PENDAHULUAN
Setelah kejatuhan manusia di Taman Eden dalam Kejadian 3, terjadilah beberapa konsekuensi atau akibat yang langsung mengikuti keberadaan manusia. John Murray memakai istilah “revolusi” dan “disintegrasi” untuk melukiskan kondisi keberadaan manusia pascakejatuhan.1 Menurutnya, terdapat paling sedikit lima revolusi atau disintegrasi pada eksistensi manusia:
pertama, terjadi revolusi atau perubahan pada kondisi internal manusia, yaitu kondisi subjektif dari manusia yang tiba-tiba mengalami perubahan yang radikal di hadapan Tuhan. Kejadian 3:5 mencatat bahwa menurut Iblis “mata [manusia]
akan terbuka, dan [mereka] akan menjadi seperti Allah.” Kemudian di ayat 7 dikatakan bahwa yang terjadi adalah akibat yang sebaliknya: memang “mata mereka terbuka” tetapi dengan akibat “. . . dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang.” Telanjang di sini bukan hanya fi sik, tetapi ada perasaan takut, tidak terlindungi dari Tuhan. Mereka bukan semakin tahu tentang Allah, tetapi malah tahu tentang kondisi subjektif mereka sendiri (tahu ada yang tidak beres dalam hubungan mereka dengan Tuhan). Perasaan malu dan takut di sini merupakan indikasi dari bekerjanya hati nurani yang mulai mengembangkan rasa bersalah (guilty conscience).
Kedua, terjadi revolusi di dalam hubungan Allah terhadap manusia. Tuhan murka dan menjatuhkan kutukan atau hukuman kepada Adam dan Hawa (3:
16-19). Allah tidak berubah, tetapi relasi-Nya dengan manusia berubah. Ketiga, terjadi revolusi dalam alam semesta, yaitu dunia fi sik atau kosmos (3:17). Tanah menjadi terkutuk, sehingga dalam Roma 8:20 Paulus mengatakan bahwa seluruh ciptaan (the whole creation) ditaklukkan pada kesia-siaan. Segala ciptaan sama-sama mengeluh dan merasa sakit bersalin. Seluruh kosmos terkena akibat dari dosa. Keempat, terjadi revolusi pada keluarga manusia, yaitu
1Collected Writings of John Murray: Systematic Th eology (Edinburgh: Banner of Truth, 1977) 2:70-72.
PUDARNYA KONSEP DOSADALAM DUNIA KEKINIAN 146
berakibat pada keturunan Adam yang secara genetis dan organis terkait pada- nya. Sejak kejatuhan Adam, timbullah iri hati, kebencian, kekerasan (violence) dan pembunuhan (Kej. 4:23-24). Kelima, terjadi revolusi atau disintegrasi pada struktur yang terdalam dari manusia itu sendiri, yaitu hadirnya maut atau kematian yang secara nyata dan objektif ada pada semua orang. Hadirnya realitas maut bukan hanya mengubah konstitusi tubuh manusia, melainkan juga merupakan penggenapan hukuman Allah atas dosa.
Mengacu pada poin-poin yang diberikan Murray, pembahasan menge- nai akibat-akibat dari dosa berikut ini akan disarikan menjadi beberapa butir besar: pertama, perhambaan kehendak (bondage of the will); kedua, kebobrokan menyeluruh (total depravity); dan ketiga, fakta tentang kematian (baik kematian fi sik, kematian spiritual, maupun kematian kekal).
PERHAMBAAN KEHENDAK (BONDAGE OF THE WILL) Filsuf Kristen terkenal, Alvin Carl Plantinga, yang menjadi guru besar selama 28 tahun di Universitas Notre Dame dan pakar dalam bidang fi lsafat agama, fi lsafat sains, metafi sika, logika, teologi natural, problem of evil, dan epistemologi Reformed, pernah mengungkapkan bahwa akibat dosa bukan hanya berdampak pada perbuatan manusia, tetapi juga merambah pada wilayah pengetahuan manusia tentang Allah. Menurutnya: “Th e most important cognitive consequence of sin, therefore, is failure to know God.”2 Dosa—secara khusus, dosa asali—menyebabkan kebutaan akan pengetahuan tentang Allah dan mendatangkan kebodohan dan ketidakmampuan manusia memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah:
Original sin involves both intellect and will; it is both cognitive and aff ective. On the one hand, it carries with it a sort of blindness, a sort of imperceptiveness, dullness, stupidity. Th is is a cognitive limitation that fi rst of all prevents its victim from proper knowledge of God and his beauty, glory, and love.3
Yang paling parah adalah dosa mengakibatkan kerusakan (damage) pada perangkat perasaan beragama pada manusia (sensus divinitatis):
2Warranted Christian Belief 217 [bold dari saya].
