• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara teoritis sistem bagi hasil ini terbagi dua bentuk yaitu mudharabah dan musyarakah atau syirkah. Mudharabah merupakan akad antara pemilik modal (harta) dan pengelola modal, dengan syarat bahwa keuntungan yang diperoleh dibagi dua.67 Sedangkan musyarakah atau syirkah menurut Syafi’i Antonio dalam bukunya yang berjudul Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu pekerjaan tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.68

Dalam usaha bagi hasil peternak di Desa Darmasari, menurut peneliti bahwa sistem bagi hasil usaha ini mengusung konsep akad mudharabah karena di dalam prakteknya sesuai dengan teori mudharabah, yaitu pemilik modal atau shahibul maal memberikan dana 100% kepada pengelola dana atau mudharib yaitu berupa sapi tersebut. Penulis tidak menyebutnya sebagai akad musyarakah karena secara teori akad ini adalah perjanjian dua orang

67Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. 9, 2014), h. 137.

68Syafi’i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 90.

atau lebih untuk mengembangkan dan menginvestasikan modal masing- masing dalam medapatkan keuntungan yang akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.69 Hal lainnya dilihat dari rukun mudharabah menurut Adiwarman A. Karim yaitu:

1. Pelaku (Pemilik Dana dan Pihak Pengelola)

Dalam akad mudharabah minimal terdapat dua pihak yang terlibat. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al amal), sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib).

2. Objek (Modal dan Kerja)

Objek mudharabah dalam hal ini berupa modal, sedangkan mudharib menyerahkan jasa dan tenaga kerja sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, dan lain-lain. Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal berbentuk barang karena tidak dapat dipastikan taksiran harga yang mengakibatkan ketidakpastian besarnya modal mudharabah.

Namun, para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati oleh pelaku pada saat perjanjian awal.

3. Persetujuan Kedua Belah Pihak (Akad)

Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan

69Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi, (Mataram: Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKIM) IAIN Matarm, 2005), h. 174.

perannya untuk mengkontribusikan dan, sementara pihak pengelola setuju untuk bekerja semaksimal mungkin.

4. Nisbah Keuntungan

Nisbah mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang melakukan akad mudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan pemilik modal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak tentang pembagian keuntungan.70

Dari hasil penelitian di lapangan, benar adanya bahwa pihak pertama (pemiki modal). Sebagai contoh yaitu bapak Hairuman menyerahkan modalnya ke Pak Ali (pemelihara) yang digunakan untuk membeli ternak sapi di pasar hewan bersama-sama. Dalam hal ini kedua belah pihak ikut andil dalam pembelian ternak sapi agar sesuai dengan keingan dari kedua pihak.

Untuk pembagian nisbah keuntungan biasanya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak yang berakad, nisbah dinyatakan dalam persentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu.

Seperti 50%:50%, 40%:60%, 99%:1%.71 Dalam bagi hasil usaha peternak sapi yang dijalankan di Desa Darmasari telah terjadi kesepakatan antara pemilik modal dengan pengelola bahwa apabila dilakukan penjualan dan memperoleh keuntungan maka keuntungan tersebut dibagi dua atau 50:50, 50% bagian pemilik modal dan 50 % bagian pengelola sapi. Apabila ternak

70Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan..., h. 205.

71Ibid, h. 206.

sapi yang digaduhkan betina maka pembagian hasilnya anak sapi yang pertama akan menjadi milik pemelihara sapi dan untuk anak yang kedua akan menjadi milik pemilik modal dan setelah beranak dua kali biasanya induk sapi tersebut dikembalikan dan dijual oleh pemilik sapi untuk ditukarkan dengan sapi yang lebih muda dan fresh untuk menghasilkan anak sapi yang bagus. Sedangkan jika sapi betina yang digaduh tidak beranak maka pembagiannya diperoleh dari penjualan sapi betina tersebut kemudian dibagi sama rata. Adapun perhitungan sistem bagi hasil di Desa Darmasari seperti :

