BAB IV PEMBAHASAN
B. Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani
a. Agama dan Negara dalam Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa agama dan negara harus berasas Islam adalah pendapat Taqiyuddin An-Nabhani yang menggunakan Istilah Daulah Islam adalah negara yang berbentuk khilafah. Karena khilafah merupakan jabatan dimana orang yang mendudukinya memiliki semua wewenang pemerintahan dan kekausaan, serta wewenang membuat peraturan apapun tanpa terkecuali. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dengan pemikiran- pemikiran yang dibawa oleh Islam dan hukum-hukum yang telah di syariatkannya. Serta untuk mengemban dakwah Islam keseluruh dunia, dengan cara memperkenalkan Islam kepada mereka dan mengajak mereka kepada Islam, serta jihad di jalan Allah.17
Dalam kitab Nizham Al-Hukmi Fi Al-Islam (Sistem pemerintahan Islam) di tegaksn bahwa bentuk pemerintah Islam bukanlah monarki karena tidak ada pewaris kepada putra mahkota juga bukan sistem republic dengan pilar sistem demokrasi juga bukan kekaisaran yang memberi keistimewaan dalam pemerintahan, keuangan dan ekonomi juga bukan sistem federal yang membagi wilayah dalam otonomi. Sistem pemerintahan Islam adalah khilafah.18
Dalam kitab Daulah Islam (Negara Islam), bahwa daulah islam bukan sekedar harapan yang dipengaruhi nafsu, tetapi kewajiban yang telah Allah tetapkan kepada Muslim. Allah memrintah mereka untuk menegakkan dan mengancam mereka dengan siksa-Nya jika mengabaikan pelaksanaannya. Karen aitu wajin atas kaum Muslim menegakkan Daulah Islam, sebab Islam tidak akan terwujud dengan bentuk yang berpengaruh kecuali dengan adanya negara.
16 Imam Al-Mawardi, Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Terjemahan Khalifurrahman dan Fathurrahman dari Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Jakarta: Qisthi Press, 2014) hal 10
17 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem pemerintahan Islam: doktrin sejarah dan realitas empitik; penerjemah, Moh Maghfur Wachid (Bangil: Izzah, 1996) hal 147
18Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem pemerintahan Islam edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh M. Nashiri (Jakarta: HTI Pres, 2012) hal 10
Demikian juga negeri-negeri mereka tidak akan dapat dianggap sebagai negara Islam kecuali jika daulah Islam yang menjalankan roda pemerintahan.19
Taqiyuddin An-Nabhani menggambarkan bagaimana Daulah Islamiyah melalui pendekatan sejarah dalam bukunya yang berjudul Daulah Islam. Beliau menceritakan kembali sejarah Nabi Muhammad saat pertama kali berdakwah menyebarkan Islam, sampai akhirnya berjaya hingga akhirnya kekuasaan negara Islam melemah dan kemudian lenyap.
Dalam pandangannya, Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan bahwa Nabi Muhammad sejak awal berdakwah sudah mendirikan Daulah Islamiyah, kemudian Daulah Islam tersebut ada hingga akhirnya bangsa barat meruntuhkan kejayaan Islam. Beliau juga menyebutkan bahwa orang-orang yang merusak Daulah Islam atau para penjajah yang meruntuhkan Daulah Islam adalah kafir. Dan kafir harus diperangi demi tegaknya kembali kejayaan Islam dengan berdirinya Daulah Islamiyah. Baginya, penjajah yang menerapkan sistem baru seperti UUD, adalah suatu tindakan untuk meruntuhkan Daulah Islam, karena UUD yang diterapkan oleh para kafir penjajah tidak ada hubungannya dengan Islam. Maka, segala peraturan, Undang-Undang, hukum, politik, ekonomi di suatu negara, semuanya harus sesuai dengan Islam, begitulah Daulah Islamiyah. 20
Taqiyuddin An-Nabhani juga beranggapan bahwa para penjajah kafir juga menyerang melalui pendidikan, ada dua faktor pendidikan ilmu politik yang menyebabkan Negara Islam, atau Daulah Islamiyah menjadi tidak popular atau bahkan sedikit pendukungnya. Politik pengajaran dibangun dan disusun berdasarkan dua dasar. Pertama, memisahkan urusan agama dari kehidupan.
Pemisahan ini dengan sendirinya menghasilkan pemisahan agama dari negara. Ini akan mendorong putra-putri kaum Muslim berjuang memerangi pendirian Daulah Islam, dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan asas pendidikan mereka.
Kedua, membentuk kepribadian kafi penjajah yang dijadikan sumber utama pembinaan. Inilah yang mengisi akal kaum Muslim, yaitu pemahaman yang tumbuh dari pengetahuan dan informasi-informasi yang disampaikan kepada mereka. Pembinaan ini mengharuskan murid menghormati dan mengagungkan
19 Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh Umar Faruq (Jakarta : HTI- Press, 2002) hal 12
20 Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012) h al 307-308
kafi penjajah, dan berusaha meneladaninya, meskipun yang dicontoh adalah kafi penjajah. Di samping itu, murid juga dituntut merendahkan orang Islam dan menjauhinya, merasa jijik terhadapnya, arogan dan memandangnya rendah, serta meremehkan setiap orang yang merujuk kepada Islam. Tidak mengherankan jika ajaran-ajaran ini melahirkan permusuhan terhadap pembentukan Daulah Islam.
