• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama dan Negara di Indonesia

Dalam dokumen repository.umj.ac.id (Halaman 69-116)

BAB I PENDAHULUAN

G. Agama dan Negara di Indonesia

Sebelum Islam datang di Indonesia, terdapat berbagai agama dan kepercayaan, seperti Hindu, Budha dan beberapa aliran kepercayaan lainnya. Sistem-sistem kepercayaan ini berpengaruh terhadap formasi sosial dan ekonomi, serta struktur politik Indonesia. Agama Islam, yang dibawah ke Indonesia oleh para pedagang India dan Persia melalaui proses damai, dengan cepat diterima dan dipeluk oleh masyarakat Indonesia, karena ajarannya memperkenalkan toleransi dan persamaan antar umat manusia. Bagi pemeluk Hindu, yang agama mereka mengajarkan Kasta dalam masyarakat, agama baru ini sangat menarik, khususnya dikalangan para pedagang yang condong pada orientasi kosmopolitik. Seruan kapada Islam ini kemudian menjadi motivasi untuk mengambil alih kekuasan politik dari penguasa kafir.63

Menurut beberapa para ahli sejarah, adalah sangat mungkin Islam datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah, namun pada waktu itu hanya dianut oleh para musafir Muslim yang singgah di pelabuhan- pelabuhan penting kepulauan ini. Selanjutnya mereka menyebar ke daerah sekitar pantai, dan perlahan-lahan penganut Islam membangun Komunitas Muslim.64 untuk itu penulis membagi dalam empat ketegori tentang Agama dan Negara.

a) Agama (Islam) dan Negara Masa Kerajaan

Melihat Relasi Agama (Islam) dan Negara di era kerajaan, relasi Agama (Islam dan Negara) terdapat empat model,65 Pertama.

Tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil, seperti parelak, dan Samudera Pasai. Di daerah ini awalnya tidak

63 Taufik Abdullah dkk, Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991) hal 38

64 Masykuri Abdullah, Islam Demokrasi: respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 (Jakarta: Prenadamedia: 2015) hal 21-22

65 Taufik Abdullah, Islam dan masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987) hal 124-158

terdapat komunitas agama selaian Islam. Di dalam kerajaan ini hukum kerajaan adalah hukum Islam, mengingat memang hukum Islam memang berlaku sebelumnya di kampung-kampung kecil. Dengan demikian tidak terjadi konflik diantara keduanya. Kedua, pertarungan Hukum Islam dengan hukum adat, seperti terjadi di Sumatera Barat.

Penyebabnya, tidak adanya pusat kuasa atau kerajaan besar yang bisa memenangkan adat atau syariat. Perang pederi merupakan pertarungan puncak pertarungan Hukum islam dan hukum adat. Disini dapat dilihat bahwa ada permasalahan prolematik, dimana hukum Islam hendak dijadikan hukum Negara tetapi sebagian masyarakat menolak, mengingat mereka sduah mempunyai hukum adat tersendiri. Akhirnya disepekati keduanya sama-sama diakui. Kesepakatan ini terkenal dengan, “ adat bersendi syara‟ dan syara‟ bersendi Kitabullah”

dimana hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam.

Ketiga, Model Kerajaan Gowa, dimana ada kerajaan kuat adat istiadat dan hukum serta tata cara dan hukum pra-Islam. Kemudian Islam dating melalui pedagang, para ulama yang memasuki secara bertahap, melalui perkawinan atau aliansi-aliansi ekonomi, lalu timbul kerajaan-kerajaan yang di Islamkan secara berangsur-angsur dengan tidak mematikan unsur pra-Islam yang ada.

Keempat, model di kerajaan, ketika panembahan senopati secara sadar memberikan tempat kepada tradisi pra-Islam, yaitu Hindu-Budha yang digabung dengan system kepercayaan sebelum Hindu dating. Jadi ada agama baying disamping agama formal (Islam) . disini masyarakat tidak harus ikut-ikutan. Mereka jadi santri dipersilahkan dan berbeda dengan raja juga di persilahkan. 66

Sementara Ahmad Sewang menemukan dua pola berbeda dalam hal penerimaan Islam di beberapa tempat Nusantara, Pertama,

66 Abdurrahman Wahid, Kebebasan Beragama dan hegemoni Negara dalam buku Komaruddin Hidayat, Ahmad Gaus AF., (ed), Pasing Over, Melintassi Batas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadina Gramedia, 1998), hal 159-169

pola Bottom Up, Islam di terima terlebih dahulu oleh masyarakat bawah, lalu berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas atau penguasa kerajaaan. Kedua, Pola Top Down, dimana Islam diterima secara langsung oleh penguasa kerajaan, kemudian di sosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat lapisan bawah. 67

Sebuah riset tentang Mistik Islam menyebutkan bawa beberapa raja dan Sultan di Nusantara berusaha memayarakatkan syariat Islam.

