• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG HARTA BERSAMA DAN KONSEP

A. HARTA BERSAMA

1. Pengertian Harta Bersama

a. Menurut Perspektif Hukum Islam

Kajian mengenai harta bersama atau gono gini pada dasarnya tidak dijumpai dalam hukum Islam. Hal ini disebabkan karena problematika mengenai harta bersama baru ditemukan pada zaman sekarang.1 Salah satu penyebab lain mengenai harta bersama tidak dijumpai di dalam hukum Islam ialah karena harta bersama merupakan suatu istilah yang berasal dari hukum adat („urf) pada masyarakat Indonesia yang mengenal percampuran harta dalam perkawinan.2

Menurut para pakar hukum Islam yang dirujuk dari pendapat Hazairin, Anwar Harjono dan Andoerraoef dan murid-muridnya, mereka berpendapat bahwa harta bersama tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur‟an. Sedangkan T. Jafizham yang merupakan salah satu pakar hukum Islam mengemukakan bahwa tidak mungkin harta bersama tidak diatur di dalam Islam. Sedangkan permasalahan- permasalahan yang kecilpun diatur di dalam Islam serta hukumnya.

Tidak terdapat satupun yang tidak ada ketentuannya di dalam Islam, jika tidak terdapat di dalam A-Qur‟an maka ketentuannya ada di dalam Hadits.3

Dalam Islam sebuah pernikahan bukanlah alasan adanya penggabungan harta, suami mempunyai hak atas hartanya begitu juga istri, bisa dikatakan bahwa harta merupakan kepunyaan perindividu

1 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan, Ed. 1, Cet. 3 (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 95

2 Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia, Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 1 No. 1, 2013, hlm. 6

3 Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 227-228

yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain, akan tetapi sebagai seorang suami wajib menjalankan kewajibannya yaitu memberikan nafkah kepada istrinya dan wajib memenuhi semua keperluan yang dibutuhkan oleh rumah tangga.4

Seperti yang terdapat di dalam buku Hukum Perkawinan Islam yang dikarang Ahmad Azhar Basyir memberikan penjelasan bahwa hukum Islam memberikan hak terhadap masing-masing perorangan tanpa bisa diganggu gugat oleh pihak lainnya. Seorang suami yang telah menerima warisan dan harta kekayaan lainnya akan dikuasai penuh olehnya begitu juga dengan istri.5

Hukum Islam menjadikan harta yang didapatkan oleh suami adalah milik suami dan istri hanya memiliki hak sebatas nafkah yang telah diberikan. Namun ketentuan ini tidak secara jelas diterangkan di dalam Al-Qur‟an dan Hadits bahwa harta yang telah didapatkan oleh suami merupakan haknya sepenuhnya dan istri hanyalah sebatas nafkah yang diberikan. Namun tidak diterangkan juga secara jelas bahwa harta yang telah didapatkan suami dalam ikatan perkawinan istrinya langsung memiliki hak atas harta yang didapatkan oleh suaminya.6

Al-Qur‟an dan Hadits tidak menjelaskan harta bersama antara suami dan istri, namun ulasan yang dapat diartikan sama dengan harta bersama di dalam fiqih dinamakan syirkah.7 Syirkah merupakan percampuran salah satu dari dua harta kekayaan dengan harta kekayaan lainnya, sehingga tidak dapat lagi membedakan antara kedua harta tersebut.8

4 Zakiyah Salsabila, Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian di Indonesia dan Malaysia Dalam Perspektif Gender, ( Tesis Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2021), hlm. 21

5 Ade Irwina dkk, Pembagian Harta Gono Gini Menurut Perspektif Hukum Islam, Justicia Journal, Vol. 11 No. 1, 2022, hlm. 89

6 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, hlm. 96

7 Trisadini Prasastinah Usanti dan Ghansham Anand, Hukum Keluarga dan Harta Benda Perkawinan, Surabaya: CV. Revka Prima Media, hlm. 81

8 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Edisi Pertama, hlm. 218

18

Islam memberikan pelajaran kepada suami istri bahwa semua keperluan yang dibutuhkan di dalam suatu rumah tangga haruslah adanya musyawarah diantara keduanya walaupun yang memenuhi kebutuhan keluarga hanyalah seorang suami atau keduanya. Hal tersebut bertujuan agar keharmonisan rumah tangga dapat terjaga. Di dalam hal lainnya seorang pasangan juga hendaknya terbuka antara satu dengan yang lainnya sehingga dapat diketahui kemauan masing-masing diantara suami dan istri.9

