BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS
A. Penyajian Data dan Analisis
1. Pola Asuh Orang Tua dalam Film I Not Stupid Too
Secara etimologi pola adalah model, sistem dan cara kerja.
Sedangkan asuh dalam bentuk kata kerja adalah mengasuh yang berarti menjaga, merawat dan mendidik.
Pada dasarnya pola asuh menurut Wahyuning adalah seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua (pengasuh) dengan anak (yang diasuh).24
Menurut Ormord pola asuh (parenting style) adalah pola perilaku umum yang digunakan orang tua dalam dalam mengasuh anak- anaknya.25 Selain itu menurut Sunarti, pola asuh merupakan serangkaian interaksi yang intensif, orang tua mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup.26 Dalam mengasuh anak, interaksi tersebut bisa berupa pemberian hukuman, pujian, bentuk komunikasi, dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan pola asuh orang tua adalah cara perlakuan atau proses interaksi orang tua dalam menjaga, merawat dan mendidik
24 Wiwit Wahyuning, Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2003), 126.
25 Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan, terj. Wahyu Indianti (Jakarta: Erlangga, 2008), 94
26 Euis Sunarti, Mengasuh dengan Hati (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004), 18.
anak untuk memiliki kecakapan hidup agar anak mampu menjalani kehidupannya dengan baik.
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Setiap orang tua memiliki gaya pola asuh tersendiri dalam mengasuh anak-anaknya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh ialah:27
1) Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orang tua
Bila orang tua merasa bahwa orang tua mereka berhasil mendidik mereka dengan baik, mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuhan mereka. Bila mereka merasa teknik yang digunakan orang tua mereka salah, biasanya mereka beralih ke teknik yang berlawanan
2) Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok
Semua orang tua, tapi terutama mereka yang muda dan tidak berpengalaman, lebih dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota kelompok mereka dianggap cara sebagai “terbaik” daripada oleh pendirian mereka sendiri mengenai apa yang terbaik.
3) Usia orang tua
Orang tua yang muda cenderung lebih demokratis dan pemisif dibandingkan dengan mereka yang lebih tua. Mereka cenderung mengurangi kendali tatkala anak menjelang remaja.
4) Pendidikan untuk menjadi orang tua
27 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, terj. Meitasari Tjandrasa (Jakarta: Erlangga, 1990), 95.
Orang tua yang telah mendapat kursus dalam mengasuh anak dan lebih mengerti anak dan lebih mengerti anak dan kebutuhannya lebih menggunakan teknik demokratis dibandingkan orang tua yang tidak mendapat pelatihan demikian.
5) Jenis kelamin
Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibandingkan pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orang tua dan guru maupun untuk para pengasuh lainnya.
6) Status sosio ekonomi
Orang tua dan guru kelas menengah dan rendah cenderung lebih keras, memaksa, dan kurang toleran dibandingkan mereka yang dari kelas atas, tetapi mereka lebih konsisten. Semakin berpendidikan, semakin mereka menyukai disiplin demokratis.
7) Konsep mengenai peran orang dewasa
Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orang tua yang menganut konsep lebih modern.
8) Jenis kelamin anak
Orang tua pada umunya lebih keras terhadap anak perempuan daripada terhadap anak laki-lakinya
9) Usia anak
Disiplin otoriter jauh lebih umum digunakan untuk anak kecil daripada untuk mereka yang lebih besar. Adapun teknik yang disukai,
kebanyakan orang tua merasa bahwa anak kecil tidak dapat mengerti penjelasan, sehingga mereka memusatkan pada pengendalian otoriter.
10) Situasi
Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan sikap menantang, negativisme dan agresi kemungkinan lebih mendorong pengendalian otoriter.
c. Macam-Macam Pola Asuh
Setiap orang tua memiliki pola tersendiri dalam mengasuh anak.
Seiring dengan perkembang zaman, orang tua diharapkan memberikan pengasuhan yang sesuai dengan karakteristik anak.
Purwa mengemukakan pendapat Diana Baumrind dalam psikologi pendidikan, yang telah mengadakan penelitian berkaitan dengan gaya pendisiplinan/pola asuh yang dilakukan oleh orang tua. Hasilnya ada tiga macam, diantaranya:28
1) Pola Asuh Autoritatif
Gaya pendisiplinan autoritatif adalah gaya disiplin yang tegas, keras, menuntut, mengawasi, dan konsisten tetapi penuh kasih sayang dan komunikatif. Gaya pendisiplinan model ini orang tua mau mendengarkan dan memberi penjelasan-penjelasan mengenai peraturan yang mereka buat.
