BAB 1 PENDAHULUAN
2.2 Pajak Pertambahan Nilai
2.2.2 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah Konsumen Akhir, Mardiasmo (2018:322).
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
19
(PKP). Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia wajib membuat e-faktur atau faktur pajak elektronik untuk menghindari penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.
2.2.3 Subjek Pajak dari Pajak Pertambahan Nilai
Subjek pajak PPN adalah Pengusaha Kena Pajak. Menurut Mardiasmo (2018:330) Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang:
a. Mempunyai omset > 600 juta setahun.
b. Pengusaha yang menyerahkan (memperdagangkan) JKP/BKP.
c. Barang berwujud berupa barang bergerak maupun tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenai pajak berdasarkan UU. JKP adalah setiap kegiatan pelayanan termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan petunjuk dari pemesanan yang dikenai pajak berdasarkan UU.
d. Pengusaha kecil yang mendaftar atau mengukuhkan dirinya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Contoh pengusaha kena pajak diantaranya:
a. Pabrikan b. Importir c. Agen utama d. Pedagang besar e. Pengusaha jasa
f. Pemegang hak paten, merk dagang, hak cipta
20 g. Pedagang eceran atau pengusaha kecil
2.2.4 Objek Pajak dari Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Pohan (2014:249) Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, sehingga dikenai PPN, kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam pasal 4A UU no.8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang- undang No.18/2000 tidak dikenai PPN yaitu:
Barang tidak kena PPN, yaitu:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, misalnya minyak mentah, gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara, bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya segala jenis beras dan gabah, segala jenis jagung, sagu, segala jenis kedelai, garam, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, warung dan sejenisnya serta uang, emas batangan dan surat-surat berharga.
Jasa tidak kena PPN, yaitu:
1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan misalnya jasa dokter umum, dokter spesialis, dokter hewan dan jasa para medis maupun perawat.
2. Jasa di bidang perbankan, dan asuransi.
3. Jasa di bidang keagamaan.
4. Jasa di bidang keagamaan.
21 5. Jasa di bidang pendidikan.
6. Jasa di bidang penyiaran.
7. Jasa di bidang angkutan umum.
8. Jasa di bidang tenaga kerja.
9. Jasa di bidang perhotelan, dll.
2.2.5 Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7, Pohan (2014:258)
1. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud 2. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud 3. Ekspor Jasa Kena Pajak
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.
2.2.6 Mekanisme Pengenaan dan Perhitungan PPN
Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut (Mardiasmo 2018:15):
1. Pada saat membeli atau memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan
22
pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
2. Pada saat menjual atau menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas Negara.
4. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
Perhitungan PPNContoh :
Pengusaha Kena Pajak “A” menjual tunai BKP kepada Pengusaha Kena Pajak
“B” dengan harga jual Rp. 25.000.000,00. PPN yang terutang : 10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
PPN sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak “B”, PPN tersebut merupakan pajak Masukan.
Adapun indikator penerimaan PPN yaitujumlah PPN bulan ini dengan jumlah PPN bulan lalu dapat dirumuskan sebagai berikut:
23
(Sumber: Trisnayati dan Jati, 2015)
2.2.7 Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai Beberapa Kelebihan PPN menurut Mardiasmo (2018:322) 1. Mencegah menghabiskan pengenaan pajak berganda.
2. Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri.
3. PPN atas persetujuan barang modal dapat diperoleh kembali pada bulan disetujui, dengan demikian sangat membantu likuiditas perusahaan.
4. PPN mendapat predikat sebagai pembuat uang karena konsumen selaku pemikul bebasn pajak tidak dapat dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.
Beberapa Kelemahan PPN menurut Mardiasmo (2018:322)
1. Biaya administrasi relatif lebih tinggi, baik dipihak administrasi pajak maupun di pihak wajib pajak.
2. Menimbulkan dampak regersifyaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan pajak yang dipikul, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul.
3. PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. Kerawanan ini ditimbulkan sebagai akibat dari pengkreditan yang merupakan bantuan yang diterima dari pajak yang dibayarkan oleh Pengusaha dalam bulan yang sama tanpa terlebih dahulu dilakukan melalui prosedur administrasi fiskus.
