• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik dan Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

F. Teknik dan Sistematika Penulisan

suatu produk pemikiran dengan situasi sosial, termasuk kondisi politik, perkemabangan dunia ilmu pengetahuan dan keagamaan. Pendekatan ini dilakukan dengan konsekuensi logis atas sebuah kajian pemikiran tokoh, sehingga diharapkan dapat menghasilkan informasi yang menjelaskan latarbelakang munculnya konsepsi tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pendekatan sosiologis ini terutama sekali digunakan berkenaan dengan kritik Rahman terhadap al-Syafi’i.

F. Teknik dan Sistematika Penulisan

mencantumkan kajian kepustakaan atau penelitian dahulu yang relevan.

Urgensinya selain dapat dijadikan landasan untuk melakukan penelitian dan diarahkan untuk menyusun kerangka atau konsep yang akan digunakan dalam penelitian, kajian kepustakaan berguna untuk menghindari pengulangan dalam penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang metodologi penelitian yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan landasan teoritis bagi penelitian. Di sini penulis melakukan kajian diskursus otoritas hadits dalam pandangan para sarjana dari kalangan konservatif (tradisionalis); seperti MM. Azami, Abu A'la al Maudhudi, Yusuf al Qardhawi ; modernis, seperti Ghulam Ahmad Parwez, Sayyid Ahmad Khan, dan Muhammad Iqbal ; dan orientalis, seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Juynball, Nabia Abbot, Fuad Sezqin.

Bab ketiga terdiri dari dua bagian, pada bagian pertama penulis memaparkan biografi Fazlur Rahman dan bagaimana pemikiran keislamannya. Di sini penulis menjelaskan bagaimana latarbelakang pamikiran Rahman dengan menilai sisi sosiohistoris lingkungan di mana Rahman dibesarkan dan melewati perjuangan intelektualnya. Selanjutnya penulis mengkaji pendekatan yang digunakan Rahman dalam mengkaji keislaman secara umum, hal ini sangat diperlukan untuk memahami konsep hadits menurut Rahman. Bagian kedua merupakan pokok-pokok pikiran Rahman tentang hadits, dimana penulis akan mendeskripsikan konsep Rahman yang berkaitan dengan hadits. Pada bagian ini penulis tidak melakukan analisa secara mendalam terhadap konsep tersebut, namun hanya memaparkan dan sedikit memberi interpretasi terhadap pokok pikiran Rahman.

Pada bab keempat penulis menganalisa konsep Rahman tentang otoritas hadits dengan melakukan komparasi dengan para komentator hadits sebagaimana disebutkan pada bab dua yang secara lebih spesifik menyangkut hadits itu sendiri sebagai teks, Peran Nabi sebagai author, dan interpretasi para ahli hukum dan ahlul hadits sebagai komunitas pembaca (reader). Selanjutnya penjelasan otoritas hadits menurut Rahman terletak pada bagian kedua bab ini. Disinilah secara khusus analisa bagaimana implikasi konsep tersebut terhadap interpretasi hadits

dan hukum Islam. Analisa inilah yang akan menjawab persoalan-persoalan menyangkut keterpengaruhan, kesinambungan, serta kekonsistenan Rahman dalam konsep otoritas haditsnya.

Adapun bab kelima sebagai bab penutup yang berisikan kesimpulan- kesimpulan yang ditarik dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dalam rangka menjawab masalah atau aspek penting yang menjadi fokus kajian tesis yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan. Selanjutnya dikemukakan beberapa pernyataan dalam bentuk saran penelitian atau rekomendasi berupa penelitian lanjutan guna melengkapi uraian-uraian yang sangat erat kaitannya dengan keseluruhan isi tesis bila hal itu penting untuk dilaksanakan sebagai akhir wacana.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berimplikasi dalam penyelesaian problem- problem sosial kontemporer terutama dalam menyikapi perkembangan zaman.

Kritik Rahman atas Syafi’i (formalisasi sunnah yang hidup ke dalam hadits):

Gerakan hadits yang dilancarkan oleh al Syafi’i (150-204 H/767-819 M) dilatarbelakangi oleh tumbuhnya pemikiran bebas pada saat itu yang dalam beberapa hal menghasilkan keputusan hukum yang bertentangan dengan hadits.

Arah yang hendak dicapai oleh gerakan hadits al Syafi’i ini adalah menekan tumbuhnya praktik-praktik atau “sunnah yang hidup”.

