• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyesalan Orang Kafir disaat Tidak Ada Syafa‟at

BAB IV TELAAH PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB

4. Penyesalan Orang Kafir disaat Tidak Ada Syafa‟at

QS. Al-A‟raaf [7]: 53

Oleh karena itu, langkah pertama yang akan dilakukan adalah mengelompokkan ayat-ayat tersebut dalam satu deret, sehingga satu sama lain bisa saling menafsirkan, dan sebagian dari ayat-ayat tersebut bisa menjadi petunjuk dalam menginterprestasikan ayat-ayat lain. Dalam bab ini akan dikemukakkan uraian mengenai penafsirann al-Misbah terhadap ayat-ayat syafa‟at. Karena itu pembahasan berfokus pada ayat- ayat yang relevan dengan masalah tersebut.

Setelah meneliti ayat-ayat dalam al-Qur‟an, disini penulis menemukan ayat-ayat yang membicarakan tentang syafa‟at di dalam kitab Mu’jam al-fadz al-Qur’an al-Karim yang berjumlah 26 ayat.5

1Ahsin Sakho Muhammad, dkk, Al-Qur’an Tematis takdir & Hari Akhir, (Perpustakaan Nasional: Yayasan SIMAQ, 2010), Cet kedua, h. 129.

2Ahmad Muhammad Yusuf, Himpunan Dalil Dalam Al-Qur’an & Hadits, (Jakarta:

PT. Segoro Madu Pustaka), h. 335.

3Ahsin Sakho Muhammad, dkk, Al-Qur’an Tematis takdir & Hari Akhir, h. 130

4Ahsin Sakho Muhammad, dkk, Al-Qur’an Tematis takdir & Hari Akhir, h. 131

5Mu’jam Alfadz al-Qur’an al-Karim, jilid 2, terbitan tahun 1970 M, h. 153

77

Tetapi hanya 6 ayat yang dijadikan sebagai inti pembahasa dalam skripsi ini, ayat-ayat yang membicarakan tentang syafa‟at secara syara‟ yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Hadits.

1. Syafa’at Hanya Milik Allah Semata QS. Saba‟ [34]: 23















































“Dan Tiadalah berguna syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" mereka menjawab: (perkataan) yang benar", dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar[1240].”

(QS. Saba‟ [34]: 23).

Di dalam tafsir al-Misbah, kata (عفنت) tanfa’ dapat berarti berhasil/sukses dan dapat juga berarti mengakibatkan keberuntungan, yakni antonim dari kata mencelakakan. Kedua makna ini dapat ditampung oleh kata yang digunakan ayat di atas. Jika anda memahaminya dalam arti berhasil itu berarti bahwa syafa‟at yang mereka ajukan dan mohonkan tidak berhasil mencapai sukses karena ditolak oleh Allah Swt., sedang bila makna yang kedua, itu menunjukan bahwa yang dimohonkan syafa‟at tidak meraih keberuntungan tetapi sebaliknya yaitu kecelakaan.6

Kata ( نذأ ) adzina ada juga yang membacanya udzina. Bacaan pertama mengundang adanya kata Allah, seakan-akan ayat tersebut

6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Vol. 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 603

menyatakan sampai Allah mengizinkan. Sedang, kata ( هل) lahu dapat tertuju kepada yang diizinkan memberi atau diizinkan untuk diberi untuknya syafa‟at.

Kata ( ىّتح ) hatta mengandung makna batas akhir sesuatu.

Penggunaan kata tersebut pada ayat ini mengisyaratkan adanya masa antara ketakutan yang mereka alami dan batas akhir itu. Atas dasar ini, sehingga ayat di atas bagaikan menyatakan: melainkan bagi yang telah diizinkan (oleh-Nya). Ketika itu, semua mengalami rasa takut menanti datangnya izin, takutt jangan sampai tidak diizinkan, dan ini berlanjut sekian lama sehingga, apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: “apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan kamu?”7

Kata ( عّزف ) fuzzi’a terambil dari kata (عزف ) faza’a yang berarti takut. Patron kata yang digunakan mengandung makna hilangnya rasa takut.

