• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Prosedur Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) adalah Suatu tata cara pelaksanaan atas aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan dalam perhitungan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang, beserta saat dan tata cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang.

Dalam hal perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pemerintah telah menetapkan tarif yaitu sebesar 5% (Lima persen) pada setiap pengenaannya, termasuk juga wilayah kerja Kantor Dinas Pendapatan Kota Makassar. Perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang berdasarkan Nilai Objek Pajak PBB Wajib Pajak teesebut yang dikurangi dari Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) lalu dikalikan tarif 5% (Lima persen ), pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dapat juga dikalikan 50% (Lima Puluh Persen) jika Nilai Jual Objek Pajak didapat melaui Waris / Hibah Wasiat Yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberia Wasiat / Hibah termasuk Suami / Istri.

Syarat pengurusan pembayaran Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan Bagunan adalah:

1. Surat permohonan 2. Foto copy KTP 3. Foto copy surat tanah

4. Foto copy SPPT Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun berjalan

5. Foto copy pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan PBB (tidak ada tunggakan)

6. Mengisi blangko SSPD Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

7. Surat kuasa Wajib Pajak yang dikuasai

Syarat pengurusan Restitusi/Kompensasi pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) :

1. Surat permohonan 2. Foto copy KTP

3. Pembayaran asli Bea Perolehan Hak atas Tanah Bangunan (BPHTB) 4. Nomor rekening yang bersangkutan

5. Surat kuasa Wajib Pajak bagi yang dikuasai.

D. Prosedur Pembayaran BPHTB dari Wajib Pajak melalui Notaris/PPAT Gambar 5.1

Bagan Prosedur Pembayaran BPHTB Melalui Notaris/PPAT

Klien

Surat Permohonan dan Sertifikat Tanah dikirim ke BPN

Diterima, diperiksa, syarat-syarat antara lain : KTP, Sertifikat Tanah,Akta Nikah, dan Kartu Keluarga

PPAT

-Surat Permohonan dan Sertifikat Tanah diterima, kemudian di cek dan

dicocokkan dengan data di BPN -Dibuatkan surat pemberitahuan

ke PPAT

Diproses secara hukum Jual Beli tersebut dan ditambah SSB dan SSP

Setelah menerima bukti, PPAT membuat akta Jual Beli

menandatanganinya serta dibuatkan sertifikat

PPAT membayar BPHTB ke Bank atau Kantor pos dan Giro

Prosedur pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai salah satu syarat pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah :

1. Klien (penjual dan pembeli) datang kehadapan PPAT dalam rangka memberi kepastian hukum atas pemegang hak atas tanah.

2. Petugas PPAT menerima persyaratan yang dibutuhkan yaitu: Kartu Tanda Penduduk (KTP) kedua belah pihak (penjual dan pembeli), Sertifikat Tanah yang akan dijual belikan, akta nikah penjual bagi yang berstatus menikah, bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terakhir dan kartu keluarga penjual, kemudian petugas PPAT memeriksa kelengkapan persyaratan tersebut. Apabila persyaratan belum lengkap maka petugas PPAT menyarankan untuk melengkapi dulu kepada klien.

Dari hasil kelengkapan persyaratan tersebut petugas PPAT membuat bukti penerimaan persyaratan dan diserahkan kepada klien, sedangkan petugas PPAT mengirimkan salah satu persyaratan yaitu sertifikat tanah bersama dengan surat permohonan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk diperiksa apakah sertifikat tersebut sesuai dengan data yang ada di BPN.

3. Petugas BPN menerima sertifikat dan surat permohonan pengecekan kemudian surat permohonan diarsip, selanjutnya petugas BPN mencocokkan sertifikat dengan data yang ada di BPN, sertifikat sesuai atau tidak sesuai dengan data yang ada di BPN, kemudian Petugas BPN membuat Surat Pemberitahuan yang diserahkan ke petugas PPAT.

