• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini dilakukan pengujian secara kualitatif dan kuantitatif terhadap senyawa kimia dari ekstrak herba seledri. Ekstrak yang diujikan pada penelitian ini berupa ekstrak cair dari herba seledri menggunakan 4 pelarut berbeda yang dibedakan berdasarkan tingkat kepolarannya. Pelarut yang

52

digunakan adalah heksana, aseton, metanol dan air. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan dari kandungan senyawa yang ditarik atau terlarut didalam masing-masing ekstrak sesuai dengan prinsip like disolve like yaitu pelarut yang polar akan melarutkan zat yang polar sedangkan yang non polar akan melarutkan zat yang non polar. Kemudian dilakukan penetapan kadar total dari golongan senyawa untuk melihat berapa kadar masing masing senyawa yang terdapat dalam masing-masing ekstrak.

Pada tahap pertama pembuatan simplisia, herba seledri segar dibersihkan dan dipisahkan terlebih dahulu dari kotoran kotoran atau bahan–bahan asing lainnya seperti tanah, kerikil, dan bagian daun atau batang yang sudah busuk (Prasetyo & Inoriah, 2013). Kemudian sampel dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Sampel yang sudah bersih, dirajang terlebih dahulu, setelah itu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pengeringan dengan cara kering angin bertujuan untuk menghindari suhu tinggi saat proses pengeringan, karena suhu tinggi dapat mengakibatkan perubahan kimia pada kandungan senyawa aktif (Prasetyo &

Inoriah, 2013).

Proses pengeringan yang dilakukan untuk mengeringkan herba seledri membutuhkan waktu kurang lebih 2 minggu hingga siap untuk di haluskan.

Setelah kering simplisia dihaluskan dengan menggunakan blender dan diayak untuk memperkecil ukuran partikel dari simplisia sehingga dapat membuat luas permukaan simplisia menjadi lebih besar. Semakin besar luas permukaan

53

simplisia akan memudahkan proses ekstraksi karena luas area kontak antara simplisia dan larutan penyari semakin besar (Prasetyo & Inoriah, 2013). Dari total 5 Kg sampel basah yang telah dikeringkan, diperoleh serbuk simplisia herba seledri sebanyak 320,98 gram.

Karakterisasi simplisia herba seledri bertujuan untuk memastikan bahwa simplisia herba seledri yang digunakan memenuhi standar mutu dan kualitas yang telah ditetapkan oleh Farmakope Herbal Indonesia. Pengujian organoleptik dilakukan dengan mengamati bentuk fisik dari herba seledri dengan cara pengamatan secara langsung menggunakan panca indra untuk melihat ciri-ciri khas herba seledri dengan mengamati organoleptik seperti bentuk, aroma dan rasa.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, serbuk simplisia herba seledri berwarna hijau tua dengan aroma dan rasa khas seledri.

Karakterisasi yang dilakukan selanjutnya meliputi uji susut pengeringan.

Susut pengeringan bertujuan untuk menentukan batasan maksimal terhadap besarnya senyawa yang hilang akibat pemanasan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Berdasarkan penelitian, hasil susut pengeringan yang didapat adalah 12,25%. Hasil ini memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Farmakope Herbal Indonesia yaitu tidak lebih dari 13%.

Penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam berguna untuk menentukan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu simplisia. Mineral dapat berupa garam organik, garam anorganik dan mineral yang terbentuk menjadi senyawa kompleks bersifat organik. Penentuan kadar abu ini sangat penting karena dapat menentukan cemaran logam yang terdapat dalam suatu

54

simplisia. Cemaran logam ini bisa menjadi pengotor yang menganggu hasil analisis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil kadar abu total yang didapat pada pengujian untuk herba seledri adalah 12,20%. Hasil ini dikatakan memenuhi syarat karena sesuai dengan syarat yang ditetapkan Farmakope Herbal Indonesia yaitu tidak lebih dari 19%. Pada pengujian kadar abu tidak larut asam didapatkan hasil yaitu 0,72%. Hasil ini juga memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Farmakope Herbal Indonesia, dimana batasan yang diberikan adalah tidak lebih dari 1,2%.