Menurut Santrock, orang tua dengan pola pengasuhan autoritatif memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk berdialog secara
28 Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 218.
verbal. Orang tua juga bersikap hangat dan mengasuh.29 Dalam pola asuh autoritatif ini akan merasakan adanya kasih sayang, perhatian, dan pengawasaan dari orang tua.
Selain itu, pola asuh autoritatif mendorong keberanian untuk mencoba berkreasi, memberikan penghargaan atau pujian atas keberhasilan atau perilaku yang baik, memberikan koreksi bukan ancaman atau hukuman bila anak tidak dapat melakukan sesuatu atau ketika melakukan kesalahan. 30
Dengan orang tua menerapkan pola asuh secara autoritatif, maka timbul kehangatan dan kasih sayang di lingkungan keluarga tersebut.
Orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya, anak juga merasa dihargai keberadaannya serta sikap saling menghargai dari setiap anggota keluarga.
2) Pola Asuh Autoritarian
Pola asuh autoritarian adalah pola asuh yang bersifat menghukum dan membatasi. Orang tua autoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan peluang kepada mereka untuk berdialog secara verbal.31 Pada pola asuh ini orang tua tidak memberi kesempatan kepada anak untuk memyampaikan apa yang menjadi keinginannya.
29 John W. Santrock, Remaja, terj. Benedictine Widyasinta (Jakarta: Erlangga, 2007), 16.
30 Soedjatmiko, Cara Praktis Membentuk Anak Sehat, Tumbuh Kembang Optimal, Kreatif dan Cerdas (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), 85
31 John W. Santrock, Remaja, 16.
Gaya pendisiplinan autoritarian mempunyai ciri-ciri orangtua senang mengawasi anak-anak, orang tua tidak mau mendengarkan suara dari anak-anak, orang tua tidak mau berpartisipasi dengan anak-anak, orangtua bersikap lugu dan dingin pada anak-anak. Orang tua suka menghukum anak-anaknya yang berbuat salah atau keliru. Anak-anak hasil didikan gaya pendisiplinan autoritarian ini memiliki ciri-ciri diantaranya anak yang tidak bahagia, anak cenderung menarik diri dari orang lain, anak suka menyendiri, anak sukar dipercaya oleh orang lain, dan prestasi belajarnya rendah.
3) Pola Asuh Permisif
Penerapan gaya pendisiplinan model ini terdapat kelonggaran pada anak-anak yang sedang mereka didik. Sering kali orang tua justru tidak yakin pada kemampuannya untuk mendidik ana-anaknya secara baik. Akibatnya, orang tua sering menjadi tidak konsisten. Ketidak konsistenan tersebut akan berakibat anak menjadi kurang percaya diri, anak merasa tidak bahagia, dan prestasi belajarnya rendah, terutama sekali terjadi pada anak laki-laki.
Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya. dan hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga.32
32 Nilam Widyarini, Relasi Orangtua dan Anak (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009), 11.
Sedangkan menurut Gunarsa pengasuhan yang permisif dapat dibedakan menjadi pengasuhan yang mengabaikan dan pengasuhan yang memanjakan. Pada pengasuhan yang memanjakan orang tua sangat menunjukkan dukungan emosional kepada anak mereka tetapi kurang menerapkan kontrol kepada anak mereka. Mereka mengizinkan remaja untuk melakukan apa saja yang mereka mau.33
Dalam pola asuh ini, orang tua longgar pengawasan terhadap anak dan juga memanjakan anak. Anak memiliki kewenangan untuk melakukan aktivitas sesuai keinginannya. Pada pola asuh ini anak cenderung tidak termotivasi dan prestasi belajar rendah.
Orang tua sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam menjadikan anak sebagai amanah dari Sang Maha Pencipta maka mereka akan berusaha mendidik anaknya dengan baik. Berbekal dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki serta keyakinan dalam kehidupannya tentu mempengaruhi orang tua tersebut dalam menggunakan pola asuh seperti apa yang akan diterapkan kepada anak-anaknya. Selain itu, setiap orang tua juga memiliki sudut pandang, keinginan, bahkan obsesi bagaimana kelak anaknya menjadi seseorang yang akan memberikan manfaat bagi sesama.