4. Petugas PPAT menerima surat pemberitahuan dan sertifikat dari petugas BPN, selanjutnya oleh petugas PPAT surat pemberitahuan dan sertifikat tersebut diarsip dan jika data yang ada di BPN dengan yang ada di sertifikat tidak sesuai maka petugas PPAT membuat surat pemberitahuan ke klien bahwa data di sertifikat tidak sesuai dengan data yang ada di BPN selanjutnya PPAT menolak permohonan klien untuk memberi kepastian hukum jual beli tanah tersebut, tetapi jika data yang ada di sertifikat sesuai maka petugas PPAT menerima permohonan klien dan kemudian memproses secara hukum jual-beli tersebut, yaitu petugas PPAT menambah dokumen baru guna melengkapi syarat pembuatan akta jual-beli yaitu perhitungan dan pembayaran Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB) bagi pihak pembeli dan Surat Setoran Pajak (SSP) pajak final bagi pihak penjual.

5. SSB dan SSP dikirim ke klien untuk ditandatangani dan selanjutnya SSB dikirim ke PPAT dan ditandatangani PPAT, kemudian pegawai PPAT membayar BPHTB ke Bank atau Kantor Pos dan Giro.

6. Petugas PPAT menerima bukti pembayaran BPHTB dari Bank atau Kantor Pos dan Giro.

7. Selanjutnya setelah bukti pembayaran BPHTB diterima, petugas PPAT mengirim bukti tersebut ke klien untuk arsip dan petugas PPAT membuat Akta Jual Beli dan kemudian dihadapan PPAT ditandatangani kedua belah pihak dan PPAT itu sendiri.

8. Akta Jual Beli rangkap 4 (empat), satu dikirim ke Tata Usaha, dua arsip dan satu dikirim ke BPN untuk diteruskan pembuatan Akta Peralihan Hak.

9. Klien membayar biaya yang ditentukan ke bagian Tata Usaha, kemudia Tata Usaha membuat bukti pembayaran dan kemudian sertifikat dan bukti pembayaran yang diserahkan ke klien.

10. Klien menerima bukti pembayran dan sertifikat untuk arsip sementara.

E. Prosedur Penagihan BPHTB

Berikut adalah gambar bagan prosedur penagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) :

. Gambar 5.2

Prosedur Penagihan BPHTB

Penanggung pajak :

- Penagihan dengan surat teguran setelah jatuh tempo

- Surat paksa jika lebih dari 21 hari sejak Surat Teguran diterbitkan KPPPBB

Penanggung pajak : Penyitaan oleh pihak ketiga atau pemilik

Penanggung pajak :

Akan meninggalkan Indonesia

Penanggung pajak :

Menghentikan, mengecilkan, memindahtangankan kegiatan perusahaan atau barang yang dimiliki

Pemungut pajak :

Akan membebaskan badan usahanya dan badan usaha dibubarkan oleh negara KPPPBB juga dapat

mengeluarkan Surat penagihan seketika dan sekaligus apabila :

1. Pengisian SSB (Surat Setoran Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan) Surat Setoran Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (SSB) digunakan untuk pembiayaan pembayaran atau penyetoran BPHTB yang terutang dan sekaligus digunakan untuk melporkan data perolehan hak atas tanah dan bangunan. SSB selain berfungsi sebagai alat pembayaran atau penyetoran BPHTB dan pelaporan data perolehan hak atas tanah dan bangunan juga berfungsi sebagai alat Surat Pemberitahuan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SPOPPBB).

Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) terdiri dari 5 rangkap yaitu:

1. Lembar ke-1 : untuk Wajib Pajak.

2. Lembar ke-2 : untuk Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan melalui Bank Operasional BPHTB.

3. Lembar ke-3 : untuk KPPBB disampaikan oleh Wajib Pajak.

4. Lembar ke-4 : untuk Tempat Pembayaran BPHTB.

5. Lembar ke-5 : untuk PPAT / Notaris / Kepala Kantor Lelang PejabatLelang / Pejabat Pertanahan.

2. Proses Perhitungan BPHTB di Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar Proses perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar yang ditetapkan berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan mengacu

Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah nilai perolehan Objek Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan nilai perolehan objek pajak kena pajak. Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak untuk kota Makassar adalah maksimal Rp. 60.000.000,00. Sedangkan untuk waris Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp.

