BAB II KAJIAN PUSTAKA
B. Kajian Teori
1. Perkawinan Dini dalam Hukum Positif dan Hukum Islam
Jika dilihat secara umum, cukup banyak penelitian baik berupa jurnal, disertasi, tesis, skripsi dan semacamnya yang membahas tentang dispensasi kawin dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun dari sekian banyak penelitian di atas, belum terdapat penelitian satupun yang mengulas tentang potensi KDRT akibat dari praktik dispensasi kawin di Pengadilan Jember hingga berujung cerai. Maka dari itu, sudah jelas bahwa penelitian ini dapat teruji tingkat orisinalitasnya dan tidak mengandung unsur plagiasi di dalamnya.
berdasarkan pada ketentuan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu pada Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan hanya boleh bagi lelaki dan perempuan sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun.30
Selain merendahkan status seorang perempuan, perkawinan juga dapat membahayakan pada saat melakukan persalinan. Risiko berbahaya ini disebabkan karena belum matangnya fisik untuk melahirkan.31
Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi usia perkawinan di dalam Pasal 15 ayat 1 demi kebaikan keluarkan dan rumah tangganya, yakni semua komponen rumah tangga meliputi istri dan suami telah matang jiwa dan raga, sehingga tujuan pernikahan tercapai dengan baik tanpa adanya perceraian, ditambah keturunan yang baik dan sehat.32
Pada dasarnya Islam tidak membatasi umur seseorang untuk dapat menikah. Dalam Islam klasik juga dijelaskan tentang dibolehkannya pernikahan pada anak-anak di bawah umur, sebagaimana pendapat ulama salaf klasik, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Hanafi dan Imam Hambali.
Bagi mereka, mumayiz bukanlah ukuran dibolehkannya menikah, akil balig sudah cukup memenuhi kriteria seseorang untuk berumah tangga, sebagaimana Nabi Muhammad Saw menikah Aisyah di usia muda.33
30 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
31 Suryati Romauli dan Anna Vida Vindari, Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswa Kebidanan (Yogyakarta: Nuha Media, 2012), tt.
32 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 77.
33 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi`I, Hambali, terj. Masykur. A.B. dkk (Jakarta: PT Lentera Baristama, 2003), 317-318.
Meski demikian, juga terdapat pendapat fukaha seperti Utsman al- Batti, Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham yang tidak membolehkan anak di bawah umur untuk menikah. Menurutnya, anak di bawah umur, baru dapat dinikahkan ketika sudah balig dan mendapat persetujuannya secara eksplisit. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah surat An-Nisa (4):6.
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya….” (QS. An-Nisa (4):6).
Batas usia untuk dapat melangsungkan perkawinan dapat diintegrasikan ke dalam rukun nikah. Namun, pada dasarnya Islam sejatinya tidak memberikan batasan umur minimal kawin bagi umat manusia. Hanya saja, jika dikaitkan dengan fase tingkatan kemampuan menerima dan menjalankan hukum (ahliyyah al-wujub wa al-ada‟), maka fase menikah yaitu berada pada fase balig dan rusyd.34
Standarisasi usia untuk melangsungkan perkawinan dihubungkan dengan kata rusyd, terdapat dalam Al-Qur`an Surah An-Nisa‟ ayat 6:
...
34 Ali Hasballah, Usul at-Taasyri‟ al-Islam (Kairo: Dar al-Ma‟arif, tt), 395-396.
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…”
Ayat di atas menjelaskan bahwa harta seorang anak yatim dapat diberikan jika telah memasuki umur untuk menikah, yakni memasuki usia dewasa dan mempunyai sifat rusyd.35 Ulama mujtahid pada saat memberikan tafsir pada pengertian memasuki usia menikah, mereka memaknainya sebagai cukup usia atau pandai. Terdapat pula pendapat yang menyebut balig, yaitu ketika mimpi basah.36
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, tidak menjelaskan secara detail tentang usia menikah, al-Quran hanya memberikan gambaran berupa isyarat atau tanda-tanda, sehingga fiqih dan umat Muslim sendirilah yang menentukan batasan usia menikah tersebut sesuai dengan isyarat dan tanda yang telah ada dengan menyesuaikan waktu dan tempat hukum tersebut diberlakukan.37
Maka dari itu, tidak terdapat penjelasan dalam Islam yang menyebut terkait batas usia minimal dibolehkannya menikah, hanya berupa tanda balig atau dewasa saja. Di mana dewasa sendiri memiliki ketidaksamaan antara manusia dengan manusia yang lainnya, karena bersifat elastis.38
35 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar (Mesir: Al-Manar, 1325 H), 387.