Ayat di atas menunjukan betapa mencekam keadaan ketika itu. Mereka yang mengajukan permohonan syafa‟at, lebih-lebih mengharapkan untuk dianugrahi pengampunan dan syafa‟at, diliputi oleh rasa takut selama menanti putusan Allah.Penantian itu cukup lama dan, setelah berlalu sekian lama, baru lah mereka dapat bertanya tentang putusan Allah Swt., apakah diizinkan mengajukan permohonan atau tidak diizinkan.8

Menurut Thabathaba‟i, kalimat ( هل نذأ همل ) liman adzina lahu dapat berarti siapa yang memiliki dan memperoleh izin memberi syafa‟at, dalam hal ini adalah para malaikat, sehingga ayat ini berarti:

Tidak bermanfaat syafa‟at kecuali bila pemohon syafa‟at memiliki

7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 10 h. 604

7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 10 h. 605

8M . Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 10 h. 605

79

izin dari Allah Swt., atau dapat juga berarti tidak bermanfaat syafa‟at kecuali bagi siapa yang diizinkan Allah untuk memperolehnya.

Thabathaba‟i berpendapat bahwa pemberi syafa‟at di sini adalah malaikat karena, menurutnya malaikat adalah perantara yang melaksanakan perintah Allah. Fungsi perantara dimaksud antara lain adalah syafa‟at itu. Dengan demikian, semua malaikat adalah pelaksana syafa‟at (pemohonnya) tetapi bukan dalam segala hal dan tidak juga untuk semua orang, tetapi dalam hal-hal yang diizinkan Allah dan untuk siapa yang diizinkannya. Atas dasar ini pula Thabathaba‟i cenderung memahami kalimat melainkan siapa yang diizinkan dalam arti melainkan siapa yang diizinkan untuk dimohonkan baginya syafa‟at.9

Ayat di atas menyebut ( بىلق ) qulub/hati sebagai wadah ketakutan dan dari wadah tersebut juga ketakutan menghilang. Ia mengisyaratkan bahwa mereka benar-benar bingung, tidak lagi memerhatikan diri mereka dan segala yang berada di sekeliling mereka. Semua perhatian hanya tertuju kepada Allah, menanti keputusan-Nya. Yang demikian itu halya, sekali lagi menurut Thabathaba‟i adalah para malaikat. Penggalan ayat ini serupa dengan firman Allah QS. An-Nahl [16]: 49-50.

Rasa takut itulah yang dimaksud dengan sujud mereka merendahkan diri kepada Allah yang berada “di atas” mereka.

Mereka merasa takut karena mereka adalah para pemberi syafa‟at dan perantara-perantara Allah dalam wujud dan terlaksananya perintah- perintah sebagaimana yang dikehendaki. Selanjutnya, rasa takut itu menghilang dengan datangnya perintah Allah dan terlibatnya mereka secara langsung dalam tugas yang dibebankan Allah Swt, seakan-

9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 10, h. 604

akan wujud mereka baru tampak dengan pelaksanaan tugas itu serta dengan ketaatan mereka melaksanakan perintah Allah. Inilah pendapat Thabathaba‟i.10

Kata ( ريب ) al-Kabir secara harfiah berati yang mahabesar. كلا Sementara ulama berpendapat bahwa kebesaran adalah keagungan dan kekuasaan. Menurut Imam Ghazali, kebesaran adalah kesempurnaan zat, yang dimaksud dengan zat Allah adalah wujud- Nya sehingga kesempurnaan zat-Nya adalah kesempurnaan wujud- Nya. Selanjutnya, kesempurnaan wujud ditandai oleh dua hal, yaitu keabadian dan sumber wujud.11

Allah kekal abadi. Dia adalah awal yang tanpa permulaan dan akhir yang tanpa akhir. Tidak dapat tergambar dalam benak, apalagi dalam kenyataan, bahwa Dia pernah tiada dan satu ketika akan tiada.

Allah adalah zat yang wajib wujud-Nya. Berbeda dengan makhluk yang wujudnya didahului oleh ketiadaan dan diakhiri pula oleh ketiadaan. Dari segi sumber wujud, Dia adalah sumbernya karena setiap yang maujud pasti ada yang mewujudkannya. Mustahil sesuatu dapat mewujudkan dirinya sebagaimana mustahil pula ketiadaan yang mewujudkannya. Jika demikian, benak kita pasti berhenti pada wujud yang wajib dan yang merupaka sumber dari segala yang wujud. Dia lah Allah yang mahabesar itu.

