• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orientalis : Margoliout, Ignaz Goldziher, dan Joseph

BAB II TANTANGAN MODERNITAS DAN DISKURSUS OTORITAS

B. Diskursus Otoritas Hadits

3. Orientalis : Margoliout, Ignaz Goldziher, dan Joseph

Studi hadis di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w. 1893) yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Kemudian

55 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition, hal. 55

56 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition, hal. 55

diamini oleh William Muir yang juga memiliki sikap skeptis yang sama. Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher menulis bukunya Muhammedanische Studien, yang merupakan buku kritik hadis terpenting pada abad kesembilan belas. Ia menolak hadis sebagai sumber informasi pada masa nabi Muhammad, melainkan hanya sumber berharga untuk mengetahui peta konflik dan informasi generasi yang datang kemudian. Goldziher diikuti oleh L. Caetani, Henri Lammens, John Wonsbrough, Patricia Crone dan Michael Cook. Dalam kesarjanaan Islam di Barat buku dan tesis Goldziher, yang terbit pada tahun 1890, tidak mengalami revisi signifikan sampai Joseph Schacht menerbitkan bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950. Metode Schacht diadopsi oleh Joseph van Ess dan dikembangkan dalam skala besar oleh G. H. A. Juynboll.

Meskipun buku Goldziher dan Schacht dianggap karya monumental yang menginspirasi studi hadis di Barat, hal itu tidak membuatnya luput dari kritik.

Sarjana Islam seperti Fuat Sezgin, Mustafa Azami dan Mustafa al-Sibai telah melakukan kritik tajam terhadap semua tesis dan premis-premisnya. Sezgin dan Azami berpendapat bahwa para sahabat nabi telah menulis hadis nabi dan kegiatan transmisi hadis dilakukan secara tertulis sampai hadis-hadis tersebut dikodifikasi pada abad ketiga hijriah.

Pada pembahasan ini, penulis mengajukan tiga tokoh sarjana barat yang mengkaji hadis.

a. Ignaz Goldziher

Pandangan Goldziher 57 tentang hadis dapat kita lihat dalam karya monumentalnya Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C. R. Barber dan S. M. Stern ke dalam bahasa Inggris dengan judul Muslim Studies (London : George Allen

57 Ignaz Goldziher (selanjutnya disebut Goldziher) lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di kota Szekesfehervar, Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak sefanatik keluarga Yahudi Eropa yang lain. Dia mendalami kajian filologi dibawah asuhan seorang orientalis ternama saat itu, Fleisser. Kemudian mendalami kajian peradaban Arab khususnya agama Islam dan kajian bahasa Semit (Lihat Abdurrahman Badawi,

& Unwim, 1971). Karena begitu sempurnanya, maka karya tersebut dianggap sebagai “kitab suci” tentang kajian hadis di kalangan para orientalis. Dalam karya tersebut Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadis dengan dilengkapi studi-studi ilmiah. Hadis, menurut Goldziher, tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad I dan II H; hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadis dapat dinyatakan sebagai asli dari Nabi atau generasi sahabat.

Dengan tanpa bukti-bukti otentik tentang hadis, sungguh gegabahlah untuk mengemukakan pendapat yang sekedar menduga, tentang bagian hadis mana yang merupakan bagian-bagian asli yang tertua, atau tentang manakah di antaranya yang berasal dari Muhammad 58

Dalam pandangan Goldziher, ada perbedaan antara hadis dan sunnah.

Menurutnya, hadis adalah suatu disiplin ilmu teoritis, sedangkan sunnah adalah kopendium aturan-aturan praksis. Kesamaan sifat antara keduanya adalah berakar secara turun temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum, yang diakui sebagai tata cara kaum muslim generasi awal yang dipandang berwenang dan juga telah dipraktekkan disebut sunnah (adat/kebiasaan keagamaan). Adapun bentuk yang memberikan pernyataan tata cara itu disebut hadis atau tradisi.

Dalam kesempatan lain, Goldziher juga menyatakan bahwa perbedaan sunnah dan hadis bukan saja dari makna itu sendiri, tetapi melebar juga pada adanya pertentangan dalam materi di dalamnya. Suatu kaidah yang terkandung di dalam hadis lazimnya dipandang sebagai sunnah, tetapi tidak berarti bahwa sunnah harus mempunyai hadis yang berkesesuaian dan memberikan pengukuhan terhadapnya. Bahkan mungkin sebaliknya, isi sebuah hadis justru bertentangan dengan sunnah. Hal ini kemudian menjadi kerangka dasar pandangan Goldziher tentang otentisitas hadis.