Bapak Ali adalah seorang pengelola sapi milik Bapak Hairuman dengan kesepakatan keuntungan 50%:50%. Harga beli sapi tersebut Rp.10.000.000.- dan setelah dipelihara oleh Bapak Ali selama satu tahun lebih, sapi tersebut dijual dengan harga Rp. 15.000.000 maka perhitungan bagi hasil antara Bapak Ali dengan Bapak Haeruman Rp.15.000.000 – Rp. 10.000.000 = Rp.5.000.000.- jadi uang senilai Rp. 5.000.000.- itu dibagi dua sesuai dengan kesepakatan awal. Yaitu untuk Bapak Ali memperoleh 50% x Rp.5.000.000 = Rp.2.500.000 dan hasil untuk Bapak Hairuman adalah 50% x Rp.5.000.000 = Rp.2.500.000. Itulah hasil yang mereka dapatkan dari keuntungan sapi tersebut.

60

Berdasarkan hasil paparan data dan pembahasan, peneliti dapat menyimpulkan bahwa:

1. Kondisi pendapatan masyarakat Desa Darmasari sebelum menjalankan sistem gaduh sangat jauh dari cukup untuk menghidupi keluarganya.

Hal ini disebakan oleh lapangan pekerjaan yang hanya mengandalkan dari bertani, sementara lahan yang dimiliki sangat sempit. Demikian pula bagi mereka yang menjadi buruh tani, upah kerja yang didapatkan tidak cukup untuk kehidupan sehari-harinya. Tetapi dengan adanya pola kerja sistem gaduh, pendapatan rata-rata mereka meningkat signifikan.

2. Penerapan prinsip bagi hasil usaha peternakan sapi di Desa Darmasari Kecamatan Sikur Kabupaten Lombok Timur bisa dikatakan termasuk dalam akad mudharabah. Hal ini dilihat dari rukun mudharabah yaitu terdapat pemilik dana (shahibul mal) yang menyerahkan modal berupa sapi dan atau uang ke pihak pengelola (mudharib),sedangkan pihak pengelola mengeluarkan modal berupa tenaga untuk perawatan sapi.

Ketika tiba batas perjanjiannya, merekamelakukan bagi hasil secara adil.

B. Saran

Berdasarkan uraian di atas tetang penerapan prisip bagi hasil usaha peternakan sapi untuk meningkatkan pendapatan dengan sistem gaduh di Desa Darmasari Kecamatan Sikur Kabupaten Lombok Timur, penulis memberikan saran:

1. Untuk Peneliti

Dapat dijadikan sebagai rencana tindak lanjut untuk mengembangkan sistem gaduh dengan prinsip mudharrobah sehingga peneliti dapat lebih banyak akrab dengan masyarakat setempat sehingga peneliti bisa mengetahui lebih dalam tentang kerjasama bagi hasil yang sesuai dengan syariat Islam.

2. Untuk Pemilik Modal

Memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada pengelola dengan menambahkan jumlah hewan ternak agar pendapatan masyarakat menjadi lebih sejahtera sehingga pendapatan mereka tidak berada dibawah pendapatan regional dan dibawah garis kemiskinan.

3. Untuk Pemelihara

Memberikan perawatan yang optimal agar mendapatkan hasil yang maksimal.

4. Untuk Pemerintah

Pemerintah khususnya pemerintahan Desa Darmasari supaya lebih berperan aktif dalam melindungi masyarakat terutama keamanan dari

pencurian agar masyarakat tidak was-was dalam menjalankan aktivitasnya sebagai penggaduh khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam. Jakarta: Amzah, 2010.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Jakarta: Amzah 2010.

Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Agung K.S, Djaelani S, Rini W, Pemberdayaan Masyarakat Melalui Proyek Gaduhan Sapi Potong Di Kecamatan Oba Tengah Dan Oba Utara,Tidore Kepulauan Maluku Utara. Buletin Peternakan Vol.33: 40-48, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009.

Ascarya, Akad & Produk Syari’ah. Jakarta: Rajawali Press, 2007.

Bagon Suryanto dan Sutina, Metodologi Penelitian Social Berbagai Alternatif.

Cet. 1. Jakarta: Kencana, 2005.

Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam.

Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Dwi Swiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan 1, 2010..

