• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Moral Profesi Kedokteran

Dalam dokumen Buku (Cek Hal 17)FILSAFAT KEDOKTERAN (Halaman 136-140)

FILSAFAT ETIKA BIOMEDIS

15.1 Prinsip Moral Profesi Kedokteran

Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistik hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an paternalistik dianggap sebagai sifat hubungan yang paling tepat, di mana dokter menentukan apa yang akan dilakukan terhadap pasien berdasarkan prinsip beneficience (semua yang terbaik untuk kepentingan pasien, dipandang dari kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan keputusan. Sampai kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah sifat hubungan kontraktual yang bersifat inspannings verbintennis antara dokter dengan pasien yang menitik-beratkan hak otonomi pasien dalam menentukan apa- apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian sifat hubungan dokter-pasien tersebut dikoreksi lagi oleh para ahli etika atau filsuf menjadi hubungan fiduciary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hukum dan peraturan saja, dan disebut sebagai bottom line ethics.

Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak

otonomi pasien (the rights to self determination),

2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke

kebaikan pasien;

3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk

keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no

harm”,

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam

mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).

Menurut Daniel Callahan dalam Encyclopedia of Bioethics, istilah Bioetika yang baru dikenal pada tahun 1950/1960, mempunyai dua perspektif. Di satu sisi, Bioetika merupakan kajian yang sangat modern, sebagai hasil yang sangat mencolok dalam bidang biomedis, lingkungan dan ilmu-ilmu sosial. Kemajuan ini telah membawa pengertian yang lebih mendalam tentang keilmuan dan perkembangan teknologi, yang seakan-akan dapat

merubah secara total apa yang kita dapat perbuat untuk alam dan manusia yang sangat rentan ini, dan bagaimana caranya mengamankan, meningkatkan serta memperpanjang umur manusia. Di sisi lain, hal ini menimbulkan lagi pertanyaan lama mengenai arti kematian, kehidupan, sakit dan penderitaan, hak dan kemampuan untuk mengontrol

kehidupan dan kewajiban kita terhadap orang lain dan alam dalam menghadapi ancaman kesehatan serta kesejahteraan kita.

Bioetika merupakan transformasi yang radikal dari pengertian Etika Medik yang lebih tradisional, yang berlaku sejak jaman filosof Plato. Paradigma moral yang bersifat itonis ini kemudian berubah, terutama setelah Locke pada 1924,

Bioetika

merupakan

transformasi yang

radikal dari

pengertian Etika

Medik yang lebih

tradisional, yang

berlaku sejak

jaman filosof

Plato.

mencanangkan gagasan Hak Asasi Manusia (HAM). Paradigma baru ini menyentuh semua bidang kehidupan manusia, mulai dari agama, politik, ekonomi, pendidikan dll. Tetapi yang mengherankan adalah bahwa HAM dalam bidang kesehatan, sangat terlambat datangnya. Baru pada tahun 1970, para pasien menyadari bahwa mereka mempunyai hak otonomi, bebas dan bertanggungjawab. Mereka tidak lagi menghendaki hubungan seperti ayah dan anak dengan dokternya, tetapi setara, dengan pengertian saling membutuhkan dan saling menghormati. Karena itu, untuk mengurangi terjadinya konflik, dalam mendekati masalah medical bioethics, hendaknya kita tidak berpegang pada nalar (logika) saja, tetapi harus juga memperhatikan sejarah perkembangan Bioetika.

Autonomy berkaitan kemampuan logika. Kita tidak bisa bertindak otonom bila kita tidak berpikir logis. Sedangkan integrity adalah atribut yang dipunyai oleh semua orang, kompeten atau tidak, dewasa atau tidak, sadar atau tidak sadar.

Integritas tidak mempunyai tingkatan dan tidak bisa hilang.

Tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Pelanggaran terhadap integritas seseorang berarti pelanggaran terhadap manusia itu seutuhnya. Otonomi dalam pengertian ekstrim, berarti ingin menang sendiri, sedangkan integritas menunjukkan sifat saling menghormati.

