Pengertian kejahatan menurut tata bahasa adalah perbuatan atau tindakan yang jahat seperti yang lazim orang ketahui atau mendengar perbuatan yang jahat adalah pembunuhan pencurian, penipuan, penculikan, dan lainnya yang dilakukan oleh manusia ( Soedjono D, 1976:30). Sedangkan dalam KUHP tidak disebutkan secara jelas tetapi kejahatan itu diatur dalam pasal 104 sampai pasal 488 KUHP.
Adapun pendapat dari para ahli mengenai kejahatan sebagai berikut :
Menurut Bonger ( Santoso- Achjani, 2002:2) menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari Negara berupa
pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definition) mengenai kejahatan.
Menurut J.E Sahetapy ( 1995: 23 ) perkataan kejahatan menurut tata bahasa adalah perbuatan atau tindakan yang tercela oleh masyarakat. Misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, pemalsuan surat-surat, penyerobotan oleh manusia.
Menurut Arif Gosita (2004:117) kejahatan adalah suatu hasil interaksi dan karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.
Dimana kejahattan tidak hanya dirumuskan oleah Undang-Undang Hukum Pidana terapi juga tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat, tidak atau belum dirumuskan dalam Undang- Undang oleh karena situasi dan kondisi tertentu.
Menurut Topo Santoso (2003:15) secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi didalamnya bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama.
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang tidak hanya pada pelanggaran peraturan perundang-undangan yang diancam dengan suatu sanksi tetapi juga merupakan perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kehidupan masyarakat seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan sebagainya.
Kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang
berbeda-beda, akan tetapi memiliki pola yang sama. Gejala kejahatan terjadi dalam proses interaksi antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan kelompok- kelompok masyarakat mana yang memang melakukan kejahatan. Kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang ditimbulkannya atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan masyarakat pribadi atau kelompoknya, sehingga perbuatan-perbuatan tersebut merugikan kepentingan masyarakat luas, baik kerugian materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa yang kesehatan manusia, walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana.
Kejahatan menurut sosiologis dikenal dengan tiga istilah yaitu pelanggaran hukum, penyimpangan tingkah laku dan kejahatan yang memiliki perbedaan tingkat keseriusan sosial. Ketiga istilah tersebut merupakan tindakan yang tidak selaras dengan perasaan moral masyarakat secara berbeda-beda kadarnya.
Keseluruhannya merupakan bentuk-bentuk tindakan yang tidak disukai oleh masyarakat. Ahli hukum menyatakan bahwa tindakan pelanggaran hokum pidana adalah tindakan kejahatan sementara itu tingkah laku penyimpangan seperti homoseksual, lesbian, pelacuran, perjudian, dan perzinahan , misalnya tidak selalu dianggap sebagai pelanggaran hukum pidana.
Secara sosiologis terdapat unsur. Urutan tingkat pelanggaran perasaan moral masyarakat mulai dari penyimpangan tingkah laku, pelanggaran hukum pidana dan kejahatan. Tindak penyimpangan tingkah laku dalam kerangka sosiologis merupakan tindakan dalam pelanggarannya terhadap moral masyarakat adalah
paling rendah. Orang-orang yang melakukan penyimpangan norma tingkah laku seperti melakukan perjudian, pelacuran, mabuk, homoseksual, lesbian, kumpul kebo akan dikecam oleh masyarakat.
Sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku penyimpangan sosial adalah sanksi sosial yaitu dikecam atau dikucilkan. Dalam hokum pidana terdaoat pasal- pasal-pasal yang mengatur penyimpangan tingkah laku tersebut, tetapi tingkah laku tersebut bila dilakukan tidak disebut kejahatan, tetapi pelanggaran terhadap penyimpangan norma sosial tersebut lambat laun ada kecenderungan masyarakat untuk membolehkan atau paling tidak menjadi tidak peduli dan menganggap sebagai masalah pribadi masing-masing. Hal tersebut terjadi terutama masyarakat yang mempunyai sikap individualitas yang tidak mau diusik urusan pribadinya pleh orang lain.
Tindakan-tindakan pelanggaran kejahatan hokum pidana tingkat berat ringan snagat bergantung dari sosial budaya masyarakat tempat pelanggaran hokum pidana tersebut dilakukan. Contoh ekstrim yaitu tindakan perkosaan pada suatu suku bangsa di irian jaya adalah sebagai perwujudan rasa cinta laki-laki terhadap seorang perempuan. Tindakan tersebut bila berdasarkan hokum pidana jelas merupakan tindakan pelanggaran hokum dalam kategori berat, tetapi kemudian dengan serta merta menyebut pelakunya sebagai penjahat dan menghukum pelaku dengan tujuan untuk memperbaiki tingkah lakunya. Cara hukuman tersebut adalah salah dan tidak ada manfaatnya.
Seharusnya melakukan tindakan pencegahan masalah perkosaan tersebut adalah mengubah system nilai dan norma percintaan masyarakat tempat
berlakunya nilai dan norma percintaan yang menyimpang tersebut. Contah lain mengenai pelanggaran hukum pidana tidak dapat disebut sebagai kejahatan secara sosiologis adalah lembaga siri pada masyarakat bugis, Makassar dan mandar di Sulawesi selatan. Menurut system kepercayaan masyarakat Sulawesi selatan tersebut setiap orang wajib mempertahankan dirinya. Kalau seseorang hilang harga dirinya (mase siri), maka orang tersebut dianggap tidak berharga seperti binatang, oleh orang lain, maka orang yang telah ternodai harga dirinya tersebut harus memulihkan harga dirinya agar tidak dianggap rendah kedudukannya seperti binatang.
Untuk memulihkan harga dirinya tersebut, orang yang kehilangan harga diri akan menghilangakan suber penyebabnya hilangnya harga diri tersebut dengan melakukan pembalsan dendam melalui pembunuhan. Pembalasan dendam tersebut melalui tindakan kekerasan dalam kerangka siri tersebut jelas merupakan pelanggaran hokum pidana. Perilaku siri tersebut adalah pelaku kejahatan, secara sosiologis tidak tepat, sebab tindakan balas dendam dalam kerangka siri adalah tindaka yang dibenarkan oleh masyarakat.
Secara sosiologis, pada masyarakat bugis, Makassar dan mandar tardapat harapan peran untuk bertingkah laku secara khusus bila meraka menghadapi keadaan mase siri. Menurut sutherland bahwa tindakan siri tersebut merupakan pelanggaran hokum yang pro. Soaial.
Dengan demikian kejahatan dalam konsep sosiologis, tidak semata-mata merupakan pelanggaran hokum pidana saja. Walaupun tindak pidana yang dilakukan adalah pembunuhan namun untuk disebut bahwa pelakunya adalah
penjahat, maka perlu meneliti apakah tindakan tersebut merupakan karakter (pola tingkah laku) dari orang tersebut. Bila dalam proses terbentuknya tingkah laku yang tidak sesuai dengan nikai dan norma masyarakat menjadi tingkah laku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat menjadi tingkah laku yang menetap pada pelakunya.