33 Singgih D. Gunarsa,Psikologi Perkembangan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004), 281
2. Kepribadian
a. Pengertian Kepribadian
Istilah kepribadian dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan personality. Istilah ini berasal dari bahasa yunani, yaitu persona yang berarti topeng. Hurlock mengemukakan pendapat Allport yang menyatakan bahwa kepribadian adalah susunan sistem-sistem psikofisik (kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional dan perasaan) yang dinamai dalam diri suatu individu yang menentukan penyesuaian individu yang unik terhadap lingkungan.34
Kuntjojo mengemukakan pendapat Krech dan Crutchfield yang menyatakan bahwa kepribadian adalah integrasi dari semua karakteristik individu kedalam suatu kesatuan yang unik yang menentukan, dan apa yang dimodifikasi oleh usaha-usahanya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang terus menerus.35
Sedangkan menurut Adolf Heuken, kepribadian adalah pola menyeluruh semua kemampuan, perbuatan serta kebiasaan seseorang baik jasmani, mental, rohani, emosional maupun yang sosial. Pola ini terwujud dalam tingkah lakunya, dalam usahanya menjadi manusia sebagaimana dikehendakinya.36 Ormrod mengemukakan bahwa kepribadian adalah perilaku khas yang ditunjukkan seorang individu dalam beragam situasi.37
34 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, 237
35 Kuntjojo, Psikologi Perkembangan (Kediri: Universitas Kediri Press, 2009), 3
36 Ibid., 4
37 Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan, 91
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah integrasi dari semua karakteristik dalam seseorang yang terwujud dalam tingkah lakunya, dalam usahanya menjadi manusia sebagaimana seperti yang dia inginkan.
b. Aspek-Aspek Kepribadian
Para ahli psikologi memberikan penekanan bahwa yang dipelajari bukanlah jiwa, tetapi tingkah laku manusia baik tingah laku yang bisa dilihat (overt) maupun yang tidak bisa dilihat (covert).
Tingkah laku manusia dianalisis kedalam 3 aspek yaitu:38
1) Aspek kognitif ialah pemikiran, ingatan, khayalan, inisiatif, kreativitas, dan pengamatan. Fungsi aspek kognitif adalah untuk menunujukkan jalan, mengarahkan, dan mengendalikan tingkah laku.
2) Aspek afektif ialah bagian kejiwaan yang berhubungan dengan alam perasaan atau emosi. Manakala hasrat, kehendak, kemauan, keinginan, keperluan, dorongan dan elemen motivasi yang lain.
aspek ini berfungsi sebagai tenaga mental yang menyebabkan manusia bertingkah laku.
3) Aspek motorik ialah berfungsi sebagai pelaksana tingkah laku manusia seperti perbuatan dan gerakan jasmaniah yang lain.
c. Kondisi yang Menunjang Perubahan Kepribadian39 1) Perubahan fisik
38 Shahrin Hashim, Psikologi Perkembangan (Malaysia: UTM Press, 2008), 163.
39 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, 247
Perubahan fisik yang disebabkan proses pematangan, gangguan struktural di otak, gangguan organik, gangguan endoktri, cedera, malnutrisi, obat-obat atau penyakit, sering disertai perubahan kepribadian. Pengaruhnya terutama pada konsep diri anak.
2) Perubahan lingkungan
Bila perubahan dalam lingkungan meningkatkan status anak dalam kelompok teman sebaya, perubahan mempunyai pengaruh menguntungkan pada kosep diri. Pengaruh ini tidak berasal dari perubahan lingkungan itu saja, tetapi dari pengaruh perubahan itu pada anak.
3) Tekanan sosial
Semakin kuat dorongan untuk penerimaan sosial, semakin giat anak iti berusaha mengembangkan ciri kepribadian yang memenuhi pola yang disetuji masyarakat.
4) Peningkatan dalam kecakapan
Meningkatnya kemampuan, baik dalam keterampilan motorik maupun mental, mempunyai pengaruh menguntungkan pada konsep diri karena pengakuan sosial yang menyertai peningkatan kecakapan tersebut.
Hal ini membantu anak mengubah perasaan ketidakmampuan menjadi perasaan mampu dan bahkan superioritas.
