BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Hasil Pembahasan
2. Proses Pelamaran Masyarakat Lamaholot
Dalam proses pelamaran masyarakat lamaholot menggunakan Juru bicara.
Juru bicara yang di tunjuk merupakan dari keluarga mempelai, juru bicara tersebut biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama. Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta.
Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.
Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon
pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin membangun rumah tangga baru.
Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan. Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak.
Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan. Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading. Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria.
Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat merayakan pesta adat di masing-masing kelompok. Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi
keluarga pria jika pihak keluarga wanita tidak menyiapkan “imbalan” sama sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian. Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya, gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya.
Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut. Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Gading dalam bahasa Lamaholot disebut “bala”. Saat ini jumlah gading yang beredar di Flores, menurut Corebima, sekitar 30 batang. Gading makin langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores yang membeli di Sikka menurut Elias Laga Kelake (58), pemilik 10 batang gading di RT 18 RW 2 kecamatan Alok Barat mengatakan,
“ biasanya ada orang yang datang ke rumah membeli gading. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta, tergantung dari besar (panjang)-nya.di Lewopao, Adonara Timur, terdapat satu batang gading dengan lima cabang. Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan upacara adat, yakni memandikan dan memberi makan minum kepada gading tersebut. Gading seperti itu merupakan symbol kehadiran nenek moyang, sumber kehidupan, kekayaan, dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada malam hari, gading tersebut bahkan dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan bertunas.(wawancara 03 agustus 2015)
Dari pernyataan di atas dapat digambarkan bahwa kepercayaan yang masih ditanamkan oleh masyarakat mnnjukan bahwa betapa mereka masih mempertahankan kebudayaan yang di tanamkan oleh nenek moyang mereka sampai saat ini.
3. Marginalisasi Perempuan dan dampak yang terjadi Dalam Sistem Perkawinan Lamaholot
“ Saya fajar kebetulan saya adalah orang lamaholot dan merupakan mahasiswa sosiologi FISIP UNDANA KUPANG,,menurut pendapat saya,budaya merupakan warisan leluhur yang tak boleh dihilangkan dan harus tetap di lestarikan,,sebab kalau budaya kita hilang maka hilang pula identitas kita sbg masyarakat lamaholot,,namun terkadang budaya sering disalah artikan untuk suatu kepentingan tertentu,.misalnya pada topik diatas mengenai gading sbg belis,paradigma yg dibangun oleh suatu keluarga tentang belis yg diterima adalah merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap mereka,dan mendatangkan “hoki” sebab anak wanita mereka telah dipinang,,tetapi di satu sisi,yaitu si pemberi belis merasa terbebankan,betapa tidak jika si pihak pemberi berasal dari keluarga miskin,,mereka harus berupaya keras untuk melakukan pinjaman hanya untuk membayar belis dimana belis itu sendiri memiliki nilai ekonomis yg cukup tinggi,apabila pihak pemberi belis belum sanggup membayar belis maka bisa dibayar dikemudian hari dgn catatan si wanita belum bisa dibawa keluar sampai belis itu terbayar dan si pria harus tinggal bersama dgn keluarga wanita sbg bentuk pengabdiannya,,dari sini bisa menjadi pemicu terjadinya diskriminasi yg berujung konflik di kemudian hari,,misalnya apabila belis sdh terbayarkan maka akan timbul perasaan ego yg cukup tinggi dan berujung pada diskriminasi yg berujung konflik dari pria terhadap wanita yg menjadi istrinya.disini bisa saja timbul pandangan dari pria bahwa “saya sudah membayar lunas belis,jd saya bs berbuat apa sj semau saya”,,maka tidak heran dapat kita temui adanya kekerasan yg terjadi dalam rumah tangga di kehidupan masyarakat lamaholot. kemudian mengenai belis yg belum terbayarkan,,sbg bentuk pengabdian maka si pria tinggal bersama keluarga wanita,disini jg bisa terjadi diskriminasi dan konflik dari pihak keluarga terhadap si pria,,timbul paradigma dari orang tua bahwa”kamu belum membayar belis anak saya,jadi kami bisa melakukan apa saja yg kami mau”,shingga hal ini bisa mengakibatkan si pria merasa tertekan dan terdiskriminasi. hal ini terjadi tanpa memikirkan esensi dari pernikahan yg sebenarnya. jadi kesimpulannya bahwa kebudayaan itu harus tetap
dipertahankan namun yg harus kita ubah adalah cara pandang kita mengenai kebudayaan kita ini terkait masalah belis,dan satu hal lagi spy masalah belis yg juga merupakan salah satu masalah sosial yg kita hadapi saat ini maka perlu adanya campur tangan dari pemerintah untuk menentukan dan membatasi nilai belis sehingga masalah ini sebisa mungkin dapat teratasi.”.(wawancara 04 agustus 2015).
