• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

1. Pengkajian Keperawatan

Data fokus yang ditemukan pada pasien pertama dan pasien kedua

a. Usia

Kedua pasien berumur > 60 tahun yang dimana Ny. P berumur 91 tahun dan Tn. S berumur 65 tahun. Usia merupakan salah satu faktor risiko dari penyebab infark miokard akut. Bertambahnya usia akan menyebabkan pembuluh darah mengalami perubahan progresif dan berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.

Perubahan yang paling dini dimulai pada usia 20 tahun pada pembuluh arteri koroner. Arteri lain mulai bermodifikasi setelah usia 40 tahun, dan meningkat dengan bertambahnya umur. Hasil penelitian didapatkan hubungan antara umur dan kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya umur. Sehingga dapat menyebabkan kondisi yang buruk dari pembuluh darah yang menyebabkan aterosklerosis (Wibowo, 2019). Hasil penelitian Santosa

& Mahayana (2020) menunjukkan bahwa mayoritas sampel berusia

>45 tahun (91,3%). Temuan ini berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah yang akan menurun seiring bertambahnya usia, hal ini dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga memudahkan terjadinya proses aterosklerosis (Santosa & Mahayana, 2020). Dapat ditarik kesimpulan bahwa bertambah umur mempengaruhi bertambahnya kadar kolesterol dan menurunkan elasitas pembuluh darah sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis.

b. Jenis kelamin

Pasien 1 berjenis kelamin perempuan dan pasien 2 berjenis kelamin laki-laki. Penyebab infark miokard akut salah satunya adalah jenis kelamin, dengan angka kejadian pada laki-laki jauh lebih banyak dibanding pada perempuan, akan tetapi kejadian pada perempuan akan meningkat setelah menopause sekitar usia 50 tahun. Hal ini disebabkan karena hormon estrogen memiliki efek proteksi terhadap terjadinya aterosklerosis. Serta Wanita memiliki tipe pembuluh darah yang lebih kecil dan perbedaan diameter saluran pembuluh darah dengan pria. Hal ini juga dipengaruhi pada tinggi tekanan darah (Susilo, 2018).

Penelitian dari Santosa & Mahayana (2020) memperoleh sampel laki- laki memiliki frekuensi menderita IMA terbesar yaitu 58%. Menurut literatur, pria lebih berisiko terkena penyakit jantung koroner dibandingkan wanita dan terjadi hampir 10 tahun lebih awal. Wanita memiliki hormon pelindung estrogen dalam pembuluh darah yang berperan dalam meningkatkan HDL dan menurunkan LDL (Santosa &

Mahayana, 2020). Dari penjelasan diatas menghasilkan bahwa laki- laki lebih dominan terkena infark miokard akut daripada perempuan dikarenakan wanita memiliki hormon estrogen sebagai pelindung yang berguna untuk meningkatkan HDL dan menurunkan LDL dan juga diameter saluran pembuluh perempuan lebih kecil daripada laki-laki.

c. Riwayat Dahulu

Data diperoleh bahwa Ny. P tidak menderita penyakit keturunan sedangkan Tn. S menderita DM tipe II ditandai dengan hasil GDS 214 mg/dl. Berdasarkan penelitian dari Santosa & Mahayana (2020) menunjukkan bahwa 65,2% sampel tidak memiliki riwayat DM, dan 34,8% sampel memiliki riwayat DM. Menurut literatur, diabetes mellitus merupakan faktor risiko utama untuk IMA dengan kondisi hiperglikemia yang disertai dengan stres oksidatif dapat menyebabkan disfungsi endotel yang merupakan proses awal terjadinya aterosklerosis (Santosa & Mahayana, 2020). Dalam penelitian Suhayatra & Eka (2018) pasien IMA-EST dengan DM didapatkan hanya berjumlah 30 orang (16,6%) dari total 181 pasien.