5) Perubahan peran
Perubahan dari peran bawahan menjadi peran egalitarian atau pemimpin dirumah, sekolah atau lingkungan akan meningkatkan konsep diri anak.
6) Pertolongan profesional
Psikoterapi membantu anak mengembangkan konsep diri yang lebih menguntungkan dengan membantu mereka memperoleh wawasan akan penyebab konsep diri yang merugikan. Dan dengan membantu mereka mengubah konsep diri yang merugikan itu ke yang lebih menguntungkan.
Selain itu menurut Hutagalung faktor penghambat perkembangan kepribadian ada dua macam, antara lain:40
1) Faktor Internal Diri
Perkembangan kepribadian mengalami hambatan yang berasal dari dalam diri individu sendiri dikarenakan:
a) Individu tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas b) Individu kurang termotivasi dalam hidup
c) Individu enggan menelaah diri d) Faktor usia
Pada tiga faktor penghambat internal di atas jelas terlihat bahwa individu terbelenggu pada masa ank-anaknya, dan tidak dapat menjadi pribadi dewasa.
40 Inge Hutagalung, Pengembangan Kepribadian (Jakarta: PT Indeks, 2007), 10.
Adapun faktor usia menjadi penghambat bagi perkembangan kepribadian seorang individu dikarenakan individu yang telah berumur merasa bahwa mereka telah lebih banyak mengetahui arti kehidupan.
2) Faktor Eksternal Diri
Hambatan perkembangan kepribadian individu secara eksternal terjadi diantaranya disebabkan:
a) Faktor tradisi budaya
Pada setiap budaya, seseorang mengalami tekanan untuk mengembangkan suatu pola kepribadian yang sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya. Kelompok menetapkan budaya sebagai model untuk pola kepribadian yang disetujui dan menekan individu-individu yang tergabung di dalamnya untuk berperilaku sesuai dengan norma budaya kelompok yang bersangkutan.
b) Penerimaan masyarakat/sosial
Penerimaan masyarakat/lingkungan sosial juga mempengaruhi keinginan indivdu untuk mengembangkan kepribadiannya. Penerimaan sosial yang tinggi menimbulkan rasa percaya diri tinggi yang berpengaruh pada peningkatan konsep diri positif. Sedangkan, penerimaan masyarakat/sosial yang rendah akan menjadikan seseorang menjadi rendah diri, menarik diri dari kontak sosial, dan terjadi kecenderungan menutup diri yang akan berpengaruh pada pengembangan konsep diri negatif.
d. Macam-Macam Kepribadian
Para ahli psikologi telah mengklasifikan tentang kepribadian menurut pandangan mereka masing-masing. Salah satunya adalah Hippocrates yang menjadi filsuf Yunani terbesar sepanjang sejarah. Dia mengatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh cairan tubuh yang mengalir dalam tubuh manusia.
Hippocrates dalam Suryabrata berpendapat bahwa dalam diri sesorang terdapat 4 macam sifat, diantaranya:41
1) Sifat kering terdapat dalam chole (empedu kuning) 2) Sifat basah terdapat dalam melanchole (empedu hitam) 3) Sifat dingin terdapat dalam phlegma (lendir)
4) Sifat panas terdapat dalam sanguis (darah)
Keempat cairan tersebut ada dalam tubuh dalam proporsi tertentu. Apabila cairan-cairan tersebut adanya dalam tubuh dalam proporsi yang selaras (normal) orangnya normal (sehat), apabila keselarasan proporsi tersebut terganggu maka orangnya menyimpang dari keadaan normal (sakit).
Suryabrata mengemukakan pendapat Galenus, seorang ahli psikologi yang menyempurnakan ajaran Hippocrates tersebut. Galenus berpendapat bahwa kalau suatu cairan adanya dalam tubuh itu melebihi
41 Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 10.
proporsi yang seharusnya maka akan mengakibatkan adanya sifat-sifat yang khas, yaitu:42
1) Chole
Jika dalam tubuh cairan chole (empedu kuning) yang dominan maka sifat-sifat khasnya ialah: hidup (besar semangat) keras, hatinya mudah terbakar, daya juang besar, optimis.