Hukum Islam pada masa itu merupakan fase penting dalam sejarah Hukum Islam di nusantara.68 Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa akar penerapan hukum Islam di mulai sejak masuk di negeri ini pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh dan kedelapan masehi.

Syariat Islam telah menjadi jalan hidup Muslim Nusantara.

Sumatera merupakan pintu masuk dan dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang Muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah ini berhasil membentuk masyarakat Islam pertama masyarakat Islam di peureulak Aceh Timur, yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ketiga, yaitu Kerajaan Samudera Pasai, yang kemudian mengilhami berdirinya kerajaan Islam lainnya, seperti Kesultanan Malaka, Kesultanan Demak, Kesultanan dan kesultanan Cirebon, Kerajaan Gowa, Kesultanan Ternate dan Tidore. 69

Milner mengatakan bahwa Aceh adalah kerajaan Islam yang paling ketat menerapkan hukum Islam, pada tahun 1292 M Marcopolo singgah di Peureulak, dimana dijumpai sebuah kerajaan dan rakyatnya telah melaksanakan syariat Islam. Sultan Iskandar Muda pernah menerapkan hukum rajam kepada putranya Meurah Pupok yang berzina dengan isteri seorang perwira. Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam: Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin

67 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa : Abad XVI Sampai XVII (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) hal 86-87

68 Rifyah Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999) hal 71-74

69 Rifyah Ka‟bah, Penerapan Syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan (Jakarta:

Global Media, 2004) hal 119-120

dan Iskandar Muda mewajibkan pelaksanaan salat lima dan puasa secara ketat. Di Banten, hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan bagi pencuri senilai 1 gram emas telah dilakukan antara tahun 1651-1689 dibawah Sultan Ageng Tirtayasa.70

Kerjaan sejak awal berdiri berencana mendirikan Kerajaan Islam, yang di rumuskan dalam tiga pikiran, yaitu dasar Negara Islam, pemegang kekuasaan Negara Islam, terencana dan strategi mencapai Negara Islam. Dasar Negara Islam dapat disingkap dari berita Walisongo dan Babad Demak, yaitu tentang Pardondi Kiblat (perselisihan paham Walisongo tentang Arah Kiblat) masjid Demak.71

Terkait pendirian kerajaan Islam, Walisongo berpandangan bahwa dakwah Islam dan pendirian kerajaan Islam tidak boleh melalui jalan kekerasan, karena akan menimbulkan dendam para sentana dan pendukung Majapahit yang bisa berwujud menjadi sentiment keagamaan yang akan merugikan Islam. 72

Legislasi Hukum Islam dalam seluruh aspeknya (hukum acara peradilan, hukum perdata, hukum pidana) di Kerajaan Demak sangat wajar. Keinginan umat untuk menerapkan syariat Islam sudah ada jauh sebelum kerajaan Demak berdiri. Peristiwa yang dapat dijadikan bahan rujukan latar belakang legislasi Hukum islam adalah kasus pengguhan eksekusi Syekh Siti Jenar. Adanya berita yang menceritakan bahwa Walisongo tidak langsung Mengqishash Syekh Siti Jenar sebelum kerajaan Demak berdiri, dapat di jadikan pertanda bahwa Walisongo telah memiliki kesadaran poltik dan gagasan bernegara yang berorientasi kepada konsepsi Negara hukum yang tidak membenarkan main hakim sendiri.

