• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan temuan adalah ide yang berasal dari peneliti terhadap hasil penelitian yang dilakukan, dari keterkaitan antara posisi temuan dari peneliti dengan temuan orang lain sebelumnya, dan kemudian data yang ditemukan ditafsirkan serta dijelaskan dan dikaitkan dengan teori-teori.

Berdasarkan teori yang digunakan oleh peneliti sesuai temuan hasil yang ada dilapangan, yaitu :

1. Pelaksanaan Bimbingan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) Bergambar untuk meningkatkan interaksi sosial Anak Tunarungu di SDLB Negeri Jember

Hasil temuan penelitian yang ada di lapangan memiliki dua tahap yaitu :

a. Pengenalan Alfabet, Vokal, dan konsonan dengan isyarat jari

Tahap pengenalan alfabet, vokal dan konsonan guru memberikan assesmen kepada siswa atau siswi tunarungu. Sebelum mereka masuk ke SLB mereka mengalami kesulitan untuk memahami persoalan bahasa isyarat dan juga disebabkan orang tua mereka tidak mengerti akan bahasa isyarat. Langkah awal yang guru ajarkan kepada siswa tunarungu yaitu mengajarkan dasar-dasarnya seperti huruf alfabet, vokal, dan konsonan dengan isyarat berupa gambar. Guru mengulang-ulang proses pengenalan huruf tersebut setiap hari selama KBM, hal ini dilakukan semata-mata agar supaya siswa tunarungu lebih paham dan tidak asing dengan penggunaan bahasa isyarat. Dan guru membiasakan siswa tunarungu dengan menggunakan komunikasi total, artinya cara berkomunikasi dengan memanfaatkan bahasa lisan dan isyarat secara bersama-sama. Sehingga siswa tunarungu dapat mengenal huruf, menyebut, menunjuk, dan membedakan satu persatu huruf abjad.

Berdasarkan hasil temuan yang ada di lapangan, hal ini serupa dengan teori dari Mulyono Abdurrahman dalam penelitian Risti Oriza Wulandari, bahwa anak tunarungu sangat penting belajar huruf guna meningkatkan kemampuan berbahasa lisan atau oral maupun tulisan mereka. Kemudian anak tunarungu mampu membuat kata-kata yang bermakna, dan juga bisa membentuk kalimat yang dapat diucapkan dan ditulis serta dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dan

teori menurut Ayang Rutma Dewi, menyatakan bahwa komunikasi total menurut spektrum model bahasa yang lengkap yaitu dengan menggunakan gerakan atau mimik tubuh anak, bahasa isyarat, belajar berbicara, membaca ucapan, isyarat jari tangan, serta belajar membaca dan menulis. Menggunakan komunikasi total atau seluruhnya terhadap anak yang mempunyai hambatan dalam pendengaran ataupun wicara, anak tunarungupun bisa belajar dengan menggunakan segala bentuk atau struktur komunikasi agar supaya mereka memiliki peluang lebih guna mengembangkan bahasanya dari sejak dini.127

b. Pemahaman Kosa Kata

Sebelum melakukan tahap pelaksanaan pengenalan kosa kata guru terlebih dahulu mempersiapkan media berupa gambar yaitu benda-benda yang terdapat di kelas seperti: meja, papan tulis, pensil, penghapus, lantai dan lain-lain. Siswa diminta untuk menyimak, memahami dan menirukan bahasa isyarat benda yang diperlihatkan oleh guru. Upaya guru dalam meningkatkan kemampuan siswa tunarungu untuk memahami kosa kata, dan guru menunjukkan gambar yang mana terdapat di ruang kelas, kemudian guru menuliskan apa nama benda di papan tulis dan memperlihatkan benda nyata pada siswa tunarungu dengan menggunakan bahasa isyarat SIBI. Bagi siswa yang mampu menjawab soal tersebut, guru meminta siswa untuk maju ke depan dan menuliskan jawabannya. Hal-hal yang dilakukan guru dapat

127 Ayang Rutma Dewi, Pemberdayaan kemampuan bahasa dan Komunikasi Anak Tunarungu, (Mini Bakti: Jakarta, 2018), 9.

meningkatkan kemampuan anak tunarungu guna berinteraksi sosial, karena selain melatih anak mengingat benda-benda sekitar juga melatih mereka berani tampil di depan kelas tanpa rasa takut.