Pada pengujian senyawa yang larut dalam pelarut tertentu, pelarut yang digunakan adalah etanol dan air. Dari hasil yang didapat, kadar yang tersari dalam pelarut etanol sebesar 6,08%. Sedangkan hasil yang tersari dalam air sebesar 29,49%. Hasil ini sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Farmakope Herbal Indonesia untuk herba seledri yaitu kadar sari larut etanol tidak kurang dari 5,2%

dan kadar sari larut air tidak kurang dari 10,3%. Pengujian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kasar kandungan senyawa aktif yang bersifat polar (larut air) dan senyawa yang aktif bersifat semi polar-nonpolar (larut etanol) ( Saifuddin et al,. 2011).

Selanjutnya dilakukan proses ekstraksi dengan cara maserasi untuk mendapatkan ekstrak heksana, aseton dan metanol. Sedangkan untuk mendapatkan ekstrak air diekstraksi dengan cara infusa. Maserasi merupakan metode umum yang digunakan untuk mengekstraksi tumbuhan. Cara maserasi ini dipilih karena pengerjaannya mudah dan peralatannya cukup sederhana. Maserasi dilakukan selama 24 jam dimana serbuk simplisia herba seledri di rendam selama

55

6 jam dengan pengadukan secara kontinyu menggunakan orbital shaker, kemudian didiamkan selama 18 jam baru disaring. Pengerjaannya diulangi 2 kali sehingga didapatkan total maserat sebanyak 1,5 L. Maserat kemudian diuapkan dengan rotary eveporator untuk mendapatkan volume 500 mL.

Pada pembuatan ekstrak air digunakan metode infusa. Metode ini dipilih karena simplisia yang akan digunakan berasal dari herba. Infusa digunakan untuk sampel yang lunak seperti daun atau herba. Selain itu juga untuk zat zat yang mengandung minyak atsiri dan tidak tahan pemanasan. Berbeda dengan metode dekok yang juga menggunakan pelarut air tetapi waktu perebusan membutuhkan waktu 30 menit. Metode dekok lebih cocok untuk simplisia yang berasal dari bahan yang keras seperti batang, kulit batang, akar ataupun kulit buah. Metode infusa dilakukan dengan merebus simplisia dengan air pada suhu 90ᵒ selama 15 menit. Metode infusa ini digunakan untuk ekstraksi khusus dengan pelarut air.

Tetapi kekurangan dari metode ini ekstrak tidak bisa disimpan lama, jika ingin disimpan lama harus disimpan kedalam freezer. Karena itu, infusa seledri dibuat dengan jumlah yang terbatas tetapi tetap dalam konsentrasi yang sama dengan ekstrak lain.

Pengujian kualitatif dilakukan untuk menentukan kandungan metabolit primer dan metabolit sekunder yang terdapat pada keempat ekstrak herba seledri.

Metabolit primer yang diuji berupa karbohidrat, lemak dan protein. Sedangkan metabolit sekunder yang diuji meliputi flavonoid, alkaloid, saponin, fenol, tannin, glikosida, steroid dan terpenoid. Uji kualitatif dilakukan dengan reaksi warna

56

menggunakan reagen kimia yang sesuai untuk mengidentifikasi masing masing golongan senyawa yang ingin ditentukan.

Pada pengujian protein dan asam amino, metode yang digunakan adalah uji Biuret. Reaksi Biuret merupakan reaksi warna untuk senyawa peptida dan protein.

Suatu peptida yang mempunyai dua buah ikatan peptida atau lebih dapat bereaksi dengan ion Cu2+ dalam suasana basa dan membentuk suatu senyawa kompleks yang berwarna biru ungu. Warna yang diamati dari reaksi bisa bervariasi mulai dari merah muda hingga ungu tergantung pada banyaknya ikatan peptida.

Semakin banyak ikatan peptida yang terdapat dalam suatu protein maka warnanya semakin ungu (Lehninger, 1994). Pada uji protein dan asam amino ekstrak heksana, aseton, metanol dan air herba seledri (Apium graveolens L.) terlihat bahwa hanya ekstrak air yang menunjukkan adanya perubahan warna menjadi agak kemerahan. Perubahan warna terlihat dari coklat kekuningan menjadi coklat kemerahan, hanya saja perubahan warnanya cukup sulit ditentukan karena ekstrak berwarna coklat. Pada ketiga ekstrak lainnya menunjukkan hasil yang negatif untuk uji Biuret. Protein memiliki kelarutan yang lebih besar didalam air dari pada dalam pelarut organik. Karena ini protein dan asam amino banyak ditemukan di air (Hanani, 2015).

