• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

C. Sumber Data

Data primer adalah data yang langsung dikumpuukan dari informan.

Data ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara langsung dengan responden melalui daftar pertanyaan (kuesioner) yang dicatat oleh peneliti secara langsung tentang Makna Sosial Gading Sebagai Mas Kawin Masyarakat Etnis Lamaholot di Kabupaten Sikka.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung kepada objek peneliti yang dapat berupa dokumen, buku, catatan-catatan, makalah, laporan, arsip, dll. Terutama yang berkenaan dengan Makna Sosial Gading Sebagai Mas Kawin Etnis Lamaholot di Kabupaten Sikka.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penlitian adalah alat yang digunakan dalam mengumpulkan data. Yang menjadi instrumen utama (key insrument) dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Sebagai instrument utama dalam penelitian ini, maka peneliti mulai tahap awal penelitian sampai paada hasil penelitian ini seluruhnya dilakukan oleh peneliti. Selain itu, untuk mendukung tercapainya hasil penelitian maka peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan.

E. Tekhnik Pengmpulan Data

Tekhnik pengumpuan data yang pneliti gunakan dalam penelitian inni adalah dengan menggunakan.

1. Wawancara (interview), yaitu tekhnik untuk memperoleh informasi secara langsung dari informan, sehingga dapat dilakukan dengan lebih mendalam.

2. Observasi, dimaksudkan untuk mengetahuui keabsahan informasi yang diperoleh dengan kenyataan dilapangan.

3. Dokumentsi, ini digunakan untuk mengumpulkan data yang melngkapi atau mendukung hasil wawancara dan pengamatan.

F. Tekhnik Analisis Data

Menurut Patton (Maleong, 2000) bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka analisis tersebut berlangsung sejak pertama kali terjun kelapangan sampai pengumpulan data telah menjawab sejumlah permasalahan yang ada. Selanjutnya fakta yang diperoleh

dilapangan dikumpulkan dengan cara menuliskan (mengadopsi), mengedit, mengklasifikasi, mereduksi dan kemudian dilanjutkan dngan penyajian.

Sebagai model penelitian kualitatif yang lebih mengedepankan proses, maka sejumlah mekanisme diatas akan dilalui secara berkesinambungan. Dengan mulai mengadopsi yang berarti mengumpulkan atau menulis semua data yang diperoleh dilapangan dan telah disesuaikan dengan fokus atau masalah penelitian.

Mengedit berarti memperbaiki kata-kata atau pernyataan responden yang tidak memiliki hubungan dengan fokus penelitian. Mengklasifikasi berarti memilah- milah (mengelompkan) semua pendapat responden tentang fokus penelitian yang memiliki kesamaan kemudian membandingkan kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Selanjutnya dirdeuksi (dipisah-pisahkan).

36 A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Kabupaten Sikka a. Sejarah

Ibu kota Sikka ialah Maumere yang terletak menghadap ke pantai utara, laut Flores. Konon nama Sikka berasal dari nama suatu tempat dikawasan Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan bermula orang berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap disebuah desa pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman pertama penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang.

Turunan ini bakal menjadi tuan tanah di wilayah ini.Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka. Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisa keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha.

b. Keadaan geografis

Kabupaten sikka secara geografis terletak antara 806’36” LS dan 804’0”LS dan 121040’12”BT-122041’24”BT. Kondisi topografis kabupten Sikka dikelompokan dalam satuan luas per interval kontur (ketinggian dari permukaan laut).

