• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Sebelumnya Mengenai Kemampuan Laba

Bab II. LANDASAN TEORITIS

2.1.5. Penelitian Sebelumnya Mengenai Kemampuan Laba

konservatif.

2) Konservatisma juga diukur menggunakan akrual, yaitu selisih antara net income dan cash flow. Net Income yang digunakan adalah net income sebelum depresiasi dan amortisasi, sedangkan cash flow yang digunakan adalah cash flow operational. Apabila akrual bernilai negatif, maka laba digolongkan konservatif (Givoly dan Hayn 2002). Hal ini disebabkan karena laba lebih rendah dari cash flow yang diperoleh oleh perusahaan pada periode tertentu.

3) Ukuran lain yang dapat digunakan untuk mengetahui konservatisma laporan keuangan adalah nilai aktiva yang understatements dan kewajiban yang overstatements. Proksi yang digunakan untuk mengukur adalah rasio market- book value yang menceminkan nilai pasar aktiva relatif terhadap nilai buku aktiva perusahaan. Rasio yang bernilai lebih dari 1, mengindikasikan penerapan akuntansi yang konservatif karena perusahaan mencatat nilai perusahaan lebih rendah dari nilai pasarnya. Rasio ini digunakan oleh Beaver dan Ryan (2000) ketika meneliti tingkat konservatisma.

Proksi konservatisma terbaik yang dapat menjelaskan tingkat konservatisma secara komprehensif belum diketahui. Akan tetapi dalam penelitian ini, peneliti hanya akan menggunakan proksi konservatisma akrual seperti yang telah digunakan penelitian sebelumnya, yaitu Givoly dan Hayn (2002), Dahlia Sari (2004), dan Ratna Dewi (2004).

2.1.5. Penelitian Sebelumnya Mengenai Kemampuan Laba dan Arus Kas dalam

di luar negeri mengenai ruang lingkup laba seperti Ball dan Watts (1972), melalui dua pengujian statistik yang dilakukan, yaitu runs test dan serial correlation.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan laba mengikuti model acak (random walk). Oleh karena itu dengan mengetahui sifat laba sebagai data seri waktu (time series), maka perubahan laba itu bersifat acak dan ada korelasi yang serial. Hal ini menunjukkan bahwa laba memiliki potensi sebagai alat prediktor.

Ini berarti seri waktu laba periode yang terdahulu memiliki kecenderungan mengalami perubahan terhadap laba dimasa depan.

Hasil penelitian Catherine A. Finger menunjukkan untuk kemampuan laba memprediksi laba dimasa datang diperoleh periode prediksi yang lebih panjang yaitu delapan tahun. Laba itu sendiri dan dengan arus kas yang digunakan merupakan prediktor yang signifikan dari arus kas untuk sebagian besar perusahaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa laba membantu memprediksi laba dan arus kas, tetapi tidak mendukung pernyataan dalam FASB bahwa laba adalah prediktor yang lebih baik atas arus kas dibanding arus kas.

Parawiyati dan Baridwan (1998) dalam penelitiannya menemukan bukti bahwa, baik dengan memasukkan faktor deflator CPI (Consumer Price Index) dan tanpa faktor deflator tersebut, prediktor laba memberikan pengaruh yang lebih besar dalam memprediksi laba dan arus kas untuk periode satu tahun ke depan dibandingkan prediktor arus kas. Hasil studinya menunjukkan bahwa pengujian kemampuan prediksi inkremental laba terhadap arus kas menunjukkan bahwa melalui koefisien korelasi diketahui prediktor laba lebih besar korelasinya dibanding prediktor arus kas dalam memprediksi arus kas, penelitian tersebut membuktikan pernyataan dalam FASB (SFAC No. 1, paragraf 43).

Dharmawan (2004) (dalam penelitian Sembada, 2006), meneliti kemampuan earnings dan cash flows (arus kas) dalam memprediksi laba di masa yang akan datang. Dharmawan juga meneliti apakah cash flows memberikan nilai tambah informasi jika digunakan bersama-sama dengan laba. Hasilnya baik earnings maupun cash flows memiliki kemampuan secara signifikan dalam memprediksi laba dimasa yang akan datang, namun earnings memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan cash flows sebagai prediktor laba. Cash flows juga memberikan nilai tambah informasi dalam kemampuannya sebagai prediktor laba.

Cahyadi (2006) menguji kemampuan prediktor earnings dibandingkan prediktor cash flows (arus kas) dalam memprediksi laba satu tahun ke depan.

Hasilnya menunjukkan bahwa kedua prediktor tersebut adalah signifikan sebagai variabel prediktor dan prediktor earnings memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan prediktor arus kas. Cahyadi juga menguji kemampuan prediktor earnings dibandingkan prediktor arus kas dalam memprediksikan arus kas satu tahun kedepan. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua prediktor tersebut adalah signifikan sebagai variabel prediktor dan prediktor arus kas memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan prediktor earnings. Dari penelitian ini diketahui bahwa earnings tidak memberikan kemampuan prediksi inkremental terhadap arus kas.

Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian Sembada (2006).Dengan menggunakan model peramalan pada program Eviews, penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa informasi laba tidak dapat digunakan sebagai prediktor laba di masa mendatang, sedangkan arus kas dapat digunakan sebagai prediktor laba di

masa mendatang. Dengan dilakukan pengujian langsung terhadap earnings dan cash flows dalam memprediksi laba dimasa mendatang diketahui bahwa kemampuan earnings tidak berpengaruh secara signifikan sedangkan cash flows memiliki kemampuan yang berpengaruh secara signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa cash flows merupakan prediktor yang lebih baik dibandingkan dengan earnings. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa cash flows memberikan nilai tambah informasi dalam kemampuannya sebagai prediktor laba.

2.1.6. Penelitian Sebelumnya Mengenai Daya Prediksi Laba Perusahaan yang Menerapkan Prinsip Akuntansi Konservatif dan Optimis

Penelitian Agung Suaryana (2005) meneliti perbandingan daya prediksi laba antara perusahaan yang menerapkan prinsip akuntansi konservatif dan perusahaan yang menerapkan prinsip optimis. Daya prediksi laba adalah daya prediksi laba sekarang untuk memprediksi laba masa depan. Daya prediksi laba diukur dengan menghitung dispersi nilai laba prediksi dengan nilai laba sesungguhnya. Ukuran prediksi yang digunakan adalah Mean Absolut Error (MABE). MABE dihitung untuk tiap-tiap perusahaan dan konservatisma laba dideteksi dengan tiga metode yang dianjurkan oleh Watts (2003), yaitu earnings/stock return relation measure, earnings/accrual measure, dan net asset measure. Kemudian nilai MABE dipartisi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok konservatif dan kelompok nonkonservatif. Perbedaan nilai MABE pada dua kelompok diuji dengan uji t. Perbedaan nilai MABE antara dua kelompok menunjukkan pengaruh konservatisma terhadap daya prediksi laba. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa daya prediksi laba perusahaan yang

menerapkan prinsip akuntansi konservatif lebih rendah dari pada daya prediksi laba perusahaan yang menerapkan prinsip akuntansi optimis.

Dokumen terkait