Ditutupnya ayat di atas, yang berbicara tentang syafa‟at dan permohonan kepada Allah, dengan kedua sifat di atas menunjukan bahwa para malaikat yang menjadi perantara atau siapa pun yang bermohon syafa‟at atau selain mereka, semuanya tunduk dan patuh

10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 10, h. 605

11 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 10, h. 607

81

kepada putusan yang ditetapkan oleh yang Maha lagi Mahabesar itu.12

Menurut al-Qurtubi, maksud dari ayat ini adalah, sesungguhnya syafa‟at tidak dari salah satu sesembahan selain Allah Swt, baik para malaikat, para nabi dan berhala-berhala, akan tetapi Allah Swt memberi izin kepada para nabi dan para malaikat dalam memberi syafa‟at, sedangkan mereka sendiri sangat takut terhadap Allah Swt.13

Dari penafsiran Quraish Shihab di atas penulis menganalisa bahwa, ayat ini membahas tentang tidak berguna syafa‟at di sisi Allah kecali setelah mendapat izin yaitu perkataan yang benar.

Bahwa orang-orang yang diberikan izin oleh Allah untuk memberikan syafa‟at adalah orang-orang yang beriman bukan orang- orang kafir. Oleh karena itu, syafa‟at itu sama sekali tidak berguna kecuali setelah mendapatkan izin Allah untuk memberikannya, yaitu orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagai pemberi dan penerima syafa‟at, karena kedudukan pemberi syafa‟at adalah khusus orang yang patut mendudukinya, sedangkan orang-orang yang menerima syafa‟at pun adalah orang yang patut pula, seperti para Nabi, para malaikat dan yang semisal mereka, yang berhak untuk menerima syafa‟at atas izin dan ridha dari Allah Swt. karena orang yang memberi syafa‟at itu harus mengakui keagungan Allah yang menciptakan alam semesta, yang memiliki ketinggian dan kebesaran, tidak ada makhluk yang berserikat dengan-Nya.

Tidak akan ada seorang pun yang dapat menggunakan syafaat di sisi Allah kecuali orang yang benar-benar dipersiapkan untuk

12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 10, h. 608

13Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid. 14, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 714

memberikan syafaat. Sehingga ketika rasa takut telah lenyap dari diri mereka karena izin Allah kepada mereka untuk mendapatkan syafaat.

Dia memberikan izin bagi orang yang dikehendaki-Nya. Hanya Allah yang berhak merasa besar dan sombong. Allah mengizinkan dan melarang siapa saja sesuai dengan kehendak-Nya.

QS. Az-Zumar [39]: 44

























“Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.

Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi.kemudian kepada- Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. az-Zumar [39]: 43-44).

Setelah menegaskan bahwa hanya Allah yang mahakuasa dalam pengaturan alam raya dan kehidupan manusia, seakan-akan ayat di atas menyatakan; kaum musyrikin tidak menyadari hal tersebut bahkan mereka memaksakan diri menentang fitrah kesucian dengan mengambil selain Allah yang demikian itu sifatnya, pemberi- pemberi syafa‟at serta perantara-perantara untuk meraih kebutuhan mereka atau untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad: “dan yakin ucapkanlah, kalimat berikut yaitu apakah kamu mengambilnya juga meskipun mereka senantiasa tidak memiliki sesuatu apa pun, seperti manusia atau malaikat, dan tidak bearakal, yakni tidak memahami sesuatu, seperti berhala-berhala yang mereka sembah? Sesungguhnya syafa‟at dari sesuatu baru dapat diduga bermanfaat jika yang memberinya mengetahui apa yang dikehendaki oleh yang meminta serta dia memiliki kemampuan padahal berhala-berhala itu sama sekali tidak memilikinya.