Dari pernyataan diatas dapat dikatkan dengan ungkapan Surga di bawah telapak kaki ibu. Ungkapan klasik ini sekaligus menggambarkan betapa mulianya seorang ibu yang nota bene adalah perempuan. Terlepas dari baik atau buruk perlakuan terhadap kaum perempuan dalam kehidupannya, namun pasti bahwa ungkapan tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk yang istimewa dan itu diakui secara umum termasuk laki-laki. Dalam budaya Lamaholot yang dianut masyarakat Flores, di Nusa Tenggara Timur (NTT), ungkapan di atas menjadi nyata dalam kehidupan keseharian pelapisan social yang memandang wanita sebagai sentral kehidupan masyarakat dan tinggi nilainya. Karena itu, meski masyarakat menilai seorang wanita tidak secara material, mereka tetap mencari materi pembanding dalam bentuk belis.
Dalam kehidupan masyarakat Lamaholot dikenal beberapa system perkawinan yakni,
gete dahang/pana gete (peminangan biasa) perkawinan cara ini didahului dengan acara peminangan resmi dari keluarga pria kepada keluarga wanita menurut adat kebiasaan keluarga wanita.
Bote kebarek, perkawinan jenis ini dilakukan tanpa sepengetahuan sang gadis.
Proses persetujuan hanya dilakukan keluarga pria dan keluarga wanita. Bote kebarek biasa dilakukan di jalan saat si gadis bepergian ke luar rumah.
Kepergian si gadis diinformasikan terlebih dahulu oleh orang tua si gadis kepada keluarga pria. Dengan begitu keluarga pria bisa menghadang gadis bersangkutan dan secara paksa membawanya ke rumah keluarga pria. Proses ini biasanya diiringi dengan bunyi-bunyian gong gendang. Jenis perkawinan seperti ini sudah jarang ditemui pada saat sekarang .
Plae (kawin lari), biasanya dilakukan karena orang tua/keluarga dari kedua pasangan atau keluarga wanita tidak merestui hubungan mereka, sehingga kedua pasangan sepakat untuk melarikan diri ke daerah lain. Atau bila orangtua keluarga wanita yang tidak merestui hubungan anak gadisanya, maka si gadis bisa memutuskan untuk lari dari rumah orang tuanya dan tinggal bersama keluarga pria agar proses perkawinannya dapat di atur lebih lanjut.
Loa wae menate, perkawinan ini dikarenakan wanita sudah hamil sebelum urusan perkawinan selesai. Meski demikian acara peminangan tetap dilakukan dan sebagai konsekwensi dari kejadian ini, pihak keluarga pria akan dibebankan dengan mas kawin/belis tambahan karena kejadian ini. Liwu/dope keropong, dilakukan saat proses perkawinan berlangsung dimana kaum pria pergi dan tinggal di rumah keluarga wanita. Karena perkawinan dilakukan sebelum proses penyelesaian adat, maka kaum pria dan wanita menetap
bersama keluarga wanita sampai proses penyelesaian adat (pemberian belis) dilakukan.
Liwu weking/dekip kenube, pada perkawinan ini pria pergi dan tinggal di rumah perempuan sehingga secara mendesak orang tua wanita menyerahkan anak gadisnya untuk diperistri pria bersangkutan. Kawin beneng, perkawinan ini dilakukan dengan cara menawarkan anak gadis dengan berusaha memperkenalkannya ke desa lain agar mendapat jodoh. Dengan demikian orangtua perempuan dapat memperoleh maskawin/belis yang sesuai.
Kawin bukang, merupakan bentuk perkawinan levirat dimana berlaku anggapan bahwa sang isteri setelah perkawinan menjadi milik suku suaminya sehingga kalau suaminya meninggal ia dapat dinikahi oleh saudara laki-laki kandung suaminya atau juga oleh lelaki dari suku yang sama dengan suku suaminya. Sebaliknya, bila menikah dengan laki-laki lain diluar suku suaminya, maka suku suaminya yang berhak menerima belis dari perkawinannya.
Perkawainan wua gelu malu, yakni perkawinan yang dilakukan timbal balik oleh dua suku. Jenis perkawinan ini dilakukan dengan tujuan agar belis atau maskawin hanya berputar dalam suku itu saja. Selain itu model ini sangat ekonomis karena terkadang, acara penyerahan belis tidak dilakukan sehingga tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pesta adat yang biasanya dilakukan disaat penyerahan belis.
