengungkapkan bahwa kedukaan44 adalah rasa keterkejutan karena kehilangan sesuatu yang sangat berharga, misalnya kematian, kecelakaan, penyakit serius atau tidak tersembuhkan

41 Iip Sarip Hidayana, Rufus Goang Swaradesy. “Pemaknaan Permainan Rakyat Pada Ritual Kematian Rambu Solo’ Dikampung Adat Ke’te’ Kesu’ Kebupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan,” Jurnal Panggung, Vol 31, No.2 (2021): 94.

42 Carla Novaliana Latuny, Kumpul Keluarga Sebagai Pendmapingan Dan Konseling Kedukaan, T2 - Master Of Religion Sociology, UKSW, 2017, 14.

43 Sundarti, Kajian Pendampingan Pastoral Terhadap Nedau Pada Masyarakat Suku Dayak Kenyah Di Desa Long Peso, T1 – Theology, Universitas Kristen Satya Wacana, 2022, 4.

44 J.B. Suharjo B. Cahyono, Meraih Kekuatan Penyembuhan Diri Yang Tak Terbatas, PT Gramedia : Jakarta, 2011, 29.

(28)

17

dan perceraian. Orang yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga yang meninggal tentu saja akan merasakan duka yang mendalam. Di sisi lain, jika hubungan orang tersebut dengan keluarga yang ditinggalkan tidak dekat, tentu tingkat perasaan juga akan berbeda. Menurut Santrock, kedukaan (grief) adalah kelumpuhan emosional, ketidakpercayaan, kecemasan akan perpisahan, keputusasaan, kesedihan dan kesepian yang menyertai ketika manusia kehilangan orang yang dicintai.45 Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa kedukaan karena kematian adalah perpisahan manusia dari orang yang dicintainya yang mempengaruhi kehidupan manusia yang ditinggalkan. Manusia yang berduka akan mengalami gejolak dalam hatinya, dimana ia akan merasakan kesedihan atau suasana hati yang tidak tenang. Kedukaan merupakan respon penduka yang disebabkan oleh perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya yang dialami melalui kematian manusia. Kedukaan karena kematian tidak hanya dialami oleh satu atau dua orang saja, tetapi akan dialami oleh setiap manusia. Kematian juga merupakan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan Kematian membuat hubungan manusia terputus dari kehidupan alam dunia menuju pada kehidupan akhirat dan tidak ada manusia yang dapat menghindari kematian tersebut.

2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kedukaan

Proses dan lamanya kedukaan yang dialami oleh setiap keluarga yang berduka tidak sama, pasti berbeda satu dengan lain. Hal ini disebabkan Karena banyak hal yang mempengaruhi kedalaman duka yang dialami setiap keluarga yang berduka.

Menurut Totok S. Wiryasaputra, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kedalaman kedukaan keluarga yang ditinggalkan oleh karena kematian.

a. Cara dan penyebab kematian

Cara dan penyebab kematian seseorang akan mempengaruhi luas atau dalamnya kedukaan. Misalnya, orang muda yang meninggal karena bunuh diri menyebabkan lebih banyak kedukaan daripada orang yang meninggal karena penyakit ataupun usia tua. Hal ini dikarenakan orang yang meninggal karena sakit ataupun usia tua

45 Vinda Joseph, Studi Kasus Kedukaan “X” Mahasiswa Fakultas Teologi UKSW Pasca Kematian Kedua Orang Tua, T2 – Master Of Religion Sociology, UKSW, 2016, 3.

(29)

18

dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasanya keluarga yang ditinggalkan cepat memahami dan menerima kematian tersebut. Di sisi lain, remaja yang meninggal karena bunuh diri biasanya menimbulkan kedukaan yang lebih dalam dan keluarga yang ditinggalkan tidak dapat dengan mudah menerima kematian remaja tersebut.46 Dengan kata lain, semakin tragis cara dan penyebab kematian seseorang maka semakin dalam kedukaan yang dirasakan oleh keluarga almarhum.

