BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
3. Nilai-Nilai Syariah
Menurut Meutia; (2010:187) dalam Mansyur; (2012:23), terdapat beberapa prinsip yang sebetulnya menggambarkan adanya hubungan antara manusia dan Penciptanya, yaitu Allah SWT. Prinsip-prinsip ini adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Berbagi dengan Adil
Kata berbagi dalam Islam dinyatakan dalam banyak perintah Allah melalui zakat, infak, dan sedekah.
Konsep berbagi mengajarkan bahwa dalam setiap harta ada bagian atau hak untuk makhluk Allah yang lain. Selain itu, berbagi juga dimaknai sebagai berbagi hal yang non materil, seperti berbagi kebaikan serta saling menasehati atau mengajurkan berbuat kebaikan dan mencegah kejahatan.
Dalam praktik perbankan syariah, hal ini bisa dimaknai sebagai aktivitas untuk ikut mendukung program-program kebaikan bagi manusia dan lingkungan ataupun ikut serta mencegah timbulnya kerusakan di muka bumi.
Dalam ajaran Islam, banyak sekali perintah yang mengingatkan manusia untuk berbagi kepada sesama, yaitu:
“Hai orang-orang beriman, infakkanlah sebagian rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan, dan tidak ada lagi syafaat.”
(QS. Al-Baqarah: 254)
“yaitu orang-orang yang melaksanakan zakat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
(QS. Al-Anfal: 3)
Imam Ghazali dalam Umam; (2013:80) meletakkan iman pada urutan pertama dalam daftar tujuan syariat. Hal ini karena dalam perspektif islam, iman adalah sisi yang sangat penting bagi kebahagiaan manusia. Imanlah yang meletakkan hubungan-hubungan kemanusiaan pada fondasi yang benar, yang memungkinkan manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan bersama. Al Ghazali kemudian meletakkan harta benda diletakkan dalam urutan terakhir karena harta bukanlah tujuan. Ia hanyalah suatu alat perantara, meskipun sangat penting untuk merealisasikan kebahagiaan manusia. Harta benda tidak dapat mengantarkan tujuan ini, kecuali jika dialokasikan dan didistribusikan secara merata.
Arifin; (2003) dalam Umam; (2013:82) setiap muslim wajib melakukan perbuatan yang ma’ruf, yaitu perbuatan baik dan terpuji,seperti perbuatan tolong- menolong, menegakkan keadilan di antara manusia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempertinggi efisiensi, dan lain-lain. Semua perbuatan harus dilakukan dengan adil. Adil dalam menimbang, adil dalam bertindak, dan adil dalam menghukum. Adil itu harus dilakukan dimanapun dan dalam keadaan apapun, baik pada waktu senang maupun susah. Sebagai orang kecil harus berbuat adil, dan sebagai orang berkuasa pun harus berbuat adil. Tiap muslim harus berbuat adil kepada dirinya sendiri dan adil pula terhadap orang lain.
b. Prinsip Rahmatan Lil’alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam)
Keberadaan manusia seharusnya bisa menjadi manfaat bagi makhluk Allah lainnya. Dalam kerangka bank syariah, maka manfaat keberadaan bank syariah seharusnya dapat dirasakan oleh semua pihak baik yang terlibat maupun tidak terlibat langsung dalam aktivitas perbankan syariah.
Menurut Meutia; (2010:221) dalam Mansyur; (2012:25), bentuk rahmat atau keberpihakan ini dapat berupa pemberian zakat, infak, dan sedekah maupun pemberian pembiayaan kepada para pengusaha kecil. Prinsip rahmatan lil’alamin ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al Anbiya ayat 107;
Sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, agama Islam penuh dengan nilai- nilai persaudaraan, persatuan, cinta, dan kasih sayang sesama manusia. Agama
“Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin)”
Islam sangat menganjurkan untuk saling menjaga dan memelihara sesama manusia. Hal ini termasuk menjaga kelestarian lingkungan alam maupun menjaga kehidupan sesama manusia.
Meutia; (2010:194) dalam Mansyur; (2012:26) menjelaskan bahwa meningkatkan kesejahteraan stakeholders merupakan bagian dari upaya menjadi rahmatan lil’alamin dan menjadi tujuan ekonomi syariah. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan material dan spiritual (nafs, faith, intellect, posterity, dan wealth).
c. Prinsip Maslahah
Al-Shatiby dalam Mansyur; (2012:26) mengkategorikan maslahah dalam tiga kelompok yaitu: essentials (daruriyyat), complementary (hajiyyat), dan embellishment (tahsiniyyat).