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf (f) dijelaskan bahwa harta keakayaan dalam perkawinan merupakan harta yang diperoleh baik sendiri maupun bersama-sama suami istri selama suatu ikatan perkawinan itu berlangsung tanpa mempermasalahkan harta yang diperoleh tersebut terdaftar atas nama siapa.10

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, harta bersama dijelaskan pada pasal 85, 86 dan 97. Pasal 85 menjelaskan bahwa harta bersama di dalam Perkawinan tidak menutup kemungkinan ada harta milik masing-masing suami istri.11

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta suami dan harta istri karena Perkawinan dan harta istri tetap menjadi miliknya dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 86 Kompilasi Hukum Islam.12 Selanjutnya pada pasal 97 menjelaskan bahwa janda atau duda yang cerai hidup berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.13

9 Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 114-115

10 Mamat Ruhimat, Teori Syirkah Dalam Pembagian Harta Bersama Bagi Istri Yang Berkarir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Serta Prakteknya di Pengadilan Agama, Jurnal „Adliya, Vol. 11, No. 1, Juni 2017, hlm. 89

11 Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam

12 Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam

13 Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam

Harta bersama terbentuk sejak adanya ikatan perkawinan sampai perkawinan itu berakhir. Jadi harta yang didapatkan selama perkawinan itu berlangsung sampai cerai hidup atau cerai mati, maka harta tersebut dikategorikan sebagai harta bersama.14

c. Menurut Undang-Undang Perkawinan

Kajian mengenai harta bersama baru diberlakukan pada tahun 1974 dengan adanya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.15 Harta bersama diatur dalam Pasal 35 sampai 37. Dimana seorang pria dan wanita yang telah melangkah kejenjang perkawinan akan menimbulkan akibat hukum terhadap harta yang mereka dapatkan.

Adapun macam-macam harta benda yang dijelaskan pada Pasal 35 UU Perkawinan yaitu harta bersama dan harta bawaan.16

Dalam Pasal 35 ayat 1 terdapat nilai-nilai hukum baru dan dipertegas oleh KHI, dijelaskan bahwa harta bersama suami dan istri merupakan harta yang didapatkan selama adanya ikatan perkawinan dan dalam perolehannya tidak mempermasalahkan terdaftar atas nama siapa. Harta bersama dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud.

Dikatakan benda berwujud ialah berupa benda bergerak dan tidak bergerak serta surat-surat berharga. Sedangkan tidak berwujud merupakan hak dan kewajiban suami dan istri.

Mengenai harta pribadi sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 35 ayat 2, sepanjang tidak ditentukan lain di dalam perjanjian perkawinan maka harta milik pribadi suami dan istri ialah:

1) Harta bawaan yang sudah ada sebelum adanya ikatan perkawinan 2) Harta yang didapatkan oleh masing-masing selama adanya ikatan

perkawinan sebatas harta berupa hadih, hibah dan warisan. Selain

14 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Ed. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 272.

15 Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 220

16 Trisadini Prasastinah Usanti dan Ghansham Anand, Hukum Keluarga dan Harta Benda Perkawinan, hlm. 81

20

tiga hal tersebut harta yang diperoleh semasa perkawinan menjadi harta bersama.17

Jika disimpulkan dan dilihat pada Pasal 35 sampai Pasal 37 UU Perkawinan dapat diartikan bahwa harta bersama merupakan harta kekayaan yang didapatkan ketika adanya ikatan perkawinan secara bersama-sama atau sendiri selain harta yang didapatkan sebagai hibah, warisan dan hadiah.18 Dalam undang-undang tersebut juga memberikan kebebasan terhadap suami istri untuk melakukan pembagian harta bersama menurut hukum yang hidup dilingkungan masing-masing dengan catatan hukum tersebut dirasa adil dan tercapai kesepakatan.