Ketidaksesuaian hasil pengamatan dan kepustakaan yang ada, yaitu proporsi pasien penyakit IMA dengan riwayat DM harus tinggi, dikarenakan DM bukan hanya faktor risiko satu-satunya yang berpengaruh dalam kejadian penyakit jantung koroner (Putra et al., 2018) . Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit DM merupakan salah satu faktor risiko terhadap pasien Infark Miokard Akut tetapi dengan riwayat DM yang lama dan kadar gula darahnya tinggi sehingga dapat menyebabkan aterosklerosis.

d. Nyeri dada

Data yang diperoleh pada Ny. P dan Tn. S sama-sama mengalami nyeri dada dengan skala nyeri 6 akan tetapi lokasi nyerinya berbeda.

Ny. P nyeri dada menjalar sampai ke punggung sedangkan Tn. S nyeri berada di dada kiri menjalar sampai lengan bagian kiri. Berdasarkan teori (Sofiah & Roswah, 2018) menjelaskan bahwa nyeri dada tersebut disebabkan karena adanya kematian sel-sel otot jantung.

Kondisi ini menimbulkan kompensasi dari miokard untuk melakukan metabolisme anaerob agar pasokan oksigen ke seluruh tubuh tetap dapat dipenuhi oleh jantung. Metabolisme anaerob menghasilkan asam laktat yang menjadi penyebab nyeri pada dada. Menurut (Fitriani &

Afni, 2019) Keluhan yang khas adalah nyeri dada retrosternal seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk , panas atau ditindih barang berat.

Nyeri dapat menjalar ke lengan (umunya kiri), bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pectoris. Nyeri dapat disertai perasaan mual, muntah, sesak, keringat dingin, berdebar-debar atau sinkope. Dapat disimpulkan bahwa tanda gejala Ny. P dan Tn. S sesuai dengan tanda gejala infark miokard akut.

e. Sesak napas

Data yang didapat pada Ny. P dan Tn. S keduanya mengalami sesak napas dengan RR sama yaitu 26 x/menit. Menurut teori (Nurani et al., 2018) menerangkan bahwa Sesak napas terjadi karena pengerahan tenaga dan kenaikan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Aktivitas pasien seringkali juga mengalami perubahan. Pasien sering merasa kelemahan,

kelelahan, tidak dapat tidur, dan pola hidup menetap (bedrest). Karena aktivitas dapat memicu peningkatan kerja jantung, sehingga sesak napas dan nyeri dada dapat timbul kembali. Menurut (Zahrotul, 2018).

Sesak napas adalah gejala yang umum terkait dengan perasaan nyeri karena kesulitan dalam bernapas, napas pendek, dan pasien merasa tercekik pada saat bernapas, penurunan saturasi oksigen dan bertambahnya frekuensi pernapasan pasien. Hal ini sesuai dengan keadaan kedua pasien yaitu pasien sama-sama mengalami penurunan saturasi oksigen menjadi 97% dan bertambahnya frekuensi pernapasan menjadi 26 x/menit

f. Tanda-Tanda Vital

Diperoleh data tekanan darah Ny. P yaitu 163/90 mmHg dan Tn. S yaitu 154/104 mmHg. Menurut (Wijayanti, 2020) tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko terjadinya IMA. Pasien dengan tekanan darah tinggi terjadi peningkatan afterload yang secara tidak langsung akan memperberat beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertrofi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya afterload yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.

Pada Ny. P heart rate sebanyak 110 x/menit dan Tn. S sebanyak 100 x/menit. Heart rate merupakan tanda vital dari jumlah denyut jantung per menit. Menurut American Heart Association (AHA) nilai heart rate normal 60-100 bpm. Penyebab heart rate naik adalah saraf otonom

simpatis membuat vasokonstriksi arteriol dan vena serta meningkatkan frekuensi denyut jantung dan isi sekuncup melepaskan muatan dengan cara tonik, dan tekanan darah disesuaikan dengan variasi kecepatan muatan tonik ini. Aktivitas simpatis dan parasimpatis pada jantung dan pembuluh darah tidak terlepas dari pengaruh aktivitas hormon epineprin dan norepineprin (adrenalin). Peningkatan sekresi hormon ini akan menginduksi dan mengeksitasi saraf simpatis untuk melakukan vasokonstriksi sehingga terjadi peningkatan frekuensi denyut jantung yang diikuti oleh peningkatan tekanan darah (Febtrina