2) Melanchole
Jika dalam tubuh cairan melanchole (empedu hitam) yang dominan maka sifat-sifat khasnya ialah: mudah kecewa, daya juang kecil, muram, pesimis
3) Phlegma
Jika dalam tubuh cairan phlegma (lendir) yang dominan maka sifat-sifat khasnya ialah: tak suka terburu-buru, tak mudah dipengaruhi, setia.
4) Sanguis
Jika dalam tubuh cairan sanguis (darah) yang dominan maka sifat-sifat khasnya ialah: hidup, mudah berganti haluan, ramah.
Sedangkan menurut Santrock, ada lima sifat inti dari kepribadian (big five factors of personality), diantaranya:43
1) Openness (keterbukaan) , yaitu sifat yang terdiri dari: imajinatif atau praktis; tertarik pada keragaman atau rutinitas; independent atau menyesuaikan diri.
42 Ibid, 12
43 John W. Santrock, Remaja, 204
Para Ulama Islam menyadari pentingnya pendidikan melalui keluarga. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “ Ketahuilah bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan. Jika
dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan.44 Begitu juga sebaliknya jika seorang anak dibiasakan tentang kebathilan maka anak juga akan mengikutinya. Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi umatnya. Islam mengatur aturan-aturan yang kompleks dalam kehidupan sehari-hari salah satunya tentang pola asuh orang tua.
Sedikit sekali ayah yang peduli dengan kewajiban penanaman nilai-nilai agama kepada anak. para ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga mereka tidak punya waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anak. biasanya keakraban ayah dan anak hanya dilakukan dengan membicarakan kesenangan-kesenangan saja, seperti pertandingan sepak bola atau film kegemaran anak.45
Jika seorang anak yang pertama ditanamkan adalah warna agama dan keluhuran budi pekerti, maka yang muncul adalah antibodi terhadap pengaruh positif, seperti malas beribadah, malas belajar, gila pujian, angkuh dan sebagainya. Sehingga sangat penting jika seorang anak untuk membiasakannya sesuatu yang positif dalam hidupnya, seperti pepatah berikut ini:
Barang siapa membiasakan sesuatu semenjak kecil maka dia akan terbiasa dengannya hingga dewasa. 46
44 Syaikh Yusuf Muhammad al-Hasan, Pendidikan Anak dalam Islam, 7
45 Wendi Zarman, Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan Lebih Efektif (Bandung: Ruang Kata, 2011), 9
46 Ahmad Syarifuddin, Mendidik Anak (Jakarta: Gema Insani, 2004), 59
Setiap ayah dan ibu yang memiliki perilaku berakhlak, beretika, dan mencerminkan pendidikan Islam. Sesungguhnya mereka tengah mendidik dan membimbing anak-anak mereka. Imam Ja‟far ash Shadiq berkata “Sesungguhnya sebaik-sebaiknya kaum ayah wariskan kepada anak-anak mereka adalah pendidikan, bukan harta.47 Sehingga dengan cara mewariskan pendidikan yang baik kepada anak, maka anak akan menjalani kehidupannya dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran Islam.
Fathi mengemukakan pendapat Ekrim dalam upaya orang tua dalam memberikan pendidikan secara islami diantaranya:48
a. Membiasakan anak sedini mungkin untuk mengenal Allah dan menghubungkan segala sesuatu dengan Allah.
b. Menanamkan ke dalam diri anak pentingnya perbuatan baik. Bahwa perbuatan baik akan mendapatkan pahala dari Allah, kebahagiaan hidup di akhirat dan menghapuskan dosa-dosa yang telah kita lakukan
c. Tidak pelit untuk memberikan pujian kepada anak serta menunjukkan dukungan terhadap perilaku positif anak.
d. Membiasakan dan menciptakan suasana terbuka di dalam rumah dan orang tua bisa berperan sebagai teman.
e. Memberikan pendidikan secara bertahap dan disesuaikan dengan usia anak
f. Berkomunikasi dengan jelas, benar dan tepat.