Kawin bluwo, merupakan jenis perkawinan yang dilakukan pria beristri dengan seorang gadis. Ini terpaksa dilakukan karena wanita sudah hamil supaya jelas bapak dari anak yang dikandungnya.
Model – model perkawinan ini akan menentukan belis/maskawin baik dalam jumlah maupun ukuran. Marginasiliasi Perempuan Disadari atau tidak, model-model perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Lamaholot sebagaimana diuraikan di atas, telah membuat kaum perempuan termarginaliasi. Hal ini dapat dilihat pada model perkawianan bote kebarek, liwu weking/dekip kenube, kawin beneng dan kawin bluwo yang jelas – jelas mengabaikan hak kaum perempuan dalam memilih dan menentukan pasangan hidupnya. Namun menghadapi system ini, kaum perempuan selalu berada pada posisi tawar yang lemah.
Penolakan tidak harus terjadi karena proses ini mendapat legitimasi budaya/adat yang sudah dianut turun temurun. Karena itu, penolakan akan menjadi semacam petaka yang membuat malu orangtua dan keluarga besar. Hal ini yang tidak diinginkan terjadi sehingga seorang gadis yang berhadapan dengan system perkawinan yang demikian tentu saja harus menerimanya.
Hakekat Belis dan Konsekwensinya Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa hakekat belis adalah menunjang harkat seorang wanita dalam kehidupan patrilineal, dan agar keluarga wanita mendapat tempat terhormat dihadapan keluarga pria. Bagi masyarakat Lamaholot, kedudukan wanita adalah kedudukan seorang ibu. Selain itu,
belis juga sebagai lambang pemersatu keluarga pria dan wanita, sekaligus sebagai tanda seorang perempuan secara resmi pindah ke suku suami.
Karena itu perempuan Lamaholot dimata kaum pria selalu mendapat perlindungan dalam pergaulan sosialnya. Setiap pelabelan negative yang dilakukan terhadap perempuan Lamaholot akan dikenakan denda adat bagi pelakunya. Bentuk dendanya bisa berupa gading, sarung tenun adat atau lainnya. Dendanya sangat berfariasi sesuai jenis pelanggaran dan permintaan keluarga perempuan.
Disisi lain, belis juga telah menjadi akar kekerasan terhadap perempuan. Saya mencoba mengangkat penelitian yang dilakukan TRUK-F di Maumere, Kabupaten Sikka, sejak 2003 hingga beberapa bulan pada 2006, sebagiamana dilansir Kompas, 21 Juli 2006. Dalam penelitian itu TRUK-F menyebutkan dari 104 kasus kekerasan yang terjadi disimpulkan bahwa belis menjadi alasan suami melakukan kekerasan.
Temuan tahun 2003 terdapat lima kasus, yakni pasangan tidak dapat melaksanakan pernikahan Katolik karena belis belum dibayar. Suami pun tertekan karena terus-menerus dipaksa oleh pihak keluarga perempuan untuk segera membayar belis. Selain itu, juga terdapat 10 kasus suami merantau untuk mengumpulkan uang agar dapat melunasi belis. Namun, setelah tiba di tempat perantauan, suami jarang atau sama sekali tidak mengirimkan uang.
Bahkan, pada 2005 terdapat 12 kasus perempuan diperlakukan dengan kekerasan oleh suami. Saat istri melarikan diri ke keluarganya, suami dan keluarganya memaksanya untuk kembali sebab belis sudah dibayar lunas. Sementara temuan tahun 2006, terdapat 19 kasus suami yang merantau untuk mencari uang guna melunasi belis. Namun, akhirnya istri dan anak ditelantarkan di kampung.
Sebanyak lima kasus lainnya, keluarga istri mengintimidasi suami untuk melunasi belis. Karena tertekan, suami memperlakukan isterinya dengan kekerasan.
TRUK-F juga menampung keluhan dari 10 perempuan tua yang tak menikah, yang diduga terkait persoalan belis. Kesimpulan sementara yang diambil Divisi Perempuan TRUK-F, perempuan-perempuan ini tidak menikah sampai tua karena orangtua dan saudara laki-laki menuntut belis yang tinggi dan banyak sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayar, atau tidak mau melamar mereka, karena sudah mendengar cerita dari orang-orang di sekitarnya. Umumnya perempuan ini dari keluarga kalangan menengah ke atas.Akhirnya,perempuan ini sendirian dan tidak pernah diperhatikan.