& Malfasari, 2018).

g. Pemeriksaan Troponin

Hasil Troponin I pada Ny. P yaitu 427 sedangkan pada Tn. S yaitu 7016. Berdasarkan penelitian (Wandari & Widyantara, 2021) menjelaskan bahwa Pemeriksaan troponin I dapat digunakan sebagai petanda biokimia untuk diagnosis infark miokard, stratifikasi kebahayaan, meramalkan kematian dan kejadian infark miokard pada kemudian hari serta memantau keberhasilan pengobatan reperfusi di infark miokard. Menurut (Gusti et al., 2018) Kadar Troponin I (TnI) arah akan meningkat dalam 2-8 jam setelah kerusakan miokardium dan mencapai kadar puncak pada 18-24 jam setelah infark miokard. Dari data pasien Ny. P menghasilkan yaitu 427 sedangkan pada Tn. S yaitu 7016 besar kemungkinan pengambilan sampel pada Tn. S lebih lama

setelah terjadi infark dikarenakan hasil Tn. S lebih dari 10 kali lipat hasil Ny. P.

h. Hasil Pemeriksaan Radiologi

Ditemukan hasil pemeriksaan pada Ny. P menyatakan cardiomeghali dan aterosklerosis sedangkan Tn. S menyatakan cardiomegaly.

Kardiomegali pada rontgen toraks merupakan tanda penting gagal jantung. Kasus ini menggambarkan presentasi klinis pada pasien dengan STEMI Anterior dan Gagal Jantung (Niniek Purwaningtyas, Heru Sulastomo, Alfa Alfin N, 2019). Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap plak di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit.

Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi. Infark anterior terjadi bila adanya oklusi pada Left Anterior Descending (LAD). LAD mensuplai darah ke dinding anterior ventrikel kiri dan 2/3 area septum intraventricular anterior. Komplikasi dari STEMI anterior adalah disfungsi ventrikel kiri yang berat yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung dan syok kardiogenik. (Andini & Trihartanto, 2019).

i. Hasil Pemeriksaan EKG

Data yang diperoleh pada hasil rekaman EKG Ny. P menyatakan bahwa inferior infraction yang menandakan terjadi infarck pada bagian

inferior. STEMI inferior merupakan salah satu jenis sindrom koroner akut. Jenis ini terjadi jika sumbatan total pembuluh darah koroner yang menyuplai bagian inferior jantung, sehingga mengganggu perfusi miokardium. Sekitar 40% kasus infark miokard akut merupakan STEMI inferior. STEMI yang hanya mengenai bagian inferior umumnya memiliki prognosis dan luaran cukup baik (Kurnia, 2021).

Sedangkan data yang diperoleh pada Tn. S hasil rekaman EKG menyatakan ST elevation, recent septal infarction. Elevasi segmen-ST pada pemeriksaan elektrokardiografi dapat disebabkan oleh kondisi- kondisi lain di luar infark miokard akut. Beberapa literatur mencantumkan bahwa sekitar 51-80 % pasien dengan keluhan nyeri dada serta ditemukan elevasi segmen-ST disebabkan oleh penyebab lain selain IMA terutama oleh LVH, LBBB dan BER. Ketidaktepatan diagnosis dapat menyebabkan terapi trombolisis dan tindakan angiografi yang tidak sesuai indikasi. Untuk menghindarinya diperlukan kemampuan untuk membedakan kondisi-kondisi tersebut.

Hal terpenting adalah memperhatikan manifestasi klinis lain dan kewaspadaan adanya penyebab lain jika klinis tidak sesuai dengan kondisi infark miokard akut. (Sukamto, 2018).

j. Program terapi

Kedua pasien diberikan aspilet 80 mg dan clopidogrel 75 mg. Salah satu obat yang wajib dikonsumsi bagi pasien dengan penyakit jantung koroner adalah obat golongan anti platelet, seperti Aspirin, Clopidogrel

dan Ticagrelor. Studi besar seperti The Antiplatelet Trialists Collaboration (ATC trial) menunjukkan bahwa penggunaan antiplatelet jangka panjang dapat menurunkan secara bermakna angka kejadian infark miokard akut (Firdaus, 2018). Adapun tujuan diberikan clopidogrel bersama aspirin pada pasien dengan IMA memberikan manfaat penurunan angka kejadian kematian, infark miokard non fatal, dan stroke sebesar 20% dibandingkan pemberian aspirin sendiri (Setiadi & Halim, 2018).