70 Abdul Qadir Djaelani, Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia (Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawaroh, 1999) hal 17

71 Atmodarmito, Babad Demak tafsir Sosial Politik Keislaman dan Keagamaan (Jakarta:

Milenium Publisher, 2000) hal 45-62

72 Sugeng Haryadi, Sejarah berdirinya Masjid Agung Demak dan Grebek Besar (Semarang: Mega Berlin, 2003) hal 41

Sebelum menjadi kerajaan Gowa, Makassar terdiri atas Sembilan kerajaan kecil yang disebut Kasuwiyang Salapang. Diantara negeri-negeri kecil ini kerap terjadi permusuhan. Sebagai solusi, diangkatlah diantara mereka seorang pejabat (paccallaya) yang berfungsi senagai ketua dewan diantara kesembilan negeri. Disamping juga sebagai arbitrator, dalam mendamaikan perselisihan yang terjadi diantara kesembilan negeri tersebut. Meskipun telah ada Paccallaya, namun tetap saja ada kekhawatiran terjadinya pertikaian dan kondisi seperti ini berlangsung sampai dengan hadirnya Tomanurung¸ raja pertama dalam Silsilah Kerajaan Gowa, yang berhasil menyatukan Sembilan negeri menjadi kerajaan Gowa.73

Sejak Sultan Alauddin Masuk Islam dan ditopang keluarnya dekrit yang menyatakan bahwa Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam dan menjadikannya sebagai pusat Islamisasi, maka untuk merealisasikan Dekrit tersebut. Sultan Alaudin mengutus perwakilannya menemui raja-raja lainnya yang selama ini sudah menjadi sekutu dari kerajaan Gowa untuk bergabung menjadi Kerajaan Islam seperti dinyatakan J. Noorduyn :

It is true Gowa sent military expeditions to the Buginese coutries to force them to embrace Islam, after they had rejected Gowa‟s Exhoration to do so voluntarily74 ( Memang benar bahwa Gowa mengirim tentara ke daerah-daerah Bugis untuk memaksa mereka memeluk Agama Islam setelah mereka menolak ajakan Gowa untuk memeluk Islam dengan sukarela.

Dan setelah masuknya Islam raja-raja bugis maka mempunyai makna ganda, yaitu selain sebagai pernyataan simbolik atas permintaan mereka terhadap Islam, meski penerimaan terhadap Islam

73 Kasuwiyang Salapang artinya Sembilan negeri yang memerintah, yaitu Tambolo, Lakiung, Saumata, perang-perang, Data‟, Agung Je‟ne, Bisei, Kalling dan Sero. Lihat Abd. Razak Daeng Patunru, Sedjarah Gowa ( Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulseltra, 1969) hal 1

74 J.Noorduyn, “ Origins Of South Celebes Historical writing” Dalam Soejatmoko (ed), An Intruductions to Indonesiaan Historiography ( Itaca : Cornel University Press, 1975) hal 146

lebih politis, juga sebagai deklarasi politik atas pengakuan terhadap kekausaan Kerajaan Gowa.

b) Agama (Islam) dan Negara Pra-Pasca Kemerdekaan

Kedatangan VOC ke nusantara, selain mengurusi dagang juga menjadi wakil resmi Kerajaan Belanda, karena mereka membawa hukum belanda, meski dalam praktiknya sulit diterapkan, karena adanya penolakan dari pribumi, kenyataan ini diakui belanda setelah melihat berbagai pemberontakan Misalnya, perlawann terhadap Belanda dalam perang Diponegoro, yang ternyata merupakan perlawanan untuk menegakkan Hukum Islam.

Diponegoro menyebut Belanda sebagai kapir (kafir) laknat.

Tidak hanya terkait penjajahan dan aneksasi yang membuat Diponegoro geram, tapi juga persoalan keagamaan. Memerangi Belanda menjadi motivasi Diponegoro dalam perang Jawa. Pada saat yang sama, upaya menegakkan hukum Islam juga tergerak akibat kondisi Karaton yang mulai “kebarat-baratan”. Perang Diponegoro ini menegaskan bentuk perlawanan terhadap belanda yang mencoba mengusik penerapan syariat Islam yang sudah berlangsung ratusan tahun.75

Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Bonjol dalam perang paderi,76 terjadi karena keinginan beberapa orang haji yang kembali dari Makkah yang mencoba mengamalkan Islam sesuai ajaran Islam secara murni. Menurut pandangan kaum Paderi banyak adat Minangkabau yang harus di tinggalkan, seperti menyabung ayam, minum tuak, dan berjudi. Hal ini mendapat tentangan hebat dari kaum adat dan para bangsawan hingga terjadi peperangan antara kaum paderi dan kaum adat. Pimpinan kaum adat kemudian meminta bantuan Belanda dan mendapat respon positif.