3Warranted Christian Belief 207 [penegasan dari Plantinga].
Akibat Dosa (1): Perhambaan Kehendak 147 Our original knowledge of God and his marvelous beauty, glory, and loveliness has been severely compromised; in this way the narrow image of God in us was destroyed and the broad image damaged, distorted.
In particular, the sensus divinitatis has been damaged and deformed;
because of the fall, we no longer know God in the same natural and unproblematic way in which we know each other and the world around us. Still further, sin induces in us a resistance to the deliverances of the sensus divinitatis, muted as they are by the fi rst factor; we don’t want to pay attention to the deliverances.4
Kemudian kerusakan pada knowledge of God ini berlanjut pada kerusakan pada knowledge of man, karena keduanya saling berkaitan, yaitu pengetahuan tentang Allah akan berimbas pada pengetahuan akan manusia; sebaliknya, kerusakan pada pengetahuan tentang Allah juga akan mengaburkan penge- tahuan tentang manusia atau diri. Jadi, gagal memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah akan berefek pada pengetahuan aspek yang lain:
But if we don’t know that there is such a person as God, we don’t know the fi rst thing (the most important thing) about ourselves, each other, and our world. Th at is because (from the point of view of the model) the most important truths about us and them is that we have been created by the Lord and utterly depend upon him for our continued existence.5 Maka dalam hal pengetahuan tentang keberdosaan dirinya pun manusia gagal mendeteksinya pada dirinya sendiri:
4Warranted Christian Belief 205 [penegasan dari Plantinga]. Hal ini Plantinga ulangi kembali beberapa halaman berikutnya: “And in addition to the general injury due to the condition of sin itself, there is also the possibility of special damage or disease; perhaps in some people at some times, the sensus divinitatis doesn’t work at all” (Warranted Christian Belief 215). Belakangan, di dalam bukunya yang lain, ia menggambarkan kerusakan (damage) tersebut sebagai “masih berfungsi sebagian” secara terbatas: “. . . we human beings typically have at least some knowledge of God, and some grasp of what is required of us; this is so even in the state of sin and apart from regeneration. Th e condition of sin involves damage to the sensus divinitatis, but not obliteration;
it remains partially functional in most of us. We therefore typically have some grasp of God’s presence and properties and demands, but this knowledge is covered over, impeded, and suppressed”
(Knowledge and Christian Belief [Grand Rapids: Eerdmans, 2015] 51). Apakah ini pertanda ada
“sedikit” perubahan dalam pemikiran Plantinga?
5Warranted Christian Belief 217.
PUDARNYA KONSEP DOSADALAM DUNIA KEKINIAN 148
I may also fail to perceive my own sin or see it as less distasteful than it really is; I may fail to myself as a creature, who, if not viewed through the lens of Christ’s sacrifi ce, would be worthy of divine punishment. (Th us among the ravages of sin is my very failure to note those ravages.)6
Kemudian, sebagai efek domino dari kondisi itu (yaitu kegagalan memiliki pengetahuan tentang diri sendiri), setiap orang berdosa juga akan mengalami suatu kondisi di mana ia senantiasa gagal memiliki pengetahuan tentang orang lain, malah dalam keberdosaannya ia akan cenderung berada dalam situasi seperti ini:
Sin aff ects my knowledge of others in many ways. Because of hatred of distaste for some group of human beings, I may think them inferior, of less worth than I myself and my more accomplished friends. Because of hostility and resentment, I may misestimate or entirely misunderstand someone else’s attitude toward me, suspecting them of trying to do me in, when in fact there is nothing to the suggestion. Due to that basic and aboriginal sin pride, I may unthinkingly and almost without noticing assume that I am the center of the universe (of course if you ask me, I will deny thinking any such thing), vastly exaggerating the importance of what happens to me as opposed to what happens to others. I may vastly overestimate my own attainments and accomplishments, consequently discounting the accomplishments of others.7
Dalam kondisi yang disebut oleh Plantinga sebagai efek dosa pada nous (noetic eff ects of sin), manusia kemudian melakukan segala macam upaya untuk menjadi mandiri (otonom) melalui will atau kehendaknya.