2. Diagnosis Keperawatan

Berikut diagnosis keperawatan pada pasien 1 dan 2

a. Risiko perfusi miokard tidak efektif b.d Faktor risiko spasme arteri koroner

Dari data yang diperoleh Ny. P dan Tn. S merasakan nyeri dada dengan skala 6 dapat menunjang diagnosis risiko perfusi miokard tidak efektif b.d Faktor risiko spasme arteri koroner. Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018) menjelaskan bahwa risiko perfusi miokard merupakan berisiko mengalami penurunan sirkulasi arteri koroner yang dapat mengganggu metabolisme miokard. Terminologi aritmia reperfusi pertama kali digunakan pada revaskularisasi terapi trombolitik pada infark miokardial akut. Aritmia yang sering terjadi adalah kontraksi ventrikel prematur (KVP), sustained atau nonsustained takikardi ventrikel, accelerated idioventricular tachycardia, fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel. Aritmia ini

awalnya dianggap sebagai petanda reperfusi yang sukses. tetapi beberapa penelitian menyebutkan aritmia ini diakibatkan oleh iskemia yang masih berlangsung (Affandi et al., 2021).

b. Risiko Penurunan curah jantung berhubungan dengan faktor risiko perubahan afterload

Dari hasil pengkajian Ny. P dan Tn. S mengalami penurunan curah jantung berhubungan dengan faktor risiko perubahan afterload ditandai dengan sesak napas, lemas dan pusing, nadi perifer terasa lemah, tekanan darah lebih dari 150/90 mmHg, respirasi rate 26 x/menit (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018). Penurunan curah jantung adalah suatu kondisi ketidak adekuatan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan curah jantung merupakan masalah serius pada gangguan fungsi kardiovaskuler. Hal ini karena penurunan curah jantung secara patofisiologi dapat menimbulkan dampak atau gangguan pada organ- organ vital diluar jantung sebagai akibat defisit sirkulasi. Misalnya sirkulasi otak, paru, ginjal, hati, limpha dan jantung itu sendiri.

Kematian klien dapat terjadi karena kerusakan sel otak, edema paru, gagal ginjal, dan gangguan fungsi hepar (Halimuddin, 2018).

3. Intervensi Keperawatan

Pada bagian ini akan dibahas mengenai rencana keperawatan pada Ny. P dan Tn. S adalah sebagai berikut:

a. Risiko perfusi miokard tidak efektif b.d Faktor risiko spasme arteri koroner

Tujuannya adalah Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x7 jam maka perfusi miokard meningkat dengan kriteria hasil:

Gambaran EKG normal. Nyeri dada menurun (skala 1). Takikardi menurun (skala 1). Intervensi yang akan dilakukan antara lain: Monitor keluhan nyeri dada (intensitas, lokasi, faktor pencetus dan faktor pereda). Monitor respon hemodinamik. Monitor saturasi oksigen.

Monitor kadar elektrolit. Berikan lingkungan yang tenang. Pasang akses intravena. Rekam EKG 12 sadapan. Berikan oksigen, sesuai indikasi. Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu. Kolaborasi pemberian kardioversi, jika perlu. Kolaborasi pemberian defibrilasi, jika perlu (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

Intervensi yang akan dilakukan setiap harinya yaitu memantau respon hemodinamik. Pemantauan hemodinamik pasien adalah sarana untuk menilai status sistem kardiovaskuler seorang pasien apakah berfungsi baik dengan menggunakan alat-alat monitor medis dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh rangkaian proses pengumpulan data penyakit dan kondisi klinis penderita mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan berbagai pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sesuai dengan indikasi seperti pemeriksaan laboratorium darah rutin, fungsi hati, laboratorium urin, pemeriksaan radiologi, rekam jantung, dan lain-lain (Sirait, 2019).