36 Ibnu Kasir, al-Tafsir al-Qur`an (Beirut: Nurul Ilmiyyah, 1991), 425.
37 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 44.
38 Sofia Hardani, “Analisis Tentang Batas Umur Untuk Melangsungkan Pernikahan Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia”, Jurnal Pemikiran Islam, 40/2, (2015), 10.
Fenomena perkawinan anak akan selalu menimbulkan persoalan dan dampak negatif yang tidak kunjung usai. Isu pro kontra di tengah masyarakat terus menguat jika tingkat kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif perkawinan di bawah umur masih rendah. Padahal, ada banyak dampak negatif yang tersembunyi di balik perkawinan ini, baik dari segi ekonomi, psikis, sosial, pendidikan, dan masih banyak lainnya.
2. Dampak Perkawinan Dini
Untuk lebih jelasnya terkait dampak perkawinan dini, berikut penulis uraikan beberapa dampak positif dan negatif perkawinan di bawah umur, antara lain:39
a. Dampak positif 1) Menghindari Zina
Dengan melakukan perkawinan di bawah umur, orang tersebut lebih terjamin dari perbuatan keji atau zina yang disebabkan oleh lingkungan dan pergaulan bebas.
2) Belajar Tanggung Jawab
Pasangan suami istri akan berusaha untuk saling melengkapi kekurangan dari pasangan masing-masing. Salah satunya dengan bersikap penuh tanggung jawab demi bertahan hidup.
b. Dampak Negatif 1) Melanggar Hukum
39 Catur Yunianto, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Perkawinan (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2018), 45-47.
Seseorang yang tetap melangsungkan perkawinan di usia muda, maka pada dasarnya ia telah melanggar UU No. 16/2019 tentang Perkawinan. Oleh karenanya, ia wajib mendapatkan izin dari pengadilan agar mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
2) Hilangnya Masa Remaja
Seseorang yang melakukan perkawinan di bawah umur, tidak dapat menikmati masa-masa remaja, yaitu di masa seseorang untuk mendapatkan pengalaman dan pendidikan yang tidak bisa didapatkan selain di masa remaja. Hal itu karena pelaku perkawinan anak memiliki tanggung jawab untuk mengurus rumah tangganya.
3) Risiko Kesehatan
Ketidaksiapan fisik untuk melangsungkan kehamilan di usia muda, dapat membahayakan calon ibu. Tidak hanya itu, tingkat kesehatan calon ibu dan anak dipertaruhkan dari ketidakmatangan fisik untuk mengalami masa kehamilan.
4) Hilangnya Masa Pendidikan
Umumnya, seseorang yang melakukan perkawinan di bawah umur, akan memilih untuk putus sekolah. Tingginya angka putus sekolah di suatu negara justru akan meningkatkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di negara tersebut.
5) Lemah Mental
Perkawinan di bawah umur akan mengakibatkan seseorang memiliki mental yang lemah. Hal ini karena masa-masa tersebut seseorang perlu mendapatkan pendidikan mental yang cukup.
Akibatnya pasangan perkawinan anak lebih bersikap labil dalam menghadapi persoalan hidupnya.
3. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Dini
Terjadinya perkawinan di bawah umur tidak terlepas dari faktor- faktor yang juga mempengaruhinya, antara lain:40
a. Faktor Hamil di Luar Nikah
Pergaulan yang tidak terkontrol ditambah rendahnya akhlak seseorang dapat menjerumuskan ke dalam lingkaran perzinahan.