4. PPN memerlukan tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak.
24 2.3 Self Assessment System
2.3.1 Pengertian Self Assessment System
Kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan penerimaan pajak adalah karena sejak tahun fiskal 1984 pemerintah memberlakukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak.
Berbeda dengan sistem pemungutan pajak sebelumnya, yaitu official assessment system. Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang, Mardiasmo (2018).
Sistem self assessment menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan sistem tersebut.
Pengertian self assessment system merupakan salah satu sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia, dimana wajib pajak diberi wewenang penuh untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutangnya.
Rahayu (2010:101) Self Assessment System menyatakan bahwa :
Suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya.
Self assessment System menurut Waluyo (2013:17) adalah sebagai berikut:
Self Assessment System adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
25
Menurut Mardiasmo (2013:7) pengertian Self Assessment System adalah sebagai berikut :
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Dalam sistem ini, fiskus hanya berperan untuk mengawasi, seperti misalnya melakukan penelitian apakan Surat Pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap dan semua lampiran sudah disertakan, juga meneliti kebenaran penghitung dan penulis. Meskipun demikian, untuk mengetahui kebenaran (material) data yang ada dalam SPT, fiskus akan melakukan pemeriksaan. Di Indonesia, pajak penghasilan Orang Pribadi dan Badan serta Pajak Pertambahan Nilai menggunakan sistem ini.
Dengan adanya self assessment system wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang. Tanggung jawab atas pelaksanaan kewajiban perpajakan ada pada diri wajib pajak itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini (Fiskus) hanya berfungsi untuk melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan dan memeriksa pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, apakah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan undang-undang perpajakan.
Adapun indikator Self Assessment System yaitujumlah SPT Masa PPN bulan ini dengan SPT Masa PPN bulan lalu.Dapat dirumuskan sebagai berikut:
(Sumber: Trisnayati dan Jati, 2015)
26
2.3.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Self Assessment System
Agar sistem Self Assessment ini bisa berhasil sesuai dengan harapan fiskus, maka ada beberapa factor yang mempengaruhi sistem ini yang harus diperhatikan baik oleh fiskus maupun Wajib Pajak. Sebagaimana dinyatakan oleh Harahap (2004:44) bahwa keberhasilan self assessment system ditentukan oleh:
1. Kesadaran pajak dari wajib pajak
Tingkat kesadaran akan membayar pajak didasarkan oleh tingkat kepatuhan wajib pajak yang berpijak pada tingginya kesadaran hukum dalam membayar pajak.
Dalam hal ini peran fiskus amatlah berarti karena pada dasarnya tingkat kepatuhan wajib pajak berdasarkan tingkat pemahaman yang baik seputar pajak.
2. Kejujuran wajib pajak
Faktor kejujuran dalam membayar pajak sangatlah penting, karena dengan self assessment system pemerintah memberikan sepenuhnya kepercayaan masyarakat untuk menetapkan berapa jumlah pajak yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan. Masyarakat diharapkan melaporkan jumlah kewajiban pajaknya sebenar-benarnya tanpa adanya manipulasi.
3. Hasrat untuk membayar pajak (tax mindedness)
Hasrat untuk membayar pajak pada dasarnya kepatuhan sukarela dalam membayar pajak haruslah diikuti oleh hasrat yang tinggi untuk membayar pajak.
4. Disiplin dalam membayar pajak (tax discipline)
27
Tax Discipline berdasar pada tingkat pemahaman yang sesuai terhadap hukum pajak yang dianut suatu negara serta saksi-saksi yang menyertainya, dengan harapan masyarakat tidak menunda-nunda membayar pajak”.
Dalam self assessment system pihak fiskus memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, menyetorkan dan melaporkan sendiri besarnya pajak terhutang. Inti asas atau sistem ini adalah adanya peralihan sebagian wewenang Dirjen Pajak dalam menetapkan besarnya kewajiban pajak kepada wajib pajak.
2.3.3 Prinsip Self Assessment System
Menurut Pohan (2014) Sebelum UU No. 6 Tahun 1983 lahir, penghitungan pajak dilakukan oleh fiskus (aparat pajak). Sistem pemungutannya dikenal dengan istilah official assessmentsystem. Perpindahan dari official assessment ke self assessment inilah yang kemudian ditandai sebagai reformasi perpajakan.