Tabel 2.2
Jumlah Kekersan Yang Terjadi Pada Permpuan
No. Tahun Jumlah kasusu
kekersan
Keterangan
1. 2003 5 kasus
10 Kasus
Pasangan tidak dapat
melaksanakan pernikahan karena belis belm di bayar.
Merantau mengumpulkan uang untuk melunasi belis.
2. 2005 12 Kasus Kekerasan oleh suami
3. 2006 5 Kasus
10 kasus
Merantau Tidak menikah Sumber :kompas 2006
Dari gambaran di atas, penulis melihat bahwa belis meski bertujuan mulia untuk mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan, namun belis dapat juga menjadi sumber persoalan dalam rumah tangga yang pada akhirnya dapat melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi bila tuntutan belis yang terlampau tinggi (mahal) melampaui kemampuan financial seorang laki-laki dan keluarganya.
Selain itu, belis yang mahal akan berdampak pada beban psikologis seorang laki-laki untuk menikahi perempuan dari strata sosial yang tinggi, sehingga banyak perempuan yang pada akhirnya tidak menikah karena faktor belis yang terlalu tinggi.
Belis juga telah menjadi penyebab seorang suami menelantarkan isteri dan anak-anaknya, dan dapat membebani ekonomi keluarga. Kesimpulan Bagi masyarakat Lamaholot, sistem pembelisan telah menjadi pranata sosial dan dapat mengeliminir terjadinya tindakan – tindakan yang melanggar hak-hak perempuan.
Belis tidak saja menjadi syarat sebuah perkawinan tapi juga sebagai bentuk denda yang harus diberikan dari pihak yang melakukan kesalahan terhadap seorang perempuan.
Kesalahan-kesalahan yang pada umumnya diberi hukuman denda adalah soal sterotipe negative yang mana ukurannya merujuk pada budaya. Penerapanan denda biasanya pada kasus-kasus seperti peghinaan, juga kasus-kasus asusila. Itu nilai positif dari system pembelisan. Namun fakta lain juga membuktikan bahwa belis telah melahirkan dampak buruk terhadap kaum perempuan.
Karena itu penulis berpendapat bahwa belis sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilia luhur dan sebagai bentuk perghargaan terhadap harkat dan martabat seorang perempuan perlu tetap dipertahankan dengan beberapa catatan sebagai berikut; Pertama, perlu penyederhanaan belis. Biasanya, setelah pihak laki-laki memberikan belis, pihak perempuan membalasnya dengan memberikan barang bawaan bagi pihak laki-laki untuk dibawa pulang. Minimal bawaan itu sama dengan besar belis yang diberikan kepada pihak perempuan.
Karena itu pembebanan sesungguhnya tidak hanya pada pihak laki-laki tapi juga perempuan. Diperlukan suatu alternative semacam pembicaraan untuk memperoleh kesepakatan yang sama tentang belis. Dialog ini harus melibatkan tetua adat, juga dapat ditunjang dengan pendekatan informal kepada masyarakat. Contoh, di Ileape telah ada symposium di tingkat kecamatan yang menyeragamkan ukuran
dan jumlah gading sebagi belis terhadap seorang perempuan dan hal itu berlaku sampai sekarang.
Karena itu, di Ileape Lembata, penentuan belis tidak lagi berdasarkan satatus sosial seorang perempuan. Kedua, penyederhanaan tahapan/proses pembelisan.
Disadari atau tidak, tahapan/proses pembelisan menyedot dana yang besar sementara kenyataan sebagian besar masyarakat hidup dengan keadaan ekonomi yang pas- pasan.
Dari itu perlu dibuat penyederhanaan proses/tahapan-tahapan. Bagi masyarakat Lamaholot proses pernikahan sangat panjang hanya karena urusan adat (belis). Bahkan jauh sebelum pernikahan, terlebih dahulu digelar koda kiring (pertemuan adat di antara keluarga besar wanita dan pria). Yang terlibat adalah keluarga besar (fam/suku/marga), bukan orang tua kandung saja seperti di Jawa dan tempat-tempat maju lain di Tanah Air.
