BAB II TINJAUAN PUSTAKA
C. Remaja
3. Perkembangan Seksual Remaja
Yusuf (2011) menjelaskan perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri, yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Uraian lebih lanjut sebagai berikut :
a. Ciri-ciri seks primer
Pada saat remaja pria ditandai dengan pertumbuhan testis, yaitu pada tahun pertama dan kedua, kemudian tumbuh secara lebih lambat, dan mencapai usia matangnya pada usia 20 atau 21 tahun.
Sebenarnya testis ini sudah ada sejak kelahiran, namun baru 10%
dari ukuran matangnya. Setelah testis mulai tumbuh, penis mulai bertambah panjang, pumbuluh mani dan kelenjar prostat semakin membesar. Matangnya organ-organ seks tersebut, memungkinkan remaja pria (sekitar usia 14-15 tahun) mengalami “mimpi basah”
(mimpi berhubungan seksual).
Pada remaja wanita, kematangan organ-organ seksualnya ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina dan ovarium (indung telur) secara cepat. Ovarium menghasilkan ova (telur) dan mengeluarkan hormon-hormon yang diperlukan untuk kehamilan, menstruasi perkembangan seks sekunder. Pada masa inilah (sekitar usia 11-15 tahun), untuk pertama kalinya wanita “menarche” (menstruasi pertama). Peristiwa “menarche” ini diikuti oleh menstruasi yang terjadi dalam interval yang tidak beraturan. Untuk jangka waktu enam bulansampai satu tahun atau lebih, ovulasi mungkin tidak selalu terjadi menstruasi awal sering disertai dengan sakit kepala, sakit punggung, dan kadang-kadang kejang, serta merasa lelah, depresi dan mudah tersinggung.
b. Ciri-ciri seks sekunder
Ciri-ciri atau karakteristik seks sekunder pada masa remaja wanita adalah : tumbuh rambut public atau bulu kapok di sekitar kemaluan dan ketiak, bertambah besar buah dada, dan bertambah besarnya pinggul. Sedangkan pada pria adalah : tumbuh rambut publik atau bulu kapok disekitar kemaluan atau ketiak, terjadi perubahan suara, tumbuh kumis, dan tumbuh gondok laki (jakun).
D. Pengaruh Komunikasi Seksual Orang Tua terhadap Perilaku Seksual Remaja
Stainberg (2002) menyatakan masa remaja sebagai masa peralihan dari ketidakmatangan masa kanak-kanak menuju kematangan pada masa dewasa. Ia juga menyatakan bahwa masa remaja merupakan periode transisi yang meliputi segi-segi biologis, fisiologis, social dan ekonomis yang
didahului oleh perubahan fisik (bentuk tubuh dan proporsi tubuh) maupun fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Oleh karena itu masa remaja merupakan masa dimana sesorang dihadapkan pada tantangan dan masalah baik itu masalah perkembangan maupun lingkungan. Tantangan dan masalah ini akan berdampak pada perilaku remaja, khususnya perilaku seksualnya. Secara umum perilaku seksual remaja dipengaruhi oleh hormon- hormon seksual yang meningkat juga menyebabkan peningkatan dorongan seksual pada remaja.
Salah satu penyebab perilaku seksual pranikah menurut (Sarwono, 2013) adalah informasi yang salah mengenai seksualitas. Orang tua merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam dalam mengembangkan eksistensi remaja termasuk kebutuhan fisik dan psikis, sehinggan remaja dapat tumbuh dan berkembang ke arah yang matang dan harmonis. Disinilah peran orang tua sangat dibutuhkan, karena peran orang tua dalam menciptakan komunikasi yang baik dalam keluarga. Seperti yang dikatakn oleh (Monks, dkk 1994) bahwa kualitas hubungan dengan orang tua memegang peranan yang penting dalam kehidupan remaja.
Komunikasi yang baik antara orang tua dan remaja menjadikan remaja merasa dihargai sehingga ia akan merasa bebas mengungkapkan perasaan serta keinginannya. Hal ini didukung oleh (Jaccard & Dittus, 1991) yang menyebutkan bahwa komunikasi orang tua mengenai seks dapat memprediksi perilaku seksual remaja. Pada masa remaja, rasa ingin tahu mengenai seksualitas sangat penting dalam pembentukan hubungan baru dengan lawan jenisnya. Berbagai masalah, konflik yang dihadapi remaja membutuhkan kehadiran orang tua dan orang dewasa yang mampu
memahami dan memperlakukan secara bijak serta membantu mereka memecahkan masalahnya.