Prinsip self assessment ini tampak pada Pasal 12 UU KUP. Berikut kutipannya:
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
(2) Jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pada ayat (1) tampak UU KUP menghendaki Wajib Pajak bersifat aktif dalam membayar pajak. Aktif di sini berarti menghitung sendiri pajak yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak.
28
Prinsip Self Assessment pada UU KUP bahkan mengandung makna bahwa hasil perhitungan WP, berapa pun itu, untuk sementara dianggap sebagai perhitungan menurut ketentuan yang berlaku, sebagaimana dinyatakan pada ayat (2).
Pasal 12 kemudian ditutup dengan ayat (3) yang berbunyi, “Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.”
Ayat (3) ini berfungsi sebagai pengendali. Jadi, apabila kemudian diketahui bahwa perhitungan yang dilakukan oleh WP keliru, barulah fiskus membenarkannya. Namun, dengan aturan daluarsa pajak berjangka 5 tahun, perlu diketahui bahwa perhitungan WP dianggap benar dan sah untuk selamanya apabila dalam jangka waktu 5 tahun tidak ada pemberitahuan kesalahan perhitungan.
Sistem self assessment memindahkan beban pembuktian kepada fiskus.
Wajib pajak dianggap benar sampai fiskus dapat membuktikan adanya kesalahan tersebut.
2.3.4 Dimensi dari Self Assessment System
Menurut Rahayu (2010:103) Kewajiban Wajib Pajak dalam Self Assessment System terdiri atas :
1. Mendaftar diri
Wajib pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak(KPP) atau Kantor penyuluhan dan pengamatan potensi perpajakan(KP4)
29
yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak dan dapat melalui e-register untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) .
2. Menghitung
Menghitung pajak penghasilan adalah menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan pada setiap akhir tahun pajak, dengan cara mengalihkan tarif pajak dengan pengenaan pajaknya, sedangkan memperhitungkan adalah Mengurangi pajak yang terutang tersebut dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal sebagai kredit pajak (prepayment).
3. Membayar
Pembayaran yang dilakukan wajib pajak harus dilaksanakan tepat waktu.Jika wajib pajak yang membayar pajak terutang tidak tepat waktu ternyata fungsi penghitungan pajak terutang dilakukan oleh fiskus. Pembayaran pajak dapat dilakukan di bank-bank pemerintah maupun swasta dan kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di KPP atau KP4 terdekat, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik (e- payment).
4. Melapor Mencantumkan pajak penghasilannya di SPT dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenernya terutang.
2.4 Pemeriksaan Pajak
2.4.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak
Definisi pemeriksaan pajak menurut Mardiasmo (2011:34) yaitu:
Pemeriksaan pajak adalah sebagai serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengelola data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan
30
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan pajak adalah kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah data dan keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.4.2 Tujuan Pemeriksaan Pajak
Tujuan pemeriksaan pajak diatur pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan antara lain, Pohan (2014:349) :
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak, yang dapat dilakukan dalam hal :
a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi.
c. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan.
d. Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada poin (c) tidak dipenuhi.
2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, dapat dilakukan dalam hal:
a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan.
31 b. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
c.Pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan.
e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Perhitungan Penghasilan Netto.
f. Pencocokan data dan alat keterangan.
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai.
i. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain selain poin (a) sampai dengan poin (h).”
Sementara menurut Rahayu (2017) Direktorat Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan tujuan lain, antara lain:
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
2. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan.
5. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
6. Pencocokan data dan/atau alat keterangan.
7. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
8. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai.
9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.
10. Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan.
32
11. Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
2.4.3 Ruang Lingkup dan Kriteria Pemeriksaan Pajak Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:37) ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan objek pemeriksaan yang meliputi :
1. Jenis pajak.
2. Periode pencatatan atau pembukuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Ruang lingkup pemeriksaan berdasarkan cakupan jenis pajak meliputi : 1. Satu jenis pajak (single-tax).