Selanjutnya dia menegaskan bahwa kedudukan sunnah yang begitu berpengaruh dalam dunia Islam, tidaklah dipahami karena ia diperkuat oleh

58 Ignaz Goldziher, Muslim Studies, translated by C. R. Barber & S. M. Stern (London : George Allen & Unwim, 1971), vol. II.,:18-19.

keabsahan atau otentisitas hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW., tetapi lebih karena sifat yang dimiliki sunnah, yaitu selain sebagai catatan atau fakta historis dari tradisi bangsa-bangsa Arab, juga sifat normatifnya bagi generasi-generasi sesudahnya.59 Bagi Goldziher, konsep Islam tentang sunnah adalah sebuah revisi atas adat-istiadat yang terjadi saat itu, meskipun tidak memperkuat dalam arti keseluruhan. Di bagian lain, Goldziher menulis bahwa hadis tidak memiliki kemurnian sama sekali, meskipun tetap memiliki kedudukan kuat sebagai sumber ajaran Islam.

Untuk meragukan keabsahan dan otentisitas hadis, Goldziher juga melihat faktor lain tentang kondisi masyarakat Islam abad I H di mana hadis saat itu mulai memasuki perkembangan awal. Meskipun terdapat sejumlah bukti bahwa hadis benar-benar dinisbahkan kepada Nabi, akan tetapi akan sangat sulit untuk menentukan kebenaran dan keabsahannya.

Goldziher menggambarkan kondisi masyarakat Islam pada abad I H sebagai masyarakat yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara ritus-ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang kompleks. Apalagi, pada saat itu buta huruf masih merajalela di mana-mana, dan kebudayaan yang berpusat pada lingkungan istana serta kebiasaan di kota-kota besar ternyata masih bersifat sekuler dan lepas dari agama.60 Jadi, menurut Goldziher, tidak mungkin kita mempercayai data otentik tentang hadis. Jika ada, pasti merupakan produk Islam setelah mencapai tahap perkembangan berikutnya, yaitu abad II dan III H.

Ignaz Goldziher mengemukakan tesis perihal transmisi Hadits dikalangan kaum Muslim abad-abad awal, dengan mengatakan bahwa Hadits barulah ditulis (record) pada abad ke-2 H. Ia meragukan keotentikan hadits sebagai benar-benar berasal dari Nabi Saw. Selang jarak waktu yang begitu lama menjadi alasan keraguan akan keaslian Hadits, apakah memang betul ditransmisikan dari Nabi Muhammad Saw. kepada Sahabat dan Tabi’in atau hanya rekaan ilmuan Hadits

59 Baca Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung : Pustaka, 1994), cet. II, hal. 53

60 Endang Soetari Ad., “Pandangan Orientalis terhadap Hadis”, dalam Jurnal Mimbar

pada abad kedua hijrah. Bahkan hingga koleksi besar klasik yang menjadi pegangan kuat umat Islam pun, masih diragukan olehnya. Ia menduga, berbagai kompilasi Hadits yang bermunculan pada abad kedua merupakan perkembangan historis doktrin-doktrin Islam dan merupakan kreasi para ulama.61

Beberapa bukti dikemukakan oleh Goldziher untuk memperkuat tesisnya itu. Misalnya, ketidaktahuan masyarakat Basrah di masa Dinasti Umayyah akan zakat fitrah ketika Ibn ‘Abbas menanyakan tentang zakat. Bahkan masyarakat yang sama, menurut Goldziher, tidak mengetahui bagaimana caranya melaksanakan shalat lima waktu hingga meminta Malik bin Huwairits mendemonstrasikannya di sebuah masjid.62 Lagi menurut Goldziher, Hadits tidaklah berperan sebagai dokumen sejarah Islam awal. Hadits menurutnya, tidak lebih dari refleksi kecenderungan komunitas Muslim yang tengah dalam tahap perkembangan kematangannya.

Dalam hal ini, Hadits merupakan modus sistemik yang dikembangkan untuk merekonstruksi sejarah Islam periode awal.63 Studi Goldziher dalam bukunya ini, yang bagi pengkaji Hadits di Barat sudah dianggap sebagai kitab suci, dapat diringkas kedalam dua poin pikiran utama: pertama, pada abad pertama hijri, umat Islam diselimuti kebodohan yang mutlak mengenai ajaran Islam, secara aqidah maupun syariah. Kedua, pada masa ini, umat Islam belum lagi mampu membuat teori-teori dan aturan yang lengkap dan komprehensif.64 Atas kesimpulan Goldziher ini, M.M. A’zami menunjukkan berbagai hal yang dalam kajian Goldziher nampaknya memang sengaja diluputkan. A’zami menyayangkan kajian Goldziher yang dinilainya lebih menuruti kecenderungan pribadinya ketimbang mendapatkan dan mengolah fakta secara ilmiah.