83

Katakanlah, wahai Muhammad, bahwa: “hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya karena hanya dia pemilik mutlak, tak satu pun yang dapat memberi atau menerimanya kecuali atas izin-Nya karena kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian, betapa bukan hanya Allah pemilik syafa‟at, padahal hanya kepada-Nyalah bukan kepada selain-Nya kamu dikembalikan atau kemudian kepada-Nyalah saja kamu dikembalikan dan ketika itu akan terbukti bagi kamu bahwa berhala-berhala kamu tidak dapat memberi syafa‟at karena pemilik mutlaknya adalah Allah Swt.14

Ayat ini berhubungan dengan QS.Al-Baqarah ayat 48, yang dimana tidak semua orang mampu meraih apa yang ia harapkan.

Ketika itu banyak cara yang dapat dilakukan. Antara lain meminta bantuan orang lain. Jika apa yang diharapkan seseorang terdapat pada pihak lain, yang ditakuti atau disegani, ia dapat menuju kepadanya dengan “menggenapkan dirinya” dengan orang yang dituju itu untuk bersama-sama memohon kepada yang ditakuti dan disegani itu.

Orang yang dituju itulah yang mengajukan permohonan. Dia yang menjadi penghubung untuk meraih apa yang diharapkan itu. Upaya melakukan hal tersebut dinamai syafa‟at.

Dalam kehidupann dunia, syafa‟at sering kali dilakukan untuk tujuan membenarkan yang salah serta menyalahi hukum dan peraturan.Yang memberi syafa‟at biasanya memberi karena takut, atu segan, atau mengharapkan imbalan.Di akhirat, hal demikian tidak ada karena Allah, yang kepada-Nya diajukan permohonan, tidak butuh, tidak takut, tidak pula melakukan sesuatu yang batil.

14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.

509-510

Di akhirat, yang mengajukan permohonan syafa‟at harus mendapat izin terlebih dahulu dari Allah Swt. Untuk memohonkan syafa‟at, dan izin itu baru diberikan setelah Allah menilai bahwa yang memohon dan yang dimohonkan wajar untuk memberi dan mendapat syafa‟at, tentu saja apa yang dimohonkan adalah sesuatu yang hak.

Ada ulama yang memahami ayat ini dan semacamnya ditujukan kepada orang kafir sehingga pembelaan dan syafa‟at yang dinafikan adalah yang bersumber dari orang-orang kafir kepada orang kafir. Adalagi yang berpendapat bahwa pembelaan dan pemberian syafa‟at yang dinafikan adalah dari siapa pun, walau mukmin, tetapi yang ditujukan untuk orang kafir. Ada lagi pendapat yang menafikan secara mutlak adanya pembelaan dan syafa‟at, dari siapa pun dan untuk siapa pun..15

Memang, syafa‟at ala dunia tidak akan terjadi di hari kemudian, dan itulah yang dinafikan oleh sekian ayat.

Syafa‟at duniawi tidak akan diterima, bahkan tidak ada, demikian juga tebusan. Ini ditegaskan dalam konteks membantah dugaan yang bisa jadi terlintas dalam benak seseorang.Karena, seperti diketahui, dalam kehidupan dunia tebusan dikenal dalam banyak hal.Di akhirat nanti, tebusan tidak ada, walau seandainya seseorang memiliki emas sewadah bumi.

Kalau yang secara baik-baik berupa syafa‟at atau tebusan tidak mungkin ada sebagaimana halnya di dunia, maka dengan cara lain pun tidak aka nada. Inilah yang dicakup oleh kandungan penutup ayat, dan tidak juga mereka dapat ditolong oleh siapa pun.16

15 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 1, h. 226

16M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 228

85

Para „ulama sepakat tentang adanya syafa‟at bagi mereka yang taat dalam rangka menigkatkan derajat mereka, serta bagi mereka yang taubat, tetapi sementara ulama dari kelompok Mu‟tazilah menolak adanya syafa‟at bagi mereka yang melakukan dosa besar. Mereka menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil.