Kematian seseorang yang tidak wajar seperti anak remaja yang bunuh diri tentu akan menimbulkan duka yang mendalam dan sebaliknya bagi orang yang meninggal karena penyakit atau usia tua, kedalaman kedukaannya tidak terlalu besar.

b. Hubungan emosional antara penduka dan almarhum

Kedekatan almarhum dan keluarga yang ditinggalkan sangat mempengaruhi kedalaman kedukaan. Jika orang yang meninggal memiliki nilai, makna atau arti dan peran yang besar dalam kehidupan keluarga atau orang yang ditinggalkan, maka akan menimbulkan duka yang mendalam bagi keluarga. Begitu pula sebaliknya jika orang yang meninggal tidak memiliki nilai, makna dan peran dalam kehidupan orang yang ditinggalkan maka kedukaan yang dirasakan tidak akan mendalam.47 Dengan kata lain, hubungan emosional sangat mempengaruhi dangkal dan dalamnya kedukaan yang dialami. Kedalaman kedukaan keluarga berbanding lurus dengan nilai, makna dan peran yang diberikan oleh orang yang meninggal, semakin tinggi nilai, makna dan peran almarhum dalam kehidupan keluarga yang ditinggalkan maka semakin dalam pula perasaan duka yang akan dialami.

c. Dukungan sosial

Dukungan sosial bagi keluarga yang berduka akan mempengaruhi dangkal atau dalamnya kedukaan. Dukungan sosial dapat dilihat dari kualitasnya, jika dukungan sosial yang diperoleh penduka itu tulus dan mendalam, maka akan menimbulkan makna yang luar biasa bagi penduka. Begitu pula sebaliknya, jika dukungan sosial yang diperoleh penduka hanya basa-basi, akan menimbulkan hiburan tetapi hanya bersifat sementara. Dukungan sosial dapat diperoleh dari

46 Totok S. Wiryasaputra, Mengapa Berduka (Yogyakarta : Kanisius, 2003), 45-46.

47 Wiryasaputra, Mengapa Berduka, 47-56

(30)

19

lingkungan keluarga, hubungan dekat dengan teman, pasangan hidup, orang-orang dari desa yang sama, suku, pulau, negara, kelompok, organisasi, kantor dan agama.

Dukungan sosial yang berkualitas akan bersedia menerima berbagai masalah yang dialami oleh keluarga yang berduka. Dukungan sosial berperan sebagai pendamping yang memiliki empati terhadap orang yang berduka. Dalam pendampingan tidak ada sifat menghakimi, menyalahkan orang yang berduka tetapi memberikan kesempatan kepada orang yang berduka untuk merasakan duka secara utuh.48 Dengan kata lain, dukungan sosial yang tulus dapat membantu orang yang berduka untuk merasa utuh dan penuh kedukaan, bukan menghindari kedukaan.

Dengan ini, keluarga yang ditinggalkan bisa keluar dari kedukaan yang mendalam pada waktu yang tepat. Di sisi lain, dukungan sosial basa-basi akan semakin memperburuk situasi orang yang berduka.

d. Visi, harapan dan keyakinan penduka.

Dangkal dan mendalam duka yang dirasakan oleh orang yang ditinggalkan juga dipengaruhi oleh visi, harapan dan keyakinan dalam menjalani hidup. Orang yang memiliki visi dan harapan yang jelas adalah orang yang memiliki pegangan dalam menjalani hidup mereka. Ketika dihadapkan pada sebuah masalah, orang-orang yang memiliki visi, harapan dan keyakinan akan menjadikan masalah itu sebagai dorongan untuk menerima pengalaman pahit mereka, terus menjalani proses yang mereka hadapi dan percaya bahwa Tuhan akan selalu membantu. Visi, harapan dan keyakinan di masa depan tidak dapat sepenuhnya menyembuhkan kedalaman kedukaan seseorang, tetapi dapat mengurangi kedukaan yang dialami dan mengelola kedukaan itu secara kreatif dan efektif.49 Dengan kata lain, faktor ini tidak bisa berdiri sendiri atau bisa menjadi satu-satunya standar penyembuhan kedalaman kedukaan, tetapi setidaknya visi, harapan, dan keyakinan ini dapat mengurangi perasaan duka atau kedalaman kedukaan seseorang.