E. Kerangka Pikir
melakukan
memiliki pengaruh
menghasilkan
Komunikasi seksual oang tua yang efektif
Komunikasi seksual orang tua yang tidak
efektif
Remaja - Aborsi
- Hamil diluar nikah - Seks bebas - Pergaulan bebas
Komunikasi Seksual Orang Tua
Perilaku Seksual Remaja
a. Remaja tidak dapat mengontrol
perilaku seksualnya b. Remaja lebih
nyaman mencari tahu mengenai seksualitas kepada media sosial dan teman sebaya c. Pergaulan remaja
akan semakin bebas
a. Remaja dapat mengontrol
perilaku seksualnya b. Kelekatan anatara
orang tua dan remaja dapat terjadi
c. Remaja semakin terbuka dengan orang tua
mengenai masalah seksualitasnya
Salah satu faktor masalah seksualitas pada remaja terjadi karena perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan itu hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. Penyaluran itu tidak dapat dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan. Selanjutnya remaja akan berkembang lebih jauh terhadap hasrat seksual kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Hal ini akan semakin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksualitas melalui media masa (video, VCD, telepon genggam, internet dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi bagi remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba tindakan yang berhubungan dengan perilaku seksual (Sarwono, 2013).
Pada tahap ini remaja membutuhkan orang tua untuk memberikan pengetahuan mengenai seksual agar mereka tidak mencari informasi dari sumber yang tidak bertanggung jawab. (Dariyo, 2004) mengatakan bahwa peran orang tua dalam mendidik anak sangat penting. Dalam hal ini, dibutuhkan komunikasi antara orang tua dan anak remaja, agar remaja merasa diperhatikan, disayangi, dan didorong untuk mencapai kemajuan dan perkembangan bakatnya secara maksimal serta dapat mengontrol diri dari hal-hal yang dapat menjerumuskan dirinya.
Orang tua sebagai informan terdekat memiliki peran penting dalam memberikan informasi kepada remaja terkait dengan seksualitas.
Komunikasi antara orang tua dana anak bertujuan untuk memberikan informasi yang benar kepada anak mengenai seksualitas sehingga anak memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai hal tersebut dan tidak
terjerumus dalam penyimpangan seksual maupun perilaku seksual pranikah.
Hal ini didukung oleh (Prihasiningrum, 2015) tentang hubungan antara komunikasi seksual orang tua dan perilaku beresiko mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta menujukan hasil bahwa semakin tinggi komunikasi orang tua dan remaja maka perilaku beresiko akan semakin rendah, sebaliknya semakin rendah komunikasi orang tua dan remaja maka perilaku beresiko remaja akan semakin tinggi. Hal ini juga didukung oleh Schinke (dalam Sarwono, 2013) membuktikan bahwa makin baik hubungan ibu anak, makin sedikit kemungkinan anak itu melakukan hubungan seksual.
Kesimpulannya adalah semakin tinggi tingkat komunikasi seksual orang tua dan remaja semakin rendah perilaku seksual remaja dan semakin rendah komunikasi seksual orang tua dan remaja semakin tinggi perilaku seksual remaja.
F. Hipotesis
Berdasarkan paparan kerangka berpikir diatas, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh komunikasi seksual orang tua terhadap perilaku seksual remaja di Makassar.
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Metode kuantitatif adalah metode ilmiah/scientific karena memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional dan sistematis. Metode penelitian yang berdasarkan filsafat positivism, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang ditetapkan (Sugiyono, 2013).
B. Variabel Penelitian
Sugiyono (2013) mengemukakan variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel dalam penelitian ini terdiri atas satu variabel independen dan satu variabel dependen. Variabel dalam penelitian ini adalah :
Variabel independen (X) : Komunikasi Seksual Variabel dependen (Y) : Perilau seksual
Perilaku Seksual Komunikasi Seksual
C. Defenisi
1. Defenisi Konseptual Penelitian a) Perilaku Seksual
Sarwono (2013) menjelaskan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.
b) Komunikasi Seksual
Komunikasi mengenai seksualitas didefinisikan sebagai komunikasi yang berkaitan dengan diskusi tentang kesehatan seksual, termasuk HIV/AIDS, IMS, penggunaan kondom, dan KB.