300.000.000,00

Umumnya peraturan daerah akan menetapkan bahwa nilai perolehan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan pedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 yang berisikan ketentuan sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami dan istri, ditetapkan paling banyak Rp300.000.00,00-,

2. Untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Pemukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan melalui KPR bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp49.000.000,00-,

3. Untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00-,

4. Untuk perolehan hak selain perolehann hak sebagaimana dimaksud pada nomor 1, nomor 2, nomor 3, ditetapkan paling banyak Rp60.000.000,00-, 5. Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada nomor 4 lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada nomor 2, maka NPOPTKP untk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada nomor 2 ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada nomor 4.

6. Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada nomor 4 lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana pada nomor 3, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada nomor 3 ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada nomor 4.

Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah NPOPTKP tersebut ditetapkan per daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan mempertimbangkan usulan dari Kepala Daerah yang bersangkutan. Besarnya BPHTB terhutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5%. Secara matematis adalah sebagai berikut :

Dimana :

BPHTB = Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

5% = Persentasi BPHTB berdasarkan peraturan pemerintah sebagai penarik pajak

NJOP = Nilai Perolehan Objek Pajak

NPOPTKP = Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, nilainya berdasarkan peraturan pemerintah daerah dimana tanah dan bangunan berada.

Contoh regional perhitungan untuk Jual Beli BPHTB yaitu

Diperjual-belikan sebidang tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp 100.000.000,00-, apabila Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan di daerah setempat sebesar Rp 60.000.000,00-, maka BPHTB yang menjadi kewajiban adalah

BPHTB = 5% x (Rp 100.000.000–Rp 60.000.000)

= 5% x (Rp 40.000.000)

= Rp 2.000.000

Sedangkan contoh perhitungan BPHTB karena warisan yaitu :

Seorang ayah meninggal memiliki sebidang tanah kosong di Makassar, kemudian akan dilakukan balik nama ke atas nama para ahli waris atau anak-anak dan

BPHTB Terutang = 5% x (NJOP-NPOPTKP) NPOP Kena Pajak = NPOP-NPOPTKP

istrinya. Karena proses balik nama tersebut para ahli waris diwajibkan membayar BPHTB.

Data-data tanah objek warisan sebagai berikut : Luas 1.000 m2

NJOP = 1.000.0000/meter

NPOP = 1.000 x Rp 1.000.000 = Rp 1.000.000.000 Total NJOPTKP adalah Rp 300.000.000

Besarnya BPHTB adalah sebagai berikut :

BPHTB = 5% x (Rp 1.000.000.000–Rp 300.000.000)

= 5% x (Rp 700.000.000)

= Rp 35.000.000

3. Pembagian Hasil BPHTB

Penerimaan Negara dari hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dibagikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbalan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Untuk kepentingan pengembangan dan pembangunan daerah, bagian Pemerintah Pusat sebagaimana di maksud kemudian dibagikan lagi kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata. Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana disebut diatas dibagikan kepada Pemerintah Kabupaten /Kota dengan imbangan 20% untuk pemerintah propinsi yang bersangkutan dan 80%

untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Perhitungan Bagian Daerah perinciannya sebagi berikut:

2. Bagian Kabupaten / Kota yang bersangkutan sebesar 64% atau 80% dari 80%.

4. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Dasar Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Pada dasarnya ada tiga jenis nilai (harga) yang menjadi Nilai Perolehan Objek Paja yaitu :

1. Nilai Pasar 2. Harga Transaksi

3. Harga Transaksi Risalah Lelang

Bila nilai pasar atau harga transaksi yang menjadi Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi Bangunan (PBB),dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

Tabel 5.3

Pengenaan Nilai Perolehan Objek Pajak (NJOP)

Transaksi Perolehan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) a. Jual beli

b. Hibah

c. Tukar menukar d. Waris

e. Pemasukan dan Perseroan badan hukum dan lainnya

f. Pemisahan hak yang

menyebabkan pengalihan g. Lelang

h. Pelaksanaan putusan hakim i. Penggabungan usaha j. Pelebaran usaha k. Pemekaran usaha l. Hadiah

m. Hak baru dan subsidi n. Pemberian hak baru

o. Pemberian hak baru sebagai kelanjutan pelepasan hak

p. Pemberian hak baru diluar pelepasan hak.