Bentuk nakirah (Indefinite) yang digunakan ayat ini pada kata nafs (seseorang), yang dikemukakan dalam konteks menafikan sesuatu, menunjukan makna umum dan mencakup siapa pun. Makana keumuman tersebut tetap berlaku sehingga syafa‟at di hari kemudian tidak akan diperoleh oleh siapa pun, atau tidak akan diperoleh oleh mereka yang melakukan dosa besar, serupa dengan yang dibicarakan oleh ayat ini.17

Sedangkan menurut pendapat al-Maraghi bahwa Allah Ta‟ala itulah yang memiliki syafa‟at seluruhnya, tidak seorang pun dapat memberi syafa‟at di sisi Allah kecuali bila yang diberi syafa‟at itu diridhai sedang yang memberi syafa‟at itu diberi izin. Namun kedua hal tersebut tidak terdapat pada orang-orang musyrik itu.18

Syafa‟at itu seluruhnya hanya milik Allah, allah lah yang mempunyai segala kekuasaan dilangit dan dibumi. Siapa saja yang ada dilangit dan dibumi adalah milik Allah termasuk patung-patung yang kamu sembah selain Allah. Oleh karena itu sembahlah yang memiliki segala kerajaan itu yang tidak seorang pun dapat mengatur sesuatu pun dari kerajaan Allah itu kecuali atas izin dan ridha-Nya.19

Dari penjelasan di atas peulis menganalisa bahwa Sembahlah oleh kalian Allah yang Maha Kuasa untuk memberi manfaat

17M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 228

18Ahmad Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghi, jilid, 24, (Semarang: CV.

Tohaputra Semarang, 1989), Cet. 1, h. 22

19Ahmad Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghi, jilid, 24, h. 22

kepadamu di dunia dan di akhirat, setelah kematianmu. Dia akan memeberi balasan kepadamu atas amal yang telah kamu lakukan, yang baik maupun yang buruk. bahwa syafa‟at itu khusus bagi Allah, sama sekali tidak menafikan adanya syafa‟at pada selain Allah berdasarkan izin-Nya. Syafa‟at hanya milik Allah sebagai penguasa langit dan bumi. Bahwa seruan Allah kepada Rasulullah Saw. Agar membritahukan kepada orang-orang musyrik, bahwa syafa‟at hanya milik Allah semata, tidak ada seorang pun yang berhak memberi syafa‟at kecuali atas izin Allah dan yang menerima syafa‟at itu diridhai-Nya, dengan kata lain yang memberi diberi izin dan yang menerima disukai oleh Allah Swt.

Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa Ayat di atas menerangka pemberian syafa‟at hanya dapat berlaku dengan izin Allah. Allah Swt menetapkan adanya syafa‟at di dalam kitab-Nya untuk memberitahukan bahwa syafa‟at itu hanya wewenang Allah Swt secara penuh, tidak seorang pun yang berhak untuk memberi syafa‟at kecuali ats izin-Nya. Orang-orang yang akan diberi izin memberi syafa‟at dan orang-orang yang akan mendapat syafa‟at merasa takut dan harap-harap cemas atas izin Tuhan.

2. Syafa’at para Nabi dan Malaikat QS. Al-Anbiyaa‟ [21]: 28

































“Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai

87

Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. (QS. Al-Anbiyaa‟ [21]: 28)

Quraish Shihab megatakan bahwa syafa‟at merupakan usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir., syafa'at yang baik Ialah: Setiap syafa‟at yang ditujukan untuk melindungi hak seorang Muslim atau menghindarkannya dari sesuatu kemudharatan.

Dalam penjelasan Quraish Shihab menegaskan bahwa para malaikat tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. Para malaikat itu merupakan makhluk Allah yang di muliakan di sisi-Nya, mereka tidak pernah mengusulkan apa pun kepada-Nya sebagai bentuk penghormatan, keagungan, dan ketaatan kepada-Nya, mereka hanya melaksanakan perintah-Nya tanpa membatah-Nya sedikit pun.

Mereka tidak mungkin memberikan syafa‟at kepada siapapun baik di dunia maupun di akhirat, melainkan kepada siapa yang diridhi oleh Allah Swt dan dengan izin-Nya untuk menerima syafa‟at-Nya.

Dalam penjelasan Quraish Shihab juga mengatakan ayat ini membantah akan tuduhan orang-orang kafir para penyembah malaikat yang menduganya anak Tuhan. Hal itu merupakan salah satu tuduhan hina yang disangka oleh orang-orang jahiliyah, dakwaan bahwa Allah memiliki anak muncul dalam berbagai betuk di zaman jahiliyyah.