Menurut Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif harta benda perkawinan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:

1) Harta bersama merupakan harta yang didapatkan dalam suatu ikatan perkawinan sampai berakhirnya perkawinan tersebut, baik itu karena cerai, mati dan putusan Pengadilan Agama. Adapun macam harta bersama ialah:

a) Harta yang didapat selama adanya ikatan perkawinan

b) Harta yang didapatkan sebagai hadiah, warisan jika tidak ditentukan lain

c) Utang yang ada selama perkawinan kecuali yang merupakan harta kekayaan pribadi

2) Harta bawaan merupakan harta yang yang dibawa masing-masing suami dan istri atau harta yang didapatkan sebelum adanya ikatan perkawinan. Harta ini sepenuhnya menjadi hak milik pribadi sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Adapun macam-macam harta pribadi ialah:

a) Harta dan utang yang diperoleh sebelum adanya ikatan perkawinan

17 Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 224-225

18 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, E. 1, Cet. 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), hlm. 122-123

b) Hadiah berupa harta yang diberikan kecuali ditentukan lain c) Harta warisan yang didapatkan kecuali ditentukan lain

d) Hasil dari harta pribadi serta hutang yang ditimbulkan karena pengurusan harta pribadi

Sedangkan harta perkawinan yang dipaparkan oleh J. Satrio menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah:

1) Harta bersama

Harta bersama menurut pada Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan harta yang dihasilkan oleh suami dan istri selama adanya ikatan perkawinan

2) Harta Pribadi

Harta pribadi menurut pada Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan harta yang dihasilkan oleh suami dan istri sebelum adanya ikatan perkawinan, bisa berupa hadiah, warisan dan hibah.19

Terdapat makna dari kalimat “sepanjang tidak ditentukan lain”

pada penjelasan di atas, ini menunjukkan bahwa harta benda perkawinan memiliki sifat mengatur (relegend recht). Suatu kesepakatan dapat mengesampingkan asas harta perkawinan yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 29 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.20 Perjanjian perkawinan tidak dapat dipisahkan dari ketentuan harta bersama karena harta bersama merupakan substansi dari perjanjian perkawinan.21

d. Menurut Hukum Adat

Di dalam hukum Islam pada dasarnya tidak terdapat ketentuan mengenai penggabungan harta kekayaan antara suami dan istri ketika adanya ikatan perkawinan. Perihal harta bersama awal mulanya berasal

19 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, hlm. 104-105

20 Trisadini Prasastinah Usanti dan Ghansham Anand, Hukum Keluarga dan Harta Benda Perkawinan, hlm. 81-82

21 Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 221

22

dari adat istiadat yang telah berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya percampuran antara dua harta yaitu milik suami dan milik istri ketika adanya ikatan Perkawinan, sehingga diberikan aturan oleh hukum positif yang ada di Indonesia.

Penggabungan harta tersebut akan diberlakukan apabila pasangan suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.22

Di dalam hukum adat indonesia tidak semua harta kekayaan yang dikuasai oleh suami dan istri merupakan harta bersama. Harta bersama yang dikuasai sama-sama oleh suami dan istri hanyalah harta yang didapat setelah adanya ikatan perkawinan. Sedangkan harta warisan dan harta bawaan yang didapatkan dikuasai oleh masing- masing suami istri.23

Harta bersama secara hukum adat hampir sama di seluruh daerah. Yang menjadi perbedaan hanyalah kelanjutan dari harta bersama tersebut yang pada realitanya memang berbeda-beda di setiap daerah. Walaupun pembagian harta bersama dikatakan hampir sama di setiap daerah, namun ada juga yang dapat membedakannya yaitu konteks budaya lokal masyarakatnya. Contoh hukum adat yang cendrung tidak memakai konsep harta gono gini ialah Lombok dan Nusa Tenggara Barat. Di Lombok, seorang istri yang telah bercerai dengan suaminya tidak mendapatkan hak gono gini, akan tetapi hanya membawa anak dan barang seadanya.24

Harta kekayaan perkawinan menurut Ter Haar di dalam hukum adat dapat dikategorikan menjadi empat macam yaitu:25

22 Happy Susanto. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadinya Perceraian. (Jakarta : Visimedia, 2008) hlm. 8

23 Etty Rochaeti, Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01, 2013, hlm. 654

24 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, hlm. 92-93

25 Besse Sugiswati, Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat, Jurnal Perspektif, Volume XIX No. 3, 2014, hlm. 209

1) Harta warisan dan hibah yang diperoleh suami atau istri dari kerabatnya dan dibawa ke dalam perkawinan

2) Harta yang didapatkan suami atau istri sebelum perkawinan atau dalam perkawinan untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri 3) Harta didapatkan oleh suami dan istri dalam perkawinan

4) Harta yang didapatkan suami dan istri berupa hadiah pada masa pernikahan

Dokumen terkait