Berbagai fakta yang diungkap Goldziher, dalam hematnya, sebenarnya hanyalah epik kecil dari tradisi pendidikan dan pengajaran Islam pada abad pertama hijriah. Apalagi, menurut A’zami, Goldziher banyak menyandarkan

61 Boulatta (ed.), An Anthology, h. 3

62Ignaz Goldziher, Umayyads and Abbasids in his Muslim Studies dalam Issa J. Boulatta (ed.): 1992.

63Brown, Rethinking Tradition, hal. 112.

64M.M. A’zami, Studies In Early Hadith Literature, Terj. Ali Musthafa Ya’qub, (Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 94.

kajiannya pada sumber-sumber yang berasal dari masa Dinasti Abbasyiyyah, sehingga untuk memotret dinamika Islam periode awal hijriah yang memang dalam kekuasaan Umayyah tidaklah relevan. Sebab, sumber-sumber Abbasyiyyah merupakan kontra terhadap segala hal yang berkembang di masa Umayyah65

Dalam karya munomentalnya, Muhammadanische Studien (vol. 2, 1890), ia mengemukakan bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi karena kandungan hadis yang terus membengkak pada masa- masa selanjutnya, dan karena dalamsetiap generasi Muslim materi hadis berjalan pararel dengan doktrin-doktrin aliran fiqih dan teologi yang seringkali saling bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit menemukan hadis-hadis yang orisinil berasal dari Nabi.66

Dalam pandangan Goldziher, perbedaan hadis dan sunnah tetap dipertahankan. Ia menyatakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dan sunnah adalah kompedium aturan-aturan praksis. Satu-satunya kesamaan sifat antara keduanya adalah bahwa keduanya berakar secara turun-temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum, yang diakui sebagai tatacara kaum muslim pertama yang dipandang berwenang dan telah pula dipraktikkan, dinamakan sunnah atau adat/kebiasaan keagamaan.

Adapun bentuk yang memberikan pernyataan tatacara itu disebut hadis atau tradisi.67

Dalam kesempatan lain, Goldziher menyatakan perbedaan sunnah dan hadis bukan saja dari makna itu sendiri, tetapi melebar juga pada adanya pertantangan dalam materi hadis dan sunnah. Dia mengatakan bahwa, memang betul pengertian sunnah dan hadis dibedakan satu sama lain. Hadis berisi berita lisan yang bersumber dari Nabi Saw..sedangkan sunnah menurut pengertian yang lazim di kalangan umat Islam kuno, menunjuk pada permasalahan hukum atau hal keagamaan; tidak masalah apakah ada atau tidak berita lisan tentangnya. Suatu kaidah yang terkandung di dalam hadis lazimnya dipandang sebagai sunnah, tetapi

65 M.M. A’zami, Studies In Early Hadith Literature, terj. hal. 102.

66 Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, (London : Goerge Allen & Unwin, 1971), hal. 38

67

tidak berarti bahwa sunnah harus mempunyai hadis yang berkesesuaian dan memberikan pengukuhan kepadanya. Bahkan mungkin justru bertentangan dengan sunnah.68

b. Joseph Schahct69 (1902-1969)

Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, menyatakan bahwa konsep sunnah Nabi merupakan kreasi kaum Muslim belakangan. Menurutnya sunnah mencerminkan kebiasan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” dan “tradisi yang hidup” itu adanya mendahului hadis (tradisi Nabi), Ketika hadis pertama kali beredar – sekitar menjelang abad kedua hijriyah – ia tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi pertama- tama kepada tabi’in, baru pada tahap berikutnya, dirujukkan kepada sahabat dan Nabi.70

Bagian sentral tesis Schacht bergantung pada penggunaan dan konsep kata sunnah. Secara ringkas dia berpendapat bahwa : Menurut Schacht, konsep awal sunnah adalah ”tradisi yang hidup” dalam mazhab-mazhab fiqh klasik, yang berarti kebiasaan atau ‘praktek yang disepakati secara umum’ (‘amal, al amr al mujtama’ ‘alaih). Konsep ini tidak ada hubungannya dengan Nabi.71 Konsep awal