Harga transaksi Nilai pasar Harga transaksi

Nilai pasar Nilai pasar

Nilai pasar

Harga risalah lelang Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar

Nilai pasar

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar

5. Hambatan-hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yaitu :

a. Kurangnya pemahaman Wajib Pajak dan Notaris tentang Pendaerahan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bahwa sudah menjadi Pajak daerah;

b. Adanya temuan data-data yang tidak sesuai yang dilakukan oleh Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terkait dengan pemberkasan Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD BPHTB);

c. Wajib Pajak terlambat menerima Surat Setoran Pajak Terutang (SSPT).

Upaya-Upaya Yang dilakukan oleh Dinas pendapatan Kota Makassar untuk Meningkatkan Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yaitu :

1) Dalam hal Pemeriksaan diupayakan untuk mengecek sebaik mungkin sehingga kekurangan-kekurangan bayar akan terdeteksi oleh Petugas Dinas Pendapatan;

2) Mengecek langsung kelapangan kesesuaian data yang telah diperoleh.

3) Memberikan kepercayaan Wajib Pajak Dalam hal menghitung,membayar dan melaporkan Pajak Terutang yang sesuai pemungutan dengan Sistem

“Self Asissment”.

F. Realisasi Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Makassar dalam Wilayah Kerja Dinas Pendapatan Kota Makassar

Realisasi Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Makassar dalam Wilayah Kerja Dinas Pendapatan Kota Makassar dari Tahun 2011 sampai dengan Bulan Mei Tahun 2016.

Tabel 5.4

Target dan Realisasi UPTD BPHTB No Tahun Target operasional

tahunan

Realisasi Persentase penerimaan

1. 2011 Rp 90.000.000.000 Rp 103.166.941.482 115 %

2 2012 Rp 122.500.000.000 Rp 180.644.020.666 147 %

3 2013 Rp 146.000.000.000 Rp 161.718.100.676 111 %

4 2014 Rp 200.062.612.000 Rp 152.967.337.574 76 %

5 2015 Rp 228.371.436.037 Rp 150.381.469.043 66 %

6 Mei 2016 Rp 288.766.718.687 Rp 67.893.318.653 24 %

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar

Realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di wilayah Kerja Dinas Pendapatan Kota Makassar dari tahun ke tehun berbeda-beda, yang diperoleh dari tahun 2011 adalah sebesar Rp 103.166.941.482 sehingga persentase penerimaan pada tahun 2011 adalah 115

%. Sedangkan pada tahun 2012 penerimaan BPHTB mengalami kenaikan

122.500.000.000, sehingga mencapai persentase penerimaan sebesar 147 %.

Pada tahun 2013 penerimaan BPHTB menurun menjadi Rp 161.718.100.676 dari target operasional tahunan yang direncanakan sebesar Rp 146.000.000.000 dan hanya mencapai persentase penerimaan 111 %.

Tahun 2014 penerimaan BPHTB dengan target operasional tahunan Rp 200.062.612.000, realisasi penerimaan BPHTB sebesar Rp 152.967.337.574 dan mencapai persentase penerimaan sebesar 76%, angka tersebut mengalami penurunan dari penerimaan persentase tahun sebelumnya. Pada tahun 2015 penerimaan BPHTB diperoleh sebesar Rp 150.381.469.043 dengan target operasional tahunan sebesar Rp 228.371.436.037, dan mencapai persentase penerimaan sebesar 66%. Sedangkan pada bulan Mei tahun 2016 diperoleh penerimaan BPHTB sebesar Rp 67.893.318.653 dari target operasional tahunan sebesar Rp 288.766.718.687 dan mencapai persentase penerimaan sebesar 24%.

Realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Wilayah Kerja Dinas Pendapatan Kota Makassar pada tahun 2011 sampai dengan bulan Mei tahun 2016 dalam Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sampai saat ini masih mengalami peningkatan dan penurunan dari Tahun ke Tahunnya.

Kenaikan dan Penurunan yang terjadi ditentukan dari jumlah transanksi Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Wilayah Kerja Dinas Pendapatan Kota Makassar.

G. Hasil Evaluasi dan Manfaat Penerapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan juga dalam hal pembangunan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan di Kota Makassar terus mengalami kemajuan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menjadi pajak daerah yang berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan berpotensi meningkatkan Local Taxing Power kabupaten dan kota. Adapun hasil evaluasi dari penelitian ini yaitu ditemukan bahwa pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, namun ada beberapa hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) khususnya di Wilayah Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar disebabkan oleh kurangnya pemahaman Wajib Pajak dan Notaris tentang Pendaerahan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bahwa sudah menjadi pajak daerah, adanya temuan data-data yang tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terkait dengan pemberkasan Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD BPHTB), Wajib pajak terlambat menerima Surat Setoran Pajak Terutang (SSPT) serta kendala yang berhubungan dengan Sumber Daya Manusia yang masih kurang dibidang

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara, tanpa pajak sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja negara pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerapan penerimaan pajak, khususnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Selain itu pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kewajiban Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan, sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.

Berdasarkan hasil pembahasan atas penelitian pada Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar sehubungan dengan tata cara pemungutan dan perhitungan pajak Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), maka penulis menyimpulkan beberapa hal dan juga memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat.

A. Simpulan

Dalam penelitian yang telah dilakukan penulis, maka dapat disimpulkan beberapa hal :

1. Proses pemungutan dan perhitungan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) telah sesuai dengan Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah dengan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5%, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp 60.000.000,00 dan Rp 300.000.000,00 dalam hal perolehan hak karena Waris dan atau Hibah Wasiat yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi Wasiat dan atau Hibah Wasiat termasuk suami atau istri.

2. Hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) khususnya di Wilayah Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar disebabkan oleh kurangnya pemahaman Wajib Pajak dan Notaris tentang Pendaerahan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bahwa sudah menjadi pajak daerah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diambil, maka ada beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi perusahan, diantaranya yaitu :

1. Melakukan sosialisasi yang lebih intensif mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan meningkatkan kinerja para pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar tersebut agar pelaksanaan penerimaan pajak dan data-data pajak dapat terarah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Memberikan pelayanan yang lebih ekstra kepada para pembayar pajak yang lebih besar guna mempermudah dalam penyampaian, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang dan memberikan kepercayaan Wajib Pajak dalam hal menghitung, membayar dan melaporkan pajak terutang yang sesuai dengan Sistem Self Assesment.

.

Empat

Mardiasmo. 2011. Perpajakan. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

Muljono, Djoko, 2005. Akuntansi Pajak, Yogyakarta: Penerbit ANDI

Muljono, Djoko. 2007. PPH dan PPN untuk Berbagai Kegiatan Usaha, Yogyakarta:

Penerbit ANDI

Mustaqiem. 2008. Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah.

Yogyakarta : FH UII PRESS.

Rifani, Erliza.2014.Analisis pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Tesis tidak diterbitkan. Medan: Program Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area.Indonesia.

Simanjuntak,Timbul Hamonangan dan Mukhlis, Imam. 2012. Dimensi Ekonomi Perpajakan Dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta : Raih Asa Sukses.

Siahaan, P Marihot. 2013. Pajak dan Retribusi Daerah Edisi Revisi. Jakarta : PT.Raja grafindo Persada.

Sugiono. 2007. Memahami Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta.

Susunan dalam satu naskah Undang-Undang Perpajakan, Edisi Terbaru, Penerbit Fokusmedia, Jakarta

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hal. Undang No 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Undang-Undang No. 28 tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Pajak daerah Dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang No 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No 20 Tahun 2000 Tentang Dasar Hukum Bea Prolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

Direktorat PBB dan BPHTB, Penerimaan PBB dan BPHTB Tahun 1996-2000 Undang-Undang No 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Kota Makassar

Dokumen terkait