Didominsi oleh wilayah dengan ketinggian > 500 m, yakni 42,91% dari luas wilyah daratan. Secara administrasi kabupaten sikka berbatasan dengan:

 Sebelah utara : Laut flores

 Sebelah Timu : Kabupaten Flores Timur

 Sebelah Selatan : Laut Sawu

 Sebelah Barat : Kabupaten Ende

Luas secara keseluruhan kabupaten sikka adalah 1.731,9 km2 Kabupaten sikka terdiri dari 21 kecamatan yaitu kecamatan paga, mego, lela, bola, talibura, waigete, kewapante, maumere, palue, nita, alok, magepanda, alok barat, alok timur, koting, tana wawo, kangae, hewakloang, doreng, mapitaa dan waiblama.

c. Keadaan Demografi 1. Penduduk

Masyarakat sikka memiliki beragam karakteristik penduduk berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan mata pencaharian. Jumlah penduduk yang Ada di Kabupaen Sikka diperoleh melalui data statistik pada tahun 2013 sebanyak 309.008 jiwa, yang terdiri atas 145.997 laki-laki dan 163.011 perempuan dengan

kepadatan penduduk 231 jiwa/km². Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1

Jumlah penduduk kabupaten sikka tahun 2013 Laki-laki 147.997

Perempuan 163.011

Jumlah penduduk

309.008 Kepadatan

penduduk

231 jiwa/km

Sumber: data statistik Kabupaten Sikka Tahun 2013

2. Pendidikan

Kelompok usia pendidikan pada dasarnya berjumlah banyak dan sangat dipengaruhi oleh ekonomi keluarga dan pandangan orang tua tentang arti pendidikan.

Sementara distribusi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.2

Banyaknya sekolah, Guru, dan Murid di Kabupaten Sikka, Tahun Ajaran 2012/2013

No. Tingkat pendidikan

Sekolah Guru Murid Rata-rata

guru persekolah

Rata-rata murd persekol ah

1. TK 104 119 1531 1 14

2. SD 335 3298 50108 9 149

3. SDLB 2 35 170 18 85

4. SMTP Umum 80 1222 16047 15 200

5. SMTA

Umum

20 223 2861 11 143

6. SMTA

Kejuruan

13 253 3066 19 235

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga 2. Gambaran Umum Masyarakat Lamaholot

Suku Lamaholot, adalah salah satu komunitas masyarakat yang terdapat di kabupaten Sikka, Flores Timur, Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan Lembata, yang semuanya berada di provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Lamaholot berbicara dalam bahasa Lamaholot. Bahasa Lamaholot memiliki banyak varian bahasa, yang disebut sebagai bahasa Lamaholot dengan dialek-dialeknya.

Menurut penuturan masyarakat Lamaholot, bahwa pada awalnya bahasa mereka hanya satu bahasa, yaitu bahasa Lamaholot, dengan terjadinya percampuran

penduduk dari suku-suku lain mempengaruhi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam masyarakat Lamaholot, terdapat beberapa bahasa yang diucapkan oleh orang Lamaholot, selain bahasa Lamaholot yang terdiri 2 dialek, yaitu Lamaholot dialek barat (diucapkan di bagian barat kabupaten Flores Timur dan kabupaten Sikka) dan Lamaholot dialek timur (diucapkan di wilayah Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan sebagian Lembata).

Menurut cerita, bahwa asal-usul orang Lamaholot yang mendiami Kabupaten Sikka Flores Timur daratan, pulau Adonara, Lembata, Solor dan Alor di provinsi Nusa Tenggara Timur atau yang lebih populer dengan sebutan Solor Watan Lema dikatakan berawal dari perjalanan bangsa-bangsa Hindu-Budha dari India Belakang, dari Gujarat dan Persia dengan arus aliran persinggahan dari India ke Malaka serta dari China ke Muangthai kemudian bertemu di kepulauan Asia Tenggara dengan persinggahan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Dari sana terjadi pergerakan menuju ke kepulauan Timor, termasuk kepulauan Solor sebagai wilayah Lamaholot.

Dalam adat perkawinan orang Lamaholot, seseorang yang akan menikah adalah suatu keharusan mengadakan pesta. Pesta ini merupakan sebuah pesta suku, maka penyelenggara pesta tersebut adalah merupakan semua anggota suku. Jadi seluruh anggota suku anggota wajib menyumbang. Bagi mereka akan merasa malu

apabila tidak bisa menyumbang. Entah bagaimana caranya orang harus memberi sesuatu, tidak peduli hal tersebut diperoleh dengan cara meminjam dan sebagainya.