e. Kebudayaan dan adat istiadat

Setiap budaya memiliki perangkat dan kebijaksanaan untuk membantu warganya yang mengalami kedukaan. Ketika lingkungan sekitar penduka memiliki pola yang higienik, maka orang yang berduka dapat tumbuh menjadi dewasa,

48 Wiryasaputra, Mengapa Berduka, 61-64.

49 Wiryasaputra, Mengapa Berduka, 64-65.

(31)

20

seimbang, toleran, terbuka dan menerima kondisi orang yang berduka. Dalam pola budaya ini, warganya akan saling bahu membahu dan memberikan kesempatan untuk mewujudkan diri dengan menggunakan potensi yang dimiliki. Di sisi lain, jika lingkungan dipolakan dengan budaya potegenik, akan membuat orang yang berduka mengalami kedukaan yang semakin parah dan tidak akan bisa keluar dari masalah hidupnya. Hal ini dikarenakan dalam pola budaya ini tidak memberikan kesempatan bagi warganya untuk saling menumbuhkan.50 Dengan kata lain budaya dan adat di lingkungan berduka akan mempengaruhi kedalaman duka orang yang berduka, jika lingkungan sekitar memiliki pola budaya yang higienik maka penduka akan merasakan kepedulian orang lain sehingga kedukaan yang dialami tidak akan membuatnya larut dalam kesedihan.

2.3 Pendampingan Keindonesiaan

2.3.1 Pengertian Pendampingan Keindonesiaan

Pendampingan keindonesiaan adalah kegiatan kemitraan, bahu membahu, mendampingi, berbagi dengan tujuan untuk saling menumbuhkan dan menguatkan dalam konteks budaya Indonesia. Dalam konteks keindonesiaan, pendampingan harus dipraktekkan dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia yang berakar pada sosial budaya Indonesia dan agama. Agama yang dimaksud adalah agama sipil yang merupakan agama masyarakat Indonesia yang tidak menutup mata untuk bagaimana manusia harus hidup bersama dengan sesama manusia lainnya dan juga lingkungan alamnya.51 Pendampingan keindonesiaan mengarah pada peningkatan, pengembangan dan transformasi masyarakat. Pendampingan keindonesiaan bertujuan untuk menghidupkan dan memanusiakan manusia Indonesia yang pada hakikatnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik dibangun dalam pola pikir, perasaan, perilaku yang menunjukkan kemajemukan masyarakat Indonesia. Pendampingan keindonesiaan dilakukan tidak hanya secara individual tetapi dengan pendekatan yang menekankan pada peran dan fungsi sesuai dengan karakteristik orang Indonesia yang komunal deterministik.52 Dengan kata lain,

50 Wiryasaputra, Mengapa Berduka, 66-67.

51 Jacob Daan Engel, Pendampingan Keindonesiaan “Sebuah Upaya Memanusiakan Manusia Dalam Konteks Indonesia”, PT BPK Gunung Mulia : Jakarta, 2020, 3 & 4.

52 Jacob Daan Engel, “Pendampingan Pastoral Keindonesiaan,” Kurios, Vol 6, No. 1 (April 2020): 54.

(32)

21

pendampingan keindonesiaan dapat menjawab kebutuhan negara Indonesia untuk mempertahankan identitasnya sebagai negara yang memiliki keragaman budaya.