Komunikasi tentang seksualitas adalah bersedianya sesorang untuk berkomunikasi dan berdiskusi dengan orang lain mengenai topik-topik seksualitas yang berhubungan dengan seksualitas manusia itu sendiri. Komunikasi orang tua dan remaja mengenai seks juga diartikan sebagai komunikasi yang berfokus pada mengurangi perilaku seksual beresiko atau memberitahukan seks yang bertanggung jawab dan aman dikalangan remaja (Lefkowitz &
Hernandez, 2007).
2. Defenisi Operasional Penelitian a) Perilaku Seksual
Variabel perilaku seks dalam penelitian ini adalah mulai dari berpegangan tangan (mengenggam dan mengandeng), berciuman (mencium pipi, menicum kening, mencium bibir), meraba payudara (dari luar pakaian dan dari dalam pakaian dengan telapak tangan), meraba alat kelamin (menggunakan pakaian dan tidak menggunakan pakaian), hubungan seksual (melakukan hubungan badan dan intim dengan pasangan).
b) Komunikasi Seksual
Variabel komunikasi seksual dalam penelitian ini adalah Frekuensi (seberapa sering orang tua membicarakan tentang seksual, kuantitas, intensitas dalam berkomunikasi antara orang tua dan remaja) dan kaulitas (memahami komunikasi seksualitas yang di sampaikan, kenyamanan dalam berkomunikasi, kepuasan, dan kehangatan yang di dapatkan dari komunikasi antara orang tua dan remaja)
D. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 1. Populasi
Dalam penelitian kuantitatif populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atau obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013). Dalam peneltian ini yang dijadikan populasi adalah Remaja di kota Makassar.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi.
Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili) (Sugiyono, 2013). Berdasarkan sampel dalam penelitian ini kriteria subjek yang akan dijadikan wialyah generalisasi adalah:
a. Remaja di Makassar
b. Sedang / pernah berpacaran c. Memiliki orang tua / wali d. Bersedia menjadi responden
Penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu dengan taraf kesalahan 5%, jadi hasilnya 350 responden.
3. Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian. Jenis sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nonprobability Sampling. Nonprobability Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quota Sampling adalah teknik
teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan (Sugiyono, 2013).
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala perilaku seksual dan skala komunikasi seksual. Azwar (2015) menjelaskan skala adalah perangkat pertanyaan yang disusun untuk mengungkap atribut tertentu melalui skala respon terhadap pertanyaan tersebut. Skala yang digunakan yaitu skala komunikasi interpersonal dan pendidikan seksual.
1. Skala Perilaku Seksual
Skala perilaku seksual disusun untuk mengetahui seberapa tinggi atau rendah perilaku seksual pada remaja. Skala perilaku seksual dibuat oleh Yulita Putri Dinanti berdasarkan teori dari (Sarwono, 2012). Skala dalam penelitian ini merupakan skala pernyataan-pernyataan yang menggambarkan perilaku seksual remaja. Keseluruhan aitem terdiri dari dua jenis yaitu aitem yang bersifat favorable dan unfavorable disusun berdasarkan skala likert. Adapun cara pemberian skor untuk aitem pernyataan favorable (respon mendukung) dengan skor tertinggi diberikan pada jawaban (Selalu) S=5, (Hampir Selalu) HS=4, (Kadang- kadang) KK=3, (Hampir Tidak Pernah) HTP=2, (Tidak Pernah) TP=1 sedangkan aitem pernyataan unfavorable (respon tidak mendukung) dengan skor tertinggi diberikan pada jawaban (Tidak Pernah) TP=5, (Hampir Tidak Pernah) HTP=4, (Kadang-kadang) KK=3, (Hampir selalu) HS=2, (Selalu)=1. Adapun rincian aitem blue print skala perilaku seksual uji coba terpakai sebagai berikut :
Tabel 3.1
Blue-Print Perilaku Seksual Remaja Uji Coba Terpakai
Aspek Indikator Favorable Unfavorable Jumlah Berpegangan
tangan
Menggenggam
tangan 1, 10, 26 31,34,43
Menggandeng 13
tangan 2, 11, 36 6, 12, 29, 38
Berciuman
Mencium pipi
20 35, 41, 45 Menicum 11
kening 3 7, 21, 27
Mencium bibir
5, 39 8
Meraba Payudara
Meraba/diraba payudara dari
dalam pakaian 4, 23, 46 13, 44, 48 Meraba/diraba 12
payudara dari
luar pakaian 14, 32, 42 16, 22, 37
Meraba alat kelamin
Meraba/diraba alat kelamin menggunakan pakaian
15, 18, 28 17, 24
7 Meraba/diraba
alat kelamin tidak
menggunakan pakaian
9 19
Hubungan badan
Melakukan hubungan badan dengan pasangan
25, 47 Melakukan 5
hubungan intim dengan
pasangan
30, 40 33
Total 48
2. Skala Komunikasi Seksual Orang Tua
Skala ini disusun berdasarkan aspek komunikasi seksual oleh (Lefkowitz & Hernandez, 2007) yang terdiri dari Frequency (frekuensi) dan Quality (kualitas). Skala dalam penelitian ini merupakan skala pernyataan-pernyataan yang menggambarkan perilaku seksual remaja.
