• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tidak ada alasan pemaaf

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Halaman 84-90)

75 (onoplettend), dimana seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.

Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, namun dia sadar apabila dia tidak melakukan perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya. Berpedoman pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat dikatakan kealpaan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang dapat dilihat, artinya perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi.

76 1. Kesalahan;

2. Kesengajaan;

3. Kealpaan;

4. Perbuatan; dan

5. Sifat melawan hukum

Unsur objektif adalah adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum. Unsur-unsur objektif yaitu :

1. Perbuatan; dan

2. Sifat melawan hukum;

Dalam ilmu pidana alasan penghapus pidana dibagi atas dua bagian; yaitu pertama, penghapus pidana umum, yang berlaku kepada semua rumusan delik yang disebut dalam Pasal 44, 48-51 KUHP, kedua adalah alasan penghapus pidana khusus yang terdapat dalam pasal pasal tertentu saja, yaitu Pasal 122, 221 ayat(2), 261, 310 dan 367 ayat(1) KUHP.119Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yang diatur dalam Pasal 44 KUHP tentang “tidak mampu bertanggung jawab”, Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat (2) KUHP tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap perintah itu datang dari pejabat yang berwenang.

Alasan Penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah:

1. Daya Paksa Relatif (Overmacht);

Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis compulsive) seperti keadaan darurat.

Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian daya paksa. Dalam memorie van toelichting (MvT) daya paksadilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya paksa orang berada dalam dwangpositie ( posisi terjepit). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya.

119 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 143

77 Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi.

Pembahasan lengkap mengenai daya paksa relatif ini sudah penulis bahas pada Bab sebelumnya bagian daya paksa absolut.

2. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas ( Noodweer exces) Pasal 49 ayat (2) KUHP Pasal 49 ayat (2) menyatakan: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung di sebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.”

Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.

Perbedaannya ialah:

a. Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu,

b. Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena ke guncangan jiwa yang hebat.

c. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf.

Sedangkan pembelaan terpaksa (nood weer) merupakan dasar pembenar, karena, melawan hukumnya tidak ada.

Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proporsional. Melampaui batas pembelaan ada dua macam.

Pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap pada saat di serang (Hoge Raad 27 Mei 1975 N.J. 1975, no. 463). Jadi, di sini ada dua fase, pertama ialah noodweer exces. Bentuk kedua ialah orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat ke guncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.

3. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah, Tetapi Terdakwa Mengira Perintah Itu Sah, Pasal 51 ayat (2) KUHP.

Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat

78 dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada dalam lingkungan pekerjaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP.

Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:

1) Syarat subyektif, yakni pembuat harus dengan itikad baik me mandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang: dan

2) Syarat obyektif, yakni pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.

Jadi seorang agen polisi diperintah oleh atasannya. Untuk menganiaya tahanan walaupun ia beritikad baik, bahwa ia harus memenuhi perintah itu, tidak menjadikan ia lepas, karena perbuatan seperti itu bukan tugasnya. Di sini bedanya dengan ayat (1), pada ayat (2) ini diharuskan adanya hubungan atasan-bawahan (secara langsung). Menurut Pompe hubungan atasan-bawahan itu tetap dinyatakan ada walaupun bersifat sementara.

Maka dapat disimpulkan bahwa dasar pemaaf terdiri atas:

1. Daya paksa Relatif (overmacht), (Pasal 48 KUHP);

2. Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer), (Pasal 49 Ayat 2 KUHP); dan 3. Perintah jabatan yang tidak sah, namun ketika melakukan perbuatan pelaku

mengiranya sah, (Pasal 52 ayat (2) KUHP).

79 BAB VI

ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA A. Teori Alasan Penghapusan Pidana

George P.Fletcher dalam Rethinking Criminal Law mengemukakan ada tiga teori terkait alasan penghapusan pidana.120

1. Theory of pointless punishment.

Teori ini berpijak pada teori kemanfaatan alasan pemaaf sebagai bagian dari teori manfaat dari hukuman. Menurut teori ini tidak ada gunanya menjatuhkan pidana pada orang gila atau orang yang menderita sakit jiwa. Teori ini tidak terlepas dari ajaran Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa pemidanaan haruslah bermanfaat.

Ada tiga kemanfaatan yaitu pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat meningkatkan perbaika diri pada pelakunya. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Bentham kemudian menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat.

Tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang yang tidak menyadari apa yang diperbuatnya. Pelaku yang gila atau sakit jiwa atau cacat dalam tubuhnya tidak mampu mengisyafi perbuatannya dan tidak dapat mencegah terjadinya perbuatan yang dilarang, sehingga penjatuhan pidana kepada orang yang demikian tidak akan memberikan manfaat sedikitpun, justru akan melukai rasa keadilan masyarakat.

Sebagai contoh seorang gila yang berada di tengah keramaian kemudian melempari orang-orang di sekelilingnya dengan batu sehingga beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka. Orang gila tersebut tidak mengisyafi bahkan tidak mengerti apa yang dilakukannya. Dengan demikian orang gila tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban yang membawa konsekuensi tidak dapat dipidana. Kalaupun orang gila tersebut dijatuhi pidana, maka tidak akan mendatangkan manfaat sedikitpun terhadapnya.

120Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm.211

80 2. Theory of lesser evils ( teori peringkat kejahatan yang lebih ringan).

Teori ini merupakan teori alasan penghapusan pidana yang berasal dari luar pelaku atau uitwendig. Disini pelaku harus memilih salah satu dari dua perbuatan yang sama-sama menyimpang dari aturan. Perbuatan yang dipilih sudah tentu adalah perbuatan yang peringkat kejahatannya lebih ringan.

Menurut teori ini suatu perbuatan dapat dibenarkan atas dua alasan.

Pertama, meskipun perbuatan tersebut melanggar aturan, namun perbuatan tersebut harus dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar. Tegasnya, tingkat bahaya yang harus dihindari lebih besar daripada sekedar penyimpangan dari suatu aturan. Kedua, perbuatan yang melanggar aturan tersebut hanya merupakan satu- satunya cara yang dapat dilakukan secara cepat dan paling mudah untuk menghindari bahaya atau ancaman yang akan timbul.

Teori ini lebih mempertimbangkan sudut peringkat kurang lebihnya atau untung ruginya dampak dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan. Jika perbuatan itu dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar atau kepentingan yang lebih baik atau lebih menguntungkan, maka perbuatan yang melanggar aturan itu dapat dibenarkan. Tegasnya teori ini lebih pada pilihan objektif untuk melindungi kepentingan hukum dan atau kewajiban hukum yang timbul dari dua keadaan atau situasi secara bersamaan. Contoh mobil pemadam kebarakan yang melaju dengan kencangnya melebihi kecepatan maksimum yang dibolehkan. Bahkan mobil tersebut melanggar rambu-rambu lalu lintas termasuk lampu pengatur lalu lintas karena segera harus memadamkan api akibat kebakaran yang terjadi di suatu tempat. Disini kepentingan memadamkan api termasuk penyelamatan nyawa beserta harta benda yang mungkin timbul akibat kebakaran tersebut lebih besar dibandingkan dengan pelanggaran yang dilakukan mobil pemadam kebakaran terahdap rambu-rambu lalu lintas.

3. Theory of necessary defense (teori pembelaan yang diperlukan).

Teori ini merupakan teori yang digolongkan dalam teori alasan pemaaf.

Dalam teori ini ada empat hal yang menjadi perdebatan mendasar. Pertama, terkait penggunaan kekuatan yang dibolehkan dalam situasi tertentu. Artinya, kekuatan yang digunakan harus sebanding dengan serangan tersebut. Kedua, kewajiban untuk

81 menghindari. Dalam hal ini jika dapat menghindari dari serangan tersebut, maka jalan yang demikian haruslah ditempuh. Ketiga, hak pihak ketiga untuk campur tangan.

Artinya, dapat saja pihak ketiga menghalangi atau menghentikan suatu serangan tersebut. Keempat, membolehkan melawan untuk membebaskan diri dari serangan tersebut.

Dalam Memorie van Toelichting alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana kepada pelaku dibedakan menjadi dua.

1. Alasan yang berada di dalam diri pelaku (inwendige orrzaken van ontoerekenbaarheid) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP perihal kemampuan bertanggungjawab yang dirumuskan secara negatif.

2. Alasan yang berada di luar diri pelaku (uitwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid) sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 48 sampai Pasal 51 KUHP.

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Halaman 84-90)