Hamzah Samsuri, kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Surabaya:

Greisindo Press Surabaya, 2001.

Ismail, Perbankan Syari’ah.Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2011.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah (Fiqh Muamalah), Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, cetakan 1, 2012

Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah Di Bank Syari’ah. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Mukhamat Khairudin, “Praktik bagi hasil nggado Sapi di Desa Ngrantung Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo”. skripsi UIN Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Neneng Nurhasanah, Mudharabah dalam Teori dan Praktik. Bandung: PT Refika Aditama, 2015.

Nawawi,Ismail. Fiqh Muammalah Klasik dan Kotemporer. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012

Purnawan Yulianto, Cahyo Saparinto, Pembesaran Sapi Potog Secara Intensif.

Jakarta: Penebar Swadaya, 2010.

Riska Sumarti, “Praktik Bagi Hasil Ngadas Sapi Antara Pemilik Dan Pemelihara Di Desa Langko Kecamatan Lingkar Perspektif Ekonomi Islam”, UIN Mataram, 2017.

Satrio, Hukum Perjanjian. Bandung : ITP Citra Aditya Bakti, 1992.

Sokardono, Ekonomi Agribisnis Peternakan Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Cv Akademika Pressindo, 2009.

Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 3, Jakarta:

Salemba Empat, 2013

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta, 2005.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta, 1994.

UU no 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam https://disnakkeswan.ntbprov.go.id/.

Wahyu Adji, Ekonomi SMK Untuk Kelas XI. Bandung: Ganeca exacta, 2004.

Yasin, Suhubdy.Produksi Ternak Ruminansia (Kerbau Dan Sapi). Bandung: Reka Cipta, 2013

Yeni Rahmawati, “Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Praktik Gaduh Sapi Pada Masyarakat Desa Pucangombo Tegalombo Pacitan”, skripsi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, 2017.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN I

DAFTAR WAWANCARA 1. Apa yang anda ketahui tentang sistem gaduh?

2. Apakah alasan anda melakukan usaha sistem gaduh atau ngadas sapi?

3. Bagaimanakah perjanjian sistem bagi hasil usaha peternakan dengan sistem gaduh?

4. Bagaimanakah cara pembagian keuntungan dari sistem gaduh?

5. Bagaimana cara mengatasi resiko yang terjadi dalam sistem gaduh?

6. Apa yang akan dilakukan jika terjadi perselisihan antara pemilik modal dan pemelihara?

7. Siapakah yang bertanggung jawab apabila ternak sapi sakit, dicuri?

8. Berapa lama proses sistem gaduh sapi dilakukan?

9. Apakah dengan sistem gaduh sapi dapat membantu peningkatan pendapatan?

10.Bagaimanakah proses berakhirnya sistem gaduh sapi tersebut?

LAMPIRAN II

INFORMAN 1. Muslim (pemilik sapi)

2. Ridwan (pemilik sapi) 3. Hairuman (pemilik sapi) 4. M. Husnul Fajri (pemilik sapi) 5. Asri Hadi (pemilk sapi) 6. Kasim (pemelihara) 7. Inaq Cemun (pemelihara) 8. Husen (pemelihara) 9. Moh Sadir (pemelihara) 10.Inaq Cemen (pemelihara)

LAMPIRAN III

DAFTAR TABEL

Tabel 01: Jumlah penduduk di Desa Darmasari Kecamatan Sikur Tahun 2018, 35.

Tabel 02: jenis pekerjaan masyarakat desa Darmasari tahun 2018, 36.

Tabel 03: Sarana dan Prasarana Ibadah, 37.

Tabel 04: Data tingkat pendidikan pelaku usaha sistem gaduh di desa Darmasari, 38.

Tabel 05: Daftar jumlah pemilik, pemelihara ternak sapi dan jumlah sapi yang dipelihara, 44.

Tabel 06: data tingkat pendapatan sebelum beternak sapi, 53.

Tabel 07: data penghasilan pemelihara sapi dari hasil usaha dengan sistem gaduh, 55.

Table 08: Asumsi peningkatan pendapatan dengan sistem gaduh sapi, 56.

LAMPIRAN IV

GAMBAR

Dokumen terkait