Keseluruhan aitem terdiri dari dua jenis yaitu aitem yang bersifat favorable dan unfavorable disusun berdasarkan skala likert. Adapun cara pemberian skor untuk aitem pernyataan favorable (respon mendukung) dengan skor tertinggi diberikan pada jawaban (Sangat Setuju) SS=4, (Setuju) S=3, (Tidak Setuju) TS=2, (Sangat Tidak Setuju) STS=1 sedangkan aitem pernyataan unfavorable (respon tidak mendukung) dengan skor tertinggi diberikan pada jawaban (Sangat Tidak Setuju) STS=4, (Tidak Setuju) TS=3, (Setuju) S=2, (Sangat Setuju) SS=1.
Adapun rincian aitem blue print skala komunikasi seksual sebagai berikut
Tabel 3.2
Blue-Print Skala Komunikasi Seksual Orang Tua
Aspek Indikator Favorable Unfavorable Jumlah Frequency
(Frekuensi)
Kuantitas 1,11,21,31,41 6,16,26,36,46 10 Durasi 2,12,22,32,42 7,17,27,37,47 10 Quality
(Kualitas)
Kenyamanan 3,13,23,33,43 8,18,28,38,48 10 Kepuasan 4,14,24,34,44 9,19,29,39,49 10 Kehangatan 5,15,25,35,45 10,20,30,40,50 10
Total 50
F. Uji Instrumen 1. Uji Validitas
Azwar (2015) validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya. Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut. Akurat dalam hal ini berarti tepat dan cermat sehingga apabila tes menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran maka dikatakan sebagai pengukuran yang memiliki validitas rendah. Validitas yang akan diukur dalam penelitian ini yaitu validitas isi dan validitas konstruk.
a. Validitas isi
Validitas isi merupakan jenis validitas yang mengukur sejauhmana elemen-elemen dalam suatu instrumen ukur benar-benar relevan dan merupakan representasi dari konstrak yang sesuai dengan tujuan pengukuran. Dalam konsep validitas isi tercakup pengertian validitas tampang (face validity) yang merupakan titik awal untuk mengevaluasi aitem-aitem skala/tes, dan validitas logis (logical validity) yang merupakan bentuk analisa yang lebih dalam untuk menilai kelayakan isi aitem sebagai jabaran dari indikator keperilakuan atribut yang diukur (Azwar, 2015). Validitas isi dianalisis menggunakan CVR.
b. Validitas Konstrak
Validitas konstrak merupakan bentuk validitas yang bertujuan untuk membuktikan apakah hasil pengukuran yang diperoleh melalui aitem- aitem berkorelasi tinggi dengan kontrak teoretik yang menjadi dasar penyusunan tes tersebut. Validitas konstrak juga membuktikan apakah skor yang diperoleh mendukung konsep teoretik yang diinginkan oleh tujuan pengukuran semula (Azwar, 2015). Validitas konstrak menggunakan lisrel 8.70. Kemudian data yang sudah dianalisis menggunakan lisrel akan dapat dikatakan valid jika faktor loading bernilai positif dan T-value ≥ 1,96.
