156
berbagai pengetahuan semantik dan sintaksis, keterampilan coding, dan keterampilan algoritmik, yang rumit dan sulit untuk dikuasai bagi sebagian besar siswa. Dalam analisis persepsi siswa tentang pemrograman, Hawi (2010) menemukan bahwa meskipun kegagalan dalam pemrograman dikaitkan oleh banyak faktor yang beragam, alasan utama adalah metode pengajaran yang tidak sesuai, serta kurangnya kesempatan untuk latihan.
Metode yang banyak dilakukan dewasa ini dalam pembelajaran pemrograman adalah metode solo programming.
Solo programming adalah sebuah metode tradisional, yang mengembangkan perangkat lunak secara individual. Dalam solo programming, siswa bekerja sendiri dalam sebuah latihan pemrograman (Owolabi, 2013). Programmer memutuskan sendiri terkait hal hal yang berhubungan dengan perangkat lunak yang akan dikembangkan.
Programmer solo mengembangkan kode sendirian terkait dengan program itu.
Pembelajaran pemrograman solo programming umumnya mengharuskan siswa bekerja secara individual pada tugas pemrograman mereka. Dalam proses pembelajaran, bekerja sama dengan siswa lain pada tugas pemrograman pekerjaan rumah merupakan kecurangan dan tidak ditoleransi. Satu-satunya sumber daya yang tersedia untuk membantu siswa mengatasi masalah yang mereka mungkin akan mengalami adalah guru, buku teks, dan internet. Siswa tidak diizinkan untuk bekerja dengan teman-teman mereka, yang juga mendapatkan tugas dengan bahan yang sama.
Salah satu metode alternative yang dapat mempermudah siswa dalam belajar pemrograman adalah pair programming. Pair programming adalah salah satu pembelajaran kolaboratif yang ditemukan secara positif di lingkungan akademik sebagai strategi yang menjanjikan dalam pendekatan pembelajaran pemrograman (Faja, 2013).
Penelitian McDowell, dkk (2003) menemukan bahwa performa siswa yang menggunakan metode pair programming lebih tinggi daripada siswa yang menggunakan metode solo programming baik di tugas akhir maupun di nilai. Pair programming menciptakan lingkungan dalam mendorong siswa untuk belajar secara aktif, yang menyebabkan siswa lebih percaya diri dan mengembangkan interaksi sosial.
157 dilakukan lebih dari 35 tahun lalu. Pada tahun 1975, ketika Fortran masih menjadi bahasa pemrograman yang banyak digunakan, Jensen bereksperimen menggunakan pair programming di tim Angkatan Udara Amerika Serikat dan menemukan bahwa pair programming menghasilkan perangkat lunak dengan 2,27 kali lebih cepat dan tingkat kesalahan pada pengerjaan perangkat lunak terjadi penurunan.
Flor (1991) memperkenalkan ide untuk mengkolaborasikan individu yang berbeda untuk mengatasi masalah yang kompleks. Pada 1995, Constantine (1995) menyatakan dalam bukunya bahwa "Dua programmer yang berkerja secara tandem tidak akan terjadi redundansi; itu adalah sebuah cara untuk mencapai efisiensi dan kualitas yang lebih baik ". Pada tahun yang sama, Coplien (1995) menemukan pola yang disebut
"Pengembangkan Berpasangan". Pair programming diklaim berguna untuk memecahkan masalah dari pemrograman secara individual. Artinya, pasangan cenderung menjadi
“blindside” ketika mereka berurusan dengan tugas-tugas pengembangan perangkat lunak.