Hal demikian sangat dipengaruhi oleh jiwa kekerabatan yang ditopang oleh ikatan darah dan tanah leluhur. Jiwa kekerabatan tersebut muncul dari struktur perkampungan atau tempat tinggal, yang umumnya dikelompokkan berdasarkan suku dan garis keturunan. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang anggota suku sangat berpengaruh pada anggota lainnya. Bila ada perbuatan salah yang dilakukan oleh seorang anggota suku, maka kelompok suku secara keseluruhan memiliki kewajiban untuk menegur, bahkan menghukum orang yang bersangkutan. Sebab kesalahan seseorang anggota suku menjadi aib bersama.

Orang Lamaholot memiliki cara pandang kosmologi, yang berarti melihat keberadaan seluruh alam atau kosmos bukanlah sebagai sebuah obyek melainkan sebuah subyek yang sama dengan dirinya. Manusia merasa bersatu dengan alam. Bila manusia menjamin keselarasan dengan alam akan terwujudlah kebaikan, kemakmuran, kedamaian bagi manusia dan kosmos. Namun bila tidak, akan terjadi malapetaka, bencana, perang dan sebagainya. Maka setiap anggota suku harus menciptakan keharmonisan dengan alam semesta (kosmos), dunia roh-nenek moyang, roh-roh dan Tuhan Yang Tertinggi.

Kepercayaan akan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam tampak dalam sikap orang-orang Lamaholot terhadap benda-benda tertentu, seperti

barang warisan nenek moyang, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, atau tempat-tempat yang dianggap angker dan berbahaya. Tempat-tempat tersebut diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh para nenek moyang. Karena itu, orang sering datang membawakan persembahan untuk roh-roh nenek moyang. Berada di tempat itu orang harus bersikap sopan dan hormat. Rasa persatuan dengan dunia mistis ini membuat orang merasa tenteram, aman dan tidak mengalami gangguan.

Nilai magic kehidupan yang diyakini orang Lamaholot purba saat itu amat mencengangkan, yakni melalui keyakinan holistik yang menyatukan alam semesta dengan manusia.Sang pencipta, alam semesta dan manusia sebagai satu kesatuan total yang tidak dapat dipisahkan melalui ketaatan manusia dalam keyakinan Lamaholot yang disebut hungen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan.

Keyakinan Lamaholot purba, diduga kemungkinan mendapat pengaruh dari keyakinan Hindu-Budha dalam proses membentuk keyakinan tradisional orang Lamaholot sampai sekarang, yang kemungkinan dibawa oleh nenek moyang purba mereka dari daerah India Belakang.

Dunia religius masuk ke dalam kalangan masyarakat suku Lamaholot diperkenalkan oleh bangsa Portugis sekitar abad 19. Pada dasarnya suku Lamaholot secara mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, terutama agama Kristen Katolik, yang saat ini merupakan agama suku bagi masyarakat Lamaholot dan suku-suku di Lamalera lainnya.

Sementara itu, masuknya agama Islam di Lamaholot diduga ketika para pendatang dari Ternate dan Tidore (Maluku) antara Kesultanan Ternate dan Tidore, meski sebelumnya disinyalir agama Islam dari Malaka telah masuk lebih dahulu melalui ke wilayah ini.

3. Gambaran Umum Informan

1. Informan Berdasarkan Umur

Peneliti berhasil mewawancarai sepuluh informan. Dari hasil penelitian ini diketahui umur masing-masing informan kurang lebih 22 tahun sampai 63 tahun.

Masyarakat yang menjadi informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan teknik penentuan informan secara bertujuan atau pengambilan informan berdasarkan tujuan tertentu. Namun penulis membatasi jumlah informan karena alasan waktu.