Berdasarkan hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 48 aitem skala perilaku seksual, terdapat 31 aitem yang gugur sehingga total aitem yang tidak gugur adalah 17 aitem. Adapun aitem yang gugur pada skala perilaku seksual adalah 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 36, 37, 40, 41, 42, 44 dan 47. Dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.3
Blue Print Perilaku Seksual setelah Uji Coba
Aspek Indikator Favorable Unfavorable Jumlah Berpegangan
tangan
Menggenggam
tangan 1 34,43
Menggandeng 4
tangan 38
Berciuman
Mencium pipi
35, 45 Menicum 4
kening 3
Mencium bibir
39
Meraba Payudara
Meraba/diraba payudara dari
dalam pakaian 4, 46 48
Meraba/diraba 4 payudara dari
luar pakaian 16
Meraba alat kelamin
Meraba/diraba alat kelamin menggunakan pakaian
28
3 Meraba/diraba
alat kelamin tidak
menggunakan pakaian
9 19
Hubungan badan
Melakukan hubungan badan dengan pasangan
25 Melakukan 2
hubungan intim dengan
pasangan
33
Total 17
Sedangkan uji validitas skala komunikasi seksual terdapat 15 aitem yang gugur sehingga total aitem yang tidak gugur adalah 35 aitem. Adapun aitem yang gugur pada skala komunikasi seksual adalah 2, 6, 7, 10, 11, 13, 17, 18, 19, 20, 26, 36, 38, 39 dan 42. Dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.4
Blue Print Komunikasi Seksual setelah Uji Coba
Aspek Indikator Favorable Unfavorable Jumlah Frequency
(Frekuensi)
Kuantitas 1,21,31,41 16,46 6
Durasi 12,22,32 27,37,47 6
Quality (Kualitas)
Kenyamanan 3,23,33,43 8,28,48 7 Kepuasan 4,14,24,34,44 9,29,49 8 Kehangatan 5,15,25,35,45 30,40,50 8
Total 35
2. Uji Reliabilitas
Azwar (2015) menyatakan bahwa reliabilitas memiliki pengertian yang mengacu pada keterpercayaan atau konsistensi alat ukur, yang mengandung makna seberapa tinggi kecermatan pengukuran.
Pengukuran dikatakan tidak cermat bila eror pengukurannya terjadi secara random antara skor individu yang satu dengan yang terjadi eror tidak konsisten dan bervariasi sehingga perbedaan skor diperoleh lebih banyak ditentukan oleh eror, bukan oleh perbedaan yang sebenarnya.
Implikasi pengukuran yang tidak cermat berarti juga tidak konsisten dari
waktu ke waktu. Koefisien reliabilitas (rxxʾ) berada dalam rentang angka dari 0 sampai dengan 1,00. Sekalipun bila koefisien reliabilitas semakin tinggi mendekati angka 1,00 berarti pengukuran semakin reliable, namun dalam kenyataanya pengukuran psikologi keofisien sempurna yang mencapai angka rxxʾ = 1,00 belum pernah dijumpai. Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan bantuan SPSS 20.
Reliabilitas atau nilai alpha yang diperoleh dari hail uji reliabilitas adalah koefisien reliabilitas skala perilaku seksual dengan jumlah subjek 350 orang dan diperoleh nilai alpha 0.285. sedangkan hasil uji reliabilitas skala komunikasi seksual dengan jumlah subjek 350 orang dan diperoleh nilai alpha 0.678
Tabel 3.5
Uji Reliabilitas Perilaku seksual Cronbach’s Alpha N of Items
.285 17
Tabel 3.6
Uji Reliabilitas Komunikasi Seksual Cronbach’s Alpha N of Items
.678 35
G. Teknik Analisis Data
Sugiyono (2013) menyatakan bahwa dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden,
mentabulasi data berdasarkan veriabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel, yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.
1. Uji Asumsi
Uji asumsi dilakukan untuk mengetahui apakah analisis data terhadap hipotesis penelitian dapat dilanjutkan atau tidak. Jenis-jenis teknik yang digunakan untuk uji asumsi sebagai berikut :
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah masing- masing variabel berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas di perlukan untuk melakukan pengujian-pengujian variabel lainnya dengan mengansumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal (Ghozali, 2013). Uji normalitas dengan bantuan SPSS 20.
Data berdistribusi normal jika nilai signifikan >0.05, dan data tidak berdistribusi normal jika nilai signifikan <0.05.