Mencapnya sebagai perbuatan terbelakang dan mundur.21
Pada abad ke 18, dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan terdalam. Tidak ada lagi keproduktifitasan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi, ilmu, seni, dan lain sebagainya layaknya 14 abad masa kejayaannya silam. Kritisme umat Islam atas modernisasi Barat (modernisme) tumbuh dengan pesat dalam bentuk yang beragam, baik berupa gerakan intelektual maupun gerakan social politik.
Keberagaman ini menyebabkan sulitnya mencari istilah yang tepat yang mencakup semua gejala itu. Istilah yang dipakai Barat sebagi penggelinding pertama bola kebangkitan Islam antara lain adalah revivalisme (faham untuk mendapatkan kebangkitan kembali), aktivisme (ajaran politik yang menganjurkan tidakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik), milienarisme, militansi Islam ( kegiatan yang terpancar dari ketinggian semangat berjuang, kegagah beranian di kalangan umat Islam), meseanisme, resurgence (kemunculan kembali, kebangkitan kembali dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya), dan reassertion (penegakan kembali).22
Taqiyuddin An-Nabhani menuliskan tiga perkara penting mengenai Daulah Islamiyah.23
1. Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.
2. Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), dan
21 Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012) hal 307-308
22 Lothorp Stoddard, Dunia baru Islam, Terj. Muljadi Djojomartono (Jakarta:Panitia Menko Ksejehteraan 1966) hal 29
23 Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012) hal 307-308
hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undangundangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan;
ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini.
Hal tersebut dikarenakan : Sistem Pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan, sistem Pemerintahan Islam juga bukan sistem imperium (kekaisaran), sistem Pemerintahan Islam bukan sistem federasi, sistem Pemerintahan Islam bukan sistem republik, juga Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi. 24
3. Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islam. 25
b. Kepemimpinan Negara Menurut Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani
Sedangkan pendapat an-Nabhani tentang kemimpinan negara adalah Taqiyuddin an-Nabhani dalam hal ini menggunakan istilah Khalifah (pemimpin negara), Khalifah adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan pemerintahn dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara’.
Karena Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasan tersebut menajdi milik umat. Dimana dalam hal ini mewakilkan kepada seseorang untuk melaksanakan urusan tersebut sebagai wakilnya.26
Dengan demikian, Khalifah hanyalah orang yang diangkat oleh kaum muslimin. Karena itu, faktanya bahwa Khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum syara’. Oleh karena itu tidak ada seorang Khalifah pun kecuali setelah dibaiat oleh umat dan
24 Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012) hal 307-308
25 Ibid., hal 307-308
26 Taqiyuddin An-Nabhani, Nidhamul Hukmi fil Islam/Sistem Pemerintahan Islam, terjemahan Moh Wachid (Bangil: Al-Izzah, 1996) hal 65
pengangkatan jabatan khilafah untuk seorang Khalifah dengan bai’at itu telah memberikan kekuasan kepada khalifah, sehingga umat wajib mentaatinya. 27
Orang yang memimpin urusan kaum muslimin tidak boleh disebut Khalifah, kecuali setelah ia dibai’at oleh umat dengan bai’at in’iqad (bai’at pengangkatan) secara syar’i, dengan ridha dan kebebasan memilih, dimana khalifah memiliki syarat-syarat in iqadul khilafah (pengangkatan untuk menduduki kekhilafahan). Setelah pengangkatan khilafah dinyatakan sah bagi seorang Khalifah, maka ia harus segera menerapkan hukum-hukum syara’. 28
Konsep pengankatan kepala negara menurut An-Nabhani adalah seorang khalifah yang diangkat berdasarkan pilihan dari kaum muslim saja, orang-orang yang beragama non muslim tidak berhak memilih dan mengangkat khalifah.
Sebagaimana tercantum pada pasal 26 dan 28 Rancangan Undang-undang manurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizham Al-Islam ( Peraturan hidup dalam Islam) yang berbunyi:29
Pasal 26
Setiap muslim yang baligh, beakal baik laki-laki maupun perempuan berhak memilih khalifah dan membai’atnya. Orang-orang non muslim tidak memiliki hak pilih
Pasal 28
Tidak seorang pemimpin berhak menjadi khalifah kecuali diangkat oleh kaum Muslim. Dan tidak seorangpun memiliki wewenang jabatan khalifah, kecuali jika telah sempurna aqadnya berdasarkan hukum syara’, sebagaiman halnya pelaksanaan aqad-aqad lainnya dalam Islam
Pada pasal pertama terdapat redaksi yang cukup menarik, mengenai keberdaan non muslim dalam negara Islam, menurut pendapat penulis, bahwa keberadaan non muslim dalam negara Islam tetap diakomodir sebagai bagian dari
27 Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam/Sistem Pemerintahan Islam, terjemahan Moh Wachid (Bangil: Al-Izzah, 1996) hal 65
28 Ibid., hal 65
29 Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan hidup dalam edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh abu Amin dkk (Jakarta: HTI-Press, 2001) hal 60
negara (dalam dimensi kemenusiaan) namun hanya saja non muslim tidak bias menjadi pemimpin di negara Islam tersebut.
C. Perbedaan Pemikiran Al-Mawardi dan Taqiyuddin an-Nabhani tentang hubungan