68 Ignaz Golziher, An Introduction to Islamic Law, (Jakarta: INIS, 1991), hal. 24

69 Joseph Schacht lahir pada 15 Maret 1902 di Silisie, Jerman, dan Ia meninggal pada di New Jersey pada 1 Agustus 1969 di rumahnya karena terserang pendarahan otak. Ayahnya bernama Edward Schacht penganut Katolik Roma dan bekerja sebagai guru anak-anak bisu dan tuli. Ibunya bernama Maria Mohr. Ketika Perang Dunia II meletus, Schacht meninggalkan Kairo dan pindah ke Inggris (sebagai protes terhadap Nazi), ia bekerja sebagai seorang ahli dan peneliti masalah-masalah ketimuran di Departemen Penerangan Inggris, menyumbangkan sejumlah pembicaraan kepada program-program Bahasa Arab dan Persia di Perusahaan Penyiaran Inggris, di Radio BBC London, yang beberapa diantaranya dicetak di penerbitan BBC yang disebut dengan al-Mustami’ al-‘Arabi. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam Perang Dunia II, ia berada di pihak Inggris. Walaupun ia bekerja untuk kepentingan Inggris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, pemerintah Inggris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Setelah perang selesai, ia tetap tinggal di Inggris dan menikah dengan wanita Inggris dan menjadi warga negara Inggris pada tahun 1947.

70 Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, (London : Oxfort at The Clarendon Press, 1971), hal. 58, 80-189

71 Joseph Schacht, Origin, hal. 58. Dalam bukunya Introduction to Islamic Law, Schacht menyatakan : ”Sunnah dalam konteks Islam pada awalnya lebih memiliki konotasi politis daripada hukum. Sunnah merujuk pada kebijakan dan administrasi khalifah. Pertanyaan apakah tindakan- tindakan administratif dari dua khalifah yang pertama, Abu Bakr dan Umar, harus dipandang sebagai preseden-presenden yang mengikat, muncul barangkali pada saat pengganti Umar harus ditunjuk (23 H/ 644 M), dan ketidakpuasan terhadap kebijakan khalifah ketiga, Utsman, yang

sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum, yang disebutnya ”tradisi yang hidup”. Untuk sampai pada kesimpulan ini dia mengikuti D.S. Margoliouth dan mengutip Ibn Muqaffa’, yang menurutnya, mendapatkan istilah itu digunakan pada awal abad kedua untuk kepentingan regulasi administratif pemerintah Bani Umayyah.72 Konsep awal sunnah Nabi pada asal- usulnya relatif terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pada abad kedua.73 Penggunaan istilah ”sunnah Nabi” tidak berarti sunnah yang sebenarnya berasal dari Nabi, ia sekedar ”tradisi yang hidup” dari mazhab yang ada yang diproyeksikan ke belakang hingga ke lisan Nabi.74

Untuk menopang argumentasinya bahwa konsep sunnah awal adalah praktek atau ”tradisi yang hidup”, Schacht merujuk pada Margoliouth dan Ibn Muqaffa’.

Dia menulis : ” Margoliouth menyimpulkan bahwa sunnah sebagai prinsip hukum pada awalnya berarti penggunaan ideal dan normatif dari masyarakat dan baru kemudian memperoleh arti terbatasnya sebagai preseden-preseden yang dibuat oleh Nabi.75

Penelitiannya lebih menitik beratkan pada sistem isnad. Dalam soal ini, ia mengatakan bahwa isnad adalah sebentuk kesewenang-wenangan terhadap Hadits. Hadits-hadits sengaja dikembangkan oleh berbagai kelompok untuk memperkuat teori yang mereka buat dengan disandarkan kepada tokoh-tokoh tertentu di masa sebelumnya.76 Dengan demikian, isnad sesungguhnya merupakan hal yang baru belakangan muncul, atau dengan kata lain, merupakan hal yang mengakibatkan pembunuhannya pada tahun 35 H/ 655 M, menjadi tuduhan bahwa, dia pada gilirannya menyimpang dari kebijakan para pendahulunya dan, secara implisit, dari al Qur’an.

Dalam kaitan ini, tampak konsep ‘sunnah Nabi’ belum teridentifikasi dengan seperangkat aturan positif yang manapun melainkan memberikan adanya kaitan doktrinal antara ”Sunnah Abu Bakr dan Umar dan al Qur’an. Bukti paling awal, tentunya yang otentik, untuk penggunaan istilah

”Sunnah Nabi” adalah surat yang pernah dikirimkan oleh pemimpin khawarij, Abdullah Ibn ‘Ibad pada Khalifah Bani Umayyah ‘Abd al Malik sekitar 76 H/ 695 M. Istilah yang sama dengan konotasi eteologis, dan ditambah lagi dengan ”contoh para nenek moyang” yang ada dalam risalat yang sezaman yang dikirim oleh Hasan al Bashri kepada khalifah yang sama. Hal ini diperkenalkan kedalam teori hukum Islam, barangkali menjelang akhir abad pertama, oleh para ulama Irak. Lihat : Joseph Schacht, Introduction, hal. 17-18