Pengujian karbohidrat ditentukan dengan uji Molish dan Fehling. Uji Molish umumnya menunjukkan hasil yang positif pada semua jenis karbohidrat. Pada uji Molish, karbohidrat akan dihidrolisa oleh asam sulfat pekat menjadi monosakarida, kemudian monosakarida akan mengalami dehidrasi oleh asam sulfat menjadi furfural (untuk pentosa) dan hidroksi metil furfural (untuk

57

heksosa). Furfural atau hidroksi metil furfural akan berkondensasi dengan adanya alfa-naftol membentuk kompleks berwarna ungu (Sudarmadji et al., 1997).

Kompleks ungu yang terbentuk akan terlihat seperti cincin berwarna ungu yang membatasi lapisan ekstrak dengan lapisan asam sulfat.

Pada uji karbohidrat menggunakan uji Molish pada ekstrak heksana, aseton, metanol dan air herba seledri (Apium graveolens L.) cincin ungu hanya ditunjukkan pada ekstrak air saja. Pada ekstrak heksana juga terlihat adanya cincin yang membatasi dua lapisan tetapi diperkirakan ini bukanlah karbohidrat tetapi kemungkinan steroid atau terpenoid. Hal ini karena karbohidrat merupakan senyawa yang bersifat polar, biasanya larut didalam air dan tidak larut pada pelarut organik (Hanani, 2015). Oleh karena itu karbohidrat menunjukkan hasil yang positif pada ekstrak air saja sementara pada ketiga ekstrak lainnya menunjukkan hasil yang negatif.

Pada uji Fehling, yang diamati adalah ada atau tidaknya endapan merah bata yang terbentuk setelah ekstrak ditambahkan reagen Fehling A dan Fehling B.

Uji Fehling bertujuan untuk mendeteksi adanya gula pereduksi dalam suatu bahan. Gula pereduksi adalah semua gula yang memiliki kemampuan untuk mereduksi dikarenakan adanya gugus aldehid dan keton. Namun gugus keton tidak dapat teroksidasi secara langsung karena harus diubah menjadi aldehid dengan perpindahan tautomerik yang memindahkan gugus karbonil kebagian akhir rantai. Umumnya semua jenis monosakarida merupakan gula pereduksi.

Pada pengujian Fehling terdapat dua reagen yang digunakan yaitu Fehling A dan fehling B. Fehling A mengandung CuSO4 dalam air sedangkan Fehling B

58

mengandung larutan kalium natrium tatrat dan NaOH dalam air. Pada reaksi ini gula pereduksi akan mereduksi ion Cu2+ menjadi ion Cu+ yang dalam suasana basa yang akan diendapkan menjadi Cu2O. Endapan Cu2O ini yang menghasilkan endapan merah bata yang menandakan adanya gula pereduksi dalam suatu sampel (Sudarmadji, et al., 1997). Pada pengujian yang telah dilakukan untuk keempat ekstrak menunjukkan hasil yang negatif untuk uji Fehling karena tidak ada satupun dari keempat ekstrak yang menunjukkan adanya endapan merah bata.

Pada uji minyak dan lemak ekstrak heksana, aseton, metanol dan air pada herba seledri (Apium graveolens L.) menggunakan uji kertas saring dan asam sulfat 25 %. Pada uji kertas saring hasil menunjukkan positif jika terdapat noda yang tembus pandang pada kertas saring. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada keempat ekstrak tidak terdapat adanya noda yang tembus pandang, berbeda dengan minyak zaitun sebagai pembanding yang terlihat adanya noda yang tembus pandang ketika kertas saring diteteskan dengan minyak zaitun.

Uji lain yang digunakan untuk mengidentifikasi lemak adalah dengan menggunakan asam sulftat 25%. Uji ini merupakan pengujian yang sangat peka untuk lipid (Harborne, 1987) Pada pengujian dengan asam sulfat 25% keempat ekstrak juga menunjukkan hasil yang negatif. Berdasakan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2016) dalam 100 g herba seledri mengandung 0,1 g lemak. Lemak dan minyak bersifat non polar yang terlarut dalam pelarut nonpolar (Harborne, 1987). Seharunya lemak dan minyak terdapat dalam ekstrak heksana, tetapi berdasarkan hasil penelitian, lemak dan minyak menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini bisa disebakan karena kadar dari lemak dan minyak