75 Peter Carey, takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (Jakarta : Kompas, 2014)

76 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam dan Perang Paderi (Jakarta : Komunitas Bambng, 2008) ; Wisran Hadi, Empat Lakon Perang Paderi ( Bandung: Angkasa, 2002)

Belanda sebenarnya telah mengakui hukum Islam. Adanya Regering Reglemen, mulai 1855 Belanda mempertagas pengakuannya terhadap hukum Islam. Meski tercatat bahwa Belanda juga pernah membuat kebijakan-kebijakan terkait pembatasan penerapan hukum Islam. Pengakuan Belanda terhadap hukum Islam merupakan bagian dari kompromi untuk mengurangi perlawanan umat Islam. Sebab sejatinya belanda tetap berupaya menghentikan penerapan hukum Islam, yang salah satunya dengan melakukan infiltrasi pemikiran dan politik, yang menyebut bahwa Belanda bukan musuh Islam sebagai agama, tetapi sebagai doktrin politik.77 Pandangan ini selajutnya di formulasikan menjadi strategi pelemahan dan penghancuran Islam melalui tiga pola.78

Pertama, memberangus poltik dan institusi politik Islam. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Banten diserang dan dihancurkan. Pasca VOC dibubarkan 1799 dan diambilalih Belanda, keluar Ordonansi yang mencabut penerapan syariat Islam di Banten, dan Bahkan mengahapus Kesultanan Banten. Seluruh penerapan syariat Islam di cabut dan diganti dengan peraturan Kolonial.79

Kedua, Lewat kerjasama Sultan dengan Belanda. Penerapan Syariat Islam di kerajaan Mataram juga mengalami penurunan sejak Raja Amangkurat I menjalin Relasi dengan Belanda. Pacsa berakhirnya “kuasa” Walisongo, peran Islam sebagai agama Negara semakin berkurang. Islam hanya jadi agama “pinggiran” dan tak lagi diterima secara total oleh kerajaan.

Ketiga, Soft Power, penyebaran yang dilakukan oleh para orientalis dan membuat kantor Voor Inlandsche Zaken. Sepintas kebijakan ini menguntungkan, tapi sejatinya menghancurkan Islam.

77 Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1998)

78 Ma‟mun Murod Al-Barbasy, Politik Perda Syariat: Dialektika Islam dan Pancasila di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2018) hal 65

79 Aqib Suminto, Poltik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985) hal 146

Kantor ini sering membuat ordonansi-ordonansi yang menghambat Islam, seperti terlihat dalam kutipan ordonansi berikut:

Pasal 1

1. Barangsiapa ingin memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada orang-orang selain keluarga dekat (rumah tangga) sendiri, dipersyaratkan, sebelum melakukannya, untuk memberitahukan niatnya secara tertulis.

a. Di jawa dan Madura kepada Bupati atau Patih yang mempunyai wewenang atas wilayah di tempat tinggal orang yang akan memberikan pelajaran-pelajaran agama itu.

b. Di pulau-pulau luar (Jawa) kepada pejabat-pejabat Pribumi atau pejabat-pejabat yang di tugaskan untuk itu oleh Pemerintah di tempat tinggal orang yang akan memberikan pelajaran-pelajaran agama

Dalam surat itu harus disebutkan sifat pelajaran yang akan di berikan.

2. Kantor yang menerima surat pemberitahuan ini harus secepatnya mengeluarkan surat, sebagai identifikasi, bahwa informasi itu sudah di terima.

Ordonansi merupakan salah satu alat untuk menghentikan dan menjauhkan Agama dari pemeluknya, sehingga diharapkan akan mampu menyerap perlawanan dari umat Islam.

Kebersatuan Islam dan Negara terus di perjuangkan hal ini dapat kita liat pada saat beberapa bulan sebelum menyerah kepada Sekutu, Jepang telah berjanji memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji ini ditanda tanganidengan dibentuknya BPUPK.

Dengan janji ini, Jepang berharap mendapat simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia, Sehingga ketika Sekutu mendarat di Indonesia, akan disambut sebagai musuh. Dan sebagai pembuktian akan janjinya ,

tanggal 1 Maret 1945 Jenderal Kumakichi Harada mengumumkan dibentuknya BPUPK.80

Dibentuknya BPUPK benar-benar dimanfaatkan untuk membicarakan Nasib Indonesia dan persiapan kemerdekaan. Badan ini beranggotakan 67 orang yang diketuai KRT. Radjiman Widyodiningrat dengan Wakil Ketua Ichibangase Yosio dan R. Pandji Seoroso. Selain menjadi Ketua Muda, Soeroso juga diangkat sebagai kepala tata usaha BPUPK dibantu Masuda Toyohiko dan Abdoel Gafar Pringgodigdo.