2.3.2 Pendampingan Keindonesiaan Bagi Keluarga Yang Berduka.

Pendampingan keindonesiaan sangat diperlukan karena pada dasarnya Pendampingan keindonesiaan merupakan kegiatan kemitraan, bahu membahu, mendampingi, berbagi dengan tujuan untuk saling menumbuhkan dan menguatkan.53 Pendampingan keindonesiaan bertujuan untuk menghidupkan, memanusiakan manusia Indonesia, mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kualitas hidup serta harkat dan martabat bangsa Indonesia yang terus mengakar dalam budaya bangsa.54 Dengan kata lain, pendampingan keindonesiaan adalah salah satu upaya untuk membantu, menguatkan manusia baik secara individu maupun kelompok yang mengalami permasalahan hidup seperti kedukaan.

Pendampingan keindonesiaan dapat memberikan pelayanan pendampingan dan pemahaman bahwa hidup dan mati adalah milik Tuhan dan setiap orang yang percaya kepada-Nya akan memperoleh hidup yang kekal. Di sisi lain, pendampingan keindonesiaan kepada keluarga yang berduka dapat dilakukan melalui budaya yang di dalamnya terdapat ritual-ritual yang lahir pada masyarakat atau keluarga yang berduka.

2.3.3 Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat Dalam Pendampingan Keindonesiaan.

Dalam buku Jacob Daan Engel yang berjudul pendampingan keindonesiaan, paradigma baru yang bertujuan untuk menyikapi dilema pendampingan serta mengembangkan dimensi spiritual untuk memberdayakan, meningkatkan kualitas hidup bersama dan mempublikasikan nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang dideskripsikan sebagai berikut.55

a. Gotong royong

Gotong royong yang merupakan nilai luhur dan budaya yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia, yang dilakukan secara bersama-sama dan

53Engel, “pendampingan pastoral keindonesiaan,” 54.

54 Engel, pendampingan keindonesiaan, 3.

55 Engel, pendampingan keindonesiaan, 5-6.

(33)

22

sukarela sehingga kegiatan yang dilakukan dapat lancar, mudah dan ringan.56 Dalam konteks pendampingan, nilai-nilai gotong royong meringankan beban dan menjadi sumbangsi bagi orang lain seperti kedukaaan. Gotong royong menciptakan kebersamaan yang memberi makna saling membantu, menjadi lebih kuat dan mampu menghadapi masalah yang muncul

b. Berbagi rasa dan saling menerima

Dalam pendampingan, berbagi dan menerima adalah kemampuan berempati dengan sesama manusia, menjalani hidup berdasarkan kasih sayang, cinta terhadap sesama manusia. berbagi dan menerima bukan atas dasar karena ada kelebihan tetapi ada kemauan untuk mengorbankan waktu, kekayaan, tenaga bahkan nyawa untuk keselamatan sesama manusia tanpa memandang perbedaan yang ada di dalamnya.57 Dengan kata lain, fungsi berbagi dan menerima ini menekankan rasa kepedulian yang tinggi tanpa pamrih dan menganggap bahwa semua manusia sama di hadapan mereka.

c. Persaudaraan yang rukun dan solidaritas

Dalam pendampingan keindonesiaan, persaudaraan dan solidaritas menempatkan manusia sebagai makhluk budaya dan menjadi pendorong bagi sesama manusia untuk berbuat baik kepada sesama58. Hal inilah yang menjadi dasar adanya nilai-nilai kehidupan yang mengutamakan harkat dan martabat orang lain (kesetaraan manusia) yang diwujudkan dalam sikap solidaritas kemanusiaan.

d. Pertemanan

Dalam pendampingan keindonesiaa, sikap pertemanan membuat orang yang didampingi untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh orang tersebut. potensi tersebut yang kemudian dapat ditumbuh kembangkan sebagai dorongan untuk melanjutkan hidup. Maka dari itu, nilai pertemanan ini melaksanakan fungsi pendmapingan dengan tujuan utama menyempurnakan hidup manusia dalam segala aspek kehidupan, yaitu jasmani, sosial, mental dan spiritual.59 Dengan kata lain, pertemanan dapat memampukan mereka yang didampingi untuk mengembangkan potensinya sepanjang perjalanan hidup dan

56 Engel, pendampingan keindonesiaan, 6,7.

57 Engel, Pendampingan Pastoral Keindonesiaan, 54-56.

58 Engel, pendampingan keindonesiaan, 10-12.

59 Engel, Pendampingan Pastoral Keindonesiaan, 57,58.

(34)

23

memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari masalah yang dihadapi untuk melangkah ke hari esok yang penuh harapan.