Hal ini sejalan dengan teori menurut Tarigan dalam penelitian yang dilakukan Risca Nuryanti, menerangkan bahwa kualitas keterampilan bahasa pada seseorang tergantung pada kuantitas kosa kata yang dimilikinya. Perihal ini dikarenakan sebab semakin banyak kosa kata yang dimiliki, maka akan semakin pandai orang itu dalam berbahasa lantaran kualitas keterampilan dan kuantitas kosa kata yang dimilikinya.128

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti di SDLB Negeri Jember, menyatakan pembelajaran guna meningkatkan interaksi sosial bagi anak tunarungu dapat dilaksanakan dengan beberapa metode yaitu: pertama menggunakan metode ceramah.

Metode ini digunakan agar anak tunarungu fokus kepada penjelasan guru sehingga mereka bisa memahami materi yang disampaikan. Hal ini tidak sejalan dengan teori menurut Risca Nuryanti, bahwa penggunaan metode ceramah menciptakan pembelajaran pasif serta cenderung didominasi oleh guru. Dampak dari pembelajaran yang

128Risca Nuryanti, Penggunaan Metode Pembelajaran Total Physical Response Dalam Meningkatkan Penguasaan Kosa kata Pada Anak Tunarungu, (Skripsi: Universitas Pendidikan Indonesia, 2016), 2.

kurang pas, walaupun memiliki kemampuan bahasa pada anak tunarungu tetapi hal ini tidak bisa tergali secara optimal.129

Kedua metode tanya jawab, metode ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan keberanian untuk bertanya serta guru dapat mengetahui seberapa pengetahuan anak tunarungu terhadap materinya. Hal ini sejalan dengan teori menurut Wiryawan dan Noorhadi dalam Badru pada penelitian Maringgar Hangesti Putri, bahwa metode tanya jawab memiliki keunggulan, yaitu kelas lebih aktif karena anak tidak hanya mendengarkan saja. Metode tanya jawab juga memberi kesempatan kepada anak untuk bertanya sehingga pendidik mengetahui sampai di mana penangkapan anak terhadap materi pelajaran.130

Ketiga menggunakan metode demonstrasi, metode ini guru mengajar menggunakan alat peraga baik gambar, bentuk asli, maupun video guna memperjelas sesuatu pengertian serta mempermudah siswa untuk memahami materi. Hal ini sejalan dengan teori menurut Syaiful Bahri Djamarah pada penelitian Tutik Nurhidayah, bahwa metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, urutan melakukan sesuatu kegiatan baik

129 Risca Nuryanti, Penggunaan Metode Pembelajaran Total Physical Response Dalam Meningkatkan Penguasaan Kosa kata Pada Anak Tunarungu, (Skripsi: Universitas Pendidikan Indonesia, 2016), 4.

130 Maringgar Hangesti Putri, Metode Tanya Jawab Bermedia Video Untuk Meningkatkan Aktivitas Berbicara Anak Autis, (Jurnal: Universitas Negeri Surabaya, 2013), 3.

secara langsung maupun media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan.131

2. Proses interaksi sosial untuk meningkatkan interaksi sosial anak tunarungu di SDLB Negeri Jember

Menurut Gillin dan Gillin dalam bukunya M. Burhan Bungin proses interaksi sosial dibagi 2 yaitu sebagai berikut:132

a. Asosiatif

Berdasarkan temuan peneliti di lapangan bahwa anak tunarungu dapat berinteraksi dengan teman-temannya. Anak tunarungu yaitu seorang yang mengalami kekurangan ataupun kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang mana diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera pendengaran, sehingga dia tidak dapat mengenakan indera pendengarannya secara maksimal dalam kehidupan sehari-harinya dan membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks. Berdasarkan temuan diatas maka diperoleh data sebagai berikut :

1) Anak tunarungu saling bekerjasama dengan temannya 2) Anak tunarungu saling membantu dengan temannya 3) Anak tunarungu mudah membaur dengan temannya 4) Ada yang bisa menerima pendapat ada yang tidak

5) Ada yang mampu menyelesaikan masalah ada yang tidak.