Tabel 2.1 Identitas Informan

No. Nama Informan Usia Pendidikan Jenis

kelamin

Status Perkawinan

1. Elias Laga Kaleke 42 SMA L Menikah

2. Oka Cerebima 59 S1 P Menikah

3. Frans Puli 69 S1 L Menikah

4. Maria 25 D3 P Belum

5. Elis 32 D3 P Menikah

6. Fajar 22 S1 L Belum

7. Nurlinda 26 SMA P Belum

8 Kasbi 20 SMA L Belum

9. Maardi 35 SMA L Menikah

10. Surya 42 SMA L Menikah

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer

2. Informan Berdasarkan Status Perkawinan

Dalam penelitian ini penulis memilih informan dengan karakteristik empat informan telah menikah terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan. Empat yang belum menikah dan enam yang sudah menikah.

3. Informan Berdasarkan Pendidikan

Dalam penelitian ini penulis memilih informan dengan karakteristik 3 orang strata satu, 2 orang D3 , selebihnya berpendidikan SMA (satu orang sementara kuliah).

Hal ini dimaksudkan untuk mengelompokkan informan dengan tujuan mempermudah proses analisis data.

4. Informan Berdasarkan Jenis Kelamin

Peneliti memperoleh data dari kesepuluh informan yang dipilih. Dari sepuluh informan tersebut enam berjenis kelamin laki-laki dan empat perempuan.

B. Hasil Pembahasan

1. Makna Sosial Gading Sebagai Mas Kawin

a. Makna social gading sebagai mas kawin bagi perempuan yang dinikahi.

Belis merupakan unsur penting dalam lembaga perkawinan. Selain dipandang sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur dan bentuk penghargaan terhadap perempuan, namun di satu sisi juga sebagai pengikat pertalian kekeluargaan dan simbol untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Belis juga dianggap sebagai syarat utama pengesahan berpindahnya suku perempuan ke suku

suami. Di NTT ada beragam belis yang digunakan berupa emas, perak, uang, maupun hewan seperti kerbau, sapi, atau kuda.

Di daerah tertentu belis berupa barang khusus. Sementara bagi masyarakat Lamaholot nilai seorang perempuan pada mas kawin dikonkritkan dalam bentuk nilai dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh. Gading gajah baru masuk pada abad permulaan perdagangan rempah-rempah termasuk wewangian cendana. Secara umum, ukuran dan jumlah gading tergantung pada status social seorang gadis, juga system perkawinan yang ditempuh serta kemampuan negosiasi dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Lebih dari itu, pendidikan perempuan juga terkadang menjadi ukuran dalam menentukan belis.

b. Makna social gading sebagai mas kawin bagi masyarakat Lamaholot

Budaya Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Sikka sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi. Salah satu tokoh masyarakat Lamaholot, Oka Corebima mengatakan,

“meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-pelosok desa, mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang lamaholot secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat. (wawancara,31 juli 2015)

Informasi tesebut memaparkan bahwa Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Lamaholot khususnya di Kabupaten Sikka pada umumnya disebut budaya Lamaholot. Budaya Lamaholot demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa daerah Lamaholot dan mengikuti tata krama daerah itu. “Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis,” kata Maria.

“Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita pertanda membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat”.

(wawancara,02 agustus 2015)

Sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar rumah tanpa perlindungan, pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka bahkan tidak bisa keluar rumah pada malam hari. Ketua Adat Lamaholot, Frans Duli mengatakan

“ tidak ada perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis Lamaholot selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah. Lima jenis Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading. Namun, jika sang pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah, pertama, bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa. Kedua, bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah depa sampai siku), ina umene (setengah depan sampai

batas bahu), dan opu lake (setengah depa, persis belah dada tengah). Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan. Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa, satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah tangan kanan).”(wawancara,02 agusus 2015)

2. Proses Pelamaran Masyarakat Lamaholot

Dalam proses pelamaran masyarakat lamaholot menggunakan Juru bicara.

Juru bicara yang di tunjuk merupakan dari keluarga mempelai, juru bicara tersebut biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama. Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta.

Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.

Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon

pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin membangun rumah tangga baru.

Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan. Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak.

Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan. Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading. Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria.

Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat merayakan pesta adat di masing-masing kelompok. Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi

keluarga pria jika pihak keluarga wanita tidak menyiapkan “imbalan” sama sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian. Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya, gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya.

Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut. Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Gading dalam bahasa Lamaholot disebut “bala”. Saat ini jumlah gading yang beredar di Flores, menurut Corebima, sekitar 30 batang. Gading makin langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores yang membeli di Sikka menurut Elias Laga Kelake (58), pemilik 10 batang gading di RT 18 RW 2 kecamatan Alok Barat mengatakan,

“ biasanya ada orang yang datang ke rumah membeli gading. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta, tergantung dari besar (panjang)-nya.di Lewopao, Adonara Timur, terdapat satu batang gading dengan lima cabang. Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan upacara adat, yakni memandikan dan memberi makan minum kepada gading tersebut. Gading seperti itu merupakan symbol kehadiran nenek moyang, sumber kehidupan, kekayaan, dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada malam hari, gading tersebut bahkan dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan bertunas.(wawancara 03 agustus 2015)

Dari pernyataan di atas dapat digambarkan bahwa kepercayaan yang masih ditanamkan oleh masyarakat mnnjukan bahwa betapa mereka masih mempertahankan kebudayaan yang di tanamkan oleh nenek moyang mereka sampai saat ini.

3. Marginalisasi Perempuan dan dampak yang terjadi Dalam Sistem Perkawinan Lamaholot

“ Saya fajar kebetulan saya adalah orang lamaholot dan merupakan mahasiswa sosiologi FISIP UNDANA KUPANG,,menurut pendapat saya,budaya merupakan warisan leluhur yang tak boleh dihilangkan dan harus tetap di lestarikan,,sebab kalau budaya kita hilang maka hilang pula identitas kita sbg masyarakat lamaholot,,namun terkadang budaya sering disalah artikan untuk suatu kepentingan tertentu,.misalnya pada topik diatas mengenai gading sbg belis,paradigma yg dibangun oleh suatu keluarga tentang belis yg diterima adalah merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap mereka,dan mendatangkan “hoki” sebab anak wanita mereka telah dipinang,,tetapi di satu sisi,yaitu si pemberi belis merasa terbebankan,betapa tidak jika si pihak pemberi berasal dari keluarga miskin,,mereka harus berupaya keras untuk melakukan pinjaman hanya untuk membayar belis dimana belis itu sendiri memiliki nilai ekonomis yg cukup tinggi,apabila pihak pemberi belis belum sanggup membayar belis maka bisa dibayar dikemudian hari dgn catatan si wanita belum bisa dibawa keluar sampai belis itu terbayar dan si pria harus tinggal bersama dgn keluarga wanita sbg bentuk pengabdiannya,,dari sini bisa menjadi pemicu terjadinya diskriminasi yg berujung konflik di kemudian hari,,misalnya apabila belis sdh terbayarkan maka akan timbul perasaan ego yg cukup tinggi dan berujung pada diskriminasi yg berujung konflik dari pria terhadap wanita yg menjadi istrinya.disini bisa saja timbul pandangan dari pria bahwa “saya sudah membayar lunas belis,jd saya bs berbuat apa sj semau saya”,,maka tidak heran dapat kita temui adanya kekerasan yg terjadi dalam rumah tangga di kehidupan masyarakat lamaholot. kemudian mengenai belis yg belum terbayarkan,,sbg bentuk pengabdian maka si pria tinggal bersama keluarga wanita,disini jg bisa terjadi diskriminasi dan konflik dari pihak keluarga terhadap si pria,,timbul paradigma dari orang tua bahwa”kamu belum membayar belis anak saya,jadi kami bisa melakukan apa saja yg kami mau”,shingga hal ini bisa mengakibatkan si pria merasa tertekan dan terdiskriminasi. hal ini terjadi tanpa memikirkan esensi dari pernikahan yg sebenarnya. jadi kesimpulannya bahwa kebudayaan itu harus tetap

Dalam dokumen SKRIPSI - Universitas Muhammadiyah Makassar (Halaman 44-47)

Dokumen terkait