But sin is also and perhaps primarily an aff ective disorder or malfunction.
Our aff ections are skewed, directed to the wrong objects; we love and hate the wrong things. Instead of seeking fi rst the kingdom of God, I am inclined to seek fi rst my own personal glorifi cation and aggrandizement, bending all my eff orts toward making myself look good. Instead of loving God above all and my neighbor as myself, I am inclined to love myself above all and, indeed, to hate God and my neighbor. . . . Th e defect here is aff ective, not intellectual. Our aff ections are disordered; they no longer work as in God’s original design plan for human beings. Th ere is a failure of proper function, an aff ective disorder, a sort of madness of the will.
6Warranted Christian Belief 214.
7Warranted Christian Belief 213-214 [penegasan dari Plantinga].
Akibat Dosa (1): Perhambaan Kehendak 149 In this condition, we know (in some way and to some degree) what is to be loved (what is objectively lovable), but we nevertheless perversely turn away from what ought to be loved and instead love something else.8 Dengan demikian, secara kehendak, sejatinya tidak ada seorang pun yang menginginkan Allah, percaya kepada Allah, tunduk menyembah Allah, atau apalagi mengasihi Allah. Dalam keberdosaannya, yang ditandai dengan
“madness of the will,” manusia sebetulnya sangat mengharapkan bukan hanya agar orang lain tidak bereksistensi, tetapi juga supaya Allah tidak bereksistensi.
Singkatnya, manusia memilih hidup tanpa Allah di dekatnya atau di dalam aktivitas kesehariannya (apalagi ikut campur dalam urusan pribadinya), dan semua itu menurut Plantinga disebabkan oleh tidak berfungsinya kehendak manusia karena dosa: “Sin is a malfunction of the will, a skewing of aff ections; it is loving and hating the wrong things. Still, it also involves blindness, an inability to see the glory and the beauty of the Lord.”9
Produk yang dihasilkan dalam keadaan ini adalah sejenis keyakinan palsu yang “dipaksakan atau dianggap” benar menurut kehendak manusia.
James Anderson mengungkapnya dengan tepat ketika ia mencatat bahwa:
sin involves an element of “cognitive disease” that aff ects (to one degree or another) the operation of the sensus divinitatis. Consequently, for any particular person the faculty may produce true beliefs but with insuffi cient strength, or fail to produce those beliefs at all, or even produce some false beliefs.10
Jadi, dalam keadaan “malfunction of the will” manusia justru memaksimalkan kehendak dan segenap fungsi batiniahnya serta perilaku11 untuk memproduksi kepercayaan atau keyakinan yang tidak benar.
8Warranted Christian Belief 208 [penekanan dengan bold dari saya].
9Warranted Christian Belief 303.
10Paradox in Christian Th eology: An Analysis of Its Presence, Character, and Epistemic Status (Eugene: Wipf & Stock, 2007) 176-177 [penekanan pada aslinya].
11Sebenarnya menurut Christopher W. Morgan, secara biblika (contoh: Roma 3:11-18), dosa tidak hanya membawa dampak pada aspek kehendak atau intelek semata, melainkan juga pada segenap aspek batiniah dan perilaku manusia, seperti misalnya: “Mind: ‘no one understands’
(v. 11). Will: ‘no one seeks for God’ (v. 11). Actions: ‘All have turned aside. . . . No one does good, not even one’ (v. 12). Words: ‘Th eir throat is an open grave; they use their tongues to deceive. . . .’
(vv. 13-14). Ways: ‘Th eir feet are swift to shed blood; in their paths are ruin and misery . . .’ (vv.