Dari 67 anggota BPUPK, selain 7 orang dari Jepang, 15 orang berasal dari kelompok Islam Politik, 45 orang berasal dari kelompok nasionalis dan priayi Jaya. Dalam konteks pertarungan pengaruh, 7 orang Jepang tidak perlu dihitung, sementara kelompok priayi lebih berpihak kepada kelompok nasionalis dari pada kelompok Islam, hal ini semakin menegaskan pertarungan pengaruh antara dua kekuatan politik saat itu, yang tidak berimbang jumlah terkait pembahasan dasar Negara. 81

BPUPK tercatat mengadakan dua kali persidangan resmi dan tidak resmi, diantaranya persidangan 29 Mei sampai 1 Juni 1945, persidangan ini membahas bentuk Negara, ideologi atau falsafah Negara, dan berhasil menyepakati yaitu NKR. Persidangan ini juga diantaranya mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh yang merupakan representasi kelompok Nasionalis terkait dasar Negara, diantaranya Piadato Soekarno 1 Juni 1945, 82 tentang lima sila dasar Negara, yang dinamakan “Pancasila”: Kebangsaan Indonesia;

Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi;

Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

80 Ma‟mun Murod Al-Barbasy, Politik Perda Syariat: Dialektika Islam dan Pancasila di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2018) hal 65

81 Pour, Julius, Doortoot Naar Djokja Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer (Jakarta: Kompas, 2009)

82 Sebelumnya Tanggal 29 Mei 1945, Mohammad Yamin berpidato menyampaikan gagasannya mengenai rumusan lima asas dasar negara, yaitu Peri kebangsaan; Peri Kemanusiaan; Peri Ketuhanan; Peri Kerakyatan; dan Peri Kesejahteraan. Kemudian tanggal 31 Mei 1945, giliran Soepomo berpidato menyampaikan gagasan serupa yang diberi nama “Dasar Negara Indonesia Merdeka” Persatuan, Kekeluaragaan, Mufakat dan Demokrasi.

Pidato Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa sidang pertama BPUPK, sebelum menjalani reses sebulan lebih. Panitia ini bertugas menggodok berbagai masukan konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan Anggota BPUPK. Panitia Sembilan adalah Soekarno (Ketua); Moh. Hatta ( Wakil Ketua); Achmad Soebardjo ( Anggota);

Moh. Yamin (Anggota); Kh. Wahid Hasyim (Anggota); Abdul Kahar Muzakir (Anggota); H. Agus Salim (Anggota); Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota) dan AA. Maramis (Anggota).83

Setelah rapat berhari-hari dan terjadi perdebatan sengit, tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil menyepakati Piagam Jakarta, yang diantaranya berisi Tujuh Kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun piagam Jakarta ini mengalami perubahan sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Mengutip Dzulfikriddin dan Remage, Syafiq Hasyim menyebut bahwa perubahan Piagam Jakarta hanya mempertegas adanya

“perseteruan” antara kelompok Islam dan kelompok nasional.84

The Islamist group felt that with Pancasila, Indonesia cannot be called secular state, because the first statement of Pancasila is “Belief in the one God. “The Concept of the “One God” here is then attempted by Muslim groups to be associated only with the concept of tawhid (theological conception on the unity of God in Islam). In Legitimising this, the first group used an argument that the contribution of Muslims the independence of Indonesia in 1945 had to be paid propotionally and it can be done through forming Indonesia as sharia based state.

That is what the call a propotional gift for Indonesia Muslims as demanded by Mohammad Natsir from Masyumi Party. The Nationalist group accepted Pancasila because it means that Indonesia Cannot be named as “ an Islamic State” because in fact there is no a clear injuction within the Pancasila that the state has to refer to tenet of

83 Herbert Feith, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES, 1988)

84 Syafiq Hasyim, State and Religion : Considering Indonesia Islam as Model Of Democrating for The Muslim World (Berlin: Published by the Liberal Institute Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit, First Edition, 2013) hal 13-14

Islam. Although “Belief in One God” is mentioned here, but it is not meant that this sentences is solely addressed to the God of Muslim people. This Second Group (Natonalist) argued that Indonesia is not only state for Muslims but also all citizens of Indonesia regardless of their religion, gender and race. Regardless of minority or majority, all of them are strunggling for the independence of Indonesia so they also have same right to have a state according what they want.