Dengan tabiat yang seprti itu bahwa para malaikat mereka pun sangat takut melanggar, karena takut kepada-Nya dan selalu berhati-hati. Kendati malaikat demikian taat kepada Allah dan mulia di sisi-Nya, naum demikian seandainya para malaikat berdosa, maka

mereka tidak bebes dari siksa, maka mereka pun akan di hukum sebagaimana orang-orang yang lain, siapa pun mereka. Hukuma mereka pastilah neraka jahanam. Itulah hukuman yang pantas atas orang-orang zalim siapa pun dia.20

Di dalam penafsiran Qurasih Shihab, Thabathba‟i memahami kata ( مهيديا هيب ام ) ma baina aidihim dalam arti amal-amal yang lahir akibat wujud para malaikat, sedang ( مهفلخ ام ) ma khalfahum di pahami oleh ulama beraliran syi‟ah itu dalam arti hal-hal yang merupakan sebab wujud para malaikat itu. Atas dasar pemahaman ini, ulama tersebut memahami ayat di atas sebagai penjelasan tentang sifat-sifat malaikat yang disinggung sebelumnya, yakni bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang di muliakan. Seakan-akan ayat di atas menyatakan bahwa Allah menganugrahkan kepada mereka aneka keistimewaan dan kemuliaan itu disebabkan Allah mengetahui ma baina aidihim, yakni amal dan perbuatan mereka, serta mengetahui juga ma khalfahum, sebab wujud mereka, serta asal kejadian mereka. Ini menurut Thabathaba‟I, serupa dengan ucapan:

“si Fulan adalah seorang yang luhur budinya terpuji aktivitasnya karena semua amalnya baik serta dia dari keluarga baik-baik.”21

Begitupun menurut pendapat Ibnu Katsir bahwa syafa‟at itu dari Allah akan sampai kepada orang-orang yang ia ridhai dan selalu berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan karena didasari oleh ketaatan kepada Allah, mereka inilah yang berhak mendapatkan syafa‟at. Sedangkan orang-orang kafir yang menganggap para malaikat sebagai anak Allah maka hal yang demikian itu merupakan suatu kezaliman yang besar sehingga menyebabkan mereka tidak

20 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 8 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 40

21 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 8, h. 40

89

mendapatkan ridha Allah. Dengan tidak adanya ridha Allah kepada mereka maka mereka tidak akan mendapatkan syafa‟at dari-Nya.22

Sedangkan menurut al-Maraghi berpendapat, bahwa kebayakan umat-umat yang mendustakan para rasul telah dibinasakan, dan sesudah itu diciptakan kaum-kaum yang lain. Ketika orang-orang kafir itu menerima siksaan maka mereka menyesal ketika penyesalan itu sudah tidak berguna lagi. Hal itu tak lain akibat mereka menganggap para malaikat sebagai Tuhan yang akan memberikan kepada mereka pertolongan, padahal para malaikat adalah makhluk Allah yang tidak pernah membangkang dan disucikan, akibat perbuatan mereka inilah sehingga mereka disiksa dengan azab neraka jahanam.23

Dalam tafsir Al-Maraghi bahwa Allah Ta‟ala menyifati para malaikat dengan lima sifat yang menunjukan bahwa mereka adalah hamba, dan bukan anak Tuhan:

1. Mereka sangat taat, maka mereka tidak mengatakan dan tidak melakukan sesuatu pun tanpa izin Allah.

2. Allah ta‟ala mengetahui segala rahasia mereka, tetapi mereka tidak mengetahui segala rahasia-Nya. Maka, dialah yang berhak disembah, bukan mereka.

3. Mereka tidak dapat memberi syafa‟at, kecuali kepada siapa yang diridhai oleh Allah untuk diberi syafa‟at, sedang yang menjadi Tuhan atau anak Tuhan tidak akan demikian.

4. Mereka sangat takut kepada Allah.

22Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibn katsir IV (Riyadh: Maktabah Ma‟arif, 1989), h. 293

23Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemahan tafsir al-Maraghi, jilid, 17, h. 29

Dokumen terkait