47 Rod Lahij, Dalam Buaian Nabi Merajut Kebahagiaan si Kecil. (Jakarta: Zahra, 2005), 140
48 Bunda Fathi, Mendidik Anak dengan Al-Qur’an sejak Janin (Bandung: Oasis, 2008), 8
Hubungan antara orang tua dan anak harus tetap terpelihara agar tercipta suasana yang harmonis dan tentram. Selain itu Islam memerintahkan agar anak berbuat baik kepada orang tua karena termasuk perbuatan yang mulia. Seperti hadis Nabi berikut ini
Artinya: Seorang datang kepada Nabi Saw. Dia mengemukakan hasrat untuk berjihad. Nabi Saw bertanya kepadanya. “Apakah kamu mempunyai kedua orang tua?”. Orang itu menjawab, “Masih.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Untuk kepentingan merekalah kamu berjihad.” (Mutafaq
„alaih).49
Dalam kehidupan keluarga tentu pernah terjadi kemarahan dari anak karena faktor tertentu. Biasanya hal ini berkisar pada pembatasan gerak, beban yang terlalu berat dan diluar kemampuan anak, penjauhan anak dari sesuatu yang disukainya atau pemaksaan kepada anak untuk mengikuti tradisi yang ditetapkan. Karena itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasinya diantaranya:50
a. Tidak membebani anak dengan tugas yang melebihi kemampuannya.
b. Ciptakan ketenangan anak karena emosi yang dipancarkan anngota keluarga terutama ayah dan ibu, akan terpancar juga dalam jiwa anak-anak.
49 Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih (Jakarta: Gema Insani, 2008), 240
50 Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak Secara Islam (Jakarta: Gemma Insani, 2003), 71
c. Hindarkan kekerasan dan pukulan dalam mengatasi kemarahan anak karena itu akan membentuk anak menjadi keras dan cenderung bermusuhan.
d. Gunakan cara-cara persuasif, lembut, kasih sayang dan pemberin hadiah.
4. Kajian Teori Tentang Pola Asuh Orang Tua dengan Kepribadian
b) Kebutuhan rasa aman, tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual;
c) Kebutuhan akan kasih sayang, seperti: keperluan cinta, kasih sayang, bekerjasama;
d) Kebutuhan akan harga diri, pada umunya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status;
e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri, dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Begitupun ketika anak-anak berada di lingkungan keluarga, mereka menginginkan orang tua sebagai orang dewasa yang mendampingi masa pertumbuhan dan perkembangannya untuk membantu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan.
Sehingga gaya pendisiplinan atau pola asuh orang tua dalam mendidik anak mempunyai pengaruh yang bermacam-macam.53 Karena keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, maka pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anaknya memiliki dampak termasuk dalam hal kepribadian.
Dalam pandangan Islam, kepribadian merupakan interaksi antara jiwa, hati, akal dan hati nuraninya. Kepribadian seseorang, selain bermodal
53 Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan, 219.
kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orangtuanya, ia juga terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya.54
Perkembangan pribadi anak sesungguhnya adalah perubahan kualitatif dari setiap fungsi kepribadian akibat dari pertumbuhan dan belajar.55 Oleh karena itu kepribadian anak juga dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia bersosialisi salah satunya dengan anggota keluarganya.
Berikut tabel tentang pola asuh beserta korelasinya dengan karakteristik-karakteristik kepribadian pada anak.56
Tabel 2.1
Pola Asuh Orang Tua dan Karakteristik Kepribadian Anak Pola Asuh Karakteristik Kepribadian Anak Ototitatif
Menyediakan lingkungan rumah yang penuh kasih dan suportif
Menerapkan ekspektasi dan standar yang tinggi dalam berperilaku
Menjelaskan mengapa beberapa periaku dapat diterima sedangkan perilaku lainnya tidak
Menegakkan aturan keluarga secara konsisten
Melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga
Gembira
Percaya diri
Memiliki rasa ingin tahu yang sehat
Tidak manja dan berwatak mandiri
Kontrol diri (self-control) yang baik
Mudah disukai; memiliki keterampilan yang efektif
Menghargai kebutuhan-kebutuhan orang lain
Termotivasi dan berprestasi di sekolah
Otoritarian
Lebih jarang menampilkan kehangatan emosional
dibandingkan keluarga otoritatif
Menerapkan ekspektasi dan standar yang tinggi dalam berperilaku
Tidak bahagia
Cemas
Memiliki kepercayaan diri yang rendah
Kurang insiatif
Bergantung pada orang lain
54 Maria Ulfah Anshor, Parenting with Love (Bandung: Mizania, 2010), 13
55 Haryu Islamuddin, Psikologi Pendidikan (Jember: Pustaka Pelajar, 2012), 37.
56 Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan, 95.