( Kelompok Islam merasa bahwa dengan Pancasila, Indonesia tidak bisa disebut Negara sekuler, karena pernyataan pertama dari pancasila

“ Ketuhanan Yang Maha Esa”, Konsep “Satu Tuhan” kemudian dicoba oleh kelompok Muslim untuk hanya diasosiasikan dengan konsep Tauhid. untuk melegitimasi, kelompok Islam memakai argument bahwa kontribusi umat Islam untuk kemerdekaan Indonesia tahun 1945 harus diberi balasan setimpal dengan menjadikan Indonesia sebagai Negara berlandaskan syariat. Ini yang disebut hadiah setimpal bagi umat Islam Indonesia, seperti yang di inta Mohammad Natsir dari partai Masyumi. Disisi lain, kelompok nasionalis menerima Pancasila karena dianggap bisa menggugurkan Indonesia sebagai “Negara Islam”. Sebenarnya tidak ada sebuh perintah yang jelas dalam pancasila bahwa Negara harus mengacu kepada prinsip Islam.

Meskipu sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tapi tidak berarti sial tersebut semata-mata merujuk kepada Tuhan umat Muslim. Kelompok Nasionalis mengemukakan bahwa Indonesia buka hanya negaranya orang Muslim, tetapi juga Negara semua warga Indonesia terlepas apapun agama, jenis kelamin, dan ras mereka. Apakah mereka minoritas atau mayoritas, mereka semua berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, sehingga mereka juga memiliki hak yang sama untuk membentuk Negara menurut apa yang mereka inginkan).

Dalam rapat mendadak yang di inisiasi oleh Soekarno dan Hatta, empat wakil Islam yang ikut serta dalam penyusunan piagam Jakarta tidak hadir. Sebaliknya yang hadir justru yang tidak terlibat

dalam penyusunan Piagam Jakarta, yaitu Ki Bagus Hadikusumo. 85 Ki Bagus Hadikusumo saat itu Ketua PB (sekarang PP) Muhammadiyah, yang dikenal gigih dalam pertahankan Piagam Jakarta, namun Kasman mampu meyakinkan bahwa pencoretan Piagam Jakarta hanya sebagai strategi agar Indonesia tetap kompak ditengah menghadapi Jepang dan Sekutu. Ki Bagus Hadikusumo menawarkan agar sila pertama ditambahkan anak kalimat “Yang Maha Esa”, sehingga sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan diterimanya usulan Ki Bagus Hadikusumo, sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 mensahkan UUD 1945 minus Piagam Jakarta. 86

Setelah dilantiknya Soekarno, Konstituante bersidang di gedung Merdeka. Persidangan ini diantaranya membahas dasar Negara. Muncul kembali perdebatan Piagam Jakarta, seperti pada sidang BPUPK, terjadi ketegangan antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis. Ada tiga alasan kelompok Islam menuntut dasar Negara Islam. Pertama, dasar Negara Islam termasuk bagaimana menjalankan ajaran Islam dalam bernegara dan bermasyarakat merupakan hal yang dijanjikan saat kampanye. Kedua, Konstituante dilihat sebagai temapt untuk mengungkap dasar dan cita-cita masing- masing partai politik. Ketiga, Konstituante dilihat sebagai forum dakwah untuk menyampaikan tentang hakikat Islam terkait dengan kemasyarakatan, Negara dan politik.

Sebaliknya kelompok nasionalis juga menginginkan Pancasila sebagai dasar Negara. Kelompok Nasionalis mempunyai alas an dan

85 Ahmad Syafi‟i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan : Studi tentang Peraturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1984) hal 108-110

86 Rapat yang di pimpin Soekarno ini menghasilkan kompromi semu yang secara fundamental mengubah isi piagam Jakarta. Pertama, kata Mukaddimah diganti Pembukaan. Kedua, dalam pembukaan (Piagam Jakarta), anak kalimat: Berdasarkan Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “ Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 Ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, Kata “Beragama Islam” dicoret. Keempat, sejalan perubahan yang kedua, pasal 29 ayat 1 berubah menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara Berdasarkan Atas Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam Bagi Pemelu-Pemeluknya. Lihat Panitia Peringatan 75 tahun, Hidup Itu Berjuang: Kasman SIngodimedjo 70 tahun ( Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1982)

Dalam dokumen repository.umj.ac.id (Halaman 69-116)

Dokumen terkait