b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan faktor risiko perubahan afterload

Penurunan curah jantung berhubungan dengan faktor risiko perubahan afterload. Tujuannya adalah Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x7 jam diharapkan mampu mempertahankan curah jantung adekuat dengan kriteria hasil sebagai berikut Tekanan sistole dan diastole dalam rentang yang diharapkan, kekuatan nadi perifer meningkat, sesak napas berkurang, tanda-tanda vital dalam rentang normal (N : 70-90 x/menit, TD :110-130/60-80 mmHg, RR :16-20 x/menit, S :36,20C -37,20C). Intervensi yang akan dilakukan antara lain: monitor TTV, Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung. Monitor enzim jantung (mis.CK, CK-MB, Troponin T, Troponin I). Monitor intake dan output cairan. Pertahankan tirah baring minimal 12 jam. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan stres. Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan pemulihan. Anjurkan segera melaporkan nyeri dada.

Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis. Mengejan saat BAB atau batuk). Anjurkan aktivitas secara bertahap. Kolaborasi pemberian terapi medis (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

Intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada kedua pasien dalam menangani masalah penurunan curah jantung yaitu anjurkan pasien bedrest. Bed rest dengan posisi semi fowler dapat mengurangi nyeri dada dan dispnea. Pada pasien IMA banyak melakukan latihan

dapat meningkatkan kebutuhan oksigen karena meningkatnya metabolisme dan kerja jantung (Rachmawati & Nafiah, 2020).

4. Implementasi

Pada bagian ini akan dibahas mengenai tindakan keperawatan yang telah direncanakan pada Ny. P dan Tn. S adalah sebagai berikut.

a. Risiko perfusi miokard tidak efektif berhubungan dengan Faktor risiko spasme arteri koroner

Pada pasien pertama dan pasien kedua semua rencana keperawatan dapat dilakukan termasuk implementasi dalam mengontrol nyeri telah memberikan obat antiplatelet dan aspirin kepada kedua pasien.

Pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin memperbaiki kembali aliran pembuluh koroner sehingga dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut, serta mencegah kematian mendadak dengan memantau dan mengobati secara tepat. Karena itulah tatalaksana sindrom koroner akut diperlukan untuk pengobatan. American College of Cardiologi/American Heart Association merekomendasikan dalam tatalaksana terapi pada pasien STEMI diberikan terapi seperti antiplatelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridine), antikoagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH)/Low Molekular Weight Heparin (LWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker (Lucyani, 2018).

Terapi Aspilet 80 mg adalah obat untuk mengatasi thrombosis atau antitrombotik. Pada kasus IMA, obat ini dapat digunakan untuk

pencegahan terhadap terjadinya serangan jantung, pengobatan nyeri pada saat terjadinya serangan jantung. Pada kasus IMA dalam studi kasus I dan II mendapatkan terapi Aspilet 80 mg per oral, terapi ini diberikan untuk mencegah pembekuan darah. Dibuktikan setelah dilakukan tindakan keperawatan kolaborasi pemberian obat Aspilet 80 mg selama 2 jam didapatkan respon studi kasus I dan II mengatakan nyeri dan sesak napas berkurang, selain itu tidak mengalami peningkatan tekanan darah dan respiratory rate (Wayan et al., 2018).

Pada kasus IMA dalam studi pasien pertama dan kedua diberikan terapi Clopidogrel 75 mg per oral yang bertujuan untuk mengurangi atau mencegah gejala IMA seperti menghilangkan rasa nyeri dan sesak napas. Cara kerja Clopidogrel adalah dengan mencegah perlekatan keping darah dan penyumbatan yang berbahaya sehingga dapat membantu menjaga aliran darah tetap lancar di dalam tubuh.