Level yang pertama yaitu daruriyyat adalah pemenuhan kepentingan- kepentingan pokok dalam hidup yang berkaitan dengan pencapaian tujuan syariah yaitu melindungi iman, kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dan melindungi kepentingan yang berkaitan dengan daruriyyat merupakan prioritas yang harus dilakukan.
Level kedua adalah hajiyyat dijelaskan oleh Al-Shatiby merujuk pada kepentingan tambahan yang apabila diabaikan akan menimbulkan kesulitan tetapi tidak sampai ke level merusak kehidupan normal.
Level ketiga dari maslahah adalah prinsip tahsiniyyat. Kepentingan yang harus dipertimbangkan pada level ini adalah kepentingan yang berfungsi sebagai
penyempurna kepentingan pada level sebelumnya. Dalam level ini bank syariah diharapkan menjalankan kewajiban dan tanggung jawab sosial dengan melakukan hal-hal yang dapat membantu menyempurnakan kondisi kehidupan stakeholder- nya.
Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahah bagi manusia dan dikehendaki, Umam; (2013:80).
Azheri; (2012:37) mengatakan perusahaan diharapkan tidak hanya melakukan kegiatan bisnis demi mencari keuntungan atau profit semata, melainkan juga ikut andil dalam memikirkan kebaikan, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dengan keterlibatannya dalam berbagai kegiatan- kegiatan sosial dalam mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Menurut Meutia; (2010:196) dalam Mansyur; (2012:28), mengutamakan kepentingan masyarakat (umat) dalam bentuk menjaga keimanan, kehidupan, keturunan, intelektual, dan kesejahteraan merupakan tujuan ekonomi syariah, yang seharusnya menjadi prioritas dari bank syariah. Penggunaan prinsip maslahah sangat penting dalam praktik pengungkapan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) perbankan syariah. Hal ini karena dapat memberikan panduan yang jelas mengenai kepentingan apa saja dan siapa saja yang harus didahulukan supaya tidak timbul ketidakadilan.
4. Syariah Enterprise Theory (SET)
Wacana mengenai akuntansi syariah sampai saat ini terus berkembang ke arah pengkayaan teori. Pemikiran dalam akuntansi syariah telah sampai pada pemikiran Syariah Enterprise Theory (SET).
Menurut Meutia; (2010) dalam Samsiyah; (2013:50-51) konsep Enterprise Theory lebih menyerupai Stakeholders Theory, karena kedua teori ini sama-sama mengakui keberadaan Stakeholder sebagai pemegang kepentingan dan tanggung jawab perusahaan. Selain itu, dalam teori tersebut mencakup nilai-nilai syariah (keadilan, rahmatan lil alamin, dan maslahah), karena dalam konsep Enterprise Theory dan Stakeholders Theory dijelaskan bahwa kesejahteraan tidak hanya diperuntukkan bagi pemilik modal, melainkan juga bagi kepentingan semua stakeholder (manusia).
Syariah Enterprise Theory (SET) tidak hanya peduli pada kepentingan individu (dalam hal ini pemegang saham), tetapi juga pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, SET memiliki kepedulian yang besar pada stakeholders secara luas.
Menurut SET, stakeholders meliputi Allah, manusia, dan alam yang mana Allah merupakan pihak paling tinggi dan menjadi satu-satunya tujuan hidup manusia di dunia.
Dengan menempatkan Allah sebagai stakeholder tertinggi, maka tali penghubung agar akuntansi syariah tetap bertujuan pada membangkitkan kesadaran ketuhanan para penggunanya tetap terjamin. Konsekuensi dari menetapkan Allah sebagai stakeholder tertinggi adalah digunakannya sunnatullah sebagai basis bagi peningkatan akuntansi syariah.
Triyuwono; (2007) dalam Samsiyah; (2013:50-51) juga mengungkapkan bahwa Stakeholder kedua dari SET adalah manusia. Dalam hal ini Stakeholders dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu direct stakeholders dan indirect stakeholders. Direct stakeholders adalah pihak-pihak yang secara langsung memberikan kontribusi pada perusahaan, baik dalam bentuk kontribusi keuangan ataupun non-keuangan, karena mereka telah memberikan kontribusi kepada perusahaan, maka mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan. Sementara itu, yang dimaksud dengan indirect stakeholders adalah pihak-pihak yang sama sekali tidak memberikan kontribusi kepada perusahaan (baik secara keuangan maupun non-keuangan), tetapi secara syariah mereka adalah pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan. Golongan stakeholder yang terakhir dari SET adalah alam. Alam adalah pihak yang memberikan kontribusi paling besar tehadap kelangsungan hidup perusahaan karena dengan adanya alam perusahaan dapat melakukan aktifitasnya dengan menggunakan segala sesuatu yang berada di alam ini.
