• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Analisis Penelitian

4.4 Osong Sebagai Ritual Dalam Masyarakat To Ala’

41

tanggungjawabnya sebagai manusia bahwa tidak perlu larut dalam dukacita akan tetapi tetap menjalani hidup bersama dengan Tuhan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Engel tentang nilai sosial budaya masyarakat pertemanan dalam pendampingan keindonesiaan yang menegaskan bahwa dalam sikap pertemanan, orang yang didampingi diajak untuk mengembangkan potensi dalam dirinya yang kemudian dapat mendorong orang yang didampingi untuk melanjutkan kehidupannya.99 Dengan demikian, penulis memahami bahwa nyanyian osong secara khusus makna yang ada didalamnya mengandung sikap pertemanan, terbukti ketika pada bagian ketiga tulisan ini menegaskan bahwa keluarga yang berdukacita sadar dan paham untuk tidak larut dalam kesedihan dan adanya motivasi dalam diri setiap keluarga bahwa tanggung jawab manusia saat ini adalah tetap menjalani hidup bersama Tuhan karena manusia pada hakikatnya akan kembali kepada pencipta-Nya.

42

yang kemudian iman itu sendiri dinampakkan dalam ritual.100 Dengan kata lain penulis memahami bahwa didalam ritual terdapat ajaran agama yang kemudian menggambarkan keimanan masyarakat. Seperti dalam ritual osong yang mengandung pengajaran iman bahwa manusia yang telah meninggal akan kembali kepada pencipta-Nya. Kemudian, adanya perilaku atau sikap saling memperdulikan dan berpartisipasi dalam kegiatan ritual adalah aksi nyata dari iman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nyanyian osong adalah sebagai bukti iman masyarakat to ala’.

Dalam adat kematian, masyarakat to ala’ melakukan ritual osong, yang tentunya dalam ritual tersebut ada syarat dan aturan yang harus dipenuhi antara lain osong tidak boleh dinyanyikan oleh keluarga yang berduka dan standar untuk yang melaksanakan osong minimal lima orang petugas adat Bululondong. Syarat selanjutnya adalah petugas adat Bululondong akan diberikan daging kerbau sesuai jumlah kerbau yang dikorbankan oleh keluarga yang berduka. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Victor Turner dalam penelitian Tri Lupita Anggraini yang berjudul Ritual Pengobatan Semah Di Desa Taulang Kecamatan Tualang Kebupaten Siak, tentang ritual yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang berbudaya yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang harus diikuti.101 Dengan demikian, nyanyian osong termasuk dalam ritual yang didalamnya ada aturan yang telah di sepakati bersama oleh masyarakat suku to ala’ dan aturan- aturan tersebut direalisaikan sampai saat ini. .

Pada bagian ketiga tulisan ini, penulis menjelaskan Ritual osong adalah doa yang dengan penuh harapan bahwa orang yang telah meninggal akan pergi ke tempat terindah yaitu suruga atau surga yang diungkapkan dalam bentuk nyanyian.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Astuti, L. dalam penelitiannya yang berjudul Pemaknaan Pesan Pada Upacara Ritual Tabot (Studi Pada Simbol-Simbol Kebudayaan Tabot Di Provinsi Bengkulu, yang menegaskan bahwa salah satu ciri khas ritual bahwa ritual ditandai dengan efektifitas simbol, artinya ritual dapat

100 Dewi Talia Parengkuan, Femmy C.M. Tasik, Rudy Mumu,”Perubahan Sosial Terhadap Budaya Masamper Ke Tarian Modern Dalam Acara Penghiburan Kedukaan Di Desa Matani Satu

Kecamatan Tumpaan Kebupaten Minahasa Selatan, “Jurnal Ilmiah Society, Vol 2, No 2 (2022):2.

101 Tri Lupita Anggraini, Ritual Pengobatan Semah Di Desa Taulang Kecamatan Tualang Kebupaten Siak, Tesis : Universitas Islam Riau, 2018, 1.

43

dilakukan dalam bentuk nyanyian. Kemudian Dhavamony dalam penelitian Moh.

Soehadha Ritual Rambut Gembel Dalam Arus Ekspansi Pasar Parawisata juga menjelaskan tentang ritual, bahwa ritual merupakan sarana bagi manusia untuk berkomunikasi dengan Yang Maha Suci atau Sang Pencipta.102 Dengan demikian, penulis memahami bahwa osong sebagai sarana masyarakat suku to ala’ untuk berkomunikasi dengan Sang pencipta dengan tujuan untuk menyampaikan harapan bagi orang yang telah meninggal. Kemudian harapan tersebut disampaikan oleh masyarakat to ala’ dalam bentuk nyanyian yang merupakan keunikan dari suku to ala’.

Dalam pelaksanaan ritual osong, terdapat perubahan yang terjadi sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti yang telah penulis jelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa osong dapat mengalami perubahan, misalnya pada zaman nenek moyang, jika mengacu pada kata surga, mereka lebih mengenal kata tuatondok.