131 Tutik Nurhidayah Dan Nurul Khotimah, Meningkatkan Kemampuan Mengenal Huruf Melalui Metode Demonstrasi Dengan Media Kartu Huruf Pada Anak Kelompok A, (Jurnal:

Universitas Negeri Surabaya), 3.

132 “M. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta: Kencana. 2006). 58.”

Berdasarkan dengan temuan peneliti di lapangan, temuan ini sesuai dengan teori dari Gillin yang menjelaskan interaksi sosial asosiatif mengarah pada hasil yang positif, seperti kerjasama, pesesuaian (akomodasi) dan asimilasi.

Ketika anak tunarungu berkumpul dapat menimbulkan kerjasama yang dilakukan antara individu dengan individu yang lain hal ini termasuk (Kerjasama). Ketika mereka memiliki pendapat yang berbeda mereka mendiskusikan agar menemukan jalan lain, meskipun ada yang tidak bisa menerima pendapat (Asimilasi). Dan anak tunarungu mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri meskipun ada juga yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya (Akomodasi).

b. Disosiatif

Berdasarkan temuan peneliti di lapangan bahwa anak tunarungu juga melakukan perilaku persaingan, pertentangan dan kontroversi.

Deskripsi diatas diperoleh data sebagai berikut :

1) Anak tunarungu tidak menunjukkan adanya persaingan dalam hal akademik

2) Beberapa anak tunarungu berperilaku mengganggu teman lainnya 3) Beberapa anak tunarungu menanggapi teman yang mengajaknya

bertengkar.

Berdasarkan hasil temuan peneliti di lapangan hal ini sesuai dengan teori Gillin, Gillin menyebutkan interaksi sosial disosiatif

terdapat persaingan, pertentangan dan kontroversi.133 Peneliti menemukan tidak adanya persaingan anak tunarungu dalam hal akademik respon mereka biasa saja dan merasa bahwa dirinya tidak mampu menyaingi teman lainnya, namun persaingan dalam hal lain (Persaingan). Ada beberapa anak tunarungu yang senang menganggu lainnya seperti: usil, menggambil penghapusnya, mencubit dll hal ini termasuk perilaku (Kontroversi). Dan dalam hal pertentangan anak tunarungu menanggapi temannya yang mengajak bertengkar, meskipun ada juga yang mengambil tindakan melapor ke guru hal ini disebut (Pertantangan).

3. Faktor pendukung dan penghambat untuk meningkatkan interaksi sosial anak tunarungu di SDLB Negeri Jember.

a. Faktor Pendukung

Berdasarkan temuan peneliti di lapangan bahwa dalam melakukan interaksi sosial maka perlu adanya hal-hal yang mendukung untuk perkembangan interaksi sosialnya. Adapun faktor pendukungnya sebagai berikut:

1) Orang tua, pola asuh orang tua atau budaya dari keluarga anak tunarungu dalam hal mendidik, membimbing dan mendisiplinkan anaknya demi masa depan mereka. Seperti halnya orang tua memberikan rasa aman serta nyaman terhadap anaknya maka akan mendorong kepada perkembangan interaksi sosialnya dengan

133 “M. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta: Kencana. 2006). 62.”

orang lain. Sebaliknya, orang tua yang sering melarang tanpa disertai alasan yang jelas akan menghambat pekembangan interaksi sosialnya dengan orang lain.

2) Bahasa isyarat yang jelas, guru dalam memberikan bimbingan bahasa isyarat SIBI dengan menggunakan bahasa yang jelas sehingga mudah dipahami oleh anak tunarungu. Guru biasanya menggunakan gerak tubuh, mimik wajah dan bahasa oral dalam mempraktikkan bahasa isyarat SIBI.