59

teralu kecil dan konsentrasi ekstrak hanya 10% (50g/500 mL) dari simplisia menyebabkan lemak dan minyak tidak terdeteksi karena tidak tertarik dengan sempurna

Pengujian fenol dan tanin dilakukan dengan penambahan reagen besi(III) klorida dengan konsentrasi 1%. Tanin merupakan golongan polifenol, sehingga untuk mengidentifikasi tanin secara umum dapat dilakukan dengan mengidentifikasi gugus fenol yang terdapat pada tanin Cara mengidentifikasi adanya fenol dan tanin dapat menggunakan reagen besi (III) klorida1% dalam air atau etanol. Pengamatan yang dilihat adalah dari adanya perubahan warna menjadi hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat. Perubahan warna ini berasal dari senyawa kompleks yang terbentuk karena Fe3+ bereaksi dengan gugus hidroksi pada senyawa fenol dan tanin (Harborne,1987).

Berdasarkan pengujin fenol dan tanin yang telah dilakukan, ekstrak aseton, metanol dan air menunjukkan adanya warna kehitaman yang menandakan bahwa ketiga ekstrak positif atau mengandung fenol dan tanin sementara ekstrak heksana tidak menunjukkan adanya warna kehitaman. Hal ini dapat disebabkan karena senyawa fenol umumnya sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida sehingga menyebabkan senyawa fenol lebih bersifat polar dan mudah larut dalam pelarut yang polar (Harborne, 1987). Pada pengujian tanin ditambahkan pengujian dengan menggunakan timbal (II) asetat. Pengamatan yang dilihat adalah adanya endapan putih yang terbentuk yang menandakan bahwa ekstrak positif mengandung tanin. Berdasarkan pengujian yang telah diakukan, terlihat adanya

60

pembentukan endapan putih pada ekstrak aseton, metanol dan air yang menunjukkan bahwa ketiga ekstrak positif mengandung senyawa tanin.

Pada pengujian flavonoid, metode yang digunakan adalah metode sianidin test menggunakan pereaksi asam klorida pekat dan serbuk magnesium. Uji ini biasanya digunakan untuk mendeteksi senyawa yang mempunyai inti α- benzopiron. Asam klorida dan serbuk magnesium dapat mereduksi inti benzopiron yang terdapat dalam flavonoid. Apabila terdapat flavonoid dalam suatu sampel maka akan terbentuk garam flavilium yang berwarna jingga hingga merah (Achmad, 1986). Warna jingga hingga ungu yang dihasilkan menunjukkan bahwa adanya senyawa flavonoid golongan flavonon, flavonol, flavononol, dan dihidroflavonol (Hanani, 2015).

Dari pengujian yang telah dilakukan flavonoid menunjukkan hasil positif pada ekstrak metanol, aseton dan air dimana ekstrak menghasilkan warna jingga.

Flavonoid mempunyai tipe yang beragam yang terdapat dalam bentuk bebas maupun terikat sebagai glikosida (Harborne, 1987). Flavonoid umumnya memiliki ikatan dengan gugus gula yang menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air atau pelarut polar (Markham, 1988). Pada pengujian lain apabila serbuk magnesium diganti serbuk seng, hasil yang didapatkan menunjukkan adanya perubahan warna merah muda. Hasil positif ditunjukkan oleh ekstrak aseton, metanol dan air. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak mengandung flavonon dan flavonoid, karena hanya flavonon dan flavonoid yang menunjukkan warna merah muda lemah hingga tidak berwarna (Hanani, 2015).

61

Pengujian saponin dilakukan dengan metode uji busa. Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dengan air.

Busa yang ditimbulkan saponin disebabkan karena adanya kombinasi stuktur penyusunnya yaitu sapogenin nonpolar dan rantai samping polar yang larut air.

Gugus polar dan non polar ini bersifat aktif permukaan sehingga saat saponin dikocok dengan air dapat membentuk misel. Gugus polar menghadap keluar sedangkan nonpolar menghadap ke dalam, karena inilah yang tampak seperti busa (Robinson, 1991). Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan ekstrak aseton, metanol dan air menunjukan adanya busa. Busa tertinggi terdapat pada ekstrak air yaitu setinggi 4,7 cm. Ekstrak aseton menghasilkan busa setinggi 2 cm dan ekstrak metanol 2,3 cm. Sementara pada ekstrak heksana tidak menunjukkan adanya busa yang dihasilkan. Saponin umumnya bersifat polar dan memiliki kelarutan yang tinggi didalam air, karena itu saponin lebih banyak terlarut dalam pelarut yang polar (Hanani, 2015).