2. Beberapa jenis pajak.
3. Seluruh jenis pajak (all-taxes).
Adapun ruang lingkup pemeriksaan berdasarkan cakupan periode pencatatan atau pembukuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak meliputi:
1. Satu Masa Pajak.
2. Beberapa Masa Pajak.
3. Bagian Tahun Pajak.
4. Baik dalam tahun lalu maupun tahun berjalan.
Kriteria Pemeriksaan Pajak
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:34) :
Terdapat 2 (dua) kriteria yang merupakan alasan dilakukannya pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yaitu Pemeriksaan Rutin
33
dan Pemeriksaan Khusus. Selain itu terdapat 1 (satu) lagi kriteria pemeriksaan yaitu Pemeriksaan Tujuan Lain.
1. Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan Rutin adalah pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.Adapun Pemeriksaan Rutin meliputi :
a.Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan Pph Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam:
1) Pasal 17B Undang-Undang KUP.
2) Pasal 17C Undang-Undang KUP memilih untuk tidak dilakukan pengembalian dengan SKPPKP dan memintauntuk direstitusikan, atau tidak dapat diberika pengembalian dengan SKPPKP.
b.Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagimana dimaksud dalam : 1) Pasal 17 B Undang-Undang KUP.
2) Pasal 17C Undang-Undang KUP tetapi memilih untuk dilakukan pengembalian melalui prosedur biasa, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP.
c.Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP.
d.Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi.
34
e.Wajib Pajak yang teah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP.
f.Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi.
g.Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akanmeninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
h.Wajib Pajak melakukan:
1)Perubahan tahun buku.
2)Perubahan metode pembukuan.
3)Penilaian kembali aktiva tetap.
2.Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan Khusus adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan kewajiban perpajakan. Adapun ketentuan terkait dengan Pemeriksaan Khusus adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Khusus merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak berdasarkan analisis risiko.
b. Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria Pemeriksaan Rutin, dapa dilakukan Pemeriksaan Khusus.
c. Analisis risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang mengindikasikan potensi penerimaan pajak.
35
d. Analisis risiko dibuat dengan mendasarkan pada profil Wajib Pajak atau data internal lainnya serta memanfaatkan data eksternal baik secara manual maupun berdasarkan kriteria seleksi berbasis risiko secara komputerisasi.
e. Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
f. Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan alasan:
1) Persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
2) Instruksi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
3) Instruksi Direktur Pmeriksaan dan Penagihan.
3. Pemeriksaan untuk Tujuan Lain
Ruang lingkup pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputipenentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengantujuan Pemeriksaan.
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan dilakukan dengan kriteriaantara lain sebagai berikut:
a.Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata caraVerifikasi.
b. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi.
36
c. Pengukuhan atau pencabutan pegukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi.
d.Wajib Pajak mengajukan keberatan.
e. Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto.
f. Pencocokan data dan/atau alat keterangan;
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai.
i. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.
j. Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan.
k. Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
2.4.4 Produk Hukum Hasil Pemeriksaan Pajak
Menurut Ilyas (2010:128) berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Pajak kewenangan mengeluarkan SKP dilimpahkan kepada KPP. SKP adalah Surat Ketetapan yang meliputi SKPKB atau SKPKBT atau SKPN atau SKPLB (pasal 1 angka 15 UU KUP). Ketetapan pajak ini dapat diterbitkan berdasarkan pemeriksaan atau penelitian pajak.
Jenis Surat Ketetapan Pajak (SKP) antara lain:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
37
Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih dibayar.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah yang ditetapkan (SKPKB, SKPN, SKPLB).
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Adalah SKP yang menunjukkan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak atau jumlah yang dibayar lebih besar dari jumlah yang diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT LB yang diajukan restitusi, SPT LB yang tidak diajukan restitusi, SPT Nihil, maupun SPT KB.
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Adalah surat ketetapan yang diterbitkan dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak. SKPN diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT Nihil, SPT KB, maupun SPT LB.
5. Surat Tagihan Pajak (STP)
Adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan penagihan pajak atau sanksi adminstrasi berupa bunga dan denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKP sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan surat paksa. STP diterbitkan setelah dilakukan penelitian administrasi perpajakan atau berdasarkan hasil pemeriksaan pajak.