Rahman menggambarkan perjuangan al Syafi’i tersebut sebagaimana terlihat dalam kasus lembaga wali.30 Menurut suatu riwayat, wali hanya diperlukan untuk pernikahan perempuan yang pertama kali saja, sedangkan untuk wanita janda tidak diperlukan wali. Namun terdapat riwayat lain yang menyatakan tanpa wali pernikahan tidak sah. Ketika seorang Madinah mengatakan kepada al Syafi’i bahwa ia beserta rekan-rekannya mempertahankan lembaga wali bagi wanita-wanita kalangan bangSaw.an, dan tidak bagi wanita kalangan bawah. Di dalam sikap mereka seperti itu, tampaknya terdapat sebuah ide bahwa wali memberikan kehormatan formal terhadap sebuah pernikahan, dan kehoramatan yang seperti itu tidak diperlukan bagi wanita-wanita kalangan bawah. Maka jawaban al Syafi’i terhadap orang Madinah tersebut adalah sebagai berikut:

30

“Apakah pendapatmu jika seorang menyatakan kepadamu bahwa ia tidak akan mengizinkan pernikahan seorang perempuan kalangan rendah tanpa wali karena ia lebih mudah tergoda dalam pernikahan palsu dan lebih mudah terjerumus ke dalam keaiban daripada seorang wanita kalangan bangSaw.an, dimana yang terakhir ini lebih memikirkan harga diri sehubungan dengan asal- usulnya….bukankah orang tersebut lebih benar daripada engkau? Pendapatmu sedemikian salahnya sehingga tidak perlu diperbantahkan lagi, tetapi cukuplah dinyatakan salah.”31

Tampaklah bahwa al Syafi’i menafsirkan lembaga perwalian bukanlah untuk menjaga martabat dan harga diri, tetapi untuk melindungi wanita dari keaiban dan untuk memberikan jaminan terhadap terjadinya perkawinan yang sesungguhnya. Sekalipun al Syafi’i telah mengadakan analisis ‘illat hukum di balik lembaga perwalian nikah, tetapi ia menegaskan penolakan pengembangan hukum secara rasional dan menyarankan penerimaan hadits secara literal.

Demikian analisis Rahman.32

Al Syafi’i adalah pembela utama penerimaan hadits Nabi dalam masalah hukum secara missal sebagai salah satu dasar hukum, sedangkan lawan-lawannya dalam aliran hukum menyatakan bahwa dasar hukum yang mereka pakai adalah sunnah Nabi yang hidup secara aktual dalam tradisi praktis. Mereka sebenarnya tidak menyangkal hadits Nabi begitu saja, tetapi menurutnya ajaran-ajaran Nabi haruslah dicari dalam praktik masyarakat Muslim Madinah. Karena Praktik yang diberlakukan oleh masyarakat Muslim Madinah lebih mencerminkan warisan Nabi daripada hadits-hadits yang samar yang dinyatakan bersumber dari otoritas Nabi tapi tidak mempunyai dasar dalam praktik masyarakat. Lawan-lawan al Syafi’i selanjutnya mengklaim bahwa para sahabat dan tabi’in merupakan

31 Al Syafi’I, al Umm, Cairo: 1321 H, hal. 906-907 (dikutip oleh: Gufron A Mas'adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam)

32 Rahman,Islamic methodology, hal. 404. Analisis Rahman tersebut menurut Gufron A Mas’adi, dalam bukunya Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, tidaklah berlebihan karena pada aspek lainal Syafi’I berusaha mensistematisir pemikiran rasional (ijtihad) dalam bentuk qiyas, salah satu bentuk metode pengembangan hukum yang paling sempit. Lihat: Gufron A Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, hal. 92

generasi yang paling mengetahui dan satu-satunya pengemban sunnah Nabi yang terpercaya.33

Berdasarkan data-data perdebatan antara al Syafi’i dan ahli hukum Madinah, disimpulkan oleh Rahman bahwa sebenarnya antara keduanya sama- sama menghendaki posisi sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam. Ahli-ahli hukum Madinah berdalih bahwa sunnah atau tradisi mereka bersumber dari sunnah Nabi, sedang perjuangan al Syafi’i membela otoritas hadits sudah jelas arahnya.34 Maka disinilah letak keberhasilan al Syafi’i dalam memperjuangkan otoritas Nabi melalui kontroversi hadits: ketika ahli hukum Madinah berargumentasi bahwa praktik mereka bersumber dari sunnah Nabi, mereka perlu menetapkan persambungan praktik dari generasi tabi’in, sahabat sampai kepada Nabi, dengan demikian tercapailah tujuan al Syafi’i dalam memperjuangkan otoritas hadits ditengah-tengah skeptisisme Muktazilah dan di tengah-tengah kelonggaran penalaran ahli-ahli hukum Irak. “demikianlah sunnah ahli Madinah diformalisir menjadi hadits” tegas Rahman.35

Menurut Rahman, formalisasi sunnah yang hidup menjadi hadits pada saat itu memang diperlukan, karena proses berkelanjutan yang tanpa disertai upaya formalisasi, maka pada waktu-waktu tertentu akan memutuskan kesinambungan proses itu sendiri sehingga menghancurkan identitasnya. Namun ternyata yang dihasilkan oleh hadits bukanlah formalisme tertentu saja, melainkan ketetapan yang bersifat mutlak.

Menurut Rahman, sunnah Nabi tersebut difahami oleh Syafi’i secara harfiah dan sama sekali bersifat mutlak, serta wahana satu-satunya bagi transmisinya adalah hadits.

33 Percakapan yang menggambarkan perdebatan antara al Syafi’I dan lawan-lawannya tersimpan oleh al Syafi’I dalam karya-karyanya. Ia menjadi data sejarah yang sangat berharga untuk mengetahui sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam sebelum al Syafi’i.

34 Rahman,Islam, hal. 61

35

Dokumen terkait