15-17). Attitude: ‘Th ere is no fear of God before their eyes’ (v. 18)” (“Sin in the Biblical Story”
dalam Fallen: A Th eology of Sin [ed. Christopher W. Morgan and Robert A. Peterson; Wheaton:
Crossway, 2013] 152).
PUDARNYA KONSEP DOSADALAM DUNIA KEKINIAN 150
Dalam konteks pembicaraan tentang “malfunction of the will” inilah kita baru dapat mengerti apa latar belakang Martin Luther (1483-1546) menulis sebuah buku dengan judul De servo arbitrio atau On the Bondage of the Will12 yang terbit Desember 1525. Oleh Benjamin B. Warfi eld karya masterpiece Luther ini disebut sebagai:
the embodiment of Luther’s reformation conceptions, the nearest to a systematic statement of them he ever made. It is the fi rst exposition of the fundamental ideas of the Reformation in a comprehensive presentation;
it is therefore in a true sense the manifesto of the Reformation.13
Pemicu dan katalis terbitnya buku Luther adalah munculnya sebuah buku lain 16 bulan sebelumnya, yaitu di bulan September 1524, oleh seorang humanis, linguis, dan ahli PB Katolik kelahiran Rotterdam, Belanda, yang bernama Desiderius Erasmus Roterodamus (1466-1536) atau yang biasa dipanggil Erasmus. Sebenarnya setelah Luther memakukan 95 tesis ke dinding gereja di Wittenberg pada 31 Oktober 1517, banyak kalangan berharap peristiwa Reformasi gereja juga dapat menyatukan Luther dan Erasmus, karena Erasmus yang merupakan ahli PB dan tokoh Renaissance terkemuka juga tidak setuju terhadap penyimpangan gereja Katolik waktu itu. Sebagai contoh, Roland H. Bainton mencatat bahwa (walaupun tidak mengutuk namun) Erasmus mengkritik penjualan surat penghapus dosa (indulgences) oleh gereja Katolik pada waktu itu dan ia berkata: “[B]ut I think it is nonsense to suppose one can buy one’s way to heaven. What fi lthy traffi c this is, designed to fi ll coff ers rather than stimulate piety!”14 Setelah itu Erasmus menjadi semakin tersohor, sampai Alister E. McGrath mencatat: “If any fi gure stands head and shoulders above other northern European humanists . . . it was Erasmus of Rotterdam.”15 Tambahan pula, menurut T. H. M. Akerboom, kedua tokoh
12Edisi modern diterjemahkan oleh J. I. Packer dan O. R. Johnston; Th e Bondage of the Will (Grand Rapids: Baker, 2012). Judul dalam bahasa Latin De servo arbitrio (Concerning Bound Choice atau Concerning the Enslaved Choice) sebenarnya secara harfi ah bisa diterjemahkan On Un-Free Will, di mana 80 persen isinya hanya untuk meng-counter bagian demi bagian dari buku Erasmus Diatribe (On Free Will). Di dalam karyanya Luther banyak memakai dikotomi atau pengutuban antara Creator—Creature, Hidden God—Revealed God, Flesh—Spirit, dan Kingdom of God—Kingdom of Satan.
13“Th e Th eology of the Reformation” dalam Studies in Th eology: Th e Works of Benjamin B.
Warfi eld (Grand Rapids: Baker, 2003) 9:471.
14Erasmus of Christendom (New York: Charles Scribner’s Sons, 1969) 155.
15Reformation Th ought: An Introduction (4th ed.; Malden: Wiley Blackwell, 2012) 46.