Bagaimanapun mendasarnya tuntutan pasien agar haknya dihormati, tetapi sifatnya tidak mutlak, karena otonomi/integritas mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain hak otonomi dokter sebagai pribadi. Pasien tidak boleh melanggar integritas dokter secara pribadi. Bila dokter itu, secara moral tidak setuju terhadap abortus, eutanasia, pemutusan alat resusitasi dll, dia tidak bisa dipaksa untuk mengikuti hak otonomi pasien dengan mengabaikan integritas dirinya.

Kita tidak bisa

bertindak

otonom bila kita

tidak berpikir

logis.

Keadaan ini akan lebih buruk bila, misalnya, abortus atau eutanasia sudah dilegalisir oleh negara. Dokter dan pasien harus saling menghormati integritas masing-masing. Karena itu harus diusahakan adanya pemutusan hubungan secara terhormat, agar tidak terjadi konflik.

Keterbatasan lainnya terjadi bila pasien atas dasar hak otonomi-nya melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain. Misalnya pasien dengan HIV seropositif, menolak untuk menginformasikan masalah ini kepada istri atau pasangan seksualnya. Dalam hal ini dokternya tidak boleh mengundurkan diri, tetapi berkewajiban untuk bersikap adil dan jujur kepada pihak yang terancam, setelah menyarankan kepada pasien untuk melakukannya sendiri.

Pellegrino mengingatkan bahwa kalau digunakan secara ekstrim, otonomi yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan, dapat merusak eksistensi masyarakat manusia. Manusia itu hewan sosial, karena itu manusia harus menghormati hak masyarakat di mana dia tinggal, karena dia telah mendapat berbagai keuntungan selama dia tinggal di tempat tersebut. Hans-Martin Sass, dalam menggambarkan perkembangan Bioetik, dimulai dengan mengatakan bahwa filosofi dan kedokteran mempunyai kesamaan dalam bidang kajiannya.

Kedua-duanya mengkaji masalah kelahiran, kehidupan, kebahagiaan, penderitaan, sakit dan kematian. Dua setengah abad yang lalu, baik di Barat, maupun di Timur, menganggap bahwa filosofi kedokteran terletak pada adanya harmoni dan keseimbangan. Penyakit terjadi karena adanya gangguan keseimbangan. Tugas seorang dokter adalah untuk mengembalikan harmoni dan keseimbangan tersebut, memerangi disharmoni dan ketidakseimbangan, dan menerima

Filosofi dan kedokteran mempunyai kesamaan dalam bidang

kajiannya.

serta menyadari keterbatasan kemampuan (ekspertis) kedokteran sebagai keterbatasan alam dalam memanipulasi manusia. Praktek kedokteran, dari dahulu sampai sekarang dipandu berdasarkan prinsip-prinsip etika. Dua di antaranya adalah nil nocere (do no harm) dan bonum facere (do good for the patient).

Secara tradisi, ekspertis dan etika selalu merupakan satu kesatuan, sebab etik tanpa ekspertis tidak akan efektif, sedangkan ekspertis tanpa etika, tidak akan membawa kebaikan bagi pasien. Adanya kemajuan yang sangat pesat bidang bioteknologi, seperti transplantasi organ, bayi tabung, resusitasi dan psychopharmacopea, telah meningkatkan tanggung jawab moral, sedangkan perubahan sistem pelayanan kesehatan dan asuransi telah merubah pola hubungan dokterpasien. Dalam kontek ini muncullah istilah-istilah baru seperti “patient autonomy” dan “informed consent” dan

“Bioethics”. Menurut pendapatnya pengertian Bioethics adalah sebagai berikut: Bioethics encompasses a field that is wider than just the relationship between the individual physician and the patient, one that includes a professional responsibility toward all forms of life as well as the specific ethos that must prevail in modern forms of institutionalized and organized medicine.

Dalam membahas prinsip Bioetika, sedikit ada enam prinsip yang harus diikuti, yaitu :

Dalam dokumen Buku (Cek Hal 17)FILSAFAT KEDOKTERAN (Halaman 136-140)