Studi empiris lain pada penggunaan pola dalam industri dilakukan dan membahas proyek software sukses menggunakan Extreme Programming di Chrysler, di mana pair programming menghasilkan software yang berkualitas tinggi (Anderson, dkk, 1998). Pair programming didefinisikan sebagai dua pengembang yang bekerja bersama-sama di satu komputer pada kode yang sama. Pair programming membuat pengaturan bahwa dua programmer duduk berdampingan di depan CPU untuk bersama-sama memecahkan tugas pemrograman. Yang mengendalikan keyboard dan mouse disebut driver, sementara yang lain meninjau dan mereview disebut navigator. Selain itu, aturan tersebut menuntut periode belajar yang memadai dari pola pair programming untuk mendapatkan pola yang tepat. Pair programming diklaim akan dapat menghasilkan produktivitas yang sama dengan kualitas yang lebih baik.
a. Kelebihan Pair Programming
1) Penyelesaian tugas lebih cepat: Pair programming berpotensi dapat meningkatkan kecepatan pengembangan sebuah perangkat lunak.
2) Kualitas perangkat lunak yang lebih baik: kualitas perangkat lunak diperkirakan meningkat dari Pair programming karena pada pengerjaannya terdapat dua programmer yang menyelesaikan tugas tugas pemrograman, serta review pada kode secara terus menerus.
158
3) Cross-learning: Beberapa peneliti mengidentifikasikan pertukaran pengetahuan dalam proses pair programming (Williams dan Kessler, 2000).
4) Positive peer pressure: Dua pengembang bekerja sama menghasilkan pair pressure (Williams dan Kessler, 2002), yang membuat orang lebih terkonsentrasi dan tepat waktu, dan menghindarkan mereka dari berbagai macam gangguan.
5) Improved self-satisfaction: Kepuasan diri membuat orang lebih bahagia di tempat kerja. Survei Williams dan Kessler (2000), menemukan bahwa 90% programmer lebih menikmati pair programming lebih dari pemrograman solo.
6) Peningkatan kepercayaan diri: Kepercayaan diri meningkatkan kesediaan dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks. Studi Williams dan Kessler (2000) menunjukkan bahwa pasangan programmer akan lebih percaya diri.
7) Identifikasi dari kesalahan lebih awal: Karena review kode secara terus menerus, potensi kesalahan perangkat lunak dapat diidentifikasi sebelumnya, dimana dalam pemrograman solo, kesalahan biasanya baru terdeteksi ada sampai review kode atau tes dilakukan (Williams dan Kessler, 2000).
b. Kekurangan Pair Programming
1) Produktivitas yang lebih rendah: Pasangan programmer biasanya tidak menyelesaikan tugas lebih cepat. Penelitian Nawrocki dan Wojciechowski (2001) dan Arisholm, dkk (2007) bahkan menemukan waktu pengembangan perangkat lunak programmer yang berpasangan akan lebih lama. Pengamatan menyiratkan upaya yang dialokasikan untuk proyek menggunakan pair programming adalah dua kali lebih banyak.
2) Cepat lelah: tekanan pada metode pair programming yang membutuhkan konsentrasi lebih pada permasalahan pemrograman yang akan membuat programmer sering merasa kelelahan. Sebelumnya penelitian Williams dan Kessler (2000) dan Williams dan Kessler (2000) menunjukkan bahwa programmer pada metode pair programmer lebih intens dalam mengerjakan tugas pemrograman yang menyebabkan kelelahan mental.
3) Keserasian pasangan: Pasangan programmer memiliki kepribadian atau gaya coding yang tidak kompatibel dapat membuat memperlambat kemajuan sebuah program (Begel dan Nagappan, 2008).
159 4) Mungkin tidak sesuai untuk semua karakteristik: Menurut Williams dan Kessler (2000), dikatakan bahwa "Beberapa programmer mengalami kesulitan bekerja secara berpasangan. Biasanya siswa dengan kelebihan ego atau terlalu sedikit ego". Jadi pair programming mungkin tidak terlaksana dengan baik dalam konteks ini.
5) Memperlambat kinerja jenius: Terkadang siswa yang berbakat dalam bidang pemrograman menolak untuk dipasangkan dengan siswa yang berkemampuan rendah, karena dapat menurunkan produktivitasnya. Menurut penelitianWilliams, dkk (2008) sekitar 5% siswa, yang kebanyakan berkemampuan di atas rata-rata, lebih suka untuk bekerja sendiri.