Biasanya, Koda Kiring ini digelar sepanjang malam, beberapa hari, sampai ada kesepakatan. Ini tentu membutuhkan biaya yang besar. Ketiga, perlu penyadaran kepada masyarakat terutama pemegang otoritas komunitas seperti tetua adat, tuan tanah, kepala suku dan lain-lain untuk memaknai kembali secara mendalam hakekat belis itu sendiri. Hal ini dapat menghapus asumsi negative tentang belis itu sendiri yang pada akhirnya berdampak buruk terhadap kaum perempuan Lamaholot.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Masyarakat etnis lamaholot yang berada di kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tengga Timur memiliki tradisi pembayaran mas kawin atau belis berupa gading gajah yang harus diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai status sosial dari perempuan yang dinikahi. Makna gading bagi masyarakat etnis Lamaholot merupakan simbol penghargaan terhadap pribadi seorang wanita serta sebagai pengikat dan membangun suatu hubungan antara kedua bela pihak bukan antara pihak laki-laki dan perempuan saja, tetapi meliputi keluarga besar dalam suatu klan.
B. Saran
Masyarakat Lamaholot sangat memegang teguh adat istiadat yang merupakan warisan nenek moyangnya, diantaranya adalah gading sebagai mas kawin masyarakat Lamaholot. Gading sebagai mas kawin merupakan suatu tuntutan adat yang harus dipenuhi setiap kaum laki-laki hendak menikah, dan harga sebatang gading juga sangat mahal hingga mencapai Rp.75 juta perbatang, hal ini sangat memberatkan.
Sesuai permasalahan tersebut, alangkah baiknya disederhanakan saja, dan proses penyederhanaan ini perlu juga ada suatu musyawarah besar dikalangan masyarakat etnis Lamaholot untuk bisa mengambil suatu kebijakan yang lebih baik untuk bisa menetapkan suatu cara-cara yang lebih praktis, dengan melihat perkembangan jaman tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam filosofis masyarakat Lamaholot.
DAFTAR PUSTAKA
Abdilsyani. 2002. Sosiologi Skematik, Teori dan Terpan. Jakrat : PT. Raja Grafindo Persada.
Adeney, Bernard T.2001. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kansius Ahmad, Abu. 1988. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bina Aksara
Ariftanto dan Maimunah. 1988. Kamus Istilah dan Tata Bahasa Indosesia.
Jakarta: Rineka Cipta. Hlm 58.
B. Ter Haar Bzn. 1980. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Hadikusuma, Hilman. (1990). Hukum Adat Perkawinan. Bandung: CitraAditya Bakti.
Haviland, William, dan Soekadijo, R.G. Antropologi 4. Jakarta: PT. Glora Aksara Pratama, 1985.27/43-human-value/51-aspek-nilai#sthash. 30ejrfxH .dpuf Koentjaraningrat.1979.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.Jakarta:Djambatan.
Koentjaraningra, 1990.Beberapa Pokok Antropologi Sosial.Indonesia:DianRakyat.
Koentjaraningrat. (1992). Adat Istiadat Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Koyan, J. Wayan. 2000. Pendidikan Moral Lintas Budaya. Jakarta: Depdiknas.
Pareira, Mandalangi M. (1988). Adat Istiadat Sikka Krowe di Kabupaten Sikka.
Maumere, Flores, NTT.
Peursen, C.A. Van.1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kansisus.
Ritzer, George & J. Doughlas, G.2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:Kencana–
terjemahan Alimandan.
Schermerhorn,R.A.1970. Comparative Ethnic Relations: New York. Aframework of Theory and Research, Random House
Schwartz, S. H.1992. Universals In The Content And Structure of Values:Theoretical Advances And Empirical Tests In 20 Countries. Advances In Experimental Social Psychology, 25, 1–65
Schwartz, S. H. 1994. Are There Universal Aspects in the Structure and Contents of Human Values ? Journal of Social Issues, 50, 19-46
Soekanto, Soerjono. 1993.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soerojo Wignjodipoero, (1979). Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.
Sumaryono. 1999. Hermeneutiks : Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kansius.
Thalib , Sayuti. 1980. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press.Cet V Tim Sosiologi, 2004. Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta:
Yudhistira
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Undang - Undang No. 1 Tahun 1974, Arkola, Surabaya.
Weber, Max. 1968. Economy and Society. London: University of California Zavalloni, M. 1975. Values. Dalam Triandis, H. C. ; Berry, John W. (Ed).
WEBSITE
http://newjoesafirablog.blogspot.com /2012 /05/ pengertian- dan- konsep- sistemnilai.
http:// rumahbelajarpsikologi. com / index. php / fungsi- dasar- psikologi- mainmenu http://johnmuli.blogspot.co.id/2012/06/sistem- sosial- budaya- etnis- lamaholot .html http://sikkakab.bps.go.id/
http://www.slideshare.net/irvanwujon/budaya-lamaholot
http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/12/suku-lamaholot-nusa-tenggaratimur.html