35 BAB IV
TINDAK PIDANA
36 4. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana Indonesia. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam undang-undang tindak pidana korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. WWirjono Prodjodikoro dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.
5. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya Mr.R.Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana . Prof.A.Zainal Abidin dalam bukunya Hukum Pidana.
6. Delik yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan stafbaarfeit. Istilah ini ditemukan dalam literatur yang dikarang oleh E.Utrecht walaupu juga menggunakan istilah peritiwa pidana.
begitu juga dengan Andi Hamzah menggunakan istilah delik.
7. Pelanggaran pidana, dapat ditemukan dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr.MH Tirtaamidjaja.
8. Perbuatan yang boleh di hukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya Ringkasan Tentang Hukum Pidana.
9. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang- Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3)
10. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana.
Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana). Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda di sebut starfbaarfeeit di mana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda. Ada beberapa definisi mengenai strafbaarfeit maupun delik yang dikemukan para ahli diantaranya adalah:
1. Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana memberikan defenisi mengenai delik, yakni Delik adalah “suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).”57
57 Andi Hamzah, 1994. Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 72, hlm. 88
37 2. Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan perundangundangan.”58
3. Jonkers, merumuskan bahwa Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang di artikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.59
4. Pompe mengartikan strafbaarfeit Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.60
5. Simons merumuskan strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.61
6. S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana alasannya Sianturi memberikan perumusan sebagai berikut: Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum,serta dengan kesalahan di lakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab).62
Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana tersebut sebagai terjemahan delik (Strafbaarfeit) tidak mengikat. Untuk istilah mana yang ingin dipergunakan asalkan tidak merubah makna strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung dari pemakaiannya, misalnya saja Wirjono Prodojikoro menggunakan istilah peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia cetakan ke V 1962, sedangkan selama kurang lebih dua puluh tahun beliau menggunakan istilah ”tindak pidana”.
58 Adami Chazawi, Op.Cit. hlm.72
59Ibid.
60Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 34.
61 Ibid. hlm 35.
62 Sianturi, S.R, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta: Alumni, hlm.297.
38 B. Sejarah Pembagian Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria. Pembagian ini berhubungan dengan berat/ringannya ancaman, sifat, bentuk dan perumusan suatu tindak pidana.
pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-ajaran umum hukum pidana. Dengan membagi sedemikian itu sering juga dihubungkan dengan sebab-akibat hukum.
Dalam sejarah pembagian tindak pidana pernah dikenal pembagian sebagai berikut:63 a. Di Jerman diperbedakan menurut berat/ringannya tindak pidana yang disebut(1)
Freidennbruche dan (2) Rechtsbrunche. Dikenal pula pembagian yang disebut : (a) Verbrechen, (b) Vergehen dan (c) Ubertretungen.
b. Code Penal mengenalkan pula pembagian dalam tiga bagian sebagai berikut:
1) Crimen (misdaden, kejahatan)
2) Delicta (wanbedrijven, perbuatan tak patut) 3) Contravention (pelanggaran)
Sedangkan terhadap tiap-tiap bagian itu ditentukan jenis-jenis pidana untuk masing- masingnya, demikian pula badan peradilannya. Pidana untuk masing-masing jenis tindak piana secara berurutan adalah:
1) Peines criminelles 2) Peines correctionelles 3) Peines de police
Sedangkan badan peradilannya berurutan adalah
1) Cour d’Assises (Peradilan hakim-hakim jury yang menentukan bersalah/ tidaknya petindak).
2) Tribunaux correctionnelles 3) Juges de paix.
c. Dikenal pula pembagian tindak pidana yang disebut sebagai (1) crimineel onrecht yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan (2) politie onrecht, yaitu perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah. Teori-teori pembagian ini digunakan antara lain oleh:
a) Binding, yang membedakan perbuatan yang melanggar kepentingan hukum dengan perbuatan abstrak yang membahayakan kepentingan hukum.
63 E.Y Kanter & S. Sianturi, Op.Cit, hlm. 230
39 b) Otto Meyer, memperbedakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah kebudayaan
dengan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah/negara.
c) Gewin, memperbedakan perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan Tuhan dengan perbuatan yang melanggar ketertiban umum yang diatur oleh pemerintah.
d) Creutzberg, memperbedakan perbuatan yang menentang hukum pada umumnya dengan pelanggaran terhadap larangan/ keharusan yang ditentukan oleh negara untuk kepetingan masyarakat.
Cara pembagian tersebut diatas, ternyata menemui kesulitan untuk menarik garis pemisah antara bagian-bagian tersebut, karena tidak adanya pengkriteriaan yang jelas. Kesulitan itu terutama berada pada pembuat undang-undang, bukan kepada hakim karena pembuat undang- undanglah yang menentukan tindak pidana mana saja yang termasuk dalam bagian-bagian yang ditentukan.