3. Hasil Penelitian

3.1 Gambaran Umum Desa Tanete a. Letak geografis dan demografis

Desa Tanete merupakan salah satu desa yang terletak di jalan poros Capkar–

Rantedamai, Kecamatan Walenrang Timur, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan dengan berkode pos 91951. Desa ini memiliki jarak yang relative mudah dicapai ke kantor camat 3,000.00 meter dengan waktu tempuh 15 menit dan memakan biaya transportasi Rp.20,000. Sedangkan jarak kantor desa ke kantor bupati atau walikota adalah 80,000,000,00, dengan waktu tempuh 150 menit dan mamakan biaya transportasi Rp. 200,000. Desa tanete memiliki luas wilayah 1228 km2 dengan jumlah total penduduk 1.941 jiwa. Jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki 981 jiwa dan jumlah penduduk berjenis perempuan 960 jiwa.60

Desa tanete terdiri dari 6 dusun yaitu dusun lemperante, dusun karya bakti, dusun tanete, dusun fajar dan dusun fajar baru dengan jumlah total kepala keluarga 576 KK, jumlah kepala perempuan 145 KK dan jumlah keluarga miskin 315 KK.

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Sedangkan menurut kelompok umur dapat dilihat dari tabel berikut.61

NO. KELOMPOK UMUR JUMLAH

1. Dibawah 1 tahun 12 jiwa

2. 1-4 tahun 94 jiwa

3. 5-14 tahun 367 jiwa

4. 15-39 tahun 872 jiwa

5. 40-64 tahun 464 jiwa

6. 65 tahun ke atas 132 jiwa.

Jumlah 1.941 jiwa.

Berdasarkan tabel diatas, kelompok usia yang menduduki tingkat pertama adalah umur 15 sampai umur 39 tahun dengan memiliki jumlah jiwa 872 kemudian

60 Data IDM (Indek Desa Membangun) tahun 2022 Desa Tanete

61 Data IDM (Indek Desa Membangun) tahun 2022 Desa Tanete

Referensi

Dokumen terkait

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pendampingan dan konseling, kehilangan dan kedukaan serta solidaritas sosial. Dari hasil kajian ini, ditemukan adanya

Fokus penelitian ini adalah menganalisis bagaimana strategi Awan Wengi Salatiga Salatiga dalam menciptakan sebuah brand persona melalui media sosial Instagram yang nantinya akan

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui Media Sosial Dalam Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah di Sekolah Menengah Swasta.. Kemitraan Sekolah Dalam Meningkatkan

Peran Budaya Dalam Pengaruh Daya Tarik Dan Daya Asing Destinasi Wisata.. Teknik Produksi Program Televisi cetakan

Pertanyaan yang perlu dijawab dalam hal ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kewirausahaan sosial pada organisasi gereja, implementasi konsep kewirausahaan sosial dalam

Informan sepuluh : “ Dari setiap divisi sudah bertanggung jawab semua kepada perusahaan contoh saat kasir laporan keuangan terdapat minus dalam uang modal maka divisi kasir iuran

Hasil Observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki berbagai sikap dan pemikiran tentang kematian, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk memanfaatkan

Pelestarian Budaya Piil Pesenggiri Dalam Masyarakat Multikultural Lampung Serta Pengaruh Globalisasi Ditinjau Dari Aspek Kajian Pendidikan Kewarganegaraan.. Kristiadi, Interviewer