Akibatnya, hamil di luar nikah tidak dapat dihindari. Guna menghilangkan aib keluarga, seseorang kadang memilih untuk melakukan perkawinan anak dengan memohon izin kepada Pengadilan Agama.
b. Faktor Lingkungan
Bagaimanapun lingkungan juga memberikan peran dari penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur. Lingkungan yang memiliki tingkat perkawinan anak yang tinggi akan mempengaruhi anak-anak lainnya di lingkungan tersebut. Tidak hanya itu, lingkungan
40 Yanti, Hamidah, Dan Wiwita, “Analisis Faktor Penyebab Dan Dampak Pernikahan Dini Di Kecamatan Kandis Kabupaten Siak”, Jurnal Ibu Dan Anak, 6/2 (2018), 100-101.
yang memiliki kebiasaan nikah di masa muda, juga memberikan pengaruh seseorang melakukan perkawinan anak.
c. Faktor Orang Tua dan Keluarga
Tidak sedikit orang tua yang memilih untuk menikahkan anaknya di masa muda. Baik hal itu disebabkan karena faktor perjodohan atau bisa jadi pada masa mudanya, orang tuanya juga melakukan perkawinan di masa muda. Selain itu, anak yang mulai aktif berpacaran di usia muda, terkadang orang tua segera menikahkan anaknya dengan pacarnya guna menghindari dari perbuatan zina.
d. Faktor Pendidikan
Umumnya pelaku perkawinan di bawah umur memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya anak tersebut tidak banyak mengetahui bahaya di balik perkawinan anak. Padahal, seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dengan mudah dapat menerima segala perubahan sosial yang mengarah kepada kebaikan.
e. Faktor Ekonomi
Selain banyak terjadi pada masyarakat berpendidikan rendah, perkawinan di bawah umur juga banyak dialami bagi orang dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah. Tidak sedikit orang tua memilih untuk menikahkan anaknya di usia dini agar anaknya dapat segera mandiri dan tidak menjadi tanggung jawab orang tuanya.
f. Faktor Individu
Ketidaksiapan mental atau mental yang labil cenderung mengakibatkan seseorang untuk melakukan perkawinan di usia muda.
Rasa saling mencintai pada lawan jenis di usia muda, dilampiaskan pada perkawinan di usia muda. Terlebih dukungan orang tua merestui anaknya untuk menikah di usia muda, dapat memperbesar keran perkawinan anak di negara ini.
4. Pengertian Dispensasi Kawin
Dispensasi merupakan pengecualian berlakunya hukum dikarenakan terdapat ketentuan khusus, sehingga terbebas dalam kewajiban ataupun larangan.41 Dispensasi adalah sejenis keringanan yang diberikan sebagai tanggapan atas larangan tertentu yang telah digariskan dalam undang-undang; termasuk dilarangnya pernikahan pada batasan umur tertentu. Namun karena terdapat hal tertentu, sehingga diberikan kebebasan.42
Dispensasi kawin merupakan situasi di mana pengadilan akan memberikan dispensasi nikah kepada calon suami atau istri, jika mereka belum berusia 19 (sembilan belas) tahun pada saat melangsungkan pernikahan.43 Bagi laki-laki dan perempuan yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun, Roihan A. Rasyid mendefinisikan dispensasi nikah sebagai dispensasi yang diberikan oleh Pengadilan Agama kepada calon
41 Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 102.
42 Soetomo, Pengantar Hukum Tata Pemerintahan (Malang: Universitas Brawijaya, 1981), 46.
43 Pasal 1 ayat 5, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin.
pengantin yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan.
Maka dari itu, kedua orang tua calon mempelai mengajukan diri untuk meminta dispensasi ke pengadilan agama setempat.44
Dispensasi Perkawinan adalah penghapusan segala batasan (batasan umur) terhadap terjalinnya hubungan perkawinan antara lelaki dan perempuan dengan maksud untuk mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang sejahtera dan langgeng berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.45
Dispensasi Perkawinan adalah keringanan yang diberikan oleh pengadilan kepada calon suami atau istri yang belum memenuhi syarat- syarat perkawinan yang sah, yaitu baik laki-laki maupun perempuan belum mencapai batas usia minimal 19 tahun.46
Dispensasi Perkawinan didefinisikan sebagai batas usia yang dapat dilihat dari pemuda yang berusia 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pertimbangan hakim yang dituangkan dalam bentuk putusan berdasarkan bukti-bukti pemohon menjadi dasar bagi penafsiran gramatikal dispensasi nikah. Hakim kemudian membuat keputusan
44 Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 32.
45 R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum (Jakarta: PT Pradya Paramitha, 1996), 36.
46 Yolinda Eka Fania Setiawan dan Eko Wahyudi, “Implementasi Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Surabaya”, Jurnal Revolusi Indonesia, 1/8 (Juli, 2021), 870.
„Contrario‟ mengenai dispensasi perkawinan, di mana teori hukum diterapkan untuk menangani masalah dengan sistem tertentu.47