Pengujian alkaloid dilakukan dengan tiga cara yaitu uji Mayer, uji Dragendorff dan uji Wagner. Sebelum ditambahkan pereaksi kedalam ekstrak pengujian alkaloid dilakukan penambahan HCl terlebih dahulu karena alkaloid bersifat basa sehingga harus diekstrak dengan pelarut yang bersifat asam (Harborne,1966). Pada ketiga uji yang dilakukan, hasil positif ditandai dengan adanya endapan yang terbentuk. Endapan ini dapat terbentuk akibat atom nitrogen yang terdapat pada alkaloid bereaksi dengan ion logam K+ pada pereaksi sehingga membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Pada uji Mayer ion logam K+ berasal dari kalium tetraiodomerkurat (II) yang didapat dari

62

penambahan merkuri (II) klorida kedalam kalium iodida sehingga membentuk endapan merah merkuri (II) Iodida. Jika Kalium Iodida ditambahkan berlebih maka akan membentuk kalium tetraiodomerkurat (II) dan bereaksi dengan alkaloid (Svehla,1990).

Pada uji Dragendorff yang diamati adalah endapan jingga. Endapan jingga terbentuk akibat adanya kompleks kalium-alkaloid, yang berasal dari atom nitrogen pada alkaloid membentuk ikatan kovalen koordinasi dengan K+ pada Kalium tetraiodobismut dari pereaksi Dragendorff (Svehla, 1990). Pada uji Wagner yang diamati adalah adanya endapan coklat. Endapan coklat ini berasal dari kompleks kalium-alkaloid yang terbentuk dari ikatan kovalen koordinasi antara K+ dan atom nitrogen pada alkaloid sementara warna coklat berasal dari I- dari kalium iodida yang beraksi dengan iodin (I2) sehingga menghasilkan I3- yang berwarna coklat (Svehla, 1990).

Alkaloid dalam tumbuhan memiliki 2 bentuk yaitu bentuk garam alkaloid dan alkaloid bebas. Kedua bentuk alkaloid ini memiliki sifat alkaloid yang berbeda. Alkaloid bebas biasanya tidak larut didalam air (kecuali beberapa bentuk alkaloid pseudo dan protoalkaloid) tetapi mudah larut dalam pelarut organik non polar (benzena, eter dan kloroform). Sementara dalam bentuk garamnya alkaloid lebih mudah larut dalam pelarut organik yang bersifat polar (Harborne, 1987).

Berdasarkan sifat alkaloid ini lah yang menyebabkan alkaloid bisa tertarik pada keempat pelarut.

Pengujian glikosida dilakukan dengan uji Molish untuk mendeteksi adanya gula pada glikosida. Sebelum dilakukan penambahan reagen Molish dan asam

63

sulfat, ekstrak diekstraksi dulu dengan campuran pelarut etanol dan air. Pelarut ini dipilih karena sifat glikosida yang cenderung bersifat polar. Penambahan HCl bertujuan untuk memutus ikatan glikon dan aglikon yang ada pada glikosida.

Sementara penambahan timbal (II) asetat bertujuan untuk mengendapkan pigmen dan lipid yang terdapat pada ekstrak agar tidak menjadi penggangu dalam proses analisis. Endapan kemudian disaring untuk memisahkan endapan dan cairannya.

Setelah itu baru disari dengan campuran pelarut kloroform-isopropanol. Filtrat ditambahkan natrium sulfat untuk menarik air yang ada pada filtrat, baru kemudian filtrat diuapkan hingga kering dan sisa dilarutkan dengan pelarut polar untuk melarutkan glikosida (Hanani, 2015). Sisa kering baru diuji dengan reagen Molish dan asam sulfat.