Meutia; (2010) dalam Mansyur; (2013:31) menyatakan bahwa SET merupakan penyempurnaan dari tiga teori motivasi CSR, yaitu agency theory, legitimacy theory, dan stakeholder theory. Agency theory yang mana teori ini hanya mengedepankan kepentingan pemegang saham. Legitimacy theory merupakan teori yang berdasarkan nilai-nilai sosial atau peraturan yang berlaku di masyarakat. Sedangkan stakeholder theory merupakan teori yang mengutamakan kepentingan stakeholders, akan tetapi stakeholders yang dimaksud dalam teori tersebut adalah manusia. Berbeda dengan stakeholders yang dimaksud dalam
syariah enterprise theory yaitu Allah, manusia, dan alam. Secara implisit dapat kita pahami bahwa SET tidak mendudukkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Sebaliknya, SET menempatkan Allah sebagai pusat dari segala sesuatu.
Allah menjadi pusat tempat kembalinya manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, manusia di sini hanya sebagai wakilnya yang memiliki konsekuensi patuh terhadap semua hukum-hukum Allah. Kepatuhan manusia dan alam semata-mata dalam rangka kembali kepada Allah dengan jiwa yang tenang. Proses kembali ke Allah memerlukan proses penyatuan diri dengan sesama manusia dan alam sekaligus dengan hukum-hukum yang melekat di dalamnya.
Meutia; (2010:49) dalam Mansyur; (2012:31) berdasarkan konsep SET yang dinyatakan Triyuwono; (2007) menyatakan bahwa teori yang paling tepat untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan, dalam hal ini bank syariah adalah Syariah Enterprise Theory (SET). Hal ini karena dalam Syariah Enterprise Theory, Allah adalah sumber amanah utama, sedangkan sumber daya yang dimiliki oleh para stakeholders adalah amanah dari Allah yang di dalamnya melekat sebuah tanggung jawab untuk digunakan dengan cara dan tujuan yang ditetapkan oleh sang maha pemberi amanah.
5. Konsep dan Karakteristik Pengungkapan CSR menurut Syariah Enterprise Theory
Syariah enterprise theory (SET) mengajukan beberapa konsep terkait dengan pengungkapan CSR pada sebuah perusahaan, terutama perbankan syariah.
Konsep tersebut, dijelaskan Meutia; (2010:239) dalam Mansyur; (2012:33) adalah:
a. Pengungkapan tanggungjawab sosial merupakan bentuk akuntabilitas manusia terhadap Allah dan karenanya ditujukan untuk mendapatkan ridho (legitimasi) dari Allah sebagai tujuan utama.
b. Pengungkapan tanggungjawab sosial harus memiliki tujuan sebagai sarana pemberian informasi kepada seluruh stakeholders (direct, indirect, dan alam) mengenai seberapa jauh institusi tersebut telah memenuhi kewajiban terhadap seluruh stakeholders.
c. Pengungkapan tanggungjawab sosial adalah wajib (mandatory), dipandang dari fungsi bank syariah sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan tujuan syariah.
d. Pengungkapan tanggungjawab sosial harus memuat dimensi material maupun spriritual berkaitan dengan kepentingan para stakeholders.
e. Pengungkapan tanggungjawab sosial harus berisikan tidak hanya informasi yang bersifat kualitatif, tetapi juga informasi yang bersifat kuantitatif.
Menurut Meutia; (2010:256) dalam Mansyur; (2012:34), SET mengajukan beberapa karakteristik terkait item yang diungkapkan dalam laporan CSR perbankan syariah. Karakteristik-karakteristik ini, adalah:
a. Menunjukkan upaya memenuhi akuntabilitas vertikal terhadap Allah SWT dan akuntabilitas horizontal terhadap direct stakeholders, indirect stakeholders, dan alam.
b. Menunjukkan upaya memenuhi kebutuhan material dan spiritual seluruh stakeholders, sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi konsep keseimbangan.
c. Mengungkapkan informasi kualitatif dam kuantitatif sebagai upaya untuk memberikan informasi yang lengkap dan menyeluruh.