3) Ketepatan menggunakan media pembelajaran, hal yang mendukung interaksi antara guru dan anak tunarungu yaitu adanya alat peraga sebagai penunjang apa yang guru bicarakan. Seperti halnya berbicara mengenai hewan dan tumbuhan maka guru menunjukkan gambar hewan dan tumbuhan.

4) Konteks artinya komunikasi dengan guru dan siswa dapat terjalin dengan baik. Konteks komunikasi memang tidak mudah, jika seseorang benar-benar tidak tahu bagaimana dan dengan strategi apa komunikasi yang baik agar pesan yang disampaikan memiliki dampak positif, maka konteks disini tidak bernilai efektif.

Berdasarkan keempat faktor pendukung diatas sejalan dengan teori menurut Rahmah, prinsip kejelasan (berupa pemilihan bahasa yang disampaikan), tepat (ketepatan media yang digunakan dan alat peraga), konteks (bersikap empati dengan siswa tunarungu saat berkomunikasi), dan budaya atau pola asuh (pemilihan bahasa verbal

dan non verbal yang menunjang terjadinya komunikasi yang efektif).134

b. Faktor Penghambat

Berdasarkan temuan peneliti di lapangan terdapat faktor penghambat sebagai berikut:

1) Hambatan fisik, permasalahan utama yang dialami anak tunarungu adalah keterbatasan indera pendengaran. Semakin tinggi desibelnya maka semakin sulit untuk berinteraksi begitu pula sebaliknya. Dalam mensiasati hal ini guru berusaha mengoptimalkan indera penglihatannya dengan cara berbicara dengan jarak dekat, dan jelas.

2) Hambatan bahasa atau sematik, terkadang anak tunarungu sering menggunakan bahasa ibu yang dibawa sejak lahir sedangkan di sekolah dituntut untuk menggunakan bahasa isyarat SIBI, dan untuk anak tunarungu yang belum paham akan SIBI akan sulit memahaminya. Dalam Bimbingan SIBI disini guru menggunakan mimik wajah, bahasa oral atau gerakan bibir dan bahasa isyarat dalam pembelajarannya, sehingga anak tunarungu lebih mudah memahami apa yang dimaksud.

Berdasarkan kedua faktor diatas yang telah dipaparkan, sejalan dengan teori menurut Arni dalam Penelitian Wiksana secara umum

134 Siti Rahma Harahap, Hambatan-hambatan komunikasi (STAIN Mandailing Natal:

2021), vol 1, no 1, 61.

hambatan interaksi anak tunarungu adalah hambatan fisik dan hambatan sematik atau bahasa.135

135 “Wiki Angga Wiksana, Studi Deskriptif Kualitatif tentang Hambatan Komunikasi Fotografer dan Model dalam proses Pemotretan (Bandung: 2017), vol 10, 124.”

Berdasarkan hasil penelitian peneliti yang telah terlaksana di lapangan, peneliti menarik kesimpulan:

1. Pelaksanaan Bimbingan SIBI Bergambar untuk meningkatkan interaksi sosial anak tunarungu di SDLB Negeri Jember ada dua tahapan yakni:

tahap pengenalan huruf alfabet, vokal dan konsonan dengan isyarat jari dan tahap pemahaman kosa kata. Metode atau pola guru untuk meningkatkan interaksi sosial anak tunarungu menerapkan tiga cara yaitu:

dengan metode ceramah, dengan metode tanya jawab, dan metode demonstrasi.

2. Proses interaksi sosial anak tunarungu di bagi dua yaitu asosiatif dan disosiatif. Dalam hal ini anak tunarungu di SDLB Negeri Jember memiliki perilaku asosiatif yaitu kerjasama, akomodasi, dan asimilasi. Sedangkan perilaku disosiatif yaitu persaingan, pertentangan, dan kontroversi.

3. Faktor pendukung anak tunarungu ada 4 yaitu budaya atau pola asuh, kejelasan bahasa isyarat, ketepatan media dan konteks. Sedangkan faktor penghambat anak tunarungu ada 2 yaitu hambatan fisik dan hambatan sematik.

Dokumen terkait