6) Membutuhkan waktu pasangan untuk saling mengenal: Ketika dua programmer yang tidak pernah bekerja bersama-sama, dibutuhkan waktu transisi untuk dapat berkolaborasi satu sama lain untuk menemukan pola yang baik. Penelitian Williams dan Kessler (2002) dan Vanhanen (2005) telah menunjukkan produktivitas yang relatif rendah selama masa transisi ini.
c. Tugas Driver dan Navigator
Istilah 'driver' dan 'navigator' menjelaskan peran masing-masing programmer.
Peran ini tidak berarti tetap, programmer dapat mengubah peran beberapa kali dalam sesi pemrograman. Driver adalah programmer yang saat ini memiliki kontrol keyboard, sementara navigator memberikan kontribusi terhadap tugas secara lisan dan dengan cara lain. Peran navigator dapat dianggap sesuatu yang masih awam bagi khalayak umum.
Beberapa menganggap bahwa navigator menyediakan desain dan kode review, dan yang lain menganggap navigator bekerja di tingkat yang lebih tinggi dari abstraksi dari driver (Hazzan & Tomayko, 2003). Dapat disimpulkan bahwa driver bekerja secara taktis sementara navigator bekerja secara strategis (Williams & Kessler 2003).
d. Pair Programming Team
Pair programming umumnya terjadi dalam konteks yang lebih besar dari tim pemrograman. Sejumlah penelitian telah menemukan lingkungan dimana pair programming berlangsung. Di sini, seorang programmer pemula dapat mempelajari keahlian tentang pemrograman dengan bekerja sebagai bagian dari pair programming, yang berguna dalam produksi perangkat lunak, di mana siswa dapat belajar melalui pengamatan.
160
e. Lingkungan Pair Programming
Pasangan pemrograman telah terbukti berlangsung dalam konteks lingkungan yang kaya karya dan komunikasi (Bryant, Romero dkk, 2006), di mana alat disesuaikan dalam penggunaan pair programming untuk membantu kelancaran tugas dari driver-navigator.
Selain itu catatan juga digunakan sebagai mekanisme resmi ketika mengintegrasikan kode baru ke mesin uji (Sharp dan Robinson 2003; Bryant, Romero dkk, 2006).
f. Manfaat Kognitif
Terdapat sejumlah potensi manfaat kognitif dalam pair programming, yang dapat membantu siswa untuk memahami serta kualitas dan kecepatan yang dapat diperoleh.
Kehadiran seorang programmer kedua dapat membantu untuk meminimalkan bias yang ada dalam sebuah permasalahan pemrograman (Hutchins, 1995). Ini adalah fenomena dimana seseorang lebih mungkin untuk menyaring informasi, dengan berfokus pada hipotesis mereka saat ini, dan membuang informasi yang berpotensi berguna dan penting namun tidak sesuai dengan hipotesis. Bahkan, Williams dan Kessler (2003) menyinggung ini dengan menyatakan bahwa pair programming dapat mengurangi kemungkinan ‘tunnel vision’.
Manfaat kognitif lain adalah programmer dapat berkomunikasi. Terdapat temuan yang menunjukkan bahwa jenis verbalisasi saja dapat mengakibatkan peningkatan pemahaman. Artinya, bahwa hanya dengan berbicara secara efektif untuk diri sendiri (self-explanation), mungkin dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada pemahaman secara umum dan menciptakan model mental yang lebih tepat untuk memecahkan sebuah masalah (Chi, de Leeuw et al. 1994). Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Ainsworth dan Loizou (2003) yang menganggap verbalisasi merupakan bagian dari 'kognitif off-load', yang dapat membebaskan memori kerja.