Dibuktikan setelah dilakukan tindakan keperawatan kolaborasi pemberian obat antiplatelet (Clopidogrel) 75 mg selama 2 jam didapatkan respon studi kasus I dan II mengatakan nyeri dan sesak napas berkurang, selain itu tidak mengalami peningkatan tekanan darah dan respiratory rate (Wayan et al., 2018).

b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan faktor risiko perubahan afterload

Pada pasien pertama dan pasien kedua salah satu implementasi keperawatan yaitu menganjurkan pasien untuk bedrest. Dikarenakan

Pada fase akut post serangan dan setting perawatan di RS, pasien yang mengalami kerusakan pada ventrikel kiri harus bedrest selama 12-24 jam pertama sambil mengobservasi perkembangan komplikasi infark yang terjadi. Adapun tujuan dari bedrest yaitu menurunkan kebutuhan oksigen jantung dan untuk meningkatkan suplai Oksigen (Oliver, 2019).

Kedua pasien mendapatkan terapi oksigen sebesar 3 lpm. Terapi tersebut bertujuan meningkatkan saturasi oksigen, mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi agar tetap adekuat. Tindakan tersebut sangat efektif untuk meningkatkan dan mempertahankan saturasi oksigen agar tetap dalam rentan normal (95%-100%). Selanjutnya untuk memperjelas peningkatan saturasi oksigen dan frekuensi napas (Nasanah, 2021).

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan pada Ny. P dan Tn, S semua masalah keperawatan dapat teratasi dengan menggunakan sistem SOAP (subjektif, objektif, analisis, dan planning) dengan hasil sebagai berikut:

a. Risiko perfusi miokard tidak efektif berhubungan dengan Faktor risiko spasme arteri koroner

Evaluasi pada Ny. P didapatkan data subjektif pasien mengatakan jarang terjadi nyeri dada. Data objektif RR 20 x/menit, SpO2 99%, TD :128/80 mmHg, Nadi: 84 x/menit, CRT<2 detik, S:36,30C, Pasien tampak bugar, P :saat bergerak nyeri tidak bertambah, dan saat

istirahat nyeri akan hilang, Q :nyeri terasa seperti tertekan saja, R :nyeri berada di dada kiri saja, S :skala 2, T :nyeri kadang-kadang dengan durasi singkat. Analisis diagnosis masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi teratasi sehingga intervensi dihentikan.

Evaluasi pada Tn. S didapatkan data subjektif pasien mengatakan nyeri lumayan berkurang dan badan terasa lebih sehat, jarang terjadi nyeri dada, lebih tenang dan nyaman. Data objektif RR 20 x/menit, SpO2 99%, TD :125/80 mmHg, Nadi: 90 x/menit, CRT<2 detik, S:36,30C, pasien tampak bugar, P :saat bergerak nyeri tidak bertambah, dan saat istirahat nyeri akan hilang, Q :nyeri terasa seperti tertindih saja, R :nyeri berada di dada kiri saja, S :skala 2, T :nyeri kadang-kadang dengan durasi singkat. Analisis diagnosis masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi teratasi sehingga intervensi dihentikan.

b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan faktor risiko perubahan afterload

Evaluasi pada Ny. P didapatkan data subjektif pasien mengatakan sesak napas berkurang, berdebar berkurang, badan sudah lebih baik, nyeri berkurang. Data objektif RR 20 x/menit, SpO2 99%, TD :128/80 mmHg, Nadi: 84 x/menit, CRT<2 detik, S:36,30C, Nada perifer terasa kuat, Intake :700 cc/7 jam, Output : 340 cc/7 jam, Balance : +260 cc/7 jam. Analisis diagnosis masalah keperawatan penurunan curah jantung

berhubungan dengan faktor risiko perubahan afterload teratasi sehingga intervensi dihentikan.

Evaluasi pada Tn. S didapatkan data subjektif pasien mengatakan badan terasa lebih bugar. Data objektif RR 20 x/menit, SpO2 99%, TD :125/80 mmHg, Nadi: 90 x/menit, CRT<2 detik, S:36,30C, Nada perifer terasa kuat, Intake :660 cc/7 jam, Output : 360 cc/7 jam, Balance : +260 cc/7 jam. Analisis diagnosis masalah keperawatan penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload teratasi sehingga intervensi dihentikan.

Dokumen terkait