72 Joseph Schacht, Origins, hal. 58-59

73 Joseph Schacht, Origins, hal. 70

74 Joseph Schacht, Origins, hal. 70

75 Joseph Schacht, Origins, hal. 58

76

dibuat-buat untuk mengukuhkan supremasi suatu kelompok atas dasar fanatisme (ashabiyah). Untuk ini, ia mengemukakan teorinya yang terkenal, yaitu “the projecting back theory”, sebuah teori yang menjelaskan bahwa ada orientasi selalu merujukkan kebelakang dalam penyusunan sanad. Teori ini bertolak dari premis bahwa semakin awal Hadits muncul, maka semakin kecil pula kemungkinan kelengkapannya, dan sebaliknya. Ketidaklengkapan itulah yang menurut Schacht, diakali oleh para ahli Hadits mulai periode awal hingga isnad lengkap seutuhnya.77

Schacht menganggap bahwa sistem isnad adalah palsu. Pendapat tentang masalah isnad dia paparkan dalam karyanya Origins of Muhammadan Jurisprudence. Temuan ini mendapat pujian dari Prof. J. Robson dengan mengatakan sebagai ”kajian bergharga yang membuka jalur penelitian baru”.78

Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi dan para sahabat adalah palsu. M.M. Azami meringkas argumen Schacht menjadi enam poin, yaitu:79

Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua hijrah atau paling awal, akhit abad pertama.

Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin ”memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.

Isnad-isnad itu secara bertahap ”meningkat” oleh pemalsuan : Isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.

77Brown,Rethinking Tradition, h. 115-116. (terj.)

78 M.M. Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj. (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004), hal. 232. lihat: Robson,”Muslim Tradition”, “Manchester Memoirs, hal.

98-99.

79 M.M. Azami,On Schacht’s Origins,terj. hal. 232-233

Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa al Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber.

Isnad-isnad keluarga” adalah palsu, demikian pula materi-materi yang disampapikan oleh isnad-isnad itu.

Keberadaan common narator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayatan itu.

Dengan demikian, isnad sesungguhnya merupakan hal yang baru belakangan muncul, atau dengan kata lain, merupakan hal yang dibuat-buat untuk mengukuhkan supremasi suatu kelompok atas dasar fanatisme (ashabiyah). Untuk ini, ia mengemukakan teorinya yang terkenal, yaitu “the projecting back theory”, sebuah teori yang menjelaskan bahwa ada orientasi selalu merujukkan kebelakang dalam penyusunan sanad. Teori ini bertolak dari premis bahwa semakin awal Hadits muncul, maka semakin kecil pula kemungkinan kelengkapannya, dan sebaliknya. Ketidaklengkapan itulah yang menurut Schacht, diakali oleh para ahli Hadits mulai periode awal hingga isnad lengkap seutuhnya.80

Teori Schacht tersebut dapat mengarah pada simpulan bahwa dengan demikian isnad bukanlah sistem yang bisa menjawab apakah Hadits yang sampai pada paruh terakhir abad kedua merupakan Hadits yang pernah diutarakan oleh nabi Muhammad Saw. atau bukan?

Apa yang diungkap Schacht sebagiannya juga disepakati oleh Fazlur Rahman.

Menurut Rahman, Hadits yang dtransmisi secara harfiyah memang teramat minim. Apalagi pada awal abad hijriah transmisi secara langsung atau secara oral justru lebih tinggi derajatnya. Dalam hal ini bukti tulisan hanyalah alat konfirmasi jika hapalan seseorang lemah. Namun demikian, Rahman menekankan bahwa kendatipun ada praktek sebagaimana yang dikatakan oleh Schacht, tidak lantas Hadits menjadi palsu. Riwayat “bil ma’na” (hanya mentransmisikan substansi bukan bentuk redaksional asli) adalah bukan sesuatu yang tercela, hanya saja seringkali memang riwayat macam ini lebih mudah terbuka terhadap penyimpangan. Rahman menyepakati apa yang disebut Schacht sebagai “living

80

tradition” dalam bentuk praktek-praktek ibadah dan sebagainya yang tidak musti diturunkan dari berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. secara verbal. Elan vital tradisi yang hidup inilah yang juga dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang bersambung (muttashil) dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw di masa hidupnya.81

81Brown, Menyoal Relevansi, h. 133

Dokumen terkait