Berdasarkan hasil uji normalitas data penelitian menggunakan SPSS 20 hasil signifikan uji normalitas dari kedua variabel adalah 0.73. Sehingga hasil uji normalitas tersebut berdistribusi normal.
Tabel 3.7 Uji Normalitas
Data yang diuji Asymp. Sig. (2-tailed) Perilaku Seksual dan
Komunikasi Seksual .073
b. Uji Linearitas
Uji linearitas bertujuan untuk menguji data yang dihubungkan, apakah berbentuk garis linear atau tidak. Uji linearitas bertujuan untuk memastikan hubungan antara variabel X dan Y bersifat linear, kuadratik atau dalam derajat lebih tinggi. Maksudnya apakah garis X dan Y membentuk garis lurus atau tidak, jika tidak linear maka analisis regresi tidak dapat dilanjutkan (Riduwan, 2011). Uii linearitas menggunakan bantuan SPSS 20. Data dikatakan linear jika nilai p
>0.05.
Berdasarkan hasil uji linearitas antara variabel komunikasi seksual dan perilaku seksual memiliki nilai F=1.055 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukan nilai p > 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi seksual dan perilaku seksual telah memenuhi asumsi linear.
Tabel 3.8 Uji Linearitas
Hubungan F Sig Keterangan Komunikasi Seksual dan
Perilaku Seksual
1.055 .404 Linear
2. Analisis Deskriptif
Azwar (2017) menjelaskan analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran variabel penelitian. Variabel penelitian yang akan dianalisis yaitu komunikasi seksual orang tua dan perilaku seksual remaja. Hasil dari analisis deskriptif akan diubah menjadi beberapa
kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah.
Kategori tersebut disusun dengan syarat : x ≤ - 1,5 σ
= sangat rendah -1,5 σ
< x ≤ - 0,5 σ = rendah
-0,5 σ
< x ≤ + 0,5 σ = sedang +0,5 σ
< x ≤ + 1,5 σ = tinggi
+1,5 σ
< x = sangat tinggi Keterangan µ = Mean
σ = Standar Deviasi 3. Uji Hipotesis
Santoso (2015) mengemukakan bahwa setelah dilakukan uji prasyarat maka data hasil penelitian akan dianalisis menggunakan teknik regresi sederhana untuk menguji hipotesis. Regresi sederhana didasarkan pada hubungan fungsional ataupun kausal satu variabel independen dengan satu variabel dependen. Apabila hasil analisis memiliki nilai signifikan >0.5 maka H0 di terima, namun jika nilai signifikan
<0.5 maka H0 di tolak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ha : Ada pengaruh komunikasi seksual orang tua terhadap perilaku seksual remaja di Makassar
H0: Tidak ada pengaruh komunikasi seksual orang tua terhadap perilaku seksual remaja di Makassar
H. Jadwal Penelitian
Tabel 3.9 Jadwal Kegiatan
Kegiatan
Tahun 2018
Februari Maret April Minggu
ke
Minggu ke
Minggu ke 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pembuatan skala penelitian
Pengumpulan data
Pengolahan dan analisis data
Penyusunan skripsi dan konsultasi
I. Persiapan Penelitian
Setelah melakukan ujian proposal, hal yang dilakukan peneliti adalah merevisi proposal berdasarkan komentar dan saran yang diterima oleh penguji dan pembimbing. Setelah itu, peneliti membuat skala penelitian.
Peneliti mengadopsi skala dari peneliti sebelumnya “Yulita Putri Dinanti”
tentang perilaku seksual dan membuat sendiri skala komunikasi seksual.
Setelah pembuatan skala, peneliti melakukan bimbingan untuk perbaikan skala yang telah dibuat. Setelah skala tersebut sudah selesai melalui dosen pembimbing, maka selanjutnya peneliti meminta kesediaan dosen expert untuk mengomentari dan memberi saran atas skala yang sudah dibuat untuk digunakan pada penelitian.
Setelah skala tersebut dikembalikan, peneliti melakukan perhitungan aiken. Kemudian peneliti melakukan uji keterbacaan skala untuk memeriksa kalimat yang peneliti gunakan pada skala tersebut. Uji keterbacaan tersebut diberikan kepada lima orang berdasarkan kriteria subjek yang telah