Akibat Dosa (1): Perhambaan Kehendak 151
itu sering berkorespondensi mulai 28 Maret 1519 dan kelihatannya “Luther agreed in every way with Erasmus.”16
Sejak waktu itu berkembang pepatah yang berbunyi: “Erasmus laid the egg which Luther hatched” (Erasmus menghasilkan telur yang Luther tetaskan). Maksudnya, Erasmus yang sudah mulai mengoreksi kesalahan dan penyimpangan gereja, lalu Luther yang meneruskan koreksi terhadap doktrin gereja hingga mengadakan Reformasi. Tetapi rupanya setelah berjalan beberapa tahun ada perbedaan besar di antara kedua tokoh ini. Luther ingin mereformasi gereja secara total dalam hal doktrin, kebenaran, dan praktik gereja, sedangkan Erasmus ingin tetap berada di dalam gereja Katolik dan mengadakan reformasi secara moral saja. Luther sangat meninggikan Alkitab sebagai fi rman Allah,17 sedangkan Erasmus terbukti adalah seorang rasionalis yang menempatkan rasio di atas kitab suci. Karena itu belakangan pepatah soal telur itu dikoreksi oleh Erasmus sendiri dengan menyatakan: “I laid a hen’s egg: Luther hatched a bird of quite diff erent breed.”18 Namun demikian, ternyata belakangan sejarah teologi mengungkapkan bahwa Erasmus-lah “unggas aneh” yang menetaskan “telur”
yang tidak sesuai dengan “merek” atau “casing”-nya (dan ini barangkali mirip dengan pendeta yang suka mengaku-ngaku Reformed sejati, tetapi kenyataan- nya adalah Reformed hiper, Reformed neoortodoks, Reformed ekumenikal, Reformed kharismatik, atau Reformed episkopal).
Tidak lama kemudian, setelah menyadari bahwa Erasmus mulai berse- berangan dengannya dan mulai mengkritiknya secara publik, Luther kemu- dian mengambil sikap dan menulis surat secara pribadi kepadanya. Di bagian awal surat itu berisi pujian dan ucapan terima kasih Luther untuk kontribusi
16“Erasmus and Luther on the Freedom of the Will in Th eir Correspondence,” Perichoresis 8/2 (2010) 246. Korespondensi di antara kedua tokoh ini belakangan berubah menjadi sengit karena perbedaan pendapat yang tajam, sehingga surat-menyurat itu menurut John W.
O’Malley menjadi “one of the most famous exchanges in western intellectual history,” karena “the bibliography on the ‘debate’ is immense” (dikutip dari Robert Kolb, Bound Choice, Election, and Wittenberg Th eological Method: From Martin Luther to the Formula of Concord [Minneapolis:
Fortress, 2017] 7). Perdebatan soal free will di antara keduanya juga memengaruhi penulisan sastra di Eropa; lihat misalnya Lee Oser, “Free Will in Hamlet?: Shakespeare’s Struggle with the Issues of the Great Debate between Erasmus and Luther,” Christianity & Literature 67/2 (2018) 253-270.
17Entah pengakuan jujur, sinis, atau keterlepasan, Erasmus sendiri mengakui bahwa: “Luther does not acknowledge the authority of any writer . . . but only listens to the canonical Scriptures”
(E. Gordon Rupp dan Philip S. Watson, Luther and Erasmus: Free Will and Salvation [LCC 17;
Philadelphia: Westminster, 1969] 42).
18Lihat B. A. Gerrish, Grace and Reason: A Study in the Th eology of Luther (Oxford:
Clarendon, 1962) 162.
PUDARNYA KONSEP DOSADALAM DUNIA KEKINIAN 152
Erasmus dalam bidang sastra dan riset tekstual PB, sambil ia menyarankan agar Erasmus membiarkan bidang teologi ditangani oleh ahlinya: “we have chosen . . . to put up with your weakness and we thank God for the gift s he has given you. . . . [But] You have neither the aptitude nor the courage to be a Reformer, so please stand aside.”19 Menurut Akerboom, sebenarnya sejak Januari 1518, ketika ada rekan yang menyarankan Luther untuk mengadakan kontak dengan Erasmus, ia sudah mempunyai “perasaan tidak enak” tentang teologi Erasmus yang dibacanya melalui tulisan-tulisan Erasmus sebelumnya: “there is in my opinion to fi nd a great deal in Erasmus writings which is not in line with the knowledge of Christ—but I speak now as a theologian and not from the point of view of grammatical competence.”20