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, cincin ungu ditemukan pada ekstrak aseton, metanol dan air yang menandakan bahwa pada ketiga ekstrak terdapat golongan glikosida. Sementara pada ekstrak heksana tidak ditemukan adanya cincin ungu yang menandakan bahwa tidak terdapat adanya glikosida pada ekstrak heksana. Hal ini dikarenakan glikosida tidak larut dalam pelarut non polar, adanya glikon yang berupa gula menyebabkan sifat glikosida cenderung bersifat polar sehingga lebih mudah larut dalam pelarut yang polar (Djamal, 2010) Pengujian terpenoid dan steroid dilakukan dengan pengujian cieberman- bunchard dan Salkowski. Uji Lieberman-bunchard digunakan untuk mendeteksi steroid tetapi bisa juga sekaligus untuk pengujian terpenoid, dimana untuk steroid menujukkan hasil yang positif ketika ditambahkan reagen, warna sampel berubah menjadi hijau-biru dan apabila terdapat cincin coklat menandakan adanya

64

terpenoid. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, pada ekstak heksana terlihat adanya perubahan warna hijau-biru dan cincin coklat sementara pada ketiga ekstrak lainnya tidak menujukkan hasil seperti ekstrak heksana. Untuk uji terpenoid digunakan uji Salkwoski dengan menggunakan kloroform dan asam sulfat pekat. Hasil dikatakan positif jika terdapat cincin coklat diantara lapisan yang terbentuk. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, cincin coklat hanya terbentuk pada ekstrak heksana sementara ketiga ekstrak lagi tidak menghasilkan cincin coklat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya ekstrak heksana yang positif mengandung steroid dan terpenoid, sementara ketiga ekstrak lainnya menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini bisa disebabkan karena terpenoid dan steroid bebas umumnya bersifat non polar, sehingga banyak terdapat dalam pelarut non polar (Hanani,2015).

Pengujian kuantitatif untuk menentukan kadar golongan alkaloid total ekstrak cair herba seledri (Apium graveolens L.) dilakukan dengan metode gravimetri. Ekstrak cair herba seledri (Apium graveolens L.) disari terlebih dahulu dengan menggunakan amoniak dan metanol. Tujuan penyarian ini adalah untuk membentuk alkaloid base yang terekstrak didalam metanol. Kemudian HCl 1 N ditambahkan agar alkaloid base dapat membentuk garam alkaloid dengan penambahan asam yang akan tersari dalam air. Kemudian pelarut diuapkan sehingga alkaloid bebas yang kemudian ditambahkan amoniak agar mencapai pH basa yang bertujuan untuk membentuk alkaloid base. Alkaloid base ini bersifat mudah larut dalam pelarut organik sehingga dapat disari dengan kloroform. Pada proses penyarian akan terlihat adanya pembentukan 2 lapisan yang terdiri dari

65

lapisan air dan lapisan kloroform. Lapisan kloroform dipisahkan karena alkaloid base tertarik kelapisan kloroform. Selanjutnya fase kloroform dikumpulkan dan kloroform diuapkan sehingga yang tinggal adalah alkaloid totalnya, yang kemudian dikeringkan dioven dan ditimbang hingga bobot konstan (Rivai et al., 2010). Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, kadar alkaloid terbanyak terdapat pada ekstrak heksana yaitu 0,335%. Kemudian dalam pelarut aseton, metanol dan air kadar alkaloid total sebesar 0,122 %, 0,116 %, dan 0,05% secara berturut turut.

Penetapan kadar saponin dilakukan dengan metode gravimetri. Metode gravimetri merupakan metode yang sederhana dan tidak membutuhkan pembanding dalam penetapan kadar. Pada pengujiannya ekstrak disari dulu dengan etanol, kemudian dikentalkan sampai volume 40 mL. Ekstrak tambahkan dengan dietil eter yang akan membentuk dua lapisan, lapisan yang diambil adalah lapisan airnya, sementara lapisan dietil eternya dibuang. Fungsi penambahan dietil eter ini adalah untuk memisahkan saponin dari beberapa zat pengotor lain karena saponin bersifat tidak larut dalam dietil eter. Setelah itu baru dilakukan penambahan butanol, butanol dipilih karena butanol besifart polar yang dapat melarutkan saponin yang bersifat polar. Proses terakhir butanolnya diuapkan dan sisanya dikeringkan. Berdasarkan pengujiaan yang telah dilakukan kadar saponin kadar tertinggi didapat pada ekstrak air yaitu 0,215 %, sedangkan kadar terendah terdapat pada ekstrak metanol yaitu 0,133 %, Sementara kadar saponin total pada ekstrak aseton adalah 0,174 %

Dokumen terkait