Namun di era modern ini, masyarakat To ala' tidak lagi menggunakan istilah tersebut, melainkan lebih akrab dengan kata suruga yang berarti surga. Meskipun kata-kata yang digunakan berubah, namun tidak menghilangkan atau mengubah makna ritual osong tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Catherina Bell dalam penelitian Febby N. Patty yang berjudul resensi buku : memahami teori ritual Catherina Bell dan fungsinya bagi studi teologi (hermeneutis) menegaskan tentang ritual bahwa ritual tidak bersifat permanen tetapi dapat berubah sesuai dengan perkembangan sosial di masyarakat.103 Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa ritual osong yang ada pada masyarakat to ala’ dapat berubah sesuai dengan keadaan masyarakat suku to ala’, akan tetapi yang terpenting makna atau arti yang ada pada syair atau nyanyian osong tidak berubah sehingga ritual osong ini akan tetap menjadi sebuah ritual yang dimana masyarakat to ala’ menjadikannya sebagai wadah untuk memanjatkan doa dan harapannya.

Pada bagian ketiga tulisan ini, dijelaskan bahwa ritual osong merupakan ritual dalam upacara adat kematian suku to ala' yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Ritual ini tidak hanya dilakukan sebagai pelengkap upacara adat kematian,

102 Moh. Soehadha, ritual rambut gembel dalam arus ekspansi pasar parawisata, UIN Walisongo journals, vol 21, no 2, (November 2013), 351.

103 Febby N. Patty, resensi buku : memahami teori ritual catherina bell dan fungsinya bagi studi teologi (hermeneutis), GEMA TEOLOGI vol.38, no.2, (oktober 2014), 225-228.

44

namun lebih dari itu terdapat makna yang mendalam dari ritual osong tersebut.hasil penelitian ini juga sejalan dengan pemikiran Couldry dalam penelitian Astuti, L.

yang berjudul Pemaknaan Pesan Pada Upacara Ritual Tabot (Studi Pada Simbol- Simbol Kebudayaan Tabot Di Provinsi Bengkulu menegaskan tentang makna ritual bahwa ritual sebagai tindakan yang diwariskan secara turun-temurun, tindakan formal dan mengandung nilai-nilai transendental.104 Penulis mengatakan sejalan karena Penulis memahami bahwa ritual osong adalah warisan dari nenek moyang yang diwariskan dan sampai sekarang ini dikembangkan oleh masyarakat to ala’

itu sendiri bahkan membawa dampak positif atau nilai-nilai bagi masyarakat. Salah satunya adalah keluarga yang berdukacita di kalangan masyarakat tanete mendapatkan pengajaran bahwa hidup dan mati manusia ada ditangan Tuhan dan manusia akan kembali kepada Tuhan. Dengan demikian keluarga yang berduka merasakan kepedulian dari sesama mereka manusia. Selanjutnya, ritual osong adalah tindakan formal yang dimana dibuat dengan aturan-aturan yang telah disepakati oleh masyarakat to ala’.

Pada bagian ketiga tulisan ini dijelaskan bahwa Ritual osong adalah budaya masyarakat to ala’ yang diwariskan oleh nenek moyang yang sampai saat ini dilakukan pada acara kematian masyarakat to ala’. Ritual osong pada hakikatnya bukan hanya sekedar pelengkap kegiatan adat akan tetapi telah menjadi bagian penting dari adat kematian masyarakat to ala’ yang mengandung makna penghiburan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Astuti, L. dalam penelitiannya yang berjudul Pemaknaan Pesan Pada Upacara Ritual Tabot (Studi Pada Simbol-Simbol Kebudayaan Tabot Di Provinsi Bengkulu, tentang ciri khas dari ritual bahwa ritual merupakan suatu tindakan, kesadaran dan kemauan, ritual bukan lagi sekedar rekreasi melainkan kolektif, ekspresi hubungan sosial, keefektifan simbol dan perilaku adat. Hal ini sejalan karena mengamati dari hasil penelitian pada bagian ketiga tulisan ini bahwa osong masih dilestarikan oleh masyarakat to ala' dan mengandung nilai penguatan dan penghiburan bagi keluarga yang berduka. Kemudian, ritual osong dilakukan oleh masyarakat to ala' secara sadar dan sukarela, tidak ada paksaan dari pihak pelaksana adat kepada keluarga

104Astuti, L. (2016). Pemaknaan Pesan Pada Upacara Ritual Tabot (Studi Pada Simbol-Simbol Kebudayaan Tabot Di Provinsi Bengkulu). Professional: Jurnal Komunikasi Dan Administrasi Publik, 3(1). Hal 18

45

yang berdukacita. Artinya keluarga diberikan kebebasan untuk memilih apakah ingin melaksanakan adat osong tersebut. Jika diinginkan, keluarga yang berduka bersedia menerima persyaratan adat yang harus dipenuhi. Kemudian ritual osong juga merupakan perilaku adat, artinya ritual osong berangkat dari kebiasaan nenek moyang masyarakat to ala' yang selama ini dilakukan oleh masyarakat to ala'.

Selanjutnya, ritual osong bukan hanya sekedar ide atau rekriasi tetapi sesuatu hal yang nyata dilakukan ditengah masyarakat bahkan sampai saat ini dilestarikan karna membawa dampak positif.

5. Penutup

Dokumen terkait