Tetapi justru setelah surat Luther diterima, Erasmus tidak sudi “stand aside” (jadi ia menolak permintaan Luther: “Menepilah [karena bidangmu adalah PB, bukan teologi]”). Ia malah secara tergesa menuliskan sebuah buku yang diterbitkan dengan judul De libero arbitrio Diatribe sive Collatio (On the Freedom of the Will) atau disingkat Diatribe (On Free Will). Dalam karya tulis (yang menurut pengakuan Erasmus sendiri diselesaikan dalam beberapa hari saja), ia sebetulnya hendak mengkritik poin utama ajaran Luther secara publik, khususnya mengenai kehendak bebas (free will), konsep anugerah, dan predestinasi. Konten buku itu juga menyajikan perdebatan seputar isu: apakah setelah kejatuhan dalam dosa manusia masih bebas memilih antara baik dan jahat? Jawaban Erasmus adalah manusia tetap memiliki free will untuk memilih yang baik atau jahat dan pilihan yang baik itu terlihat pada upaya manusia untuk berbuat baik dan bermoralitas luhur agar mereka dapat diperkenan Allah. Ia mendeskripsikan free will atau free choice (arbitrium) sebagai “a power of the human will [voluntatis] by which a man can apply himself to the things which lead to eternal salvation, or turn away from them.”21
Menurutnya, kemampuan manusia untuk memilih hanya mengalami kerusakan pada peristiwa Taman Eden, tetapi tidak hancur atau punah sama sekali. Ia malah mempertanyakan opini Luther yang dianggapnya merupakan sebuah pemikiran teologis yang berlebihan ketika Luther mengatakan bahwa free will pada manusia hanya sekadar nama atau sebutan saja (karena pada kenyataannya free will tidak pernah ada). Baginya, sekalipun free will itu amat
19Bard Th ompson, Humanists and Reformers: A History of the Renaissance and Reforma- tion (Grand Rapids: Eerdmans, 1996) 343.
20“Erasmus and Luther” 246.
21Rupp dan Watson, Luther and Erasmus 47.
Akibat Dosa (1): Perhambaan Kehendak 153
sangat kecil (“extremely small”22) atau benar-benar sepele (“exceedingly trivial”23), namun realitasnya masih tetap ada dan ia ingin menyajikan ajaran free will dalam sebuah kerangka biblical humanism, sebab ia yakin itulah ajaran Alkitab.
Dalam pendapatnya, baik Agustinus maupun Luther terlalu berlebihan atau terlalu ekstrem bereaksi terhadap free will atau free choice:
Aft er his battle with Pelagius, Augustine became less just toward free choice than he had before. Luther, on the other hand, who had previously allowed something to free choice, is now carried so far in the heat of his defense as to destroy it entirely.24
Argumen Erasmus memang sangat rasional dan kritiknya amat tajam. Misalnya, ia mempertanyakan, bila free will tidak ada:
What is the point of so many admonitions, so many precepts, so many threats, so many exhortations, so many expostulations, if of ourselves we do nothing, but God in accordance with his immutable will does everything in us, both to will and to perform the same?25
Deskripsi Erasmus sebenarnya hendak menegakkan otonomi manusia dengan kemampuan will-nya, sekaligus menyandingkan soteriologi dengan doktrin tentang manusia, yaitu kemampuan manusia untuk menerima atau menolak keselamatan. Tujuannya adalah hendak menghindari ekstrem kiri (Pelagianisme) dan ekstrem kanan (Agustinianisme dan Lutheranisme), lalu ia memilih jalan tengah dan akhirnya mendarat pada posisi teologi yang sinergistis (ada kerja sama Allah-manusia dalam keselamatan; masing-masing menyumbangkan kontribusi yang seimbang dan ini berarti anugerah dipadu- kan dengan perbuatan). Upaya mencari jalan tengah itu tampak dari perka- taannya:
22Luther and Erasmus 89.
23Luther and Erasmus 90.
24Luther and Erasmus 90. Kritik Erasmus terhadap konsep good-evil dari Agustinus diuraikan begini: “Suppose for a moment that it were true in a certain sense, as Augustine says somewhere, that ‘God works in us good and evil, and rewards his own good works in us, and punishes his evil works in us’; what a window to impiety would the public avowal of such an opinion open to countless mortals! Especially in view of the slowness of mind of mortal men, their sloth, their malice, and their incurable propensity toward all manner of evil. What weakling will be able to bear the endless and wearisome warfare against his fl esh? What evildoer will take pains to correct his life?
Who will be able to bring himself to love God with all his heart when He created hell seething with eternal torments in order to punish his own misdeeds in his victims as though he took delight in human torments?” (Luther and Erasmus 41).
25Luther and Erasmus 87.