g. Pemilihan Pasangan dalam Pair Programming
Ada banyak cara untuk memilih pasangan programmer; Williams dan Kessler, (2003) menyatakan empat kemungkinan alternative pemilihan dalam pair programming:
1) Pasangan Expert-Expert, 2) Pasangan Expert-Avarage, 3) Pasangan Expert-Novice, 4) dan Pasangan Novice-Novice. Semua kemungkinan pasangan memiliki tujuan yang berbeda dan efek yang dapat diringkas sebagai berikut:
1) Expert-Expert:
161 Ketika memasangkan dua expert, permasalahan terbesar adalah masalah ego, tetapi tugas pemrograman akan mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Bekerja dengan pasangan yang expert adalah seperti mendapatkan tambahan 40 atau lebih poin IQ" ( Williams dan Kessler, 2003). Namun, Lui dan Chan (2006) melakukan percobaan empiris dalam pair programming dan menemukan bahwa pasangan novice-novice melawan solo pemula jauh lebih produktif daripada pasangan pakar-pakar terhadap solo ahli.
2) Expert-Average
Ketika siswa yang expert dalam pemrograman dipasangkan dengan siswa yang berkemampuan rata rata, terdapat kemungkinan yang besar bahwa siswa yang berkemampuan rata rata dapat meningkatkan tingkat keterampilannya. Namun, jika yang berkemampuan rata-rata tidak tertarik untuk memperluas pengetahuan atau tidak berinteraksi dengan baik dengan siswa yang expert, mungkin konflik dengan mudah dapat tercipta.
3) Expert-Novice
Siswa yang expert harus bersedia untuk memberi pengarahan pada siswa yang berkemampuan rendah/pemula, yang mengharuskan siswa yang expert untuk lebih sabar dengan proses pengembangan perangkat lunak yang terkadang lebih lambat. Di sisi lain, siswa yang expert juga harus dapat menerima saran dan masukan dari siswa yang berkemampuan rendah/pemula dan mampu mengakui jika terjadi kesalahan.
4) Novice-Novice
Pasangan ini diharapkan dapat menghasilkan kode pemrograman di permasalahan yang relatif non kompleks, yang akan memberikan pengalaman berharga untuk kedua programmer dalam prosesnya" (Lui dan Chan, 2006).
h. Kesimpulan
Pair programming adalah salah metodologi untuk membentuk kompetensi pemrograman siswa. Hampir semua peneliti dengan suara bulat menyatakan bahwa pair programming meningkatkan kualitas perangkat lunak dan dapat meningkatkan pemahaman siswa pada kompetensi pemrograman. Namun, sejumlah penelitian melaporkan sifat intens dan melelahkan pair programming dan merekomendasikan penggunaannya secara lebih terukur, atau penggunaannya lebih fokus pada proyek tugas
162
yang kompleks atau sulit. Demikian pula, penelitian lebih lanjut diperlukan jika kita ingin memahami pair programming, khususnya penerapan untuk permasalahan yang lebih kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, A. dkk (1998). Chryslergoesto ”extremes”. Distributed Computing: 24–28, Ainsworth, S. and A. T. Loizou (2003). "The effects of self-explaining when learning with
text or diagrams." Cognitive Science 27: 669-681.
Arisholm, E., dkk. (2007). Evaluating pair programming with respect to system complexity and programmer expertise. IEEE Trans. Softw. Eng., 33(2):65–86.
Baldwin, Lynne P. (2000). Visualisation Techniques for Learning and Teaching Programming. Journal of Computing and InformationTechnology - CIT 285–291 Begeland, A., Nagappan, N. (2008). Pair programming: what’s in it for me?. In Proceedings of the Second ACM IEEE international symposium on Empirical software engineering and measurement,ESEM’08, 120–128, NewYork, NY, USA:
ACM.
Berry, M. & Kölling, M. 2013. The design and implementation of a notional machine for teaching introductory programming. WiPSCE ’13, November 11–13, 2013, Aarhus, Denmark
Bryant, S., P. Romero, dkk. (2006). Pair programming and the re-appropriation of individual tools for collaborative software development. 7th International Conference on the Design of Cooperative Systems, Carry-le-Rouet, France.
Canfora, G., Cimitile, A., dan Visaggio, C. A. (2003). Empirical study on the productivity of the pair programming. In Proceedings of the 6th international conference on Ex- treme Programming and Agile Processes in Software Engineering, XP’05.
92–99, Berlin, Heidelberg:Springer-Verlag.
Chi, M., N. de Leeuw, dkk. (1994). "Eliciting self-explanations improves understanding."
Cognitive Science 18: 439- 477.
Constantine, L. (1995). Constantine on Peopleware. Yourdon Press Computing Series.
Yourdon: Yourdon Press.
Coplien, L. (1995)A generative Development-Process Pattern Language. Cambridge:
Cambridge University Press.
Emmanuel, A.K., Oluwadamilare, O.G., Yomi, O.A. (2015). Improvement Strategies for Computer Science Students’ Academic Performance in Programming Skill.
American Journal of Computer Science and Information Engineering 2015; 2(5):
45-50 ISSN: 2381-1129
163 Farhad, G. (2012). Effect of Software Manager, Programmer and Customer over Software Quality. ARPN Journal of Systems and Software VOL. 2, NO. 12 ISSN 2222-9833
Flor, N.V, and Hutchins. (1991) Analyzing distributed cognition in software teams: a case study of team program- ming during perfective software maintenance. 36– 64..
Hawi, N. (2010). Causal attributions of success and failure made by undergraduate students in an introductory-level computer programming course. Computers &
Education, 54(4), 1127-1136.
Hazzan, O. and J. Tomayko (2003). The reflective practitioner perspective in eXtreme Programming. XP Agile Universe 2003, New Orleans, Louisiana: USA.
Hutchins, E. (1995). Cognition in the wild. Cambridge, MA: The MIT Press.
Korkmaz,O. (2014). A validity and reliability study of the Attitude Scale of Computer Programming Learning (ASCOPL). MEVLANA International Journal of Education (MIJE) Vol. 4(1), pp. 30-43, 1 April, 2014 http://dx.doi.org/10.13054/mije.13.73.4.1
Lui, K. Chan, K. “Pair Programming Productivity: Novice– Novice Vs. Expert–Expert,”
International Journal of Human-Computer Studies - Human-computer interaction research in the management information systems discipline archive Volume 64 Issue 9, Pages 915-925.
McDowell, C., Werner, L. Bullock, H.F., dan Fernald, J. (2003) The impacts of pair programming on student performance, performance and persistence. Proceedings of 25th International Conference on Software Engineering, pp 602-607, 3-10 Mu, Y, You, D, Dou, Y. (2015). CDIO Training Mode Of Programming Ability For
Software Engineering Students Based On ACM/ICPC Competition Standard.
Proceedings of the 11th International CDIO Conference, Chengdu University of Information Technology, Chengdu, Sichuan, P.R. China, June 8-11, 2015.
Nawrocki, J., dan Wojciechowski, A. (2001). Experimental evaluation of pair programming. In Proceedings of the 12th European Software Control and Metrics Conference.
Owolabi, J., Olanipekun, P. & Iwerima, J. (2014). Mathematics Ability and Anxiety, Computer and Programming Anxieties, Age and Gender as Determinants of Achievement in Basic Programming. GSTF Journal on Computing (JoC) Vol.3 No.4.
Sharp, H. and Robinson, H. (2003). An ethnography of XP practices. Fifteenth annual psychology of programming interest group workshop.
164
Stephen, M. (2011). Using Program Visualization to Improve ICT skills towards achieving Vision 2030. International Journal of Information and Communication Technology Research Volume 1 No. 8. December ISSN-2223-4985 ©2010-11 Teston, G. (2008). Software Piracy among Technology Education Students: Investigating
Property Rights in a Culture of Innovation. Journal of Technology Education Vol.
20 No. 1.
Vanhanen, J. & Lassenius, C. (2005). Effects of pair programming at the development team level: an experiment. ISESE, pages 336–345. IEEE
Williams, L. dan Kessler, R. (2003). Pair programming illuminated. Boston: Addison- Wesley.
Williams, L. dan Kessler, R. (2000). All i really need to know about pair programming ilearned in kindergarten. Commun. ACM, 43(5):108–114.
Williams, L., McCrickard, D.S., Layman, L., danHussein, K.(2008). Eleven guidelines for implementing pair programming in the classroom. In Proceedings of the Agile 2008, AGILE ’08, 445–452, Washington, DC: IEEE Computer Society
Yang, T.-C., Hwang, G.-J., Yang, S. J. H., & Hwang, G.-H. (2015). A Two-Tier Test-based Approach to Improving Students’ Computer-Programming Skills in a Web-Based Learning Environment. Educational Technology & Society, 18 (1), 198–210.
165 PERGESERAN PARADIGMA ABAD XXI PADA PEMBELAJARAN DI SMK
PAKET KEAHLIAN TEKNIK PEMESINAN Danang Yugo P1, A. Sonhadji2, Eddy Sutadji3
Pascasarjana, Pendidikan Kejuruan, Universitas Negeri Malang [email protected]
ABSTRAK
Perubahan pada abad XXI ditandai dengan berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat serta perkembangan otomasi dimana banyak pekerjaan yang sifatnya pekerjaan rutin dan berulang-ulang mulai digantikan oleh mesin, baik mesin produksi maupun komputer. Pada abad XXI lahir komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN yang ditandai dengan perdagangan barang, jasa, modal dan investasi yang bergerak bebas tanpa halangan secara geografis antar negara anggota ASEAN. Bonus demografi yang dimiliki Indonesia antaralain kekayaan alam dan jumlah pendudukmya. Bonus demografi jumlah penduduk adalah fenomena di mana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sehingga bonus demografi dapat menjadi anugerah bagi bangsa Indonesia, dengan syarat pemerintah harus menyiapkan generasi muda yang memiliki kualitas SDM tinggi melalui pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan investasi. Melalui pendidikan untuk penyiapan SDM berkualitas, skema pembelajaran yang diseting pemerintah harus mengikuti pergeseran abad XXI, meliputi keterampilan berpikir kritis, pengetahuan dan kemampuan literasi digital, literasi informasi, literasi media dan menguasai teknologi informasi dan komunikasi dan skema pembelajaran yang lama dengan ciri full teacher centre harus diubah. Skema pergeseran abad XXI menuntut perubahan pada pembelajaran di SMK paket keahlian teknik pemesinan untuk mengikuti perubahan tuntutan dan tantangan jaman di era global.
Kata kunci : Paradigma pembelajaran, teknik permesinan, SMK
PENDAHULUAN
Tantangan terbesar secara makro pada pendidikan menengah kejuruan saat ini adalah bagaimana menghasilkan lulusan yang mampu berkiprah dan berkompetisi dalam kondisi ketidakmenentuan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dalam konteks mikro, tantangan bagi pendidikan menengah kejuruan adalah perkembangan peserta didik di abad ini (abad XXI) memiliki daya perubahan yang cepat dan lebih sulit terprediksi. Dalam konteks tersebut, peran lembaga (sekolah) dan guru ditantang untuk dapat mengkondisikan dan memfasilitasi proses belajar peserta didik secara sesuai dengan karakteristik peserta didik saat ini (Triatna, 2010).
Perjalanan waktu yang menghantarkan kita sampai saat ini telah membawa berbagai perubahan yang terduga dan tidak terduga. Lompatan perubahan tidak saja terjadi di
166
lingkungan kota-kota besar, tetapi dengan perkembangan teknologi informasi, semua orang hampir dapat terhubungan satu sama lain dengan bantuan teknologi informasi.
Misal saja dengan menggunakan aplikasi jejaring sosial seperti facebook, banyak orang terhubung satu sama lain secara global.
Menghadapi kondisi saat ini dan kondisi perubahan ke depan, pendidikan seharusnya dapat memberikan pengaruh yang signifikan untuk menajadikan kehidupan ini lebih baik dari sebelumnya. Dalam konteks pendidikan menengah, khususnya pendidikan menengah kejuruan, lulusannya diharapkan memiliki daya ubah terhadap permasalahan yang dihadapi oleh lingkungannya baik dalam skala mikro, yaitu mampu membantu dirinya untuk hidup mandiri, messo yaitu mampu membantu kehidupan keluarganya, dan makro yaitu mampu membantu orang lain di luar diri dan keluarganya untuk dapat hidup lebih baik. Makalah ini mencoba menganalisis apa tantangan pembelajaran saat ini dan apa implikasinya bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran.
PEMBAHASAN
KONDISI-KONDISI ABAD XXI Masyarakat Abad XXI
Keadaan abad XXI disebut globalisasi yang ditandai oleh banyaknya perubahan- perubahan pada semua aspek kehidupan, bukan hanya dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi juga dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Pada era globalisasi yang disebut juga era informasi akan terjadi proses perubahan antar negara, antar bangsa, antar budaya tanpa mengenal batas.
Menurut (Sumarjan, 1993) mengartikan globalisasi sebagai proses penyebaran rasa, cipta, dan karsa suatu kebudayaan sehingga diterima dan diadopsi oleh negara lain di seluruh dunia. Pada saat ini dan dimasa mendatang pengaruh era globalisasi akan semakin terasa terutama dengan semakin banyaknya saluran informasi yang tersedia seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, telepon, faksimail, komputer, internet, satelit komunikasi, sekolah bahkan informasi langsung yang dibawa oleh pengunjung (travelers).Semua itu dimungkinkan dengan adanya perkembangan pesat di bidang teknologi terutama teknologi komunikasi, informasi, dan transformasi.
167 Beberapa ciri abad XXI atau era globalisasi (Hernawan & dkk, 2006) antara lain:
meningkatnya interaksi antar warga dunia baik secara langsung maupun tidak langsung, semakin banyaknya informasi yang tersedia dan dapat diperoleh, meluasnya cakrawala intelektual, munculnya arus keterbukaan dan demokratisasi baik dalam politik maupun ekonomi, memanjangnya jarak budaya antara generasi tua dan generasi muda, meningkatnya kepedulian akan perlunya dijaga keseimbangan dunia, meningkatnya kesadaran akan saling ketergantungan ekonomis, dan mengaburnya batas kedaulatan budaya tertentu karena tidak terbendungnya informasi. Dampak globalisasi pada kehidupan sangat banyak sehingga menuntut manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya (human survival), artinya manusia dituntut untuk dapat mengendalikan dan memanfaatkan efek-efek dari globalisasi dalam kehidupannya. Manusia adalah pencipta globalisasi, dan manusia itu pula yang harus dapat mengendalikan, menguasai, memanfaatkan, dan mengembangkan globalisasi untuk kepentingan hidupnya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 adalah tonggak utama dalam agenda integrasi ekonomi regional di ASEAN, menawarkan peluang dalam bentuk pasar yang besar senilai lebih dari US $ 2,6 triliun, dan lebih dari 622 juta orang.
Pada tahun 2014, MEA secara kolektif adalah kekuatan ekonomi terbesar ketiga di Asia dan terbesar ketujuh di dunia.
Blueprint MEA 2025 terdiri dari lima karakteristik yang saling terkait dan saling menguatkan, yaitu: (i) kerjasama ekonomi yang terpadu dan kohesif; (ii) budaya kompetitif, inovatif, dan dinamis; (iii) peningkatan konektivitas dan sektoral kerjasama;
(iv) berorientasi dan terpusat pada koneksi jaringan masyarakat di lingkup ASEAN; dan (v) menuju Global ASEAN. Karakteristik ini mendukung visi untuk MEA seperti tergambar dalam Visi ASEAN Community 2025 (ASEAN, 2015).
Keberadaan media informasi beberapa dekade terakhir membawa perubahan yang sangat besar dalam bentuk konektivitas antar manusia secara global, salah satunya terbentuknya MEA. Kehadiran MEA tidak lagi sebuah perjanjian antar-negara lagi, melainkan masyarakat biasa dapat terlibat dalam jaringan MEA untuk membangun taraf perekonomiannya secara mikro pada dirinya, maupun secara makro untuk bangsa dan negaranya yang